Relawan.Net::Jaringan Relawan Indonesia - Transparansi (http://relawan.net)
Heboh Skripsi Mahasiswa PTIK soal KKN di Tubuh Polri. Mau Masuk Bintara? Bayar Rp 40 Juta - 31 Maret 2004 - 16:04 (Diposting oleh: ab)
sumber : .pontianakpost.com, 28 Februari 2004

Jakarta,- Para perwira muda yang kini menimba ilmu di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) membuat para petinggi Polri kelabakan. Sebanyak 147 mahasiswa angkatan 39-A ramai-ramai membuat skripsi tentang borok korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh korpsnya sendiri. Apa saja isinya? 

Rizal Husen, Jakarta

"SEGERA tindak lanjuti skripsi para mahasiswa itu." Begitulah isi disposisi Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar saat mengetahui institusi yang dipimpinnya ditelanjangi habis-habisan oleh anak buahnya sendiri.

Kapolri kecewa? Tentu saja. Orang nomor satu di jajaran Polri tersebut sama sekali tidak menyangka bahwa 147 mahasiswa PTIK itu membongkar habis-habisan borok lembaga yang dipimpinnya.

Kekecewaan Da'i pun tergambar jelas ketika masalah tersebut disinggung para anggota DPR dalam rapat kerja dengan Komisi II beberapa waktu lalu. Saat itu, para wakil rakyat meminta Da'i membeberkan seluruh skripsi yang menghebohkan tersebut. Da'i mengaku belum bisa membagikan skripsi itu kepada wakil rakyat dengan dalih karya mahasiswa PTIK tersebut masih dijilid oleh bagian perpustakaan.

Dari penelusuran koran ini, 147 skripsi itu mengupas berbagai modus praktik KKN di tubuh Polri. Yang menarik, penelitian tersebut mengambil sampel di 19 polda di Indonesia. Dalam penelitiannya, para mahasiswa menemukan adanya indikasi korupsi di tubuh Polri yang sudah melembaga.

Mereka juga menyebutkan bahwa KKN di institusi kepolisian termasuk salah satu bentuk korupsi birokrasi yang sistematis. Yang lebih hebat, para mahasiswa itu membeberkan modus-modus korupsi yang dilakukan di internal polisi. Mulai jual beli jabatan, korupsi penerimaan calon polisi, distribusi logistik, sampai penyaluran dana keuangan atau anggaran.

Salah satu skripsi menceritakan temuannya tentang penyimpangan rekrutmen calon bintara di Polda Jawa Barat (Jabar) dan Sespim (Sekolah Staf dan Pimpinan). Untuk bisa masuk Sespim, ada tarif khusus yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per orang.

Para mahasiswa mengaku sulit mendapatkan data tersebut. Sebab, sistem informasi internal polisi masih tertutup. Namun, para mahasiswa itu tak mau kehilangan akal. Salah satunya, mereka menggali info dari seniornya yang telah masuk Sespim.

Biasanya, para senior yang sudah akrab dengan juniornya akan terbuka, termasuk soal duit yang dikeluarkan untuk bisa ikut sekolah yang mencetak calon Kapolres tersebut.

"Kalau mencari data otentik, jelas tidak mungkin. Sebab, itu sulit dibuktikan. Mana ada suap menggunakan kuitansi? Yang kita lakukan adalah interview dengan senior. Meski tidak ada data otentiknya, toh hampir semua senior yang kita tanyai menyampaikan hal yang sama. Artinya, itu benar-benar ada,'' jelas mahasiswa yang tidak mau namanya disebutkan itu.

Begitu juga dengan proses perekrutan calon bintara Polri yang mencapai Rp 30 juta-Rp 40 juta. Sebagai perwira lulusan Akpol, para mahasiswa tersebut tidak sangat kesulitan mendapatkan informasi. Saat berdinas, anak buahnya banyak yang berasal dari bintara.

Yang paling heboh adalah soal jual beli jabatan. Para mahasiswa tersebut diminta menyelidiki benar tidak adanya anggota Polri yang suka mengatur jabatan tertentu. Misalnya, direktur reserse, direktur lalu lintas di berbagai polda, dan jabatan Kapolwil. Untuk menduduki jabatan tersebut, kabarnya, seseorang harus merogoh koceknya dalam jumlah yang sangat besar, yakni sampai ratusan juta rupiah.

Tapi, lagi-lagi, hal itu tidak mudah dibuktikan. Meski Kapolri tegas membantah adanya jual beli jabatan di institusi Polri, para mahasiswa tersebut tetap menelitinya.

Dari mana data itu diperoleh? Sejumlah perwira yang tergabung dalam perwira reformis itu ada yang membocorkan data kepada mahasiswa. Lengkap dengan jumlah uang dan nama orang-orang yang terlibat. "Kan bisa dilihat, pasti orangnya itu-itu saja. Mereka ditugaskan ke berbagai polda untuk jabatan basah. Jumlahnya tidak lebih dari 20 orang," ujarnya.

Padahal, lanjut dia, jumlah perwira menengah yang sudah mengikuti kursus-kursus dan sekolah perwira jauh lebih banyak. Tetapi, mereka tidak pernah mendapatkan jabatan basah.

Isi skripsi itu tak hanya membuat Da'i Bachtiar kebakaran jenggot. Hampir semua petinggi Polri, terutama yang menduduki sejumlah jabatan penting di Mabes Polri, geleng-geleng.

Yang menarik, mengapa seluruh mahasiswa angkatan 39A membuat skripsi dengan tema yang sama, yaitu soal KKN. Bagaimana itu bisa terjadi? Dari penulusuran koran ini, tema itu ternyata perintah lembaga PTIK.

Kabarnya, Gubernur PTIK Irjen Pol Farouk Muhammad disebut-sebut merupakan perwira tinggi (pati) Polri yang berjiwa reformis. Jenderal polisi bintang dua ini ingin mahasiswanya melihat kenyataan tanpa harus ditutup-tutupi. Sayangnya, Farouk tidak bersedia diwawancarai soal skripsi mahasiswa PTIK ini. Dia hanya mau diajak berdiskusi, tetapi bukan untuk bahan pemberitaan. Sayang, cerita Farouk yang menarik itu tidak boleh dikonsumsikan untuk publik.

Yang pasti, katanya, penelitian yang dilakukan para mahasiswa tentang korupsi di tubuh polisi merupakan usaha Polri membenahi kinerja dan citranya. Jadi, jangan dianggap penelitian itu mengorek-ngorek keburukan institusi Polri. Yang juga harus dilihat adalah sisi positifnya.

Begitu hebohnya skripsi ini, sampai-sampai PTIK mengadakan seminar khusus untuk membahasnya. Sejumlah pakar hadir dalam seminar bertajuk Strategi Penanggulangan Korupsi di Tubuh Kepolisian RI. Antara lain Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Tb Ronny Rahman Nitibaskara, pengacara Dr Indriyanto Seno Adji, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol Binarto, dan Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) Taufiqurrachman Ruki.

Salah satu mahasiswa PTIK angkatan 39-A, AKP Dedy Kusuma Bakti, juga ikut mempresentasikan karya ilmiahnya.

Perwira pertama Polri itu dengan lantang mengatakan bahwa korupsi di tubuh Polri sudah melembaga dan membutuhkan komitmen tinggi semua pihak untuk menanggulanginya. Dalam uraian makalahnya, Dedy menjelaskan, KKN di tubuh Polri dikelompokkan menjadi dua hal. Pertama, korupsi internal. Yaitu, korupsi yang tidak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contohnya, jual-beli jabatan, korupsi pada perekrutan anggota kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran Polri.

Yang kedua, korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Korupsi semacam ini terjadi dalam lingkup tugas polisi yang terkait dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang.

Dia mencontohkan mekanisme permohonan pinjam pakai barang bukti (BB) oleh pemilik atau korban. Begitu juga penyelesaian kasus kejahatan di luar mekanisme hukum atau lebih dikenal dengan istilah 86 (delapan enam). Berbagai keburukan polisi lainnya, seperti pungutan pada penerbitan berbagai bentuk surat keterangan, surat pemberitahuan, maupun laporan kehilangan dengan dalih sebagai biaya administrasi. KKN maupun suap terkait dengan kasus perjudian maupun tempat hiburan yang diduga terdapat kejahatan di dalamnya. "Korupsi ini juga melibatkan anggota masyarakat nonpolisi dan pejabat polisi dalam kaitannya dengan penempatan anggota polisi pada suatu jabatan tertentu,'' terangnya.

Perwira yang satu ini tergolong cukup berani. Dalam makalahnya, dia seolah-olah menggurui komandannya. Betapa tidak. Dedy menyatakan, permasalahan utama Polri yang menyangkut aspek kultural adalah fenomena perilaku korup. Ini bukan hanya dilakukan perorangan, melainkan sudah sistematis. "Harus diakui, dewasa ini perilaku Polri sudah sedemikian parah sehingga membentuk jaringan antara pimpinan dan anggota maupun antarinstansi dalam hubungan fungsional,'' jelasnya.

Menurut Dedy, budaya korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia. Hampir semua kepolisian di berbagai negara melakukan hal serupa. Dikatakan, hasil penelitian mahasiswa PTIK angkatan 39-A menunjukkan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi di tubuh Polri sudah melembaga. "Karena itu, dibutuhkan komitmen tinggi dari semua pihak untuk menanggulanginya," papar Dedy.(jpnn)

[Relawan.Net::Jaringan Relawan Indonesia]



Relawan.Net

Kembali