Kembali

Penebangan Haram
Tanggapan dari anggota Mailing-list Fahutan-Unmul

 

Panthom SP:

Long & kawan-kawan,
Saya mau nambahkan sedikit.  Kalau Longgena bicara dari sisi manajemen negara ini terhadap hutan, saya mau bicara praktis lapangan saja. Berdasarkan pengalaman diskusi dengan mereka yang aktif di kerjaan kayu.

Saya diskusi dengan empat orang yang ada hubungannya dengan masalah ini. Mereka adalah seorang pegawai (atau calon pegawai? yang jelas dikenal dekat dengan pemkab) pemkab Kutai Barat, seorang karyawan HPH bagian dokumen, seorang karyawan sawmill dan seorang pengusaha HPHH.  Tiga yang pertama adalah lulusan Fahutan Unmul, dan yang terakhir tidak saya tau latar belakang pendidikannya.

Mereka semua bicara hal yang sama soal "moratorium pembalakan" itu. Prinsipnya, mereka tidak percaya bahwa tindakan itu bisa mengurangi laju kerusakan hutan.  Alasannya, nilai rupiah kayu sangat menarik dan instant sekali.  Kondisi yang sekarang terjadi, sepanjang alur sungai Mahakam (terutama anak sungai), telah tersusun rapi ribuan log yang mengapung siap kirim.  Log-log ini sudah diberi "uang muka", tetapi jika kita bawa rupiah cash, dipastikan kita segera menjadi pemilik log-log itu.  Nah, pada beberapa kasus, log-log itu bahkan tak ber-uang muka!  artinya pohon ditebang begitu saja dengan asumsi nanti pasti ada pembelinya.  Lalu, apa status kawasan dimana kayu-kayu itu ditebang? macam-macamlah, mulai dari konsesi HPH, lindung dan "milik masyarakat".  Artinya apa? eforia itu sudah bergulir dan benar-benar tak terbendung! Tak seorangpun bisa melarang kegiatan penebangan itu, illegal atau legal atau apaun labelnya!

Lalu, bagaimana mengatasinya?  Empat orang itu menyampaikan saran berbeda, tentunya berdasarkan kepentingan masing-masing.  Uniknya, pegawai pemkab, karyawan sawmill dan pengusaha HPHH menyampaikan saran hampir serupa, yaitu serahkan pengusahaan hutan itu pada masyarakat lewat HPHH itu!  Yang berbeda sedikit adalah saran karyawan HPH, ia menyarakan manajemen kerjasama antar HPH dan HPHH.  Gampangnya, HPHH yang tebang HPH yang beli.  Saran-saran yang sudah ditebak, kan?


Tindakan lain apa yang mungkin bisa dilakukan?  Konon sudah dicoba "melarang" kegiatan HPHH dengan strategi menahan/memperlambat ijinnya. Hasilnya?  Kantor kabupaten didemo! Oleh siapa? ini gampang ketebak lagi, tentunya didemo oleh masyarakat pekerja HPHH (yang semua orang tau dimobilisir oleh pemodal, dengan berbagai cara).  Dengan kondisi politik yang genting, Bupati mana yang mau menggadaikan keamanan kawasannya untuk hal begituan?

Hal lain, bukankah sekarang tindakan "makar" para penguasa kabupaten itu semakin parah?  Mungkin harus diingat bahwa semua produk peraturan yang diproduksi oleh lingkungan "diluar" kabupaten (baca: pusat atau propinsi) yang tidak "memihak" kabupaten, punya kans besar untuk dimaki-maki, kemudian ditolak!  Jadi, jika kemudian kebijakan negara ini sudah diperbaiki, tidak semerta-merta kemudian laju kerusakan hutan bisa ditekan.  Jangan-jangan malah berbanding terbalik!

Lain hal lagi, bagaimana dengan tuntutan agar kabupaten mampu hidup sendiri dengan PAD-nya?  salah satu cara gampang tentunya menarik retribusi dari macam-macam aktivitas di wilayahnya.  Salah satu cara gampang lain adalah buka lahan sawit sekian juta hektar.  Nah, lagi-lagi ini mengancam luasan hutan!

Nah, kerja bersama dengan Pemkab dan merangkul semua aktor yang bermain menjadi wajib dilakukan.  Tidak mudah memang, karena musti berhitung dengan isu politik dan isu-isu sensitif lainnya.  Point utama saya adalah, selain bicara di "level" nasional dan internasional itu, kerja langsung dengan situasi nyata mungkin harus lebih intensif dilakukan supaya nyambung kedua kerja ini.

Kalau seandainya harga kayu "dijatuhkan", isu pembukaan sawit untuk PAD digagalkan dan bisa dicari alternatif pendanaan untuk pembangunan kabupaten, mungkinkah bisa mengurangi laju kerusakan hutan?  tapi bukan kerja yang mudah bukan? apalagi untuk mereka yang selalu memilih "berada di luar" dan mengharamkan kerja kolaborasi (terutama dengan pemerintah).  Buat saya, ini ironis!  Perbaikan apa yang sebenarnya mau kita lakukan? Jangan-jangan kita malah melanggengkan chaos di negeri ini saja!

mudahan bermanfaat.
panthom


 

Ki Pahiiq (Paulus Matius):

Singkat saja,
Saya fikir bukan masalah boleh atau tidak boleh lagi tebang hutan oleh masyarakat, tetapi bagaimana pengaturan hutan bekas tebangan tersebut, jangan sampai hutan bekas tebangan dianggap tidak bernilai lagi (banyak nilai-nilai yang tidak cukup space untuk diungkapkan disini) dan terus dikonversi ke dalam bentuk penggunaan lain. Saya selalu konsisten bahwa hutan alam bekas tebangan harus dipertahankan secara alami, jangan dikonversi ke HTI atau perkebunan. Ada yang tidak pernah diperhatikan oleh LSM di sini (lupa atau memang tidak mempunyai benefit untuk dipersoalkan?), bahwa HTI yang  "terbaik"pun tidak mampu menyupply pabriknya, sehingga harus mengambil kayu dari hutan alam rawa.


Ini bisa anda lihat dengan adanya rakit-rakit kayu perupuk sepanjang Senoni-Muara Muntai.  Jadi HTI itu sebenarnya sama saja dengan perladangan berpindah dalam skala besar (penjelasannya tidak cukup disini). Saya fikir para aktifis LSM tidak cukup hanya bolak balik ke luar negeri kampanye anti  tebang kayu tropis saja atau mengangkat isu hanya demi .........(kalau demikian yang enak ya anda-anda itu, bisa bolak balik ke luar negeri).  Tapi menciptakan solusi yang benar untuk masyarakat, termasuk pembinaan sumber daya manusia lokal agar tidak hanya bergantung kepada sumber daya alam, tapi kalau bisa seperti orang Singapura atau Hong Kong tidak punya SDA tapi bisa hidup mewah. Mungkin salah satunya Plasma dan Walhi sesuai dengan misinya bisa lebih aktif lagi membina sumber daya manusia tersebut.

Salam,
Ki. Pahiiq


 

Longgena Ginting:

Sdr. Ki Pahiiq (lain kali  tolong identifikasikan diri anda!)
Saya harap anda tidak orang tidak asal ngomong tanpa informasi yang memadai (ahistoris).  Lihatlah dokumen-dokumen advokasi ornop sejak tahun awal 1990, ketika semangat monokulturisasi dimulai di negeri ini (kalau anda tidak punya harap menghubungi saya). 

Pada waktu itu ornop sudah menentang proyek 'pulping the south' dengan pengembangan industri pabrik kertas (mimpi Indonesia ketika itu adalah menjadi produsen kertas dunia).

Monokulturisasi tidak pernah diterima oleh ornop (saya pengen tau apakah ada ornop yang menerimanya), dengan alasan apapun.  Terbukti bahwa saat ini, nujum 10 tahun lalu bahwa Indonesia menjadi produsen terbesar kertas gagal total.

Lihatlah fakta ini: 90% bahan baku industri ini berasal dari hutan alam, kredit industri sektor ini gila-gilaan (lihat kasus RAPP, yang punya utang 13 milyar dollar), penebangan liar, Export Credit Agency yang elibatkan 9 negara anggota CGI, artinya CGI juga mendukung operasi penebangan haram melalui pemberian asuransi kredit bagi industri-industri bermasalah ini)

Jadi saya tidak mengerti kalau anda pikir saya percaya dengan hutan tanaman.
Saya juga menganjurkan agar kita dapat mulai diskusi tanpa sinis?
Untuk Panthom, apakah anda sudah pernah tanya masyarakat adat juga?

Moratorium sebenarnya bukan tujuan, ia adalah sebuah langkah untuk menuju perubahan mendasar kehutanan.  Demikian kompleksnya masalah kehutanan saat ini --tidak ada satu masalah pun yang tidak berhubungan dengan yang lain--, maka penyelesaiannya tidak bisa tambal sulam.

Moratorium itu bermacam-macam, untuk itu harus didefenisakan untuk Indonesia, dan harus dilakukaan secara bertahap.  Dalam email berikut akan saya postingkan proposal moratorium dan hubungannya dengan sejumlah masalah struktural yang ada di Indonesia.

Tabik,
Longgena Ginting


 

Panthom SP:

Siapa itu masyarakat adat Long?
Semua di Kubar bilang bahwa mereka adalah masyarakat adat.  Dan itu tidak saya bantah, karena menurut saya mereka memang masyarakat adat itu.
Buat saya, udah clear itu masalah masyarakat adat.  Dia, yang saya bilang orang pemkab itu juga masyarakat adat, Long.
Ah, kau... cobalah datang lagi ke Kubar, sama-sama aku nanti tgl 15-17 Mei 2001 untuk acara dukungan NRM untuk Kubar.  Kau diskusi sendirilah dengan masyarakat Kubar.


 

Ki Pahiiq:

Yth. Lay Long,

Jangan maraaaaah...... Kalau anda suka kritik ini salah itu salah andapun harus siap mental pula di kritik, oke.... Kalau anda sendiri tidak siap dikritik, ya tidak fair dong.


K. Pahiiq (K=Kakaah (bahasa Benuaq) = kakek= Ompu?=mbah ) itulah gelar dari salah satu suku di KUBAR kalau dia sudah beranjak tua dan mungkin punya cucu. Anda seharusnya tahu itu  segala sesuatu tentang masyarakat sekitar  hutan. Itu kalau ingin ngurus mereka, termasuk juga kebiasaan kami-kami ini yang pakai gelar itu.  Mas Niel memakai gelar Tamen (Tamen Hana). Semua kolega anda tahu siapa K. Pahiiq (Mas Panthom, Tamen Hana, Bung Herry dll). Orang Benuaq tidak memanggil nama, tapi gelar-gelar itu tadi (Tamen, Kakaah) yang disebut pentayatn. Jadi saya tidak bersembunyi seperti yang anda duga, tapi sekedar ingin mempertahankan kebhinekaan yang selama ini  oleh usaha mengikakan seluruh nusantara.

Begini Lay Long,
Adanya HPHH dsbnya yang sekarang ini adalah hasil dari "perjuangan" para aktifis LSM juga, namun yang tidak terfikirkan waktu itu adalah apakah masyarakat kita siap atau belum dalam mengelola hutan, mempunyai ketahanan lokal atau tidak terhadap pengaruh dari luar (terutama para cukong). Nah, seharusnya ketahanan masyarakatnya dulu, juga perangkat tehnis penglelolaan yang perlu diatur dulu, baru setelah siap diberi lampu hijau. Yang ada sekarang adalah anda-anda semua ibarat "menyiapkan jalan yang mulus bagi mobil-mobil truk yang sopir-sopirnya juga baru belajar dan sebagian belum punya SIM (maksud saya SIM bukan Surat Ijin Mencium atau Mencaplok), tanpa memikirkan apa yang mereka buat selanjutnya. Dan setelah jalan itu mulus mereka pada kebut-kebutan berlomba-lambo sampai ketempat tujuan. Melihat kondisi ini (anda-anda tidak melihat sebelumnya) anda lalu menebang pohon-pohon besar (seperti di Aceh kali..) untuk menghalangi orang kebut-kebutan..ya laluuuq (=terlambat)." Yang jadi korban ya sanak saudara ku dan sanak saudara anda yang dikampung itu.


Oleh sebab itu saya sarankan , kalau ingin ngurus hutan dan masyarakatnya jangan hanya sampai tingkat advokasi saja (kebanyakan yang asa sekarang hanya sampai disitu saja), tapi beri solusi tehnis yang baik dan benar, sehingga masyarakat tidak bingung. Jadi anda-andapun harus bisa mawasa diri (self control), jangan merasa tidak pernah salah!


Beberapa waktu yang lalu, para anggota waktil rakyat melakukan anjang sana ke luar daerah (luar Kaltim termasuk ke Luar Neger) dengan alasan study perbandingan, lalu apa yang mau dibandingkan kalau mereka sendiri belum mengenal sepenuhnya tentang wilayahnya sendiri ? (saya dulu saya kirim surat ke Manuntung tapi tidak dimuat). Kalau ke Long Apari atau ke Long Ampung saja mereka belum pernah. Atau malah tidak pernah ke desa Sambutan yang dekat Samarinda. Nah, kondisi-kondisi begini yang saya tolak, termasuk ya anda-anda itu, yang pergi ke luar negeri untuk bersama-sama orang-orang luar dengan maksud kampanye anti kayu tropis, anti sertifikasi dsb, tanpa memberikan solusi yang lebih baik (selalu hanya sampai pada tingkat advokasi saja). Saya fikir yang anda-anda perlu lakukan adalah mencari solusi termasuk solusi teknis yang lebih tepat, termasuk bekerjasama dengan Pemprov dan Pemkab agar mereka lebih baik lagi dalam mengelola SDA. Kasihan masyarakat saya, juga masyarakat anda kalau solusi anda masih berkisar antara "boleh dan tidak boleh menebang pohon".


Fikirkan juga, bagaimana agar masyarakat lokal tidak melulu tergantung pada SDA, tetapi juga tergantung pada kemampuan olah fikir mereka untuk mendapat income seperti orang Singapure, Jepang, tentunya juga seperti anda dan saya. Kalau satu tiket Jakarta-LA atau Jakarta-Wien atau Jakarta–Amsterdam diuangkan untuk memberi bantuan pendidikan kepada anak-anak masyarakat sekitar hutan, mungkin bisa ratusan anak yang tertolong, dan mempunyai kemampuan cari uang tidak dengan menebang pohon.


Anda-anda  pasti berkilah, itu tugas saya sebagai orang yang berasal dari hutan. Saya jawab , saya tetap konsisten dengan tugas saya  ikut berpartisipasi menciptakan orang-orang seperti Lay Long, Mas Niel, Bung Panthom, bung Hery , Lay Martua, bung Yoga, bung Nunuk (=beringin) dll yang pintar-pintar itu. (falsafah saya guru yang berhasil adalah guru yang berhasil memintarkan muridnya lebih pintar dari dirinya sendiri) Nah ibarat satu lilin yang bernyala dan apinya ditularkan ke lilin-lilin yang lain itulah tugas ku. Dan lilin-lilin tersebut (ya anda-anda itu) menyalakan (bukan menyalahkan)lilin-lilin yang lain itu, termasuk masyarakat lokal sekitar hutan, juga anak-anak mereka.

Nah, akhirnya mana data yang anda janjikan itu ? Saya kira CSF perlu data tersebut (asal prodeo), dan juga informasikan kepada saya apa solusi yang terbaik yang telah anda-anda lakukan khususnya dalam mensejahterakan Masyarakat sekitar Hutan, yang lebih khusus lagi adalah masyarakat KUBAR dalam pengelolaan hutan. Kirim saja ke :csf@mega.net.id

Salam,
K. Pahiiq


 

Longgena Ginting:

Hi Tom:

Banyak sekali orang di Indonesia menolak istilah "masyarakat adat" (untuk menjelaskan indigenous people) karena mereka menyatakan bahwa semua orang Indonesia adalah masyarakat adat.  Menurut saya inii KELIRU BESAR! 

Saya mengikuti defenisi masyarakat adat Konvensi ILO No. 159, yang menyatakan bahwa masayrakat adat adalah sekolompok masayrakat yang hidup (di negara merdeka) yang memiliki hubungan historis, kultural, ekonomi, sosial dengan tanah mereka serta memiliki nilai-nilai yang dianut secara turun-temurun.  Defenisi yang juga diadopsi oleh JAPHAMA dan AMAN.

Jadi, tidak semua orang -termasuk orang Dayak di Kalbar- yang dapat mengklaim dirinya dalah masayrakat adat.  Orang Dayak yag tinggal di Samarinda atau di Pontianak yang sudah tidak lagi memiliki nilai-nilai di atas dan tidak lagi terikat dengan tanah leluluhurnya, tentu saja tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat (mungkin termasuk Pak Paulus itu..).

Maksud saya, penting sekali kita mendapatkan  --secara sensitif-- pendapat masyarakat adat pemilik tanah-tanah adat (yang dicaplok oleh HPH) tentang bagaimana seharusnya masa depan åengelolaan hutan Indonesia itu dilakukan.  Kita sering kali berpikir dengan cara pandang kita, terlalu kuatir dengan pilihan2 kita, tanpa pernah mempertimbangkannya kembali.  Aku rasa kita sudah terlalu sok tau.

Soal bahwa orang akan kehilangan pekerjaan selama moratorium (jeda) pembalakan dilakukan, sebenarnya kekuatiran yang terlalu berlebihan sampai mengaburkan makna dan tujuan dari moratorium logging itu sendiri.  Mereka dalam waktu 5-10 tahun lagi toh akan kehilangan pekerjaan tersebut bila tidak ada perubahan total (hutan sudah habis).  It does matter of  time!

Saya ingin tanya, sesungguhnya kita ini punya sense of crisis, nggak sih? 72% tutupan hutan Indonesia sudah lenyap, mengganggu pikiran kita nggak sih?  40 juta orang yang tinggal di kawasan hutan hidupnya semakin menderita, kita pikirkan nggak sih?

Ginting


 

Ki Pahiiq:

Anda baca dimana bahwa saya mengklaim/mengaku sebagai masyarakat adat? Kalau saya anggota masyarakat  Dayak itu pastiiii.......dan harus jangan malu jadi orang Dayak  otomatis juga harus memelihara adat istiadat Dayak, sekaligus memelihara kebhinekaan, bukan hanya "ika" saja. Anda lupa orang Jepang yang paling canggih didunia itu tidak lupa akan budaya minum tehnya ialah satu budaya tradisional yang dipertahankan).  Yang jelas saya bukan atau belum diakui/diangkat menjadi masyarakat Jawa atau Batak.  Kalau anda mengatakan orang-orang Dayak yang tinggal di Samarinda atau Pontianak itu tidak punya ikatan dengan tanah leluhurnya itu salah besar. Mereka masih mempunyai keterikatan. Apakah anda setuju bahwa orang-orang Batak yang tidak tinggal di Sumut, tidak ada hubungan dengan tanah leluhurnya. kalau demikian, maka nama Marga anda dan semua orang Batak yang diperantauan itu harus dihapuskan, karena itu merupakan tanda ikatan batin dengan suku dan leluhur anda.  


Kekhawatiran saya,  masyarakat Dayak atau suku-suku lain yang tinggal di sekitar hutan hanya menjadi komoditas issue yang hangat dan tepat untuk digunakan fihak lain untuk mendapat keuntungan diri, organisasi,  dsb, sementara mereka ya masih begitu-begitu saja, dan terus menjadi "permainan politik fihak luar". Ada satu lagi yang saya lihat, fihak luar khawatir masyarakat Dayak  yang di Pontianak, Samarinda, dan kota-kota lainnya "melihat dan menggugat"  "permainan politik " tersebut, sehingga berusaha memisahkan hubungan batin antara Dayak di kota dan di desa. Sekian komentar dari saya, semoga bisa difahami.

Paulus Matius


 

Panthom SP:

Hi Long,

Isu yang kita diskusikan ini pasti kurang menarik bagi banyak orang.  Tapi buat aku, ini adalah borok lama yang pura-pura ndak kurasakan.

Aku baru sadar, mungkin kamu bener.  Aku memang cenderung mengakui bahwa mereka semua yang "bersuku" setempat adalah masyarakat adat.  Pengakuanku itu baru kusadari bukan karena secara jujur didasari oleh kepahamanku tentang si masyarakat adat itu sendiri, tetapi lebih kepada ketakutanku berfriksi dengan orang-orang yang mengaku sebagai masyarakat adat.

Baru kusadari sungguh aku takut Long.  Atau paling tidak, aku letih-lah. Aku capek harus mendengar orang menegaskan dirinya sebagai masyarakat adat kepadaku (yang sering dengan penekanan bahwa aku bukan bagian dari mereka!). Sungguh itu bukan hal yang menyenangkan untukku, karena itulah mungkin aku cenderung menghindari perdebatan soal siapa itu masyarakat adat.  Aku cenderung langsung mengiyakan, bahkan tanpa kusadari aku kemudian langsung mendukung "kekeliruan" itu.  Terima kasih sudah mengingatkanku.

Soal sense of crisis, harusnya aku punya.  Tapi entahlah, kekhawatiran itu mungkin kuaplikasikan dalam bentuk lain.  Tapi aku yakin aku punya rasa khawatir itu.  Susahnya, aku ndak mampu membenturkannya dengan sikap (lagi-lagi) banyak orang yang mengaku sebagai "pemilik kalimantan" ini.  Aku payah dalam hal itu, Long.

Begitulah. Sekali lagi terima kasih.

Panthom


 

Longgena Ginting:

Hi Tom,

Kamu benar bahwa banyak orang mengklaim dirinya bagian dari  masyarakat adat tanpa tau apa konsekuensinya mengidentifikasikan dirinya sebagai masyarakat adat.  Menurut aku simpel saja, apakah orang itu masih meyakini nilai-nilai (values) dan spirit dari komunitas masayrakat tersebut adat  dan --yang terpenting-- menjalaninya.

Salam,
Ginting


 

Mohammad Adriyanto:

All,

From: <Ginting>
> Saya ingin tanya, sesungguhnya kita ini punya sense of
> crisis, nggak sih? 72% tutupan hutan Indonesia sudah lenyap,
> mengganggu pikiran kita nggak sih?  40 juta orang yang
> tinggal di kawasan hutan hidupnya semakin menderita, kita
> pikirkan nggak sih?

Aku pengen sedih juga, tapi awareness ini siapa yang nyebarin dan jaga? Pemerintah? Mereka sibuk sekali saat ini. LSM dan Mahasiswa? Sibuk juga kali..., lack of power. Akademisi & Ilmuwan? Sibuk bertahan hidup? Mass media? Kehilangan orientasi mana yg prioritas! Masalah ini penting sekali. Tapi mulainya musti dari building awareness itu tadi. Siapa yang mulai? Dari mana mulainya?


Share lagi nih.
Di U.S. suara peduli lingkungan ini bisa muncul ke permukaan karena adanya lobby yang "cukup kuat" dari environmentalist ke lembaga legislatif. Bukan eksekutif dan yudikatif! Yang namanya gubernur dan walikota sih... kelahi terus dengan environmentalist, dan itu sah dan biasa saja. Pasti rekan-rekan pernah dengar bagaimana peran besar Yahudi Amerika, itu semua karena mereka mampu melakukan lobby yg kuat ke legislatif dan juga eksekutif. Tidak ada lobby ke yudikatif, haram hukumnya.

Lobby kuat tadi terbukti dg adanya senator dan congressman yang "hijau". Mereka terpilih juga karena pada saat kampanye mereka bilang bahwa mereka ada di jalur "hijau" tersebut. Secara moral mereka terikat dengan janji kampanyenya. Dengan sistem negara yang sudah established, suara mereka ini didengar dan usulan/kritik ditindaklanjuti di gedung parlemen. Begitu regulation-nya keluar, semua harus patuh.

Yang sering muncul di media massa, disamping Greenpeace, adalah senator dan congressman yang sibuk mengkampanyekan usulan "green regulation" mereka di parlemen.
Dengan mekanisme begini, masyarakat bisa ketakutan setengah mati dengan ancaman2 kerusakan lingkungan. Bahkan saking takutnya, saat ini US kekurangan listrik, karena adanya regulation anti pembangkit listrik nuklir.

Sulit untuk pakai ini di Indonesia, karena sistemnya masih berantakan.

Jadi, mulainya dari mana? Bisa jadi diskusi lebih lanjut...


 

Eddy:

Bang Long,
Saya mau tanya bagaimana orang-orang yang ngaku sebagai kepala adat besar atau perkumpulan adat dan kebanyakan tinggal di kota (Samarinda atau Balikpapan) apakah dapat dikatakan masyarakat adat juga, karena beberapa kali kasus yang saya temui mereka mengatasnamakan adat di suatu wilayah, dan saya yakin masyarakat di lokasi tersebut tidak tahu apa yang mereka bicarakan (ya seperti di koran). Bagaimana bang long ?


 

Tunggul:

Wah lae ginting, aku nggak ngerti benar masalah adat dan tidak beradat, tapi bagi aku batasan yang lae beri ini tidak memberi kejelasan tentang siapakah masyarajat adat. Meyakini values dan spirit (juga menjalankannya)?. Bukankah itu akan melahirkan banyak lagi pertanyaan seperti values yang mana, spirit yang mana, dilaksanakan yang bagaimana, sedikti, banyak total, anget-anget kuku?, gimana ngukurnya?, spirit dan values kan rada susah mengukurnya.  Apakah kata-kata saya misalnya menggambarkan values yang saya pegang, he,...he..
mohon dicerahkan.

tunggul


 

Martua Thomas Sirait:

Hallo Saya numpang lagi komentar soal Masyarakat Adat Ada prinsip yang kita lupakan disini yaitu suatu prinsip bahwa siapa merupakan anggota masyarakat adat dan siapa bukan, ditentukan oleh masyarakat adat itu sendiri bukan oleh kita. Itu disebut dengan Right on Self Determination, yang diakui secara Internasional.

 

Jadi kalau seseotang mengklaim dirinya sebagai MA (Masyarakat Adat), apakah Manya mengakui dia sebagai bagian dari anggota MA tersebut? Bukan kita yang menentukan. Untuk itu beberapa definisi dibuat oleh MA untuk membantu MA-nya mendefinisiakan diri.

 

Nah itu saja

Trims, martua 


Kembali ke atas