Minggu, 4 Januari 2004
Sosok dan Kiprah: Munarman
Hukum Tetap Jadi Permainan Politik
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, salam sejahtera saya ucapkan buat
pendengar sekalian. Kita bertemu kembali dalam program kesayangan kita, program
seminggu sekali Perspektif Baru. Sebuah program untuk pencerdasan dan pendidikan
publik. Di edisi awal tahun ini, kita akan melakukan refleksi sekaligus juga
kesempatan untuk mengingat kembali topik yang teramat penting bagi kehidupan
kita dalam sebuah negara dan bangsa. Yakni tentang topik hukum. Sebuah kata yang
menimbulkan banyak interpretasi bagi kita. Apalagi selama lima tahun kebelakang
kita menjalani masa transisi. Dimana hukum menjadi pra syarat utama untuk
mewujudkan negara dan bangsa yang sesungguhnya atau demokratis. Salah satu isu
penting dalam hukum adalah masalah penegakan hukum itu. Dimana hukum berlaku
tanpa pandang bulu. Hukum ditegakkan agar tercipta keamanan dan ketertiban.
Namun kita ketahui, realitas yang terjadi tidak seperti itu. Disana-sini sering
kita saksikan hukum tak berdaya menghadapi penguasa dan pengusaha. Kondisi yang
rumit dan kompleks. Tapi, kita yakin bahwa kerumitan bisa terpecahkan ketika
kita memberi waktu untuk mengulang dan menilai apa yang terjadi di masa lalu.
Untuk memberikan catatan-catatan perjalanan hukum di Indonesia, bersama kita
telah hadir Bapak Munarman. Beliau adalah Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI). Sebuah lembaga yang tidak asing bagi kita semua. Hingga tiga
puluh menit ke depan, diskusi ini akan dipandu sahabat anda Ruddy K. Gobel.
Bagaimana perjalanan sektor hukum selama tahun 2003?
Selama 2003, dari catatan-catatan yang kita kumpulkan dari seluruh Indonesia,
situasi hukum masih buram. Ini sebenarnya sebagai akibat dari proses panjang
sistem politik masa lalu yang menempatkan hukum sebagai subordinasi dari politik.
Sampai hari ini, hukum dijadikan instrumen kekuasaan, baik kekuasaan politik
maupun modal. Dalam contoh kekuasaan politik, ini kita menyaksikan bahwa salah
satu redaktur media dituntut oleh Ketua DPR dan Presiden. Dengan dasar
mencemarkan nama baik pejabat negara. Hal ini menunjukkan hukum kita bekerja
atas perintah dari kekuasaan. Dari sisi kekuasaan modal, sebuah majalah mingguan
dan harian terkemuka juga dituntut. Bahkan rumah pribadi pun disita sebagai
jaminan. Itulah citra hukum kita.
Sementara terhadap kasus-kasus yang melibatkan para elit politik dan pemegang
modal, mereka jauh dari sentuhan hukum. Kita bisa saksikan seorang terdakwa
koruptor masih memimpin rapat Dewan yang terhormat. Para koruptor masih duduk di
Senayan. Hukum kita juga tidak bisa menyentuh para koruptor yang bebas
berkeliaran di luar negeri. Mereka berkampanye menyatakan dirinya tidak bersalah,
seperti tersangka pembobolan BNI. Sementara pada kasus-kasus yang melibatkan
masyarakat kecil, seperti kasus buruh di Bekasi. Karena meletakkan garam di
areal pabrik, si buruh dituduh melakukan tindakan pidana. Yakni perbuatan yang
tidak menyenangkan sehingga yang bersangkutan diperiksa polisi. Inilah
ketidakadilan-ketidakadilan itu.
Menurut anda, dari kasus-kasus tersebut mana yang akan berlanjut pada tahun
2004?
Menurut saya, hukum tetap akan menjadi permainan politik. Misalnya kasus korupsi
ketua DPR Akbar Tanjung yang sampai hari belum diputuskan. Menurut dugaan saya,
kasus ini akan terus digantung sampai tahun 2004 dengan tujuan bargaining
politik oleh musuh-musuh politiknya. Baik dari luar Partai Golkar maupun dari
dalam Partai Golkar sendiri. Kasus lainnya yang terus berlanjut adalah kasus BNI.
Di bidang HAM, kasus Tanjung Priok akan terus berlanjut. Ini kasus-kasus hukum
yang diametral. Kasus hukum berlanjut namun dengan dimensi politik. Sementara
kasus-kasus yang melibatkan rakyat kecil berlanjut dalam kerangka politik
represi negara untuk menekan kekuatan-kekuatan buruh dan petani.
Pada tahun ini, momen yang paling penting adalah pemilu. Apa pengaruh pemilu ini
terhadap proses penegakan hukum?
Yang akan terjadi adalah perubahan skala prioritas. Karena pemilu 2004 merupakan
penentu sirkulasi kepemimpinan politik hingga lima tahun ke depan. Semua sumber
daya yang dimiliki akan dikerahkan memprioritaskan kasus-kasus yang berkaitan
dengan pemilu. Ini sudah ditunjukkan oleh persiapan-persiapan yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung, Kepolisian, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah.
Hanya kasus-kasus pemilu yang menonjol pada tahun 2004 ini.
Kasus hukum apa yang tidak diketahui masyarakat umum, tapi sebenarnya penting
dijadikan sebagai barometer dalam mengukur keberhasilan apakah kita sudah
melakukan penegakan hukum?
Ada tiga sektor yang penting diperhatikan kalau kita melihat pada kasus-kasus
yang terjadi pada masyarakat kecil. Pertama adalah kasus buruh. Kasus ini sangat
banyak karena buruh ternyata berkecendrungan untuk direpresi dengan jalur hukum
pidana dengan melibatkan pihak polisi. Tujuannya agar buruh tidak mendirikan
serikat buruh, tidak melakukan demonstrasi, dan menuntut hak. Kedua, kasus-kasus
yang berkaitan dengan petani, yakni konflik pertanahan. Banyak petani yang
kehilangan tanahnya, ketika memperjuang kembali tanahnya, mereka kemudian
dituduh dengan melakukan tindak pidana (kriminal). Ketiga adalah kasus yang
melibatkan kaum urban atau kaum miskin perkotaan yaitu dengan penggusuran.
Kalaupun ditambah satu lagi, maka kasus yang tidak banyak diketahui publik
adalah kasus yang menimpa nelayan. Jadi prinsip equality before the law (persamaan
hak di depan hukum) masih sekedar lips service. Karena banyak sekali anggota
masyarakat dari sektor buruh, petani, kaum miskin kota, dan nelayan yang
menerima perlakuan tidak adil. Baik itu dari segi hak-hak keperdataan, hak azasi
untuk mendapatkan perlindungan hukum berupa jaminan atas perumahan, jaminan
tanah, dan mata pencaharian. Di sisi lain mereka menghadapi kekerasan struktural
yang bersifat represif yaitu menggunakan mekanisme hukum pidana. Di catatan kita
ada ribuan kasus yang menimpa masyarakat dari keempat sektor tadi.
Perlakuan tidak adil juga terjadi ketika masyarakat menjalani proses pengadilan,
misalnya minimnya pendampingan penasehat hukum?
Itu yang kita sebut dengan acces to justice. Acces to justice meliputi dua hal
yaitu hak untuk mengakses bantuan hukum dan mekanis untuk mendapatkan keadilan.
Kedua sistem ini tidak dibangun oleh pemerintah kita sekarang ini. Sistem untuk
mendapat bantuan hukum cuma-cuma, informasinya sengaja ditutupi-tutupi. Misalnya
pada kasus enam mahasiswa Indonesia yang dideportasi dari Pakistan. Pada sistem
mekanisme hukum, pemerintah tidak membangun sistem complaint. Ketika masyarakat
kehilangan hak-haknya, dirugikan oleh individu yang lain atau pejabat pemerintah,
tidak ada mekanisme komplain. Yang ada mekanisme yang konvensional seperti
perdata yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Ketika mengajukan gugatan,
dikenakan biaya. Padahal yang sering dilanggar haknya adalah masyarakat miskin.
Pemerintah seharusnya mengalokasikan bantuan hukum cuma-cuma dari APBN, agar
masyarakat dapat mengakses hukum. Dengan penyediaan dana di APBN atau penyaluran
dana-dana kepada lembaga bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma
kepada masyarakat. Ini yang sampai sekarang tidak terwujudkan. Jangankan untuk
mengalokasikan dana, terpikir pun tidak.
Berarti mekanisme bantuan hukum cuma-cuma sama sekali tidak jalan?
Ada dua hal mekanisme bantuan hukum. Mekanisme bantuan hukum pidana dan perdata.
Kalau dalam hukum pidana, menjadi kewajiban bagi pihak kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan untuk memberikan pengacara gratis terhadap orang-orang yang tidak
sanggup. Kalaupun disediakan pengacara, ada juga masalah. Sebagian besar
pengacara yang ditunjuk tidak sunguh-sungguh melakukan pendampingan hukum dan
melakukan penegakan hukum itu sendiri. Tetapi lebih pada sekedar memenuhi
syarat-syarat formalitas. Yakni bila seseorang yang diancam hukuman penjara lima
tahun lebih maka wajib didampingi penasehat hukum. Penasehat hukum itu sekedar
menandatangani berita acara. Ini kritik saya terhadap profesi pengacara.
Sementara untuk hukum perdata, negara sama sekali tidak menyediakan penasehat
hukum. Karena urusan perdata dianggap sebagai urusan individu-individu.
Banyak sekali yang bisa dikritisi dalam proses pengadilan, seperti penentuan
jadwal sidang yang tidak mempertimbangkan kepentingan yang berperkara. Ini
sangat memberatkan, karena orang yang berperkara juga harus bekerja. Kesannya
seperti mempersulit?
Ada adagium yang melekat dalam proses hukum kita, kalau berurusan dengan hukum,
ketika kehilangan kambing maka akan kehilangan sapi. Ini ada kenyataannya.
Karena baik polisi, jaksa, hakim, bahkan pengacara terlibat dalam suatu mafia
peradilan. Mereka melakukan proses jual beli, berdagang hukum atau transaksionil
diantara keempat pelaku hukum ini. Ini salah satu tantangan besar bagi
masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang bersih, independen dan bebas dari
kepentingan politik maupun kepentingan lainnya. Ini agenda yang teramat penting,
dan harusnya dipelopori oleh institusi penegak hukum. Mulai dari Mahkamah Agung,
Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Organisasi Profesi Pengacara.
Khusus untuk organisasi pengacara, mereka harus mampu untuk membersihkan
pengacara-pengacara hitam dari keanggotan organisasi profesi tersebut. Karena
dengan UU no. 18/2003 tentang advokat yang memiliki kewenangan untuk menentukan
seseorang menjadi pengacara adalah organisasi profesi pengacara. Kalau
organisasi advokat tidak dapat membersihkan diri dari pengacara hitam, maka itu
adalah sebuah kegagalan. Sedangkan penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa,
dan hakim itu urusan birokrasi. Karena urusan birokrasi, mereka perlu
dibersihkan dari mafia peradilan dan unsur-unsur korup. Disini pula pentingnya
peran lembaga Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang baru saja dibentuk. Dimana
sasaran utamanya adalah ketiga lembaga ini. Bila ini dapat dilakukan, maka ini
merupakan langkah awal untuk memperbaiki wajah hukum kita.
Kita sudah memiliki banyak sekali memiliki lembaga-lembaga baru seperti Komisi
Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apakah kita bisa
menaruh harapan pada lembaga ini?
Kita tetap harus berharap lembaga-lembaga ini bisa berfungsi sebagaimana
mestinya. Namun tidak bisa sekedar berharap. Kita harus memperjuangkannya.
Terhadap lembaga-lembaga yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, masyarakat
hendaknya melakukan tekanan-tekanan. Bisa dengan mengajukan pertanyaan, surat
tertulis, bahkan bisa melakukan demostrasi karena itu sah dalam mekanisme
demokrasi. Kalau didiamkan, mereka akan menerima gaji buta. Dan yang salah kita
juga karena membiarkan penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat harus bersifat aktif,
tidak pasif saja.
Pengetahuan hukum dasar apa yang harus diketahui oleh masyarakat dan dimana saja
masyarakat dapat menghubungi YLBHI?
Yang kita berikan pada pendidikan paralegal adalah mengenai hak dan kewajiban
sebagai warga negara. Berkaitan dengan hukum acara baik pidana maupun perdata.
Pendidikan acara pidana yang kita berikan adalah mengenai hak-hak mereka kalau
dijadikan sebagai tersangka. Hak untuk tidak diperlakukan secara sewenang-wenang.
Harus mendapat surat perintah penahanan bila tidak sedang tertangkap tangan
melakukan pelanggaran hukum. Kemudian, jangka waktu penahanan. Menurut UU Hukum
Acara Pidana No 8/1961, terkecuali menurut untuk kasus terorisme berdasarkan UU
Terorisme No 15/2003, seseorang dapat ditahan selama 24 jam. Setelah itu, kalau
tidak ada keputusan dari polisi yang menangkap, maka yang bersangkutan harus
dibebaskan demi hukum. Bila ia ditetapkan sebagai tersangka, maka polisi hanya
diberi wewenang untuk menahan selama lebih kurang 20 hari dengan perpanjangan 40
hari. Sementara pihak kejaksaan hanya berwenang untuk menahan selama 50 hari.
Pengadilan negeri, hanya diberi waktu untuk melaksanakan proses persidangan
sekita 40 hari ditambah 30 hari. Selama pemeriksaan, tersangka tidak boleh
diperlakukan sewenang-wenang, diperlakukan secara tidak manusiawi, disiksa.
Kemudian mereka berhak mendapat bantuan hukum. Dalam acara perdata, kita
memberikan penjelasan atas dokumen-dokumen yang dibutuhkan kalau menghadapi
proses pengadilan. Misalnya, dalam kasus tanah mereka hendaknya dapat
menunjukkan dokumen yang menguatkan bahwa mereka pemilik tanah tersebut. Kalau
tidak ada, apa yang memperkuat pembuktian bahwa mereka yang berhak atas
kepemilikan tanah tersebut. Bila masyarakat membutuhkan, YLBHI ada 14 kantor
cabang.
Di Sumatra, ada YLBHI Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandar Lampung. Juga hadir
diseluruh ibukota propinsi di Pulau Jawa. Sementara di Sulawesi ada LBH Menado
dan LBH Makassar. Dan juga di propinsi Papua yang memiliki beberapa pos. Setiap
kantor cabang memberikan pelayanan gratis dan nomornya dapat dilihat di buku
telepon. Untuk telepon LBH Jakarta Nomornya adalah (021) 3145518. Masyarakat
akan dilayani melalui konsultasi langsung maupun konsultasi per telepon, tanpa
dikenakan biaya. LBH hanya mengenakan biaya administrasi pendaftaran kasus.
Tarif di setiap kantor cabang bervariasi, tidak melebihi Rp 10.000. Untuk
mendapatkan bantuan hukum, LBH tidak memungut honor untuk mendampingi masyarakat.
Kita mengharamkan pemungutan honor, bila ada pengacara LBH yang memungut honor,
kita pecat. Karena kondisi LBH belakangan kekurangan dana, kita mengharapkan
masyarakat membiaya diri sendiri. Maksudnya, bila dalam kasus gugatan perdata,
kita mengharapkan agar masyarakat membiaya sendiri. Seperti pendaftaran kasus ke
pengadilan yang biayanya mencapai Rp 300.000. Namun untuk kasus-kasus pidana
gratis. Sebatas yang bisa dibiayai oleh masyarakat, kita mengharapkan masyarakat
membiayainya. Bila tidak mampu, kita akan mencarikan bantuan dana dengan bekerja
sama dengan LSM lainnya. (**)
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Tokoh&id=46241