Menyoal Advokat Hitam, Bodoh, dan Putih


Kompas/abun sanda

ADVOKAT Indonesia tak ubahnya selebritis. Gaya hidup sebagian di antara mereka yang glamour menyebabkan para praktisi hukum itu amat lekat dengan panggung pujaan, dambaan sekaligus kritik, isu dan gunjingan.

Dua kritik dan isu terakhir yang cukup mengguncang panggung kehidupan para advokat itu ialah pertama, dugaan bahwa sebagian kecil advokat yang bisa memiliki mobil-mobil dan apartemen mewah, yang hidup ibarat raja minyak, ternyata sangat kikir membayar pajak.

Mereka, para sarjana hukum itu, diduga tidak jujur melaporkan kewajiban pajaknya sehingga negara dirugikan puluhan milyar rupiah. Kritik pun lalu mengalir ke kubu para advokat. Bagaimana mereka bisa ikut membantu penegakan hukum, bagaimana mereka bisa dengan tenang meneriakkan rule of law, kalau mereka sendiri tidak taat hukum?

Kritik kedua, sebagian kecil advokat terkesan terlampau setia pada kliennya, sehingga apa pun ihwal kliennya selalu benar. Para advokat ini tidak hirau apakah kliennya bandit papan atas, konglomerat busuk yang ngemplang trilyunan rupiah uang negara, pokoknya dibela mati-matian.

Advokat selalu muncul dengan sejuta argumen, mengapa ia membela konglomerat yang mencuri trilyunan rupiah uang negara. Advokat selalu menyebut, seorang penasihat hukum yang baik, tidak boleh menolak permintaan pencari keadilan. Klien yang datang, meski sudah memiliki cap koruptor, tetap harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dari sinilah kemudian muncul satire di kalangan advokat itu sendiri, maju tak gentar membela yang bayar. Jika ada pers yang menulis terlampau negatif tentang kliennya, advokat-advokat tersebut bisa dengan royal mengirim somasi, serta hak jawab yang terkesan menekan, dan sebagainya.

Tentu saja tidak semua advokat berperangai seperti itu. Masih banyak advokat, yang bersedia hidup pas-pasan, membela kaum fakir, dan tertindas. Masih banyak advokat yang lebih menekankan perkara prodeo dibanding perkara yang mendatangkan dana milyaran rupiah ke saku mereka. Namun, kendati jumlah advokat "baik" seperti itu cukup banyak, tetapi eksistensi mereka sungguh terbenam oleh kehadiran advokat yang menekankan faktor ekonomi, kemenangan perkara, dan gaya hidup luks.

Advokat yang menekankan faktor ekonomi, meski jumlahnya sangat kecil, tetapi karena berada di teras panggung, dan perkara yang dipegang umumnya adalah perkara sangat menarik perhatian publik, maka dialah yang tampak dominan.


***
LATAR belakang seperti inilah yang kini menyebabkan muncul stigma tentang advokat hitam dan advokat putih. Advokat yang mematikan nurani, yang membela pejabat/ mantan pejabat negara yang korup, atau konglomerat yang menilep uang negara, kemudian pura-pura sakit, atau lari bersembunyi ke luar negeri, disebut sebagai advokat hitam. Advokat jenis ini pula yang menggunakan segala daya dan upaya untuk memenangkan perkara. Tentu, upaya menyuap oknum hakim, jaksa, polisi, atau siapa saja yang berpotensi menentukan kemenangan perkara yang ditangani, akan dilakukan. Kalaupun advokat ini enggan turun tangan sendiri, ia akan menutup mata kalau kliennya melakukan pendekatan kepada polisi, jaksa atau hakim.

Adapun stigma untuk advokat putih adalah advokat yang menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk membela kaum tertindas, kaum marjinal yang sulit mencari ruang keadilan. Advokat putih ini yang kerap diejek dengan istilah "culun" karena tidak tahu dengan urusan suap-menyuap, tidak tahu bagaimana strategi lawan memenangkan perkara secara licik. Advokat putih hanya mendasarkan pembelaannya pada undang-undang, atau pelajaran yang diperolehnya di bangku kuliah.

Fenomena tentang advokat hitam dan putih ini pernah diutarakan secara kritis oleh advokat Amir Syamsuddin, dalam sebuah diskusi tentang dunia advokat di sebuah kantor law firm di Jakarta Pusat pekan lalu.

Amir menyatakan, para advokat, kini memang tengah berada dalam situasi amat sulit. Kalau seorang advokat membela perkara pidana dan perdata, dan selalu lebih banyak menangnya, bisa muncul cap bahwa advokat ini seorang advokat hitam. Oleh karena itu tadi, menang melulu. Bisa muncul dugaan, ia bermain mata dengan jaksa dan hakim, sehingga kliennya menang. Bisa muncul sangkaan, ia atau kliennya menyogok jaksa dan hakim sehingga menang.

Masalahnya sekarang, kalau ada advokat hitam, tentu ada advokat putih. Lalu advokat putih itu seperti apa sosoknya?

Aidir Amin Daud, ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin menyatakan, advokat putih itu adalah advokat yang selalu membela yang tertindas, tanpa menghiraukan fee. Advokat putih adalah advokat yang selalu menolak membela pejabat, mantan pejabat negara yang nyata-nyata korup. Mereka selalu menolak konglomerat yang secara kasat mata, ngemplang uang negara.

Akan tetapi, advokat seperti ini, tutur Aidir, hampir selalu kalah, karena tidak mampu bermain mata dengan jaksa dan hakim. Ia "kuper", atau katakanlah tidak mampu bermain mata. Advokat tersebut tidak dapat melakukan manuver pembelaan secara baik karena kalah "pengalaman" dengan advokat "hitam".

Situasi seperti ini, sela Amir, yang kerap merepotkan. Sebab, terlepas dari urusan bersih atau tidak bersih, membiarkan klien menyuap atau tidak menyuap, seorang advokat kerap mendapat posisi serba repot. Posisi sulit ini erat kaitannya dengan kebiasaan yang hidup di masyarakat. Yakni, seorang advokat akan memperoleh stigma "dungu" kalau kalah melulu.

Advokat dungu, yang mendapat gelar itu karena "selalu kalah", tentu pada gilirannya akan dijauhi klien. Kalau klien enggan datang, law firm pasti sunyi senyap. Jika kantor firma hukum sepi, bukan saja si advokat akan sulit memberi nafkah cukup untuk dirinya sendiri, maupun para asisten, dan pegawai di kantornya, tetapi juga akan "tidak populer". Sebutan advokat "dungu", sungguh tidak mengenakkan. Repotnya, banyak warga yang tidak mau tahu latar belakang itu sehingga muncul sebutan "bodoh" itu. Banyak yang tidak tahu bahwa sebutan bodoh itu karena advokat mencoba bersih.

"Kalau kalah, padahal posisi klien berada di pihak benar, suka menyakitkan. Bayangkan saja, seluruh tim pengacara sudah habis-habisan menguras kemampuan membela, mencari pasal-pasal yang menguatkan, tetapi toh hakim menentukan lain," ujar Amir Syamsuddin.

"Inilah yang kadangkala membuat sebagian pengacara yang masih mempunyai idealisme tinggi, menjadi sangat tertekan. Sebab, kadangkala, sekarang ini, yang survive atau yang mampu memenangkan perkara bukan yang sangat menguasai hukum acara, azas hukum atau yurisprudensi, tetapi siapa saja yang mampu menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara," papar Amir.


***
DALAM pengamatan Kompas, faktor lain yang patut diperhatikan ialah, kultur yang muncul di masyarakat bahwa sebutan "bodoh" adalah hukuman yang sangat tidak nyaman. Maka, banyak advokat berlomba untuk tidak disebut dungu. Dan itu, diwujudkan dengan cara bermanuver untuk memenangkan perkara. Untuk memenangkan perkara, pergaulan dengan banyak kalangan, atau lobi dengan penentu hukuman, amat diperlukan. Sementara untuk memperlancar lobi, uang dalam jumlah besar, jelas harus tersedia. Lobi, dan ongkos lobi inilah yang kemudian sangat berimplikasi dengan suap.

Hubungan baik antara sebagian advokat dengan jaksa atau hakim dalam hal mengatur/ menentukan vonis, atau pertarungan keras antara dua kubu yang berseteru, untuk menyuap penentu hukuman, itulah yang kemudian populer dengan sebutan mafia peradilan.

Apa yang perlu dilakukan untuk mematahkan rantai suap menyuap, apa yang perlu dikerjakan untuk menghentikan mafia peradilan dan memupus advokat hitam?

Bastian Murphy, seorang advokat di Denver, Amerika Serikat, mengatakan kepada Kompas dua pekan lalu, sangat sulit menghilangkan mafia peradilan di sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Ini mengingat tingkat ketaatan hakim, jaksa dan advokat terhadap kode etik serta standar moral, masih sangat tipis.

"Kuncinya, etik. Kalau Anda mempunyai etika (ditambah profesionalisme), Anda tidak akan terjebak dalam urusan suap-menyuap, apalagi yang namanya mafia peradilan. Wah negara Anda seram sekali," katanya. "Hemat saya, tegakkan disiplin, dan etika profesi. Kembangkan profesionalisme advokat, semua persoalan mafia itu akan pupus dengan sendirinya," kata Murphy.

Murphy menyatakan, urusan menghilangkan penyuapan, sebenarnya sangat sederhana. Manakala semua advokat, pengacara dan klien, menghentikan seluruh praktik suap, lembaga peradilan pasti bersih. "Jangan biarkan ada pengacara atau pihak-pihak yang sedang berperkara di pengadilan menghadap hakim dan jaksa. Itu bisa menjadi kuman yang jelek," katanya. Masalahnya siapa yang harus memulai? Kalau advokat ini berhenti menyuap, bagaimana dengan advokat lain? Rasanya mesti ada satu lembaga atau orang kuat yang dapat mengatur agar masalah suap ini dihantikan sama sekali, secara seirama.

Amir Syamsuddin menyatakan, terdapat banyak jalan untuk keluar dari masalah advokat hitam ini. Yakni, pertama, dewan kehormatan dari lembaga-lembaga advokat/pengacara harus berani mengambil tindakan amat keras terhadap anggotanya yang melanggar kode etik advokat. Sebaliknya dewan kehormatan harus melindungi anggota jika nama baik anggotanya dicemarkan.

Faktor lain yang bisa dipertimbangkan ialah kepatuhan membayar pajak, masalah pengaturan tarif pengacara litigasi dan nonlitigasi. Siapa yang melebihi standar tarif, siapa yang memberi laporan palsu kepada petugas pajak, harus dikenai denda dan sanksi lain yang memberatkan.

Pengaturan fee pengacara itu, ujar Amir, akan menjadi instrumen penting untuk mengontrol tabiat pengacara. Pengacara itu, karena keterbatasan fee, tidak bisa lagi nyelusup-nyelusup ke ruang hakim dan jaksa.

Instrumen lain, yang tidak kalah pentingnya, sebut Amir, naikkan gaji hakim dan jaksa dan bahkan polisi. Tidak fair jika negara meminta mereka hidup bersih, loyal dan bekerja keras tetapi enggan memberi mereka gaji layak.

"Apakah hati Anda tidak tersentuh melihat seorang pengacara datang ke pengadilan dengan mobil luks, sementara hakim, orang yang menentukan perkara, datang dengan mikrolet dan berpayung?" ujar Amir Syamsuddin. (ABUN SANDA)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/10/nasional/meny30.htm