WANITA DALAM ISLAM DIBANDINGKAN DENGAN WANITA DALAM TRADISI YAHUDI KRISTEN:
MITOS DAN REALITA
Oleh
Dr. Sherif Abdel Azeem
http://www.usc.edu/cgi-bin/verity/xe60bdc3f-27210/Search/4383012/12
Empat setengah tahun yang lalu, saya membaca sebuah artikel di surat kabar "Toronto Star" tanggal 3 Juli 1990 yang berjudul "Islam isn’t alone in patriarchal doctrines" ("Islam tidak sendiri dalam doktrin patriarkhal") oleh Gwynne Dyer. Artikel tersebut berceritera tentang reaksi marah dari para peserta sebuah konferensi tentang "wanita dan kekuasaan" yang diadakan di Montreal atas komentar dari feminist Mesir terkenal Dr. Nawal Saadawi. Pernyataan Dr Nawal Saadawi yang secara politik salah, ialah:
"Unsur yang paling restriktif terhadap wanita dapat dijumpai pertama-tama dalam agama Yahudi di Perjanjian Lama, kemudian di dalam Kristen dan baru kemudian dalam Al Qur’an",
"Semua agama adalah patriarkhal karena agama-agama itu bersumber dari masyarakat patriarkhal", dan "memakai cadar bagi wanita bukanlah khusus praktek islami tetapi sebagai warisan budaya kuno dengan analogi dalam agama-agama Yahudi dan Nasrani (sister religions)".
Para peserta tidak tahan duduk diam begitu saja sementara agama-agama mereka disamakan dengan Islam. Demikianlah Dr. Nawal Saadawi mendapat sebuah rintangan berupa kritik.
"Komentar Dr. Nawal Saadawi tidak dapat diterima. Jawabannya menunjukkan kurang pengertian terhadap agama orang lain", kata Bernice Dubois dari World Movement of Mothers.
"Saya harus mengajukan protes" kata panelis Alice Shalvi dari jaringan wanita Israel, "tidak ada konsep cadar dalam agama Yahudi".
Menurut artikel ini sumber protes marah ini adalah kecenderungan kuat masyarakat Barat untuk mengkambing hitamkan Islam atas praktek-praktek yang sebenarnya merupakan bagian dari warisan budaya Barat sendiri.
"Para feminist Kristen dan Yahudi tidak akan duduk diam saja dibicarakan di dalam kategori yang sama dengan orang-orang Islam yang jahat", tulis Gwynne Dyer .
Saya tidak heran bahwa para peserta konferensi telah memiliki pandangan yang begitu negatif terhadap Islam, terutama bila menyangkut masalah wanita. Dalam pandangan Barat mereka meyakini bahwa Islam adalah simbol dari subordinasi wanita par excellence. Untuk dapat mengerti betapa kuat keyakinan ini, cukup kiranya untuk menyebutkan bahwa Menteri Pendidikan Perancis, tanah air Voltaire, baru-baru ini telah memerintahkan untuk mengeluarkan semua wanita muda muslim yang bercadar dari sekolah-sekolah Perancis ( 1 The Globe and Mail, Oct. 4,1994)! Hak untuk mendapatkan pendidikan di Perancis bagi seorang siswa gadis muda Muslim yang memakai tutup kepala ditiadakan, sementara siswa Katolik yang memakai tanda salib atau siswa Yahudi yang memakai tutup kepala tidak diapa-apakan. Pemandangan di mana polisi Perancis melarang wanita muda Muslim yang memakai tutup kepala memasuki sekolah-sekolah tinggi mereka tidaklah dapat dilupakan. Hal ini mengingatkan kita pada pemandangan sama yang sangat memalukan yaitu ketika gubernur George Wallace dari Alabama di tahun 1962 berdiri di depan pintu gerbang sekolah dan mencoba untuk memblokir siswa kulit hitam memasukinya agar dapat mencegah penyatuan putih hitam (desegregasi) sekolah-sekolah di Alabama. Perbedaan di antara dua pemandangan itu adalah bahwa siswa kulit hitam itu mendapatkan simpati dari banyak orang di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Presiden Kennedy mengirimkan tentara keamanan nasional untuk memaksakan masuknya siwa-siswa kulit hitam. Di sisi lain anak-anak gadis Muslim itu tidak mendapat pertolongan dari siapapun. Tampaknya masalah mereka sangat sedikit mendapat simpati baik di dalam maupun di luar Perancis. Sebabnya adalah kesalah pahaman yang tersebar luas serta ketakutan akan apa saja yang berbau Islam di dunia sekarang ini. Apa yang paling menggelitik saya tentang konferensi ini adalah pertanyaan:
Apakah pernyataan yang dibuat oleh Saadawi, atau para pengritiknya, berdasarkan pada kenyataan ?
Dengan perkataan lain, benarkah agama Yahudi, Kristen dan Islam memiliki konsep yang sama tentang wanita ?
Apakah mereka berbeda dalam konsepnya ?
Apakah agama Yahudi dan Kristen benar-benar memberikan perlakuan yang lebih baik kepada wanita daripada apa yang diberikan oleh Islam ?
Bagaimanakah kebenarannya ?
Tidaklah mudah untuk menyelidiki dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang sulit tersebut. Kesulitan pertama adalah bahwa seseorang haruslah adil dan objektif atau paling tidak, bahwa seseorang itu benar-benar telah berusaha dengan sebaik mungkin untuk berbuat begitu. Ini adalah apa yang diajarkan oleh agama Islam. Al Qur’an telah mewajibkan kepada pemeluknya untuk mengatakan kebenaran bahkan meskipun mereka yang sangat dekat dengan kita merasa tidak senang atas hal itu :
"Apabila engkau berkata, berkatalah dengan benar, meskipun itu menyangkut kerabat dekat" (6 : 152)
"Wahai orang yang beriman tegakkanlah kebenaran dengan sesungguhnya, sebagai saksi terhadap Allah, meskipun itu terhadap dirimu sendiri, atau orang tuamu atau kerabat dekatmu, dan apakah itu terhadap orang kaya ataupun miskin" (4 : 135).
Kesulitan besar lainnya adalah luasnya subjek yang tak terkira. Karena itu selama beberapa tahun terakhir ini saya telah banyak menghabiskan waktu untuk membaca Injil, Ensiklopedi Agama, dan Ensiklopedi Judaica untuk mencari jawaban. Saya juga telah membaca beberapa buku yang membicarakan kedudukan wanita di dalam agama yang berbeda-beda yang ditulis oleh para pakar, orang yang membela suatu pendirian (apologist), dan para pengritik. Hari ini saya ada di sini untuk menyajikan penemuan-penemuan penting dari penyelidikan yang sederhana ini. Saya tidaklah mengklaim diri sudah sepenuhnya objektif. Hal ini adalah di luar kemampuan saya yang terbatas. Apa yang dapat saya katakan adalah bahwa saya telah berusaha, selama melakukan penyelidikan, untuk mendekati sejauh mungkin ideal yang dikehendaki Al Qur’an, yaitu untuk "berbicara benar".
Sebelum kita mulai, saya ingin menekankan bahwa tujuan saya dari presentasi ini bukanlah untuk menghina agama Yahudi atau Kristen. Sebagai Muslim, kami meyakini asal yang suci dari kedua agama samawi itu. Tidak ada seorangpun dapat menjadi seorang Muslim tanpa percaya pada Musa dan Isa sebagai nabi besar Allah. Tujuan saya hanyalah untuk menyatakan kebenaran Islam dan menghormati firman terakhir Tuhan yang penuh dengan kebenaran kepada seluruh ummat manusia, sesuatu yang sudah lama hilang dari Barat. Saya juga ingin menekankan bahwa saya hanya berkepentingan dengan doktrin. Yaitu, kepentingan saya terutama, kedudukan wanita dalam ketiga agama itu sebagaimana tampak dalam sumber-sumber aslinya, dan bukan sebagaimana dipraktekkan oleh jutaan pengikutnya di dunia saat ini. Karena itu sebagian besar dari bukti-bukti yang dipergunakan adalah berasal dari Al Qur’an, Injil, Talmud, dan ucapan dari beberapa tokoh gereja yang paling berpengaruh yang pandangannya memiliki andil yang tak terkira dalam penentuan dan pembentukan (defining and shaping) agama Kristen. Minat saya pada sumber-sumber ini berhubungan dengan kenyataan, bahwa adalah menyesatkan untuk memiliki pengertian atas suatu agama tertentu berdasarkan pada sikap dan tingkah laku beberapa pengikutnya yang nominal saja. Banyak orang yang menjumbuhkan budaya dengan agama, banyak yang lainnya yang tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh buku-buku agama mereka, dan banyak pula lainnya lagi yang bahkan tidak peduli.