
|
Foto: Oka Barta
|
Rumah Jaksa Agung di
Graha Cinere, Depok
|
SEKILAS, bila menyimak penampilannya, orang-orang tak
bakalan tahu kalau ia seorang jaksa. Gayanya lebih mirip pengusaha kelas
kakap ketimbang seorang pegawai negeri sipil eselon IIA. Bajunya bermerek,
lengkap dengan arloji Rolex di tangannya. Koleksinya yang lain pun tak
kalah mentereng, mulai dari sejumlah mobil mewah—Mercy dan BMW seri
terbaru—hingga beberapa rumah dan tanah. ”Ah, saya sih belum seberapa.
Banyak kok jaksa yang lebih kaya,” ujarnya kepada TRUST.
Si jaksa itu mengaku memiliki dua rumah gedung di Surabaya dan Yogyakarta,
serta lima kaveling tanah di berbagai kota. Ia mendapatkannya ketika
menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Jaksa lain yang pernah
menjabat Kajari Surabaya juga mengamini pengakuan koleganya itu.
Malah, kata jaksa yang kini sudah pensiun tersebut,
ketika menjabat di Kejaksaan Agung, ia sering diperintah bosnya untuk
membagikan uang kepada wartawan dan kolega si bos. ”Saya tidak tahu
persis dari mana ia mendapatkan uang. Yang jelas, brankas uangnya itu
selalu penuh dan tak pernah kosong,” kata mantan jaksa yang enggan
disebut namanya itu.
Pengakuan Pak Jaksa yang kelewat berani itu rasanya bukan isapan jempol
belaka. Lihat saja harta milik Jaksa Agung M.A. Rachman. Berdasarkan
laporan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pekan lalu,
M.A. Rachman memiliki deposito sekitar Rp 811 juta, yang terdiri dari Rp
545,6 juta dan US$ 26.600. Selain itu, ia juga mengoleksi enam rumah,
yakni satu di Surabaya, satu di Sidoarjo, dua di Sumenep (Madura), dan dua
di Bekasi. Itu pun belum termasuk rumah di Cinere (Depok) yang tidak
dicantumkannya.
Hebatnya lagi, ketika menikahkan putrinya, tempo hari, kabarnya M.A.
Rachman menghabiskan duit sampai Rp 500 juta. Tidak heran bila Presiden
Megawati di Istana, menurut sumber TRUST, sempat marah mendengar hajatan
megah si Jaksa Agung. Sebagai contoh, demi acara itu, ia sampai memesan
beberapa kamar di Hotel Borobudur yang tarifnya per malam jutaan rupiah.
”Kok perlu bermewah-mewah?” tukas Presiden Megawati. Kritik itu ia
lontarkan secara terbuka.
Akibat kemarahan Presiden itu, Mentamben Purnomo Yusgiantoro yang
kebetulan hendak menikahkan anaknya tak lama setelah Jaksa Agung mantu,
terpaksa mengurungkan niatnya untuk menggelar pesta. Ia memilih
merayakannya dengan cara yang sangat bersahaja di gereja.
Gaya hidup bak kaum jetset yang dipertontonkan para jaksa tentu saja
membuat banyak orang curiga. Sebab, jika menilik gaji mereka, meskipun
eselon I, mustahil mereka bisa sekaya itu, kecuali bila mendapat harta
karun. Menurut Soeparman, mantan Plh. Jaksa Agung, gaji bersih seorang
Jaksa Agung tak lebih dari Rp 18 juta per bulan. Sementara untuk level
Jaksa Agung Muda (JAM) sekitar Rp 8 juta, sedangkan eselon II sekitar Rp 5
juta.
Barman Zahir yang menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)
Kejaksaan Agung, mengaku hanya mendapat Rp 4,1 juta sebulan. Itu pun sudah
termasuk tunjangan fungsional, beras, dan keluarga. ”Tapi harap dicatat,
gaji itu saya dapat setelah kerja 34 tahun di kejaksaan,” ucap Barman
dengan nada keras. Jumlah tunjangan itu bervariasi, mulai dari Rp 600 ribu
hingga Rp 2,5 juta.
ORDER PERKARA SAMPAI MINTA PROYEK
Lalu, dari mana para jaksa yang kaya raya itu mendapat limpahan harta yang
begitu besar? ”Jaksa kan punya jaringan. Banyak pengusaha yang sering
memberi uang terima kasih,” tutur jaksa perlente tadi.
Nah, tentang daerah basah, ia menunjuk Surabaya dan Medan sebagai tanah
impian jaksa. ”Sogokannya tak kalah dahsyat dengan di Jakarta,”
ujarnya. Uniknya, M.A. Rachman juga pernah menikmati indahnya dua daerah
itu. ”Makanya perutnya buncit, kantongnya tebal,” ucap jaksa itu
dengan ketus.
Seorang jaksa lain yang masih aktif kemudian mengungkapkan pengalamannya
selama bertugas di Kalimantan. Sebagai pimpinan di Kejaksaan Tinggi
(Kejati), otomatis ia bisa berhubungan dengan sejumlah penggede daerah
itu, mulai dari anggota Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) sampai
pengusaha-pengusaha kakap. Nah, berkat hubungan baik itulah ia sering
mendapat uang tambahan, terutama sumbangan dari para pengusaha yang
menjadi kolega mereka. ”Hampir semua pejabat kejaksaan menerima uang
siluman itu. Dari Muspida saja, yang notabene duit legal karena ada dalam
APBD, saya terima Rp 2,5 juta sebulan,” kata jaksa yang juga enggan
disebut namanya itu.
Jumlah sumbangan yang diterima jaksa bervariasi, tergantung jabatannya.
Sekadar ilustrasi, sebagai orang nomor dua di Kejati, ia mendapat setoran
Rp 6 juta per bulan dari bandar togel. Sementara pimpinannya mendapat Rp
20 juta. ”Tapi polisi malah lebih besar lagi, bisa Rp 100 juta,”
ujarnya setengah membela diri. Jumlah itu hanya dari satu pengusaha, belum
dari pengusaha lain yang mendapat proyek lewat kolusi jaksa dengan
Muspida.
Baginya, fenomena jaksa minta proyek ke gubernur atau bupati adalah hal
yang sudah jamak. Setelah itu, uang terima kasih bakal datang dari
pengusaha yang mengerjakan proyek tersebut. Dan, keakraban dengan
pengusaha itu tidak berhenti ketika si jaksa dipindahkan ke tempat lain.
”Banyak kok pengusaha daerah yang sering ketemu saya di Kejaksaan
Agung,” tutur jaksa perlente itu.
Tidak heran bila seorang M.A. Rachman punya pengusaha piaraan. Menurut
laporan di KPKPN, sewaktu menjabat sebagai Kajati Surabaya, ia juga
merangkap sebagai Konsultan Hukum mereka. ”Cara-cara seperti itu sudah
biasa, apalagi bagi yang proyeknya tengah terkena masalah. M.A. Rachman
pun masih sering didatangi pengusaha Surabaya,” papar sumber tadi.
Cara lain yang digunakan Pak Jaksa dalam menimbun harta, tentu saja,
dengan kehebatannya memainkan perkara. ”Biasanya, hal itu terkait dengan
tuntutan jaksa. Makin ringan tuntutan berarti setoran makin gede,”
ucapnya. Ia kemudian mencontohkan rendahnya tuntutan jaksa terhadap para
koruptor di pengadilan. ”Mana penyelesaian kasus Texmaco dan Sjamsul
Nursalim? Jaksanya pasti bermain,” ucapnya. Hal itu juga diakui oleh
seorang mantan petinggi kejaksaan yang, lagi-lagi tak berani menyebutkan
namanya. ”Kasus BLBI memang ikut dimainkan jaksa,” katanya.
Nyanyian lain tentang kemaruknya jaksa datang dari seorang pengacara.
Katanya, untuk bisa negosiasi dengan jaksa, paling tidak harus menyiapkan
dana Rp 500 juta. ”Ada yang minta mateng berupa barang seperti rumah
atau jam tangan, misalnya Rolex. Tapi ada juga yang minta duit,”
ungkapnya.
Pembagian duitnya pun bervariasi sesuai kepangkatan. Kajati, misalnya,
mendapat Rp 250 juta. Pejabat setingkat Asisten Jaksa Tinggi mendapat Rp
125 juta. Lalu, sisanya diberikan kepada jaksa cere yang mondar-mandir di
pengadilan. ”Kami membayar setelah putusan diketuk dan biasanya di Hotel
Sahid dan Hotel Kartika Chandra,” tutur si pengacara.
BOBROK DI DALAM
Melimpahnya harta di kalangan jaksa itu bukan berarti membuat pihak
kejaksaan tutup mata. Malah, menurut Barman, sampai Juli 2002, pihak
kejaksaan telah menjatuhkan hukuman disiplin kepada 155 orang, 44 orang di
antaranya adalah jaksa. ”Dari 44 jaksa itu, 21 orang dikenai hukuman
ringan berupa teguran, 18 orang ditunda kenaikan pangkatnya, dan lima
jaksa yang kena hukuman berat dipecat,” kata Barman.
Menurut sumber di Kejaksaan Agung, kalau kejaksaan mau menertibkan
pasukannya, mestinya semua jaksa kena. Pasalnya, kebobrokan itu dimulai
dari sistem yang amburadul di Kejaksaan. Misalnya, untuk menduduki kursi
Kajari, seorang jaksa harus menyiapkan duit Rp 50 juta, sedangkan untuk
Kajati Rp 300 juta. Bahkan, untuk ikut Pelatihan Staf dan Pimpinan
Administrasi Tingkat Pertama (SPAMA) saja harus setor Rp 10 juta.
”Makanya kalau sudah jadi pimpinan, mereka cepat-cepat cari duit. Ya
biar balik modal-lah,” ujar sumber itu.
Tapi ketika cerita itu disodorkan ke Parnomo, Kepala Biro Kepegawaian
Kejaksaan Agung, ia menolak mentah-mentah. ”Sistem pendidikan kami
jelas. Enggak perlu setoran seperti itu. Lagipula, pengawasan internal
kami ketat,” tandasnya.
Cuma seorang jaksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung yang mengakui
kompatriotnya di sana sempat ngeper ketika Alm. Baharuddin Lopa menjadi
Jaksa Agung. ”Waktu itu, semuanya tiarap. Semua pakai kijang, mobil
mewahnya disembunyikan,” katanya. Tapi setelah ”kepergian” Lopa,
semua kembali seperti semula. ”Yang diburu mereka adalah harta. Padahal,
mereka semua rajin salat,” katanya lagi.
Memang, membentuk aparat kejaksaan yang bersih ibarat menegakkan benang
basah. Begitu komentar beberapa pengamat ketika Lopa menabuh genderang
perang membasmi jaksa korup di institusinya. Tapi, paling tidak, ada
”gebrakan” yang menimbulkan rasa sungkan untuk pamer kekayaan di
lingkungan kejaksaan. Adakah ”orang dalam” kejaksaan yang bisa
melakukannya? Atau perlukah di-drop dari luar?
Majalah Trust/Fokus/1/2002 |