Minggu, 29 Februari 2004
Jalan Tol untuk Kapolres di Atas Rp 50 Juta
Heboh skripsi Mahasiswa PTIK soal KKN di Tubuh Polri


Jakarta,- Isu KKN paling hangat di korps polisi adalah soal jual beli jabatan. Ini pula yang mengilhami 147 mahasiswa angkatan 39-A PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) untuk melakukan penelitian skripsinya. Seperti apa?


Rizal Husen, Jakarta

PERTENGAHAN 2003, muncul surat kaleng tentang jual beli jabatan strategis di lingkungan Mabes Polri. Surat tanpa identitas pengirim itu membeberkan praktik suap-menyuap di kalangan internal polisi untuk menduduki pos "basah". Surat kaleng tersebut memaparkan jalur-jalur menuju "kursi basah nan empuk".

Munculnya surat kaleng itu benar-benar memukul Kapolri Da'i Bachtiar. Dengan lantang, jenderal polisi bintang empat itu menyebut para polisi yang menyebarkan surat kaleng itu sebagai pengecut. Sebab, mereka tidak mau mencantumkan nama.

Tak tanggung-tanggung, jumlahnya sampai 19 pucuk surat kaleng. Sebagian besar isinya seputar jual beli jabatan dan penempatan posisi basah. Penulisnya disebut-sebut sejumlah perwira reformis yang tidak senang dengan situasi lingkungan polisi yang dinilai korup dan penuh dengan nepotisme.

Da'i boleh saja menganggap surat kaleng itu ulah para pengecut. Namun, surat tanpa identitas yang membongkar borok polisi tersebut ternyata mengilhami para mahasiswa PTIK angkatan 39A. Dengan modal surat kaleng itu, beberapa mahasiswa melakukan penelusuran untuk dijadikan bahan skripsi. "Kami ingin membuktikan surat kaleng itu. Eh, ternyata ada benarnya," ujar seorang mahasiswa PTIK berpangkat AKP (ajun komisaris polisi) yang tak mau disebutkan namanya.

Perwira muda itu pun lantas mengupas sebagian hasil penelitiannya itu. Menurut dia, yang disebut terminologi "posisi basah" adalah posisi yang memungkinkan menghasilkan uang banyak. Ada beberapa tingkatan "posisi basah" di kelas perwira menengah (pamen). Untuk level AKBP (ajun komisaris besar polisi), jabatan itu meliputi Kapolres, Kasatlantas, dan Kasatserse (sekarang Kasat Reskrim, Red) di lingkungan polwil.

Dalam level komisaris besar polisi (kombes), contohnya Kapolwil, direktur reserse, dan direktur lalu lintas di polda-polda. Agar bisa menduduki jabatan basah itu, tidak gratis -kecuali yang benar-benar dianggap berprestasi-, harus ada pelicinnya. Para perwira yang ingin menduduki jabatan "basah nan empuk" tersebut harus siap merogoh kocek dalam-dalam.

Berapa? Dalam skripsi itu, tidak ada mahasiswa yang berani menyebutkan nilai nominalnya secara rinci. Mereka hanya menyebut secara makro. Untuk level pamen, hanya disebutkan puluhan juta rupiah. "Kami tidak tahu pasti. Yang jelas, untuk level AKBP, nilainya di atas Rp 50 juta. Level kombes hampir mendekati Rp 100 juta. Hanya, itu tidak usah disebut agar tidak jadi masalah di kemudian hari," jelas salah satu mahasiswa PTIK yang ditemui koran ini di kampusnya.

Untuk kelas perwira tinggi (pati), jabatan yang dianggap basah adalah Kapolda. "Kalau yang ini sudah tidak bisa dihitung lagi. Jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Apalagi daerah-daerah basah seperti Kapolda di Jawa," imbuhnya, sembari menggeleng kepala.

Menurut mahasiswa itu, banyak pejabat Polri yang hidup mewah. Padahal, gaji mereka tak seberapa. Beberapa pejabat yang menempati pos basah itu bisa memiliki mobil mewah dan rumah-rumah berharga ratusan juta.

Dia pun lantas mengungkapkan sistem gaji di korpsnya itu. Menurut sistem penggajian di Polri, polisi berstatus lajang berpangkat bharada (bhayangkara dua, setingkat tamtama, Red) menerima gaji pokok (GP) sekitar Rp 800.000. Ditambah uang lauk-pauk sehari Rp 15.000 dan uang beras, dia bisa membawa pulang take home pay sekitar Rp 1,2 juta per bulan.

Bila sudah menikah, tambahannya berupa tunjangan istri sebesar 10 persen dari GP. Jika punya dua anak, masing-masing ditambah 10 persen. Seorang bharada yang telah beristri dan memiliki dua anak mendapat tunjangan 30 persen dari GP. Take home pay-nya dalam sebulan sekitar Rp 1,7 juta.

Polisi berpangkat kombes (setingkat kolonel di TNI) berpenghasilan bersih sekitar Rp 3 juta per bulan. Ada tambahan penghasilan seperti tunjangan jabatan jika dia menduduki pos tertentu, semisal Kapolwil, direktur reserse, atau direktur lalu lintas di polda-polda.

Kapolda yang berpangkat inspektur jenderal (irjen) atau golongan IV menerima GP Rp 2,7 juta. Berikut tunjangan-tunjangan, termasuk tunjangan jabatan, dalam sebulan seorang Kapolda bisa membawa pulang Rp 4 atau Rp 4,5 juta.

Data itu berbicara betapa kecil gaji polisi. Tapi, hebatnya, banyak perwira yang hidup berlimpah kemewahan dengan mobil dan rumah berharga ratusan juta. Dari mana uang itu? "Wallahu a'lam," katanya.

Para mahasiswa angkatan 39A tidak hanya melulu meneliti jalan tol dalam lalu lintas jabatan. Ada juga yang meneliti dana operasional polda. Ternyata, setiap polda didukung dana operasional yang berbeda-beda. Besar kecilnya tergantung luas dan jumlah penduduk suatu provinsi. Dana tersebut selanjutnya disalurkan ke polwil, polres, dan polsek. Anggaran kebutuhan itu disusun dari bawah dan diterimakan pada awal tahun anggaran yang sedang berjalan.

"Dana operasional itu harus habis. Bisa untuk membiayai patroli rutin atau patroli yang digiatkan. Bila di suatu wilayah situasi aman-aman saja, bisa-bisa dana operasional tidak seluruhnya terpakai. Ini yang jadi bahan penelitian mahasiswa," jelas mahasiswa berpangkat AKP itu.

Nah, daerah-daerah mendapatkan dana operasional besar itulah yang dianggap basah dan menjadi incaran. Para perwira polisi akan sangat bangga jika bisa menduduki jabatan tertentu di daerah yang mempunyai dana operasional berlimpah tersebut. Terutama wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera.

Kendati lalu lintas jalan pelicin tersebut sudah menjadi bahan penelitian para perwira muda polisi di PTIK, Kabid Penum Humas Mabes Polri Kombes Pol Zaenuri Lubis tetap membantahnya. "Tidak ada praktik jual beli jabatan di korps Polri," ujarnya dengan enteng.

Penunjukan seseorang untuk menempati suatu jabatan tertentu, kata Zaenuri, selalu dikaitkan dengan pendidikannya. Apakah yang bersangkutan pernah kursus di Lembaga Pertahanan Nasional, Sespim, dan kursus-kursus lain.

"Yang pintar dan berdedikasi tinggi akan menduduki jabatan penting, tidak peduli apakah dia sudah mengikuti kursus-kursus atau belum. Jadi, tidak ada itu istilah jual beli jabatan," elak Zaenuri. Tapi, bukankah masuk Sespim juga pakai pelicin? (jpnn)
 

kembali

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Box&id=50690