KEMBALI

 

Dari Susah Komentar sampai Penghapusan Absensi

Diskusi di mailing list Fahutan-Unmul


Bibit:      

Salam rimbawan

Sory saya ini termasuk yunior atau otak saya yang nggak mampu untuk berpikir ya???

yang ringanČ dulu dong pengennya sih temu kangen dulu syukurČ kalo ada info pekerjaan buat yang yunior atau yang masih bodo seperti saya ini

sekali lagi sory lo ya buat yang senior kalo pembicaraan saya nggak berbobot

 

Panthom (PSP):

kok merasa begitu?

itu sudah yang ringan,

yang berat itu

mikirin jerawat, mall, mode.

begitju...

ps: kalo cuman mau kangen-kangenan, bikin arisan saja. he..he..

 

Ed:

Yang lebih ringan lagi tidur aja...

Nggak usah pake acara kangen-kangenan segala

Emangnya apa ?

 

Andi Azizi (AA):

Wis...wis nggak usah didebatin (mau arisan, mikirin jerawat, tidur...apa kek) supan leh. Pokoknya lu pada masih sadarkan...sekecil apapun yang namanya kegiatan mesti ada tujuan, manfaat (positif maupun negatif tergantung lu pandang dari sudut mana)... Apa manfaatnya mencela kegiatan tersebut.....mau datang .. mau kagak (hidup di Jakarta jadi agak sombong nich ogut...kaya Mandra aja)emangnya gua pikirin elu-elu yang apriori (aku yang kere ini jadi niat sekali untuk datang).

 

Fazrin (FRD):

Rekan Bibit,

Di sini status kita sama,...sama-sama alumni fahutan.  Senior atau junior menurut saya adalah sesuatu yang hanya bersifat "administratif"...yg lebih bersifat rasa & moral.  Mari kita ngobrolin apa aja.

Saya berusaha ngerti tentang peran kamu yg mungkin "sedang" jauh dari bidang kehutanan, engga apa2...terusin aja,...kamu pasti bisa (kaya iklan aja !).

Berat atau ringan,...memang sering menjadi persoalan.  Mencoba untuk mengerti itu lebih baik.  Tapi itulah permasalahan yg sedang menghadapi hutan kita, STOP SEMENTARA atau HABIS !

Kadang aku juga engga ngerti,

Dari dulu "Orang tua" kita cendrung sering menyalahkan kita, tanpa  mau bersedia mengikuti alur pemikiran kita. Dari dulu "orangtua" kita cendrung berpihak kepada penguasa dan pengusaha,...sangat sedikit yang berpihak kepada rakyat dan kelestarian.  Tanpa mau membantu semua perjuangan yang sudah dilakukan oleh anak2nya.  Padahal konsef dan pemikiran mereka sangat diharapkan.  Sepertinya,...sampai sekarang hal ini masih berlanjut.

Selamat datang Bibit, ada baiknya kita kenalan dulu.

 

Martua Thomas Sirait (MTS):

Hallo Alumni Fahutan Unmul, yang baru maupun yang lama dan juga yang belum lulus, ataupun yang meneguhkan hati untuk tidak lulus!

Kita semua sama, mari kita lihat kesamaanya:

1.       Kita semua belajar Silvikultur tetapi kita sama-sama tidak diajarkan mengenai New Silvikulture atau Silviculture baru bagi dunia kehutanan. Saya belajar banyak dari buku-buku kehutanan baru kurang lebih 5 tahun setelah lulus dari Unmul. Silvikulture ini menjelaskan ttg pergeseran ilmu kehutanan dari yang konvensional dan menciptakan tradisional forester dibandingkan dengan ilmu kehutanan baru yang menciptakan new forester! Mungkin teman-teman kita yang lain seperti Ade, Nil dan Panthom serta teman-teman lain banyak belajar new silvikultur dengan pengalaman lapangan, yaitu belajar dari masyarakat yang telah mengelola sumber daya hutan secara turun temurun. Itulah New Silvikultur

2.       Kita semua belajar Manajemen Hutan dengan buku yang sama dan resource person yang kurang lebih sama. Tapi kita sama-sama tidak belajar Manajemen Sumber Daya Hutan atau manajemen Sumber Daya Alam. Sehingga kita banyak mengalam resistensi akan konsep pengelolaan sumber daya alam yang terpadu  ( Integrated Approach; Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya, Lingkungan dengan level kepentingan yang berbeda-beda Global, Nasional, Local, Grass Root).

3.       Kita masih sama-sama belajar tentang kearifan Rakyat mengelola Sumber daya alam, dimana manusia merupakan bagian dari sumber daya alam tersebut!.

Selamat belajar untuk kita semua!

 

TBB:

Wah jadi pingin turut komentar nih. 

Senang juga kita nih dianggap sama sama orang se"kakap" bang Martua.  Ya..saya kira kita memang sama.  Kita sama-sama belajar dari 8 lembar kertas kuning ilmu ukur hutan,

 

PSP:

Pak TBB, kok nggak bilang nama dosennya? he..he...

 

TBB:

Kita sama-sama belajar manajemen dari hanya satu bukunya pak Iman.  Kita sama-sama tidak belajar betapa manajemen itu telah berkembang sangat jauh dari yang ada di buku terbitan tahun 60. 

Kita juga sama-sama sukanya nongkrong di warung bu Oman,

 

PSP:

lha... warungnya malah inget...

 

TBB:

Sama-sama suka nitip tanda tangan, sama-sama suka ngobrol di perpustakaan, sama-sama takut sama pak Abdul Samad Mesa, sama-sama suka main bola gawang kecil, sama-sama hanya diajari bahwa hutan adalah log, sama-sama ikut pmf.

Kita memang adalah komunitas raksasa aneh, yang baru belajar setelah tidak lagi di kampus.  Pertanyaannya, lalu untuk apa ingat-ingat kampus?

 

PSP:

Hua..ha..ha.... sepakat Pak Tunggul!! sepakat!!

BTW, waktu rapat IKA konon katanya ide Seminar secara serius membahas update

kondisi kehutanan kita diketawain?  busyet!! bener gak sih?

hormat juga untuk komunitas aneh ini..

 

Yh. Budi:

Saya kok juga jadi ikut-ikutan pengen komentar... Kalo kita nginget-nginget kampus lagi ... dan ternyata menemukan bahwa apa yang kita dapat di kampus masih terlalu sedikit daripada yang ada di "luar", mestinya itu justru jadi pemicu untuk memberikan sesuatu buat kampus kita... Jadi kampus kita nggak begitu-begitu terus...

maaf kalo terlalu diplomatis...

tapi saya yakin abang-abang kita ini pasti bisa banyak memberikan sesuatu buat kampus kita tercinta

Anyway, saya mendengar rencana updating kurikulum pengajaran untuk kampus kita dalam waktu dekat ini mungkin nggak ya kelebihan ilmu abang-abang kita ini dijadikan masukan yang berharga buat event itu ?

Mari sama-sama berharap..

 

MTS:

Karena kita sama kakapnya atau sama terinya jadi kita yang menimba ilmu di laut yang sama perlu saling ketemu gituh!

Kalo ngak bisa ketemu secar fisik , yah ketemu di dunia Cyber Bertukar ilmu danpikiran, bertukar rasa dan pendapatan (nah yang terakhir jangan)! Pokonya ada solidaritas gitu!

Menurut beritayang saya terima dari Andi Azizi, katanya acara kumpulnya mau diadain tgl 5-6 May 2001 di Samarinda.Bagaiaman teman-teman?

 

Adriyanto (MA):

Hmmm...

Saya tidak ingin menyalahkan Fakultas dalam hal ini. Kita juga harus mau melihat dr perspektif orang yg ketawa tsb.

Sekedar sharing, mau cerita sedikit.

Kenapa Stanford bisa sedemikian maju dalam bidang teknologi dan bisnis Internet? Jawabnya, karena mereka dekat sekali dengan Silicon Valley dan pusat e-commerce dunia: California. Orang Silicon Valey itu hampir semua pelopornya jebolan Stanford. Mengejutkan buat saya juga, begitu banyak Professor Stanford yang masuk ke e-business dan make profit serta jadi standard setter di dunia Internet. Stanford bukan "mengikuti" dunia bisnis, mereka yang "diikuti".

Analogi Stanford ini dekat sekali dg Fahutan Unmul. Kita ada di jantungnya pusat bisnis kehutanan Indonesia, bahkan dunia. Professor kita banyak yang terjun di bisnis kehutanan dan mungkin juga banyak yang leading dalam bisnis ini. Begitu banyak jebolan kita kerja dan pegang role penting di semua sektor kehutanan di negeri ini, di perusahaan, R&D, LSM, dll.

 

FRD:

Pada Prakteknya yang dilakuin Doktor, dan Profesor kita engga jauh beda dengan para pengusaha, ya  kan ?

 

MA:

Jadi, balik ke Phantom lagi.

Ya... jelas mereka ketawain dong...

Kalau pakai analogi Stanford, Fahutan Unmul yang musti "diikuti", mereka diluar sana yg musti meng-update diri terhadap perkembangan yg terjadi di kampus.

 

FRD:

Justru sebaliknya, kayanya Fahutan yg mesti meng-update diri terhadap perkembangan2 yg terjadi dlm dunia kehutanan kita.

 

TBB:

Ha..ha..ha..

Stanford yang dekat silicon valley memang kebalik dengan fahutan unmul di Kelua Hill yang dekat rimba kehancuran.  Kalau profesor stanford bisa jadi technology setter yang kemudian jadi business setter, di unmul lain lagi, kita yang diset habis-habisan lewat proyek-proyek bermodal besar. Perumisasi hph adalah contohnya.  Unmul di minta "menstudikan" model tersebut dan bukan diminta untuk membangun satu sistem. Tentang ketawa itu,  aha..aku jadi dapaat kuncinya.  Mungkin karena kita tidak di-set untuk selalu "open-up" makanya kita nggak pernah maju-maju...kita keburu ketawa dulu dan kehilangajn telinga yang mendengar dan otak yang berpikir.

ha..ha.. aku jadi ketawa juga.

 

Ade Cahyat (Acay):

Kalau soal daun lontar dan ilmu ukur hutan, itu sara oooy. Sudah akh, nanti malah ngomongin orang lagi. Sekarang gimana kalau kita usul agar menghapuskan absensi dalam kuliah agar ada chalange bagi dosen untuk memperbaiki kualitas ngajarnya. Dan IKA Alumni memberikan "Fahutan Unmul Award" kepada dosen terbaik berdasarkan pemilihan mahasiswa.

 

Apriadi (ADG):

Ada juga usul nih,

Untuk membuat semacam penghargaan kepada alumni fahutan yang memberikan dananya untuk beasiswa mahasiswa fahutan, misalnya diabadikan dalam nama "Cahyat Scholarship " dan nama pemberi beasiswa ini dicantumkan dalam kayu ukir bertuliskan nama pemberi beasiswa di pintu masuk ruang utama fakultas.... pemberi dana tersebesar ke fakultas dicantumkan di nomor atas daftar pemberi beasiswa

Ini salah satu cara fakultas mengumpulkan dana untuk kemajuan fakultas.

 

Acay:

Pak Apri,

Menarik juga usulannya. Tapi, mengapa kita tidak berusaha 'bertarung' dalam proses legislasi penetapan APBD agara sektor pendidikan dinaikan persentasenya. Kalau saya tidak salah, pendidikan hanya mendapatkan budget kurang dari 10% dari total APBD. Apalagi kesehatan, ini mungkin lebih kecil. Pendidikan, kesehatan dan food security seharunya menjadi prioritas dalam anggaran. Karena kalau kita bicara kesejahteraan hal-hal tersebut  menjadi dasarnya.

Kenapa hal tersebut tidak kita jadikan satu point dalam RESOLUSI Munas nanti. gimana?.

BTW, soal beasiswa. Saat ini Credit Union (CU) Sempekat Ningkah Olo yang berpusat di Desa benung tetapi memilki keanggotaan di sekitar 10 desa serta memiliki cabang di Samarinda juga mengembangkan program beasiswa. Dengan membayar Rp.20.000 per bulan anda telah membantu pendidikan satu orang anak untuk di tingkat SD dan SMP. SHK Kaltim bersedia menjamin ketepatan penggunaan uang Anda (karena kami percaya pada pengurusnya) dan juga dengan pengiriman informasi perkembangan secara regular. Sektor pendidikan hanya mendapatkan porsi kurang dari 5% di APBD Kutai Barat, oleh karena itu beasiswa ini mudah-mudahan dapat membantu. Untuk sementara, cabang di Samarinda diorganisir oleh Rosma di SHK Kaltim sampai CU tersebut dapat mendanai sendiri biaya operasioanlnya. Untuk informasi lebih lanjut mengenai CU ini silakan hubungi Rosma di <simpukng@smd.mega.net.id> atau 0541-735622. Salam!.

p.s: Pak Apri, walaupun Anda bukan lulusan Fahutna Unmul, teruslah berdikusi dengan kami karena Fahutan Unmul adalah milik publik yang juga didanai oleh pajak publik. Jadi karena Anda juga pembayar pajak maka Anda memiliki hak untuk mempengaruhi kebijakannya.

 

ADG:

Perjuangan untuk mendapatkan dana pendidikan (persentase) yg lebih besar di APBD melalui kebijakan telah kami lakukan pada saat diumumkannya RABD Kaltim tahun lalu.  Saat itu diumumkan bahwa dana pendidikan di APBD Kaltim hanya sebesar 49 Milliar.  Sayangnya saat itu saya mewakili LSM Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam (Jl. pahlawan, praktek H. Ismail).

Diskusi seru terjadi diantara anggota Yayasan karena kecewa dana pendidikan kecil sekali, dibandingkan dengan program utama Kaltim, yaitu infrastruktur, SDM dan Pertanian.  Akhirnya kami sepakat mengambil beberapa langkah strategi antara lain, melalui beberapa cara:

1.       Mempengaruhi opini publik dan juga anggota legislatif melalui tulisan-tulisan di koran lokal mengenai tidak seimbangnya dana untuk pendidikan dibanding infrasktuktur, pentingnya pengembangan SDM dan lain-lain sebagai counter atas diumumkannya dana pendidikan yg rendah. (Saat itu saya sudah menyiapkan bahan tulisan untuk dilempar ke koran, sayang orangtua saya saat itu sakit keras, menunda semua penulisan konsep-konsep yg ada di kepala)

2.       Beberapa anggota Yayasan melakukan lobbi-lobbi dan penyadaran kepada anggota legislatif terutama panitia anggaran, termasuk mendatangi kembali ke Gubernur Kaltim untuk menanyakan kembali komitmen beliau akan pendidikan, yg ternyata diselewengkan oleh staff gubernur bagian anggaran.  Kami meminta agar dana pendididkan di APBD sebesar 20 % dengan argumen-argumen yg kuat.

Akhirnya dana pendidikan setahu saya disetujui sebesar 100 milliar lebih.    

Kami juga membicarakn saat itu mengenai menngunakan Dana Pengembangan SDM (dulu dana Levy and Grant) ??  Apakah ini bisa menjadi agenda Munas ?  Misalnya bagaiaman Fahutan atau UNMUL menjadi Fasilitator untuk mempertemukan antara Legistaltif, Eksekutif dan APHI dalam membicarakan penggunaan dan pengumpulan dana pengembangan SDM ini?  CSF akan mendukung saya pikir dan bekerjasama untuk kegiatan ini.

Ide fasilitator ini pernah pula menjadi usulan untuk menjadi kegiatan CSF sebagai sumbangan untuk UNMUL, tapi saat ini masih menjadi aktivitas yg tertunda sementara karena waktu dan staff yg terbatas, dan kesibukan lainnya, tapi akan tetap menjadi agenda kami di CSF di kemudian hari.

 

Anna:

Penghapusan absensi usul yang menarik kak ade.......supaya sang dosen meningkatkan dan memperbaiki kualitas ngajarnya.  tapi selain itu apa mahasiswanya juga siap? ada daftar hadir saja  masih titip tanda tangan kok........

Dan IKA Alumni memberikan "Fahutan Unmul Award" kepada dosen terbaik berdasarkan pemilihan mahasiswa ? sepanjang yang saya ketahui dalam rapat untuk persiapan Munas, hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan Fahutan Unmul sendiri belum jadi agenda. (atau saya yang nggak tahu ya...?) misalnya mengenai kurikulum Fahutan Unmul pada saat ini? atau masih relevan kah bahwa definisi  hutan itu adalah sekumpulan pohon-pohon...............bla...bla..bla.

 

Hidayatullah:

Saya setuju kalau absensi dihapuskan tapi harus dibarengi dengan peningkatan metode dan materi yang menarik sehingga kalau pun mahasiswa tidak perlu di absen, mereka akan merasakan rindu dengan kelas dan materi yang menarik didukung oleh dosen yang berkualitas. Maunya sih!

"Fahutan Unmul Award" untuk dosen terbaik, kriterianya apa! Sedangkan dahulu atau sampai saat, ini sudah ada pemilihan dosen teladan untuk tingkat nasional yang sampai saat ini ini pun saya belum tahu dan sepertinya tidak ingin tahu apa kriterianya. Nyatanya mutu pengajaran dan metode kuliahnya begini saja sudah ada pemilihan dosen teladan yang katanya untuk pemilihan dan seleksinya saja ada unsur KKN-nya. Kalau boleh usul, lebih baik "Fahutan Unmul Award untuk Dosen Pengajar Terburuk" supaya dosen mau meningkatkan kemampuan dan kualitas diri untuk mengajar supaya tidak dapat award tersebut.

Nah, kalau sudah begini maka dosen akan selalu mengembangkan diri baik kapasitas pengetahuannya maupun dari metode pengajarannya di kelas. Sekedar wacana saja mudahan no hurt feeling dengan yang lain.....

Kalau kurikulum memang sudah saatnya untuk direvisi dan dievaluasi karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan yang sangat terutama permasalahan sosial dan integrasinya dengan sektor lain.

 

Paulus Matius:

Dear alumni,

Saya siap dinobatkan jadi Dosen Pengajar Terburuk. Mungkin dalam temu alumni perlu diimplementasikan masalah tersebut. Atau dari sekarang perlu dikirim angket ke semua alumni untuk memilih dosen terburuk tersebut. Kriterianya silahkan alumni bikin sendiri.

Perlu juga dipilih/dinobatkan alumni "Maling Kundang" dan "Maling Kunding", juga alumni "Budi Bakti".

 

Ade Cahyat:

Wah karena ada warning dari Mas Andi, aku mau agak sedikit serius nih. Untuk Anna terimakasih komentarnya.

Pertama, soal Absen:
Menurutku enggak perlu Mahasiswa masuk kelas kalau memang tidak ada yang berniali untuk dipelajari di dalam kelas. Artinya kalau dosennya cuma mengutip buku saja, kan bisa kita baca sendiri aja. Apalagi misalnya kalau pada saat yang bersamaan dengan kelas, ada satu pertemuan yang sangat menarik yang akan memberikan pengetahuan jauh lebih banyak daripada mengikuti kuliah dosen tersebut di dalam kelas. Dengan demikian, dosen yang mau kelasnya dipadati mahasiswa harus berusaha keras agar kelasnya menarik  dan "the most wanted" for students.
Yang mesti kita ingat adalah, ilmu itu juga banyak di jalanan (di luar kelas), artinya sekolah di jalanan bisa juga lebih pintar dibandingkan sekolah di kelas. Nah, Kampus sebagai wadah pendidikan orang dewasa seharunya tidak menjadikan dirinya sebagai media pendidikan 'dalam kelas', tetapi juga membuka dirinya secara sukarela dan sadar kepada ilimu-ilmu jalanan tersebut untu didiskusikans secara objektif di dalam kampus.  Yang saya maksud sekolah kelas adalah, sekolah dengan sistem birorasi kampus, artinya praktek lapangan bukan lawan kata dari sekolah kelas. Praktek lapangan tetap saja merupakan sekolah kelas jika masih dibelenggu oleh sistem birkrasi kampus, jika masih saja tidak memerdekakan mahasiswa dan dosen sebagai peserta belajar.
Satu-satunya dasar kampus hanyalah OBJEKTIFITAS dan LOGIKA. Menurut saya tidak boleh ada KEYAKINAN di dalam kampus, karena keyakinan hanya akan membuat kampus menjadi 'mapan' dan statis. Oleh karena itu, metode pendidikan agama sebagai salah satu kelas di kampus menurut saya harus diubah. Ajaran agama harus sah untuk didebat secara terbuka dan blak-blakan tanpa ada rasa takut di dalam kampus. Kampus, harus menjadi tempat yang MEMERDEKAKAN setiap orang untuk berfikir dan berpendapat. Dengan demikian, kampus akan menjadi "partikel bebas" yang tidak hanya dikuasai oleh satu kalangan (e.g penguasa birokrasi dan penguasa modal) saja, dia hanya dikuasai oleh LOGIKA dan OBJEKTIFITAS. (untuk salah satu referensi, bisa baca buku Paulo Fereire)

Kedua, soal Award.
Saya serius soal ini. Saya kira kita perlu membuat satu sistem reward dan punishment di dalam sistem pendidikan kampus agar semua orang di kampus memiliki tantangan. Sistem absen tadi merupakan salah satu sistem reward punishment tadi. Dan pemberian award juga bisa dipertimbangkan.

Ketiga, soal internal kampus.
Saya kira masalah internal kampus, harus menjadi salah satu bahasan di dalam Munas (bukan Muslimin Nasyution). Memikirkan masalah kondisi kehutanan nasional seperti diskusi antara LG,PSP,TMS,MA,TBB dll sangat menarik. Masalah dunia pendidikan kehutanan juga tidak kalah pentingnya. Yang mesti kita ingat, kampus kita melahirkan lebih dari 200 orang sarjana setiap tahun yang siap untuk memburu kerja di lapangan pekerjaan dunia kehutanan. Mereka itulah yang berpotensial untuk menjadi orang-orang yang akan menentukan kebijakan kehutanan di Indonesia masa depan. Kampus, adalah aset kita.

Rudianto Amirta:

Dear All,
Selamat dan sukses buat semuanya ..... terutama atas kemajuan yang telah anda capai.  Moga IKA dan media diskusi ini bisa berlanjut dengan lebih baik di waktu mendatang.

Maaf jika saya baru komentar, namun sebelumnya perkenankan saya sapa mas-mas yang jauh di sana: Adriyanto, Martua Sirait, Phantom, Niel dan lain-lain. Saya sendiri:  Rudianto Amirta, Angkatan '91.  Buat kawan-kawan yang lain, selamat ketemu kembali walau masih sebatas di dunia maya.

Sedikit urun masukan, dan memberikan komentar mengenai usulan Ade Cahyat dan diskusi yang berkembang ke arah itu, saya sependapat bahwa pendidikan dan suatu proses pembelajaran tidak absolut harus dilakukan dalam bentuk perkuliahan dengan dibatasi oleh pembatas-pembatas formal seperti kelas, absensi tata tertib dan lain-lain.  Karena itu, selain ada pendidikan formal, juga kita kenal adanya pendidikan informal.

Urgensi pendidikan formal, seperti yang ada dikelas .... perkuliahan dan sejenisnya lebih diarahkan untuk penguatan dasar-dasar atau fundament dalam berfikir.  Karena-nya dalam beberapa hal kerap dijumpai pemberian teori-teori (termasuk metodology riset dan lain-lain).  Selain itu juga diberikan dasar-dasar penelitian laboratorium dan sejenisnya.

Permasalahannya adalah kemudian beberapa dari dosen dan mahasiswa kemudian berpatokan pada harga mati bahwa perkuliahan kelas dengan sedikit praktek lapangan akan menghasilkan mutu lulusan yang "SUPER".  Perlu diingat, bahwa dalam konteks pembelajaran diperguruan tinggi .... si dosen harus berupaya semaksimal mungkin menstimulir cara berfikir dan daya kritis mahasiswa dalam memandang hal-hal yang ada disekitarnya.  Si mahasiswa sendiri tidak boleh apatis dan harus kreatif dalam menyikapi hal tersebut, proaktif dan rajin.

Acay:

Nah...Menurut saya kita juga harus belajar untuk memahami bahwa pada dasarnya tidak ada teori yang sahih. Karena 2x2=4 saja juga mulai digugat orang karen t tidak ada angka bulat dalam kehidupan, angka bulat berarti kepastian, padahal tidak ada yang pasti 100% di dunia ini. Kecuali jika yang disebut KEPERCAYAAN. Kepercayaan tidak bisa dibawa-bawa di kampus, karena kepercayaan akan membuat daya analisis kita berhenti. Point saya adalah, budaya berfikir dan bersikap untuk melihat bahwa tidak ada sesuatu yang pasti benar dan tidak ada sesuatu yang pasti salah perlu dikembangkan di kampus. Kampus harus menjadi daerah OTORITAS LOGIKA. Tentu saja hal ini tidak bisa dibawa untuk budaya di luar kampus. Mari kita lihat, banyak sekali kasus dimana mahasiswa tidak bisa membantah dosen misalnya dalam penulisan skripsi. Walaupun secara jujur hal ini tidak pernah saya rasakan sendiri. Tapi banyak sekali kawan-kawan saya merasakan hal ini. Ironisnya adalah, mahasiswa tidak bisa membantah pembicaraan atau teori dosen. Untuk membuat mahasiswa gentar dari awal, biasanya beberapa dosen memasang wajah sangar waktu mahasiswa ketuk pintu. Wow...Kalau kawan-kawan ingat mengenai hal ini. Ini sungguh mengerikan. Kampus menjadi satu tirani baru dan sama sekali tidak membawa semua warganya kepada kemerdekaan untuk berfikir. Tentu saja tidak semua dosen demikian, tapi kalau saya boleh jujur yang seperti ini yang lebih banyak.

Rudianto:
Harus diakui kondisi yang ada di kita, belumlah ideal.  Banyak dosen yang masih menjadikan teori dan sandaran materi ajarnya yang berasal dari bahan-bahan kuliah yang pernah diterimanya terdahulu (mungkin tahun 70, 80 an).  Belum ada upaya nyata untuk memperbaharui bahan ajar dengan materi baru.  Namun sekali lagi ini bukan seluruhnya.   Banyak juga dosen yang secara sadar terus mengembangkan diri melalui forum diskusi seperti ini dan penelususran bahan ajar baru dengan sumber buku dan info yang berasal dari internet.  Selalu ada kondisi seperti ini.

Acay:

Saya sepakat tidak semua dosen seperti ini. Mengenai pengembangan bahan ajaran. Sekali lagi, kalau kita mengembangkan budaya kesetaraan dalam kampus, bahwa pada dasarnya dosen bukanlah pengajar tunggal. Dosen hanyalah fasilitator belajar bagi orang-orang dewasa. Oleh karena itu, bahan ajaran tidak harus dari dosen seluruhnya. Dalam beberapa waktu, dosen pasti juga harus belajar dari mahasiswa. Hubungan di dalam kelas hendaknya bukan hubungan guru-murid, tapi lebih pada hubungan perkawanan belajar.

Rudianto:
Sebaliknya hal yang sama juga terjadi pada mahasiswa.  Hanya sedikit mahasiswa yang mau bersusah payah membaca di perpustakaan, membeli buku baru dan menelusuri info di internet.  Demikian pula hanya sedikit dari mereka yang mau bersusah payah membentuk kelompok-kelompok diskusi, melakukan magang intensif dan lain sebagainya.

Acay:

Hal semacam ini akan dapat dipecahkan jika kampus disuasanakan untuk menjadi daerah OTORITAS LOGIKA. Sistem insentif harus diubah. Kita harus jadikan nilai IP sebagai bukan satu-satunya insentif bagi mahasiswa. Jika IP hanya menjadi satu-satunya insentif bagi mahasiswa seperti saat ini, maka yang akan terjadi hanyalah mahasiswa yang berfikir tentang bagaimana dapat IP tinggi. Menyontek menjadi budaya, karena menyontek hanyalah dijadikan sebagai pelanggaran standar moral, dan pembahasan mengenai moral tidak pernah dibuka secara bebas. Sementara yang difahami mahasiswa, banyak pelanggaran moral dalam bentuk lain juga dilakukan oleh dosen, tetapi toh mahasiswa tidak dapat menghuukum dosen.

Rudianto:
Kondisinya ini berbeda dengan kawan-kawan sekarang, akses info terbuka ... pergaulan luas dan memiliki kemampuan finansial untuk melakukan itu.  Namun bukan berarti tidak ada upaya perbaikan.  Kalau saya tidak salah, bulan Juni mendatang akan diadakan pertemuan khusus, semacam semiloka di intern Fakultas yang membahas masalah perbaikan kurikulum.  Kawan-kawan dapat memberikan masukan melalui rekomendasi MUNAS IKA kali ini.  Seandainya dapat, masukan yang diberikan hendaknya mencakup secara keseluruhan aspek yang ada dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan.  Isu lingkungan, pemanfaatan yang lestari lengkap dengan materi yang mengarah pada pencapaian efisiensi juga penting untuk menjadi bahasan.

Acay:

Terimakasih Rudi, tapi bagi saya yang penting untuk dilakukan perubahan pertama kali adalah FILOSOFI pendidikan. Kurikulum adalah sesutu yang berkembang dan seharunya memang adaptif. Tapi kemana dan bagaimana kurikulum beradaptasi adalah tergantung kepada bagaimana FILOSOFI PENDIDIKAN yang kita fahami. Selama pendidikan masih dilihat sebagai proses satu arah, hubungan guru-murid, dosen birokrasi dll, maka selama itu pula kampus akan menjadi sesuatu yang MAPAN. Kemapanan membuat logika kita  statis. Dan logika kita yang statis berjalan seiring dengan fisik kita yang dinamis searah dengan perputaran bumi. Inilah yang disebut tertinggal.

ADG:
Asyiikkk...asyiik nih diskusinya, kang Acay.... Saya senang dengan bukaan-bukaan ini, mudah-mudahan membuka matahati kita pula.  Dan ini umpan balik seorang '"experienced alumni" yg jarang dikemukakan .....
Saya dulu pernah pula membuka issue ini di Unmulnet.....yaitu mengenai SISTEM PENDIDIKAN di Indoensia.
Mungkin ini pula yg dimaksud oleh Kang Acay sebagai FILOSOFI Pendididkan.Saya melihat maksudnya sama saja.  Tapi saya melihat dari  sistem atau proses pendidikan di Indonesia saat ini.  

Singkatnya begini saja:
Sistem pendidikan atau proses pendidikan di Indonesia lebih diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang "NRIMO SAJA", tidak untuk membentuk manusia yang kritis, kreatif, peka terhadap keadaan sekitarnya, menggunakan nalarnya, menggunakan analisisnya...dll.

Berikut ini petikan dari diskusi saya dengan kawan-kawan di UNMULnet beberapa bulan yang lalu mengenai OSPEK & kekeliruan pendidikan di Indonsia (baru sebatas : Hipotesis ADG saja).  Petikannya :

"*** Ada Kekhawatiran bahwa sistem OSPEK yang diselewengkan, dengan menekankan aspek "KEKUASAAN", FISIK, Intimidasi/Teriakan", selain membahayakan KESELAMATAN JIWA, juga akan menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang mematikan Sikap Kritis dan Kreativitas seorang sarjana (rasanya ini cukup banyak terbukti...), kita hanya menghasilkan lulusan yang punya sifat "NRIMO" saja, tidak kritis, apalagi nalar karena terbiasa dibentak, selalu takut mengemukakan pendapat, takut diintimidasi, terbiasa "DICEKOKI" sehingga mereka menjadi tidak kreatif, tidak tanggap, tidak kritis dan KEPATUHAN BUTA (istilah Plasma ? atau Mas Niel Makinuddin ?)

Hal ini yang saya hipotesiskan sebagai "KESALAHAN SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA" :

Kita mencoba untuk merenungkan keadaan di bawah ini :

*** Masyarakat kita terbiasa dan dididik untuk "DICEKOKI", bukan untuk "MENALAR", BUKAN UNTUK MENCIPTA DAN MENCARI", terbiasa disuruh, harus patuh tanpa tanya, dan keadaan ini berlangsung mulai sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu kala, dilanjutkan dengan zaman penjajahan ratusan tahun, ditambah lagi lagi dengan sistem pemerintahan Soeharto selama 32 tahun, asal bapak senang, Mungkin baru sekarang kita benar-benar merasa merdeka untuk beda pendapat dan berdemo.


**** Coba kita simak Sistem Pendidikan kita mulai dari TK hingga perguruan tinggi, sistem pengajaran yang hanya satu arah, kita hanya dicekoki, 1 x 2 = 2, dihafal, bukan bagaimana caranya memperoleh dua, prosesnya bagaimana ?? Kenapa bisa = 2, bukan itu yang diajarkan, tapi yang sudah jadi.....itu sebabnya kita di Indonesia hanya menerima barang jadi dari Jepang atau Eropa, meniru yang sudah ada, membajak yg sudah ada, dan bukan menciptakan.....Awalnya memang dari sistem pendidikan yang mengarah pada menerima yang sudah ada, bukan mengarah pada menciptakan sesuatu, menggunakan nalar, daya kritis. Saya ingat, anak-anak Indonesia yang pindah ke SD di luar negeri begitu Jago hitungan perkalian 1 sd 10, mengalahkan anak-anak bule di SD luar negeri......tetapi kejagoan itu hanya sampai SMA, setelah diperguruan tinggi.....kita ketinggalan, daya nalar mereka mahasiswa di luar negeri begitu tinggi. Sedangkan Kita hanya menghafal.

 

*** Cerita lain : suatu hari saya meminta kawan mahasiswa untuk membetulkan seandainya dosennya salah atau ketinggalan informasi, dan mencoba mengajar dengan sistem partisipatif, tapi jawab mereka ; Takut, Pak !, nanti dosennya tersinggung, dan selama kuliah tersebut, mahasiswanya cuma diam seribu basa, mengangguk-ngangguk, yang belum tentu mengerti."" Oh....oh...oh....

*** Coba perhatikan dalam suatu presentasi, jika pesertanya ada bule disitu, pada saat kita presentasi, belum selesai presentasi, si bule sudah angkat tangan...ingin minta klarifikasi.....padahal kita belum selesai menyampaikan presentasi kita.....sebenarnya ini hanya contoh kecil menunjukkan budaya/kebiasaan mereka yg kritis, ingin bertanya mengenai sesuatu yang  mereka tidak tahu atau kurang jelas.  Dan hal itu memang dibentuk sejak dini, anak-anak mereka dirangsang untuk tahu lebih banyak. Tapi jarang sekali kita melihat, orang-orang INA mau angkat tangan di saat presentasi tsb. Walaupun mereka tidak mengerti, karena budaya kita memang lebih berat kepada budaya menerima dan manggut-manggut.  Lagipula bertanya saat presentasi tsb. Dianggap tidak sopan.

Keinginan Kang Acay seperti apa kuliah yg diinginkan, termasuk tanpa absen, partisipatif, dua arah, bahan kuliah dari mahasiswa, perbaikan bahan kuliah dari mahasiswa, bahan dari internet, alhamdulillah sudah saya terapkan di Faperta (maaf saya orang Faperta yg nyelonong dan baca milis ini) sejak saya mulai membantu di UNMUL dan intensif mulai dua tahun lalu.  Mungkin sebagian kawan-kawan alumni Faperta pernah merasakannya.... hanya saja, kawan-kawan mahasiswa kita di UNMUL tampaknya belum siap dengan sistem yang kami coba terapkan....dan saya maklum, karena mereka terbiasa dengan kuliah konvensional yang  sudah membentuk mereka sejak kecil, sejak TK hingga perguruan tinggi.....


Kembali ke atas