Masalah Kinerja Badan Peradilan
Oleh ABSAR KARTABRATA, S.H, M.Hum
PAHAM negara hukum (rechtstaat) yang
dianut Indonesia, secara eksplisit kini telah dimuat dalam
batang tubuh perubahan keempat Undang-undang Dasar 1945.
Kedudukan hukumnya menjadi jelas, tegas dan memiliki kekuatan
imperatif, karena tidak lagi dimuat dalam bab penjelasan
seperti halnya dalam Undang-undang Dasar 1945.
Konsekuensi logis dianut paham negara hukum,
adalah keharusan untuk mewujudkan adanya kemandirian badan
peradilan/hakim (independenc of judiciary). Dan dalam
sistem peradilan di Indonesia, hal tersebut telah
diakomodasikan ke dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, suatu
kekuasaan yang bebas dari pengaruh apapun.
Di dalam pelaksanaannya, ternyata
undang-undang tersebut masih dirasakan mengurangi
kemandiriannya, karena pembinaan terhadap seorang hakim
dilaksanakan melalui dua instansi. Di satu pihak hasil
kinerjanya seorang hakim bertanggung jawab kepada Mahkamah
Agung, sedangkan mengenai organisasi, administrasi, dan
finansial di bawah pembinaan departemen terkait. Namun kini
berdasarkan UU No. 35 Tahun 1999, tentang Perubahan Atas UU
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, pembinaannya menjadi satu atap semuanya di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung, sekalipun memang baru akan berlaku
secara efektif tahun 2004.
Dalam tataran ideal, terhadap diri seorang
hakim dituntut untuk mampu menciptakan hukum (rechtsschepping/Judge
Made Law), yaitu dalam hal harus memutuskan suatu perkara,
di mana undang-undang yang relevan mengandung
ketidaksempurnaan, karena dalam situasi kondisi tertentu
undang-undang menampakkan ketidakmampuannya untuk mengatur
segala kegiatan manusia secara lengkap, dalam bentuk
undang-undang yang tidak jelas bahkan tidak lengkap. Meskipun
demikian berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 14
Tahun 1970, hakim tidak boleh menolak perkara, ia tetap harus
memutus perkara yang diajukan kepadanya, sekalipun hukumnya
tidak jelas ada tidak lengkap.
Berdasarkan fakta objektivitas tersebut di
atas, tidak dapat dipungkiri fungsi dan peranan hakim dalam
mewujudkan negara hukum sangat penting, terlebih lagi sebagai
lembaga tempat orang mencari keadilan (benteng keadilan
terakhir).
Dalam implementasinya, lembaga peradilan
melalui putusan hakim, ternyata mampu menampakkan kinerja
dalam mewujudkan baik fungsi legalitas maupun fungsi
praktisnya. Kemampuan berpikir jauh ke depan (futuristis)
telah dibuktikannya. Terbukti sekalipun putusannya telah
berumur kurang lebih 30 tahun lamanya, namun ternyata sangat
relevan untuk diterapkan pada dewasa ini, yaitu dalam hal
menyelesaikan perkara sebagai implikasi dari krisis moneter
terhadap suatu perjanjian, diputuskan atas dasar keadilan
risikonya harus dibebankan kepada para pihak.
Sinyalemen berpuluh tahun yang lalu, kini
semakin deras terasa, di era reformasi. Badan peradilan justru
belum mampu mereformasi dirinya. Kongkretnya masih banyak
putusan-putusan yang dirasakan tidak sesuai dengan perasaan
keadilan masyarakat. Misalnya, putusan terhadap Tommy putra
mantan Presiden Soeharto yang menimbulkan kontroversial.
Putusan terhadap konglomerat Djoko Candra, dan beberapa
konglomerat lainnya, yang diduga hasil dari patgulipat
alias kongkalikong.
Buruknya kinerja hakim ditandai pula dengan
diperiksanya dua orang Hakim Agung dan satu orang mantan Hakim
Agung yang diduga telah melakukan perbuatan tercela, sekalipun
akhirnya hal tersebut tidak terbukti. Demikian pula Menteri
Kehakiman dan HAM telah menjatuhkan skorsing kepada hakim yang
memutuskan perkara Manulife beberapa bulan yang lalu. Terakhir
seorang hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diduga
telah meminta upeti sebesar Rp 3 miliar ke salah satu pihak
yang berperkara. Adanya perbuatan tercela hakim tersebut,
ternyata pernah pula diungkapkan Hakim Agung Adi Andojo, S.H.
sebagai orang dalam pada waktu itu, yaitu dugaan adanya
rekayasa dalam suatu putusan.
Kini kondisi memprihatikan tersebut telah
pula dirasakan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang
menyatakan kekecewaannya terhadap penegakan dan kepastian
hukum di Indonesia saat ini. Karena di satu pihak pemerintah
telah berusaha memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
dengan mengajukan pelakunya ke pengadilan, namun di pihak lain
Mahkamah Agung (MA) justru memberikan kebebasan murni kepada
para pelaku yang telah divonis bersalah oleh pengadilan (Kompas,
28 November 2002).
Bahkan Ketua Mahkamah Agung sendiri, Prof.
Bagir Manan telah mengungkapkan adanya perwakilan advokat di
Mahkamah Agung. Dari sisi lain pengakuan ini, justru
membuktikan masih berlangsungnya praktik tercela di dunia
peradilan khususnya di Mahkamah Agung. Singkatnya penilaian
buruk terhadap dunia peradilan rasanya telah dirasakan
berbagai pihak termasuk oleh MA sendiri.
Usaha memulihkan kembali kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja badan peradilan sebenarnya pernah
dilakukan. Menteri Kehakiman (waktu itu) Mudjono pun bertekad
membersihkan pengadilan dari hakim-hakim korup. "Walaupun
untuk itu semua hakim harus diberhentikan," katanya. Hasilnya?
Didukung Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopamtib)
Laksamana Sudomo dan Kepala Operasi Tertib (Opstib) Mayor
Jenderal EY Kanter Mudjono berhasil menjerat para hakim korup
itu. Ada 22 dari 57 hakim yang diberhentikan dengan surat
Keputusan Presiden. Selebihnya, ada yang dimutasikan, dilarang
masuk kantor, atau sekadar ditegur tertulis (Tempo
23-29 Desember 2002).
Perlu disadari, bahwa implikasi terhadap
buruknya kinerja badan peradilan, membawa dampak yang sangat
mengerikan. Indikatornya, banyak terjadi adanya perbuatan main
hakim sendiri oleh masyarakat. Tidak jarang pelaku kejahatan
langsung dieksekusi mati, dipukuli bahkan dibakar. Dengan
mendasarkan kepada prinsip hukum praduga tidak bersalah, jelas
hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi. Bahkan tidak
jarang "eksekusi" tersebut telah salah sasaran. Seperti pernah
terjadi di suatu daerah yang "dieksekusi" justru petugas Polri
yang tengah mengejar pelaku kejahatan.
**
MEWUJUDKAN kembali fungsi badan peradilan
ke dalam kondisi yang diharapkan, memang harus dilakukan
dengan pendekatan sistemik baik yang menyangkut institusi
maupun sumber daya manusia. Sudah saatnya diperlukan kaji
ulang terhadap sistem peradilan secara komprehensif.
Antara lain, kaji ulang inefisiensi
badan-badan peradilan dewasa ini untuk diwujudkan, diarahkan
kepada satu badan peradilan. Perlunya dipikirkan kebijakan
untuk membatasi permohonan upaya hukum kasasi, sekaligus
sebagai upaya untuk menanggulangi tunggakan perkara di
Mahkamah Agung. Sistem rekrutmen dan sistem penggajian hakim
harus pula mendapat perhatian, dan lain sebagainya, yang
kesemuanya itu harus dipikirkan, dikaji sebagai suatu usaha
jangka panjang.
Selain upaya tersebut di atas, anggap
sebagai suatu bentuk shock terapi dan merupakan usaha jangka
pendek, yaitu perlu dilakukan pengawasan terhadap putusan
hakim dengan melibatkan masyarakat in casu guru-guru
besar, para akademisi dengan spesialisasi keahlian jenis
perkara tertentu dari suatu perguruan tinggi. Hal ini
dilakukan sebenarnya untuk pengembangan ilmu hukum sendiri,
karena setiap putusan pada dasarnya merupakan pengujian/apresiasi
terhadap profesionalitas seorang hakim, yaitu putusannya
sering didiskusikan oleh para sarjana hukum.
Ilmu pengetahuan selalu mengikuti peradilan
untuk mengetahui bagaimana peraturan-peraturan hukum itu
dilaksanakan dalam praktik peradilan, dan norma-norma baru
manakah yang diciptakan oleh peradilan. Jadi putusan
pengadilan itu menjadi objek ilmu pengetahuan hukum untuk
dianalisa, disistematiskan dan diberi komentar (Sudikno,
1983).
Pengawasan oleh para akademisi tersebut,
dapat dilakukan dengan cara menginventarisasi kemudian
memublikasikannya putusan yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan hukumnya mengandung kesalahan
prinsipil. Misalnya pelanggaran terhadap kewenangan, baik yang
relatif maupun absolut. Artinya seorang hakim tetap memaksakan
menjatuhkan putusan, padahal nyata-nyata perkara tersebut
bukanlah wewenangnya.
Putusan yang membuktikan seorang hakim
memaksakan memeriksa suatu perkara, padahal sebenarnya telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti (pelanggaran terhadap
asas nebis in idem), atau dalam putusannya diketemukan
adanya kesalahan elementer prinsip pembuktian yang sebenarnya
tidak patut/ layak dilakukan oleh seorang hakim. Hasil
pengawasan penemuan tersebut selanjutnya dijadikan bahan
pertimbangan pembinaan Mahkamah Agung terhadap hakim yang
bersangkutan.
Selain pengawasan terhadap prinsip
profesional tersebut, perlu ditumbuhkembangkan komitmen badan
peradilan sendiri untuk mereformasi dirinya. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengoptimalkan badan pengawas yang seyogianya
dijabat oleh hakim-hakim senior yang memiliki integritas serta
kredibilitasnya tidak perlu diragukan. Yaitu dengan cara
proaktif mengawasi perilaku-perilaku hakim baik di tingkat
tertinggi/MA maupun di peradilan tinggi dan negeri. Bentuknya
antara lain dapat dilakukan secara incognito, seperti
hal para polisi tatkala menjebak para penjual narkoba.
Bilamana hal ini dilakukan, secara dini
sudah dimulai pencegahan praktik tercela tersebut, sekalipun
harus diakui selain memerlukan beaya yang tidak sedikit. Cara
tersebut juga memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Namun
harus diyakini reformasi badan peradilan adalah langkah awal
untuk menjawab berbagai pertanyaan bidang yang harus mengalami
reformasi. Karena rapuhnya badan peradilan berarti tidak
pernah terwujudkan negara hukum, artinya rusaklah seluruh
tatanan kehidupan seperti dirasakan sekarang ini.***
(Penulis adalah Staf Pengajar pada
Fakultas Hukum Universitas Pasundan, dan Anggota Fordiskum
Bandung) |