WANITA DALAM ISLAM DIBANDINGKAN DENGAN WANITA DALAM TRADISI YAHUDI KRISTEN
DR. Sherif Abdel Azeem



Alih Bahasa Oleh: H.W. Pienandoro SH

10. HARTA MILIK ISTERI ?

Ketiga agama itu memiliki kepercayaan yang tidak tergoyahkan tentang pentingnya perkawinan dan kehidupan keluarga. Ketiganya juga menyetujui tentang kepemimpinan suami atas keluarganya. Bagaimanapun, perbedaan yang nyata memang benar ada di antara ketiga agama itu yaitu dalam hal luas lingkup kepemimpinan ini. Tradisi Yahudi Kristen tidak seperti Islam, sebenarnyalah telah memperluas arti kepemimpinan suami itu menjadi kepemilikan atas isterinya.

Tradisi Yahudi tentang peranan suami terhadap isterinya berasal dari konsep bahwa dia memiliki isterinya seperti dia memiliki budak. (19 Louis M. Epstein, The Jewish Marriage Contract (New York: Arno Press, 1973) p.149). Konsep ini adalah disebabkan adanya standar ganda dalam hukum perzinahan dan menjadi alasan kebolehan suami untuk membatalkan sumpah atau janji yang dibuat isterinya. Konsep ini pulalah yang menjadi sebab diingkarinya hak isteri untuk mengendalikan harta miliknya atau penghasilannya. Segera sesudah seorang wanita Yahudi menikah, dia kehilangan seluruh kendali atas harta milik dan penghasilannya, dan kendali itu berpindah kepada suaminya. Pendeta-pendeta Yahudi membenarkan hak suami atas harta milik isterinya sebagai konsekwensi dari konsep "isteri adalah milik suami":

  • "Karena seseorang itu telah menjadi pemilik atas diri seorang wanita, tidak seharusnya pulakah orang itu menjadi pemilik atas harta milik wanita itu?", dan

  • "Karena dia telah memperoleh wanita itu, tidakkah dia juga harus memperoleh harta miliknya?" ( 20 Swidler, op. cit., p. 142)

Jadi perkawinan itu praktis menyebabkan wanita kaya menjadi miskin. Talmud menggambarkan situasi finansial isteri sbb:

  • Bagaimana seorang wanita memiliki sesuatu; apapun yang dia miliki adalah kepunyaan suaminya. Apa yang milik suami adalah milik suami itu dan apa yang dimiliki isteri adalah milik suaminya pula… Penghasilan yang diperoleh atau apapun yang dia peroleh di jalanan juga menjadi milik suaminya. Barang perabot rumah tangga, bahkan juga remah-remah roti di atas meja adalah kepunyaan suami. Kalau dia mengundang seorang tamu ke rumahnya dan memberinya makan, dia akan harus mencuri dari suaminya…" (San. 71a, Git. 62a)

Kenyataan yang ada dalam masalah ini adalah bahwa harta milik seorang wanita Yahudi itu dimaksudkan untuk menarik pelamar. Suatu keluarga Yahudi akan memberikan kepada anak perempuan bagian dari kekayaan ayahnya untuk dipergunakan sebagai mahar dalam perkawinan. Mahar ini yang menyebabkan anak-anak perempuan Yahudi menjadi beban yang tidak disukai oleh ayah-ayah mereka. Ayahnya harus membesarkannya selama bertahun-tahun dan kemudian menyiapkannya untuk pernikahan dengan memberikan sejumlah besar mas kawin. Jadi seorang anak perempuan dalam keluarga Yahudi adalah sebuah tanggung jawab dan bukan sebuah aset ( 21 Epstein, op. cit., pp. 164-165). Tanggung jawab ini menjelaskan mengapa kelahiran seorang anak perempuan tidak dirayakan dengan gembira dalam masyarakat Yahudi kuno (lihat bab "Anak-anak perempuan yang memalukan"). Mas kawin (mahar) adalah hadiah perkawinan yang diberikan kepada mempelai pria dengan syarat perjanjian sewa. Suami itu akan bertindak sebagai pemilik praktis dari mahar tsb tetapi dia tidak dapat menjualnya. Mempelai wanita kehilangan hak kendali atas mahar tsb. pada saat perkawinan. Lebih lanjut wanita ini diharapkan akan bekerja sesudah perkawinan itu dan semua penghasilannya harus diberikan kepada suaminya sebagai balas jasa atas jerih payah memelihara isterinya yang memang kewajiban suami. Isteri dapat memperoleh kembali harta milik hanya dalam dua hal: perceraian atau suaminya mati. Kalau isteri mati lebih dahulu, suami akan mewarisi semua harta miliknya. Dalam hal suami yang mati, isterinya dapat memperoleh kembali harta miliknya sebelum perkawinan, tetapi isteri tidak berhak untuk mewarisi bagian dari harta milik peninggalan suami yang mati. Harus ditambahkan bahwa mempelai pria juga harus memberikan hadiah perkawinan kepada mempelai wanita, tetapi sekali lagi suami secara praktis menjadi pemilik hadiah itu selama mereka terikat dalam perkawinan ( 22 Ibid., pp. 112-113. See also Priesand, op. cit., p. 15).

Agama Kristen sampai masa akhir-akhir ini telah mengikuti tradisi Yahudi yang sama. Kedua pejabat agama dan sipil dalam kerajaan Roma yang Kristen (sesudah Konstantin) mensyaratkan ada perjanjian harta milik sebagai suatu syarat untuk mengakui adanya perkawinan. Keluarga menawarkan mahar yang meningkat untuk anak-anak perempuan mereka, dan sebagai akibatnya, orang laki-laki cenderung untuk kawin lebih awal sementara para keluarga menunda perkawinan anak-anak perempuan mereka hingga waktu yang sudah menyimpang dari kebiasaannya ( 23 James A. Brundage, Law, Sex, and Christian Society in Medieval Europe (Chicago: University of Chicago Press, 1987) p. 88). Di bawah hukum Canon seorang isteri berhak untuk memperoleh restitusi maharnya bila perkawinan itu dibatalkan kecuali bila isteri itu bersalah karena perzinahan. Dalam hal perzinahan ini isteri itu telah meniadakan haknya atas mahar yang tetap menjadi milik suami ( 24 Ibid., p. 480). Di bawah hukum Canon dan sipil seorang wanita yang sudah menikah dalam masyarakat Kristen Eropah dan Amerika telah kehilangan hak harta miliknya hingga akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Misalnya, hak wanita menurut hukum Inggris disusun dan diterbitkan pada tahun 632. "Hak-hak" ini termasuk :

  • "Bahwa apa yang dimiliki suami adalah miliknya sendiri. Apa yang dimiliki isteri adalah milik suaminya." ( 25 R. Thompson, Women in Stuart England and America (London: Routledge & Kegan Paul, 1974) p. 162).

Isteri tidak saja kehilangan harta miliknya sesudah perkawinan, dia juga kehilangan pribadinya. Tidak ada tindakannya yang berakibat hukum. Suaminya dapat menolak apapun penjualan atau pemberian yang dibuat olehnya sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum. Orang dengan siapa dia membuat perjanjian ditangkap sebagai kriminal karena ikut dalam suatu penipuan. Selanjutnya dia tidak bisa menuntut ataupun dituntut atas namanya sendiri, tidak pula dia dapat menuntut suaminya sendiri ( 26 Mary Murray, The Law of the Father (London: Routledge, 1995) p. 67). Seorang wanita yang menikah praktis diperlakukan sebagai anak kecil yang belum dewasa di mata hukum. Sebab isteri itu semata-mata milik suami dan karenanya dia kehilangan harta miliknya, pribadi hukumnya dan nama keluarganya ( 27 Gage, op. cit., p. 143).

Sejak abad ke 7 S.M. Islam telah menjadikan wanita sebagai suatu pribadi merdeka, yang masyarakat Barat Yahudi Kristen telah meniadakannya hingga masa akhir-akhir ini saja. Di dalam Islam, mempelai wanita dan keluarganya sama sekali tidak berwajib apapun untuk memberikan hadiah kepada mempelai laki-laki. Anak perempuan dalam keluarga Muslim bukanlah suatu tanggung jawab. Wanita dalam Islam begitu diagungkan bahwa dia tidak usah memberikan hadiah agar menarik calon suami potensial. Adalah mempelai laki-laki yang harus memberikan hadiah perkawinan kepada mempelai wanita. Hadiah ini dianggap sebagai harta milik wanita itu dan baik mempelai laki-laki maupun keluarga mempelai wanita tidak mempunyai bagian apapun atau hak mengawasi atas hadiah itu. Di dalam beberapa masyarakat Muslim saat ini, suatu perkawinan dengan hadiah sebanyak seratus ribu dollar dalam bentuk berlian adalah bukan tidak biasa ( 28 For example, see Jeffrey Lang, Struggling to Surrender, (Beltsville, MD: Amana Publications, 1994) p. 167). Mempelai wanita itu tetap sebagai pemilik hadiah itu sekalipun kemudian dia bercerai. Suaminya tidak diberi bagian apapun dari harta milik isteri kecuali apa yang isteri itu berikan kepadanya dengan sukarela ( 29 Elsayyed Sabiq, Fiqh al Sunnah (Cairo: Darul Fatah lile'lam Al-Arabi, 11th edition, 1994), vol. 2, pp. 218-229). Al Qur’an dengan jelas menegaskan posisinya dalam hal ini:

  • "Dan berikanlah kepada wanita (ketika kamu kawini) maharnya sebagai pemberian dengan penuh kerelaan; tetapi bila mereka atas kemauannya sendiri, memberikan sebagian dari maharnya kepadamu, ambillah dan nikmatilah sebagai sesuatu yang sedap dan baik akibatnya." (4 : 4)

Harta milik dan penghasilan isteri sepenuhnya ada dalam kendalinya sendiri dan untuk dipakainya sendiri, karena dia dan anak-anaknya ada dalam tanggung jawab pemeliharaan suaminya ( 30 Abdel-Haleem Abu Shuqqa, Tahreer al Mar'aa fi Asr al Risala (Kuwait: Dar al Qalam, 1990) pp. 109-112 ). Tidak peduli betapa kaya raya isterinya, dia tidaklah wajib untuk ikut dalam menanggung beban rumah tangga kecuali dia sendiri secara sukarela memilih untuk berbuat begitu. Suami isteri adalah saling mewarisi. Selanjutnya wanita dalam Islam tetap memiliki kebebasan pribadi hukumnya dan nama keluarganya ( 31 Leila Badawi, "Islam", in Jean Holm and John Bowker, ed., Women in Religion (London: Pinter Publishers, 1994) p. 102). Seorang hakim Amerika pada suatu ketika berkata memberikan komentar atas hak-hak wanita Muslim:

  • "Seorang anak perempuan Muslim boleh kawin sepuluh kali, tetapi pribadinya tidak hilang oleh perkawinannya dengan berbagai suami itu. Dia adalah planit solar dengan suatu nama dan pribadi hukumnya sendiri." ( 32 Amir H. Siddiqi, Studies in Islamic History (Karachi: Jamiyatul Falah Publications, 3rd edition, 1967) p. 138).