Kembali

OTONOMI DAERAH
DALAM KONTEKS PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP


KONSEP OTONOMI

Otonomi Daerah dimaksudkan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas budaya dan lingkungan setempat, sehingga kebijakan publik dapat lebih diterima dan produktif dalam  memenuhi kebutuhan serta rasa keadilan masyarakat akar rumput.

Otonomi dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem yang terpusat, bahkan lebih menjamin  adanya pluralitas (tidak menggunakan pendekatan yang seragam seperti pada masa orde baru), karena menghindari dominasi suatu kekuasaan berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomi maka daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam Bidang Lingkungan Hidup, otonomi daerah berarti:

  1. Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat.
  2. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat didalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari.
  3. Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi (bioecoregion).
  4. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya dukung.
  5. Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.


PRASYARAT OTONOMI

Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan daerah dapat memenuhi rasa keadilan, kebutuhan dan keadilan masyarakat setempat, maka pelaksanaan otonomi harus memenuhi prasyarat sebagai berikut :

1)      Otonomi bukan hanya menyangkut penyelenggaraan kekuasaan pemerintah atau pun legislatif, tetapi yang lebih penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan yang selama ini terpusat harus menjadi bagian dari proses demokratisasi yang dicirikan oleh adanya pengembangan kemampuan (capacity) dan sistem pertanggung-jawaban secara politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka oleh para pejabat daerah; serta pengembangan kemampuan dan peluang rakyat setempat dalam melakukan pengawasan.

2)      Untuk menjamin adanya demokratisasi dan pertanggung-jawaban pemerintah pemerintah daerah dan DPRD maka sangatlah penting untuk mengubah sistem pemilihan umum . Pemilihan umum harus dilakukan dengan sistem distrik, sehingga para anggota DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih bertanggung-jawab kepada para pemilihnya dan bukan kepada partai seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, sistem pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa/Lurah) hingga pemerintah yang ada pada unit terkecil harus dilakukan dengan cara pemilihan langsung. Ini akan menghindari munculnya persokongkolan antara partai atau DPRD dengan kepala daerah, bahkan membuka peluang bagi rakyat untuk mempersoalkan atau menggugat kebijakan pemerintah setempat yang merugikan kepentingan rakyat.

3)      Otonomi yang paling dasar haruslah ada pada tingkat komunitas masyarakat yang terkecil seperti desa atau sejenis. Disini rakyatlah yang memutuskan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Rakyat diberi hak dan jaminan hukum untuk ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di desanya, misalnya soal penataan ruang atau kawasan, pemberian ijin investasi,  bahkan hak untuk memperoleh prioritas dalam memanfaatkan atau menikmati hasil pengelolaan sumberdaya alam setempat.

4)      Agar otonomi terhindar dari sistem negara di dalam negara, maka pengelolaan daerah-daerah otonom harus dilandaskan pada konstitusi nasional maupun pada peraturan perundangan lainnya yang berlaku secara nasional dan universal yaitu  peraturan perundangan yang mengatur lingkungan hidup, hak azasi manusia, moneter, kebijakan luar negeri, dan pertahanan.

5)      Daerah otonom juga harus menghormati hukum internasional yang telah disepakati oleh banyak negara, misalnya konvensi tentang hak-hak buruh; tentang anak-anak dan perempuan; tentang keanekaragaman hayati; tentang perdagangan bahan beracun berbahaya atau B3 (konvensi Basel); tentang perdagangan satwa (CITES);  tentang hak azasi manusia; tentang hak untuk berpindah dan menetap; diskriminasi etnik dan ras, dan sebagainya.

6)      Oleh karena itu, otonomi memerlukan adanya masyarakat sipil (civil society) yang terdiri dari berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, yang kuat, solid, selalu berpikir kritis, dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

7)      Otonomi haruslah mengubah pandangan dan perilaku penyelenggara kekuasaan di daerah untuk benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benar-benar meletakkan kepentingan dan suara masyarakat sebagai pijakan dari semua kebijakan publik yang dibuat.


KRITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG NO.22 TAHUN 1999

WALHI sudah melakukan advokasi terhadap kebijakan otonomi sejak tahun 1990, namun perkembangan terakhir sangat tidak memuaskan. UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah misalnya, ternyata masih menampakkan berbagai kelemahan yang akan menghambat pelaksanaan otonomi sebagai bagian dari proses demokratisasi. Kelemahan tersebut antara lain mencakup :

1. Basis otonomi pada tingkat kabupaten/kota dan bukan pada tingkat provinsi justru menimbulkan ancaman terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu:

 

a.      Kemungkinan munculnya kebijakan di daerah tertentu yang akan mempengaruhi atau merugikan daerah lainnya yang berada pada ekosistem yang sama. Ini bisa terjadi karena selama ini pembagian wilayah kabupaten atau kota lebih didasarkan pada pertimbangan administratif. Padahal di banyak tempat justru wilayah ekosistem selalu lebih luas dari batas-batas wilayah admnistratif. Karena itu, setiap keputusan mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di satu kabupaten/kota dapat mempengaruhi ekosistem yang sama yang kebetulan terletak di kabupaten/kota lain.  Ijin Hak Penguasaan Hutan (HPH), Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) atau ijin galian C dihulu sungai misalnya, pasti akan berdampak buruk terhadap kabupaten lainnya yang berada di hilir sungai tersebut. Demikian halnya kebijakan pengelolaan pantai dan laut yang dibagi-bagi dalam wilayah seluas 4 mil bagi setiap kabupaten/kota.

b.       Kemungkinan munculnya pengelolaan  pemerintahan dan sumber daya alam yang berbasis pada sukuisme. Hal ini disebabkan kabupaten di Indonesia banyak yang berdasarkan wilayah etnik atau wilayah kerajaan kecil  yang berbasis suku. Misalnya wilayah Kabupaten Karo, Langkat, Toba Samosir, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan di Sumatra atau wilayah kabupaten Gorontalo, Mongondow dan Toraja di Sulawesi. Di beberapa tempat malah sudah muncul kecenderungan untuk membatasi pemberian ijin mengelola sumberdaya alam bahkan ada pengusiran terhadap suku-suku tertentu yang melakukan pengelolaan sumberdaya alam di kabupaten yang bukan wilayah asalnya. Hal ini dapat menimbulkan konflik sosial yang tinggi antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain, yang berpotensi menimbulkan ketegangan antar suku, dari konflik pengelolaan sumber daya alam ini.

c.       Dapat meningkatkan laju eksploitasi sumber daya alam, karena mengejar peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ini sudah terbukti dengan banyaknya Izin Pengelolaan Kayu (IPK)  yang dikeluarkan oleh para Bupati di berbagai daerah, demikian juga dengan ijin penambangan galian C.

d.       Dapat menimbulkan gejala "raja-raja kecil" di daerah. Ini bisa terjadi karena ada kecenderungan elit politik di daerah untuk memanipulasi budaya feodalisme atau paternalisme dan sistem sosial yang homogen di tingkat kabupaten. Kondisi ini  dapat menimbulkan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol rakyat. Dengan model seperti itu, maka interaksi politik atau hubungan penyelenggaraan kekuasaan hanya akan terjadi secara vertikal atau atas-bawah, di mana rakyat hanya difungsikan sebagai abdi bagi pemerintah.


2. Otonomi yang tidak diberangi dengan sistem Pemilu dan mekanisme pengelolaan pemerintahan di daerah yang bertumpu pada kedaulatan rakyat justru hanya akan memunculkan pemerintahan yang tidak terbuka dan tidak memiliki tanggung-jawab politik maupun tanggung-jawab hukum (tanggung-gugat) terhadap rakyat.  Ini bisa leluasa terjadi karena Bupati/Walikota hanya dipilih oleh DPRD yang anggota-anggotanya bukan dipilih oleh rakyat tetapi oleh partai. Oleh karena itu banyak terjadi permainan "politik uang" dalam pemilihan Bupati. Para anggota DPRD pun merasa mempunyai kekuasaan yang luar biasa, lalu membuat berbagai keputusan DPRD tidak memenuhi rasa keadilan bahkan bertentangan dengan kebutuhan rakyat setempat.  DPRD lebih mementingkan kepentingan partai daripada kepentingan rakyat bahkan sering kali tidak merasa punya kewajiban untuk bersikap terbuka kepada rakyat. DPRD mempunyai kekuasaan absolut tanpa adanya tanggung gugat.

3. Kewenangan menentukan kebijakan alokasi sumberdaya alam dan perijinan (ijin HPHH (Hak Pengelolaan Hasil Hutan) , pertambangan Galian C dan perkebunan) tersentralisasi di tangan para Bupati/Walikota jelas sangat membatasi hak rakyat untuk menentukan apakah kebijakan atau perijinan tersebut  mereka terima atau tidak. Masyarakat tidak mempunyai hak veto terhadap keputusan yang menyangkut hidup mereka. Ini berarti yang terjadi adalah tidak lain hanyalah memindahkan kekuasaan otoriter pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

4. Pemindahan wewenang dan tanggungjawab pengelolaan lingkungan hidup tidak dibarengi dengan kewajiban untuk menyediakan budget dan staf ahli yang berkualitas untuk melaksanakan tanggungjawab tersebut. Ini jelas menimbulkan masalah tersendiri dan beban baru bagi daerah. Seharusnya otoritas pemberian ijin pengelolaan sumber daya alam harus dibarengi dengan kewajiban untuk menyediakan anggaran yang cukup serta tenaga kerja yang berkualitas untuk mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan hidup dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan.

5. Semangat reformasi masih belum sampai pada birokrat di daerah, sehingga praktek-praktek lama KKN masih berlangsung tanpa ada perubahan sama sekali. Demikian juga dengan penghormatan terhadap HAM, terutama hak sipil dan politik, hak perempuan serta hak sosial-ekonomi. Praktek adu domba masyarakat, praktek intimidasi maupun  pendiskreditan terhadap tokoh-tokoh penggerak masyarakat masih berlangsung dengan subur. Demikian halnya dengan marginalisasi kaum perempuan di dalam berbagai sektor kehidupan. Pendirian organisasi tandingan terhadap organisasi rakyat yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, juga masih dilakukan oleh para Bupati untuk meredam independensi rakyat.

SOLUSI

Pada Tataran Kebijakan

1. Perlu revisi UU otonomi daerah dimana otonomi harus dimulai pada tingkat provinsi dan ada pada tiap level pemerintahan dengan jangkauan otoritas yang berbeda-beda pula. Basis otonomi hendaknya dimulai di komunitas terkecil masyarakat apakah itu desa, nagari, banjar atau lainnya. Dengan demikian maka interaksi politik akan menjadi lebih horizontal dan heterogen, sehingga kecenderungan untuk konflik sukuisme dan penciptaan raja-raja kecil dapat terhindarkan.

 

2. Propinsi juga mempunyai batas administrasi yang lebih luas, sehingga jangkauan ekosistemnya juga lebih luas. Dan untuk pengelolaan kawasan bioecoregion, maka koordinasi antar beberapa propinsi tentu lebih mudah daripada antar beberapa puluh kabupaten.

3. Perlu revisi wewenang pemberian ijin pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan kewajiban penyediaan anggaran dan sumber daya manusia pada tiap level otonomi dan adanya mekanisme pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup.

4. Perlu revisi UU Pemilu dan UU Otonomi Daerah, dimana Gubernur, Bupati, Walikota juga dipilih langsung oleh rakyat, dan Pemilu dilakukan dengan sistem distrik.

5. Perlu revisi UU Lingkungan Hidup dan perlu adanya UU Sumber Daya Alam yang holistik dengan pendekatan bioecoregion, serta penyesuaian UU sektoral dengan UU SDA ini.

6. Perlu revisi UU investasi, dimana harus ada transparansi kebijakan serta akses informasi yang terbuka bagi publik, dan setiap pemberi ijin oleh pemerintah daerah harus mendapat persetujuan rakyat. Perlu ada hak veto yang diberikan kepada masyarakat untuk menolak kegiatan ekonomi yang merugikan mereka.

7. Perlu konsistensi aparat birokrasi daerah terhadap aspirasi reformasi di daerah dan perlu ditegaskan komitmen daerah terhadap pelaksanaan Hak Azasi Manusia, UU Lingkungan Hidup, demokratisasi, hak-hak perempuan, hak-hak buruh dan hak-hak penting lainnya. Ini haruslah dicantumkan di dalam UU otonomi yang direvisi.

Pada Tataran Rakyat

  1. Kelompok-kelompok masyarakat di daerah, termasuk masyarakat adat, harus mengorganisir diri dan menggunakan berbagai kelembagaan yang independen dan dikelola langsung oleh rakyat untuk kepentingan mengontrol atau mengawasi kebijakan pemerintah dan legislatif di daerah.
  2. Kelompok-kelompok rakyat, termasuk masyarakat adat di daerah, harus lebih berani mempersoalkan dan mempertanyakan setiap bentuk kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingannya.
  3. Rakyat di daerah harus mampu mengelola lingkungan dan sumberdaya alam berdasarkan kearifan yang dimiliki atau berdasarkan pola-pola pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan tanpa diskriminasi antar etnik agama.
  4. Demokrasi, kesetaraan gender, hak azasi manusia, dan anti diksriminasi etnik, suku dan agama. Perlu dikembangkan menjadi prinsip-prinsip dasar organisasi rakyat, termasuk masyarakat adat.


PENUTUP

Otonomi bukan berarti masyarakat daerah tersebut dapat bebas melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak mereka, tanpa mengindahkan tata cara kehidupan bermasyarakat yang sudah diakui secara universal. Hak-hak buruh untuk mogok dan hak-hak perempuan misalnya, haruslah dihormati. Hak buruh untuk bergabung dengan Serikat Buruh yang dia pilih haruslah dihormati. Komitmen terhadap HAM, demokratisasi, keadilan gender dan pengelolaan LH haruslah diupayakan oleh masyarakat sipil dari pemerintah daerah. Kalau tidak maka otonomi akan menciptakan "orde baru kecil" di daerah-daerah.

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)