Penebangan Haram
Oleh: Longgena Ginting *)

Asumsi bahwa yield atau riap hutan tropis mampu mencapai satu meter kubik per hektar per tahun -yang ternyata keliru besar-- serta pengembangan ekspansif industri perkayuan mewariskan masalah over capacity di industri kehutanan saat ini. Keadaan ini diperburuk pula dengan pertumbuhan industri-industri bubur kertas dan rayon, dimana kebutuhannya telah mencapai 14 persen dari total konsumsi kayu domestik, sementara suplai dari hutan-hutan tanaman masih seret.

Akibatnya 85% kebutuhan bahan baku industri bubur kertas ini, mau tidak mau masih tergantung dari hutan-hutan alam, baik tebang habis maupun -darimana lagi kalau bukan-- kayu curian.  Keadaan ini masih akan berlangsung hingga 10 tahun kemudian.  Maklum, belum ada satu pun industri padat modal ini telah mencapai 'swasembada' kayu dari hutan tanamannya, meskipun kucuran kredit murah dari Dana Reboisasi (DR) dan penyertaan modal pemerintah mengguyur deras.  Malangnya lagi 128 seluruh perusahaan kehutanan tersebut kini menjadi pesakitan BPPN dengan total utang 21,8 triliun.

Sindrom kelebihan kayu menjadikan industri berbasis hutan di Indonesia tidak memiliki insentif sama sekali untuk mengembangkan industri perkayuan yang eko-efisien.  Kawasan hutan yang open accses, dan kapasitas negara, yang mengklaim memiliki semua kawasan hutan, tidak berdaya mengelola dan menjaga kawasan hutan maha luas tersebut dari kerusakan. 

Tidak adanya property rights atas kawasan ini, mengakibatkan hutan menjadi komoditi teramat murah yang secara konstan diboroskan.  Di sisi lain tidak ada insentif bagi rakyat untuk menanam pohon meskipun permintaan begitu besar, karena tokh kalau pun rakyat mau, tidak terjamin haknya.
Setiap tahun, negeri ini menghabiskan 51,1 juta meter kubik untuk konsumsi domestik saja, dan sebanyak 48,9 juta meter kubik lainnya untuk keperluan ekspor.  Dengan mengimpor sejumlah 21,9 juta meter kubik, maka setiap tahun sebesar 78,1 juta meter kubik kayu dipasok dari hutan-hutan Indonesia.  Dengan suplai resmi hanya sebesar 21,4 juta meter kubik --yang berasal dari HPH, IPK hutan tanaman dan hutan rakyat-maka sebenarnya industri perkayuan kita mengalami over kapasitas sebesar 56,6 juta meter kubik atau sebesar 70 persen setiap tahun.

Lantas darimana kekurangan kayu tersebut dipenuhi?  Selisih yang njomplang tersebut, secara 'alamiah' diisi oleh kayu-kayu liar alias haram atau penebangan tidak tercatat lainnya.  Artinya, 7 dari 10 kayu di Indonesia adalah kayu haram, yang berarti lebih dari separoh kebutuhan industri dan operasi kehutanan menggunakan dan menghasilkan kayu-kayu haram.  Dengan memandang fenomena ini, maka secara gamblang terlihat apa sesungguhnya penyebab utama pencurian kayu (kayu haram) tersebut. Sistem industri dan operasi kehutanan telah berlangsung dan saling bergantung dari operasi pengelolaan hutan secara haram -dan tidak berkelanjutan.
Penebangan liar (illegal logging) biasanya dijelaskan sebagai sesuatu operasi penebangan yang tidak sah karena tidak memiliki ijin resmi.  Padahal bila melihat konteks di atas, operasi kehutanan -yang memiliki ijin sah maupun tidak- dapat dikatagorikan sama-sama bermasalah.  Ilegal dan legal hanya dibedakan bahwa yang satu mempunyai legalitas surat 'resmi' sementara yang lain tidak.  Padahal, bila dilihat dalam konteks keberlanjutan, maka keduanya -baik yang punya surat maupun yang tidaak- adalah haram.  Dengan kata lain, hampir seluruh aktifitas penebangan hutan di Indonesia saat ini adalah haram adanya, karena keduanya menyumbang melanjutkan industri yang jelas-jelas over kapasitas yang menjadi penyumbang terbesar terhadap kehancuran hutan-hutan alam serta maraknya penebangan haram.  Jadi jelaslah bahwa pengelolaan hutan Indonesia tidak berkelanjutan dan diambang kehancuran.  

Cara pandang seperti ini perlu dibangun dalam mencermati masalah penebangan haram, agar kita tidak myopic melihat masalah ini hanya diakibatkan oleh 'eforia' kebebasan semata, dan cenderung menyalahkan masyarakat yang dimanfaatkan dalam operasi-operasi penebangan haram tersebut.

Penebangan haram hanya akan dapat diatasi dengan melihat sekaligus masalah-masalah yang menyebabkannya: over-capacity industri olah kayu, rendahnya nilai sumberdaya hutan, tidak adanya property rights, dan sistem HPH yang ekstraktif  terhadap kayu.  Mengatasi penebangan haram dengan melakukan razia-razia kayu hanya akan memboroskan uang negara, dan tidak pernah memecahkan masalah dalam jangka panjang.  Mengatasi penebangan haram memerlukan obat yang mampu mencapai penyakit sesungguhnya, bukan gejalanya, yakni over kapasitas industri tersebut serta terjaminya property right atas hutan.

Penegakan hukum yang lemah, tingkat korupsi dan kolusi yang kental di lapangan akan terus menyulitkan upaya pemberantasan penebangan haram.  Apalagi kenyataannya kayu-kayu curian dari hutan dapat diputihkan (laundered) melalui ijin-ijin 'sah' yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan.  Begitu pula dengan ijin ekspor akan menjadi pencucian kayu efektif bagi kayu-kayu selundupan ke Malaysia atau Cina. 

Mengatasi penebangan haram hanya akan efektif bila sistem lacak kayu (timber-tracking) dapat dilaksanakan dengan baik, sembari dalam jangka menengah, merasionaliasi kapasitas industri hingga pada tahap suplai kayu lestari yaitu sebesar 20 juta meter kubik per tahun.  Selama sistem operasi dan perdagangan kayu seperti saat ini adanya, maka hampir mustahil negeri ini akan terbebas dari masalah penebangan haram untuk selama-lamanya.
Jeda balak (logging moratorium) seperti yang terjadi di Thailand, Papua Nuigini dan Cina, akan menjadi prasyarat yang mampu memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan lacak balak (timber tracking) atas kayu-kayu haram dengan mudah.  Jeda balak dapat menghindarkan legalisasi kayu curian melalui surat-surat ijin karena pada masa moratorium dilaksanakan tidak ada satu batang kayu pun yang keluar dari hutan.  Industri kehutaan tentu pula harus didorong mengimpor kayu dan di sisi lain pemerintah harus menghentikan ekspor kayu bulat, dan sembari itu, keuntungan ganda lain akan mengoreksi distorsi harga kayu domestik dan pasar dunia.

Moratorium juga akan menjadi sebuah langkah bagi pelaksaaan seluruh komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah struktural kehutanan, seperti: kebakaran hutan, restrukturasasi industri sarat utang, tata ruang kehutanan, penilaian sumberdaya hutan, penyusunan program kehutanan nasional, sertifikasi yang kredibel, masalah-masalah tenurial masyarakat asli dan sebaginya.

Kehutanan Indonesia berada pada titik yang paling kritis yang mengharuskan kita melakukan perubahan total pengelolaan hutan.  Hutan tropis Sumatera akan habis dalam 5 tahun, sementara itu hutan tropis di Kalimantan akan lenyap dalam 10 tahun dan Sulawesi dan Papua menyusul dalam waktu 15 tahun, yang sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas penebangan haram.  Tidak lama lagi.  Artinya dalam waktu yang tidak lama lagi negara ini akan kehilangan pemasukan 7 milyar dollar setahun dan 60 juta rakyat yang hidupnya tergantung dari hutan akan terancam keberlangsungan hidupnya.  Maukah kita menghentikan bunuh diri nasional tersebut?

*) Kepala Divisi Kampanye dan Lobbi, Eksekutif Nasional WALHI