Home > Artikel > Distro Linux Berbahasa Indonesia: Bukan untuk Semua Orang ?

Distro Linux Berbahasa Indonesia: Bukan untuk Semua Orang ?

Menarik sekali mengamati perkembangan sistem operasi Linux di Indonesia. Popularitas Linux mulai menanjak pesat dalam empat tahun terakhir ini. Dulu, kita akan bengong jika ditanyai tentang Linux. Bahkan mereka yang sudah cukup akrab dengan komputer dan mengunakannya secara rutin pun akan menyangkanya semacam aplikasi atau game baru. Hanya mereka yang intensif mengikuti perkembangan teknologi informasi atau yang memang mempunyai latar belakang teknologi informasi yang tahu, minimal sudah mendengar, namun mungkin belum pernah melihat atau menggunakannya.Sekarang, semua media, terutama yang membahas soal teknologi informasi, sudah mengupas soal Linux, walau masih banyak yang belum memahami Linux sebenarnya. Kebanyakan mereka menganggap Linux itu Unix, bagian dari Unix, varian Unix yang gratis, atau hanya sekadar sebutan bagi versi Unix yang gratis. Padahal Linux tidak berhubungan sama sekali dengan Unix, kecuali namanya yang mengikuti bahasa slang Unix (pakai akhiran x, ingat AIX, HP-UX, Ultirix, Xenix, NeXT). Varian Unix yang gratis disebut BSD, dengan tiga ‘distro’ FreeBSD, OpenBSD, dan NetBSD.

Saat penulis pertama kali mengenal Linux tahun 1997, dengan distro Slackware, waktu itu distro Linux bisa dihitung dengan jari. Sekarang, ratusan distro sudah beredar, sebagian besar gratis atau menyediakan versi gratisnya (dan yang pasti masih boleh dikopi). Pertama kali menginstalasi Linux tahun 1998 dengan distro Mandrake, penulis sempat membayangkan suatu hari ada distro berbahasa Indonesia. Tahun 1999, harapan penulis terwujud dengan dirilisnya Trustix Merdeka. Selanjutnya menyusul distro Bijax, Rimba Linux, WinBI (SoftwareRI), dan TrustCafe (distro khusus untuk warnet). Hadirnya distro berbahasa Indonesia ini diharapkan akan meningkatkan penetrasi Linux di kalangan masyarakat, yang selama ini kesulitan mempelajari software komputer yang rata-rata berbahasa Inggris. Sebelumnya distro SuSE dan Mandrake sudah memasukkan bahasa Indonesia dalam program installernya, namun distro berbahasa Indonesia (diharapkan) menggunakan bahasa Indonesia di seluruh user interface-nya, mulai installer, pesan kernel, tampilan menu dan window, serta dialog program aplikasi.

Hampir tiga tahun sejak hadirnya distro berbahasa Indonesia untuk pertama kalinya, sejauh ini ternyata yang penulis rasakan belum memenuhi harapan. Masih banyak kendala yang menghadang, di antaranya belum semua bagian distro ini menggunakan bahasa Indonesia, rilis update yang lambat, serta penetrasinya di kalangan pengguna Linux yang sudah lebih mahir masih kalah dengan distro-distro yang lebih populer seperti RedHat, SuSE, dan Mandrake. Satu survei yang diselenggarakan situs InfoLinux menunjukkan tiga distro tersebut masih ‘memimpin’, begitu pula data dari Counter Linux Indonesia juga menunjukkan indikasi yang sama. Adapun penyebabnya, menurut penulis, adalah karena distro-distro ini membidik pasar desktop, yang di Indonesia masih dikuasai oleh Windows (baik yang asli maupuin bajakan). Kekuatan Linux saat ini adalah di server kelas menengah ke bawah, terutama server web. Linux di desktop masih harus menunggu, paling tidak beberapa tahun ke depan.

Bagi beberapa orang, pilihan berarti kebingungan, bagi sebagian yang lain berarti kemerdekaan. Bagi yang terbiasa hidup di dunia Windows yang monolitik, tidak banyak pilihan yang tersedia (hanya ada satu OS, aplikasi perkantoran, tool pengembangan aplikasi, Microsoft punya) dan hampir semuanya harus bayar. Kondisi sebaliknya di dunia Linux, dan open source umumnya. Banyak pilihan distro, banyak pilihan aplikasi untuk satu fungsi, banyak tool pengembangan, dan hampir semuanya gratis. Bukan tanpa alasan pula jika para vendor software merakit distronya untuk segala keperluan, memasukkan semua aplikasi yang tersedia. Selain untuk menjual lebih banyak versi boxed distronya (cukup merepotkan untuk mendownload distro yang terdiri atas 3-4 CD), juga karena prinsip mereka adalah pilihan yang berarti kebebasan. Di lain pihak, mereka yang pertama mencoba distro Linux akan kebingungan menghadapi banyaknya pilihan yang tersedia dan merasa ketakutan. Walaupun sebenarnya installer distro-distro Linux sekarang sudah jauh lebih ramah dan mudah digunakan, berbasis grafis yang cantik (terima kasih kepada pelopornya, Caldera OpenLinux), dan hampir semuanya terotomasi, termasuk pemartisi hard disk dan deteksi hardware, dua hal paling menakutkan para pemula yang akan menginstalasi Linux sendiri di PC.

Dua distro berbahasa Indonesia, Trustix Merdeka dan WinBI, menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda. Meskipun WinBI berbasis Trustix Merdeka, yang berbasis Trustix SecureLinux, yang berbasiskan RedHat, dalam pemilihan paket software yang menyertai distro tersebut. Trustix Merdeka menggunakan pendekatan popularitas, menggunakan StarOffice, Xmms, dan Netscape di atas desktop KDE, sementara WinBI memborong seluruh paket KDE2, termasuk Koffice, hingga bisa dikatakan sebagai ‘KDE Linux’. Tanpa meragukan betapa cantik dan canggihnya KDE, harus diakui pula bahwa KDE (juga Gnome) membutuhkan resource yang cukup tinggi, sehingga tidak ada bedanya dengan Windows (atau mungkin itu yang dicari ?). Pengalaman penulis saat akan menginstal Trustix Merdeka 1.2 mengalami kebuntuan gara-gara menggunakan kartu grafis S3 Trio 3D/2X, yang hanya didukung oleh XFree86 versi 3.3.6, sedangkan Trustix Merdeka, karena alasan efisiensi, hanya menyertakan XFree86 versi 4. Lalu, bagaimana dengan mereka yang masih berkutat dengan PC tua sekelas 486/Pentium dengan RAM dan spasi hard disk pas-pasan ? Atau para mahasiswa yang ingin belajar pemrograman web ? Untunglah banyak distro lain yang bisa memenuhi tantangan ini. Penulis baru-baru ini menginstalasi sebuah PC berprosesor Pentium 166, 32 Mb RAM, dan 480 Mb partisi Linux dengan Mandrake 8.2 minimum install with X (menggunakan IceWM-Light sebagai window managernya), ditambah setumpuk tool pemrograman web, termasuk PHP, Perl, MySQL, dan Apache!

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi