Sudah Mantap dalam Islam
						
						Pengantar
						Nama Ki Manteb agaknya identik dengan penampilannya yang mantap dalam memainkan wayang kulit. Ia termasuk dalang
						yang digandrungi dan laris. Jadwal pentasnya padat. Berikut ini kisah perjalanan spiritulanya dalam mencari kebahagiaan
						yang hakiki.
						
***
						
Terus terang, saya mendapatkan dorongan untuk masuk Islam dari Gatot Tetuki, anak
						saya yang kedua dari istri kedua. Dahulu saya beragama Budha. Sebelumnya saya tidak mau masuk Islam, karena menurut
						saya agama itu berat. Saya tidak mau ikut-ikutan. Apakah untuk menjadi seorang muslim itu harus keturunan ? Menurut
						saya, menjadi muslim itu harus diusahakan.
						Demikianlah, saya harus banyak menimbang. Barulah ketika usai menghitankan Gatot dan ia minta diberangkatkan umrah,
						hati saya mulai tersentuh. Itu saya anggap sebagai panggilan Allah. Saya seperti diingatkan dan dibangunkan dari
						tidur panjang. Langsung saja, ajakan Gatot saya terima. Sesudah itu, saya mempersiapkan diri untuk masuk Islam.
						Pada hari yang telah ditetapkan, saya mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H. Amir Ngruki, H. Alwi, dan
						kaum muslimin di sekitar tempat tinggal saya. Mereka saya minta menjadi saksi upacara pengislaman saya.
						Kemudian sesuai ajakan Gatot, saya melaksanakan umrah pada September 1995. Alhamdulillah, pada bulan April/Mei
						1996, saya berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak manfaat yang saya peroleh dari pengalaman-pengalaman tersebut.
						Semua itu, menambahkan kedewasaan berpikir dan pengendalian diri.
						
						Kejadian Aneh
						Waktu beribadah haji, saya mengalami suatu kejadian sangat aneh. Sesampai di Mekah dan akan kembali ke Madinah,
						sesudah tawaf wada' saya ingin sekali mencium Hajar Aswad. Tetapi, mana mungkin? Padang Mina sudah menjadi lautan
						manusia yang tumplek menjadi satu.
						Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berpakaian khas Arap ngawe-awe (mengajak sambil
						melambaikan tangan) kearah saya. Setelah saya hampiri, anak kecil itu mengucapkan, "Ahlan...ahlan..."(selamat
						datang, selamat datang, red.).
						Seperti ada tarikan kuat, saya berjalan mengikutinya. Anak itu berjalan merunduk karena banyak orang. Oleh anak
						kecil itu, saya seperti ditunjukkan jalan. Belok kanan-kiri dan akhirnya pas tiba di Hajar Aswad. Alhamdulillah,
						saya dapat mencium Hajar Aswad sepuasnya. Saya menangis disitu. Saya bersyukur sekali atas pertolongan anak kecil
						itu.
						Beberapa saat kemudian saya teringat pada anak itu. Saya ingat masih mengantongi uang 50 real. Saya berniat memeberikan
						uang tersebut kepada anak kecil tadi. Tetapi begitu saya tengok, anak kecil tadi sudah tidak ada. Kalau lari tidak
						mungkin. Sampai kini, siapa dan ke mana perginya anak kecil tadi masih menjadi misteri.
						Setelah memeluk Islam dan beribadah haji, hubungan dengan siapa pun tetap baik. Demikian pula dengan para pengrawit
						(penabuh gamelan, red) rombongan wayang kulit. Sebagian besar pengrawit sudah beragama Islam. Tinggal 3 orang yang
						belum Islam. Dalah hal ini, saya mempersilahkan saja sesuai dengna keyakinan mereka. Sebab, dalam memeluk Islam
						tidak boleh ada paksaan.
						
						Merasa Tenteram
						Sebelum memeluk Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, saya selalu merasa waswas. "Aku nek ra payu, piye?"
						Saya kalau sudah tidak laku lagi, bagaimana? Begitu perasaan saya ketika itu.
						Alhamdulillah, sekarang perasaan itu sudah tidak ada lagi. Saya berusaha taat shalat. Hasilnya, saya menjadi lebih
						dapat mengendalikan diri. Saya menjadi selalu berpikir positif ke pada Allah. Kalau memang sudah tidak ada rezeki
						lagi buat saya, tentu Allah sudah memanggil saya. Mengapa harus bingung? Intinya, pikiran sudah sumeleh. Alhamdulillah,
						keluarga saya sudah Islam semua.
						Setelah masuk Islam, saya merasakan hasilnya. Keluarga semakin harmonis dan tenteram. Tidak suka bertengkar. Tidak
						ada suasana saling mencurigai. Itu yang saya rasakan dalam memeluk agama yang baru saya anut itu.
						Beberapa kali saya diminta mengisi pengajian oleh masyarakat. Semampunya saya penuhi. Bukan bermaksud menggurui,
						tetapi itu kewajiban seorang muslim. Dalam pengajian, saya hanya menceritakan sejarah hidup saya yang dulu tidak
						karu-karuan, mbejujak.
						Alhamdulillah, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejak saya, yaitu masuk Islam. Ketika berlangsung pengajian,
						ada jamaan yang bertanya, apa kalau ceramah saya mendapatkan uang saku? Dengan jujur saya jawab tidak. Sebab, kalau
						mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang.
						Setelah menjadi muslim, saya harus lebih banyak belajar dalam mendalami Islam. Dalam hal ini, dirumah saya di Karang
						anyar, setiap bulan sekali saya selalu mendatangkan mubalig, seperti Kiai Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang
						lainnya, untuk memberikan pengajian kepada masyarakat. Setelah itu, saya teruskan dengan pentas wayang yang selalu
						saya sisipi dengan pesan-pesan dakwah. Saya memang terobsesi oleh metode dakwah Wali Songo yang menjadikan wayang
						kulit sebagai media dakwah. [M. Ali M.E/Albaz].