CATATAN UNTUK PERUBAHAN PMKRI
Oleh: Benny Seman
M
Pengantar
Hampir seluruh atau sebagian waktu,
pikiran, tenaga/energi warga Perhimpunan dicurahkan
untuk mengusahakan satu pekerjaan pokok dan penting
yakni mengusahakan PMKRI menjadi organisasi modern
yang tanggap terhadap tuntutan perubahan. Kemudian
muncul sebutan TO (transformasi organisasi) untuk
menunjuk sesuatu hal yang kita anggap dan harapkan
dapat secara tepat menjadi salah satu 'alat konseptuil/teoretis'
- tentu bukan panduan praktis - bagi berubahnya
PMKRI ke arah yang lebih baik. Alat tersebut sedang
dikerjakan atau digalakan pelaksanaannya di hampir
semua Cabang PMKRI di seluruh Indonesia.
Sejauh TO berjalan tampaknya perlu
ditegas ulang aspek-aspek dasar dan utama pengembangan
organisasi PMKRI. Maksudnya supaya TO dijalankan
secara bersesuaian dengan inti/hakikat utama yang
menjadikan PMKRI hidup (dinamis) dan memiliki jati
diri (kekhasan). Ruang lingkup tulisan seputar tiga
benang merah dan aspek-aspek pokok pengembangan,
masalah pembinaan dan perjuangan serta catatan terhadap
TO itu sendiri. Tulisan ini tidak mengajukan konsep
atau pemikiran baru, dan memang tidak dimaksudkan
demikian. Bersifat mengingatkan kembali.
Tiga Benang Merah &
Aspek Dasar Pengembangan PMKRI
Dua materi pokok hendak dikemukakan
di sini. Pertama, PMKRI sebagai sebuah organisasi
bertumpu pada tiga landasan nilai yakni intelektualitas,
kristianitas, fraternitas. Kita menyebutnya “Tiga
Benang Merah PMKRI”. Ia adalah inti yang menghidupkan
dan harus terus dihidupkan dalam Perhimpunan. Tentu
tak ada yang membantah hal yang sudah jelas ini.
Kedua, ada empat aspek/bidang pokok pengembangan
yang sudah baku dan berlaku umum di PMKRI dari generasi
ke generasi. Yaitu 1). Kemahasiswaan, 2). Kekatolikan,
3). Kemasyarakatan, 4). Keorganisasian. Mengenai
ini pula tentu tidak akan ada perbantahan.
Apapun istilah dan metode yang
digunakan dalam menata (rekayasa) PMKRI menjadi
lebih modern, entah dengan reformasi, transformasi
atau perubahan terencana atau apapun, tidak boleh
lari jauh dari hal-hal pokok di atas. Dalam kaitan
ini, sedikit perlu mempertegas satu kalimat kunci
didalam proses pembaruan PMKRI. Bahwa semangat untuk
melakukan perubahan mendasar terhadap PMKRI disatu
pihak merupakan keniscayaan/keharusan sejarah. Pada
pihak lain penciptaan sejarah baru tidak terlepas
dari sejarah yang terbentuk sebelumnya. Kontinyuitas
proses itulah menjadi paham utamanya, dengan kesadaraan
baru untuk membawa PMKRI menjadi lebih maju dari
periode-periode terdahulu.
Apa yang diperlukan kemudian? Karena
situasi telah berubah maka cara memang perlu dirubah,
disesuaikan, dimodifikasi sehingga PMKRI terus relevan
dan dibutuhkan oleh mahasiswa, gereja, masyarakat
dan oleh anggotannya. Akan lahir berbagai kemungkinan
dalam soal cara (metodologi) perubahan seperti banyak
dikembangkan masa ini, sebagai konsekuensi dari
pergeseran tata kehidupan zaman. Namun roh/spirit
dasar tetap bertumpu pada unsur tiga benang merah.
Dan bidang sasaran pengambangannya tetap bertumpu
pada empat aspek pokok tadi. Barulah kemudian PMKRI
akan dinilai bermanfaat bagi: mahasiswa (aspek kemahasiswaan),
gereja (aspek kekatolikan), masyarakat (aspek kemasyarakatan)
dan anggota (aspek keorganisasian).
Kurang lebih dalam satu dasawarsa
terakhir, perhatian utama PMKRI tertuju pada aspek
kemasyarakatan. Sehingga dalam banyak hal PMKRI
lebih menganjurkan untuk memberikan penekanan lebih
pada intelektualitas guna menopang ketajaman gerak
kemasyarakatannya. Tidak ada yang salah dengan jalan
pikiran ini. Akan tetapi jika bicara PMKRI secara
utuh, maka tidak dapat lain, harus ada keseimbangan
dari empat bidang garapan (kemahasiswaan, kekatolikan,
kemasyarakatan, keorganisasian). Di dalamnya harus
tumbuh dan hidup nilai-nilai intelektualitas, kristianitas
dan fraternitas secara utuh/padu dan seimbang. Saya
yakin tidak akan ada penciptaan yang lebih ‘genius’
lagi dari apa yang telah ada. Tugas kita hari ini
ialah merevitalisasi dan mengembangkannya dalam
bentuk-bentuk yang lebih sesuai. Tidak lebih dari
itu.
Materi dasar pembinaan dan penataan
PMKRI melalui isu transformasi tentu harus bergerak/berjalan
dan mengacu pada konsep dasar serta ruang lingkup
bidang-bidang di atas. Adapaun namanya mungkin berbeda,
namun hakikatnya sama. Ringkasnya, pembinaan dan
pengembangan organisasi PMKRI tidak lain merupakan
derivasi sekaligus memberi bobot-bobot baru terhadap
empat bidang pokok tadi. Landasan nilainya adalah
intelektualitas, kristianitas dan fraternitas. Hal-hal
tersebut merupakan landasan, panduan umum sekaligus
arah bagi pembaruan PMKRI sesuai cita-cita seperti
terkandung (tersirat maupun tersurat) di dalam konsep
TO itu sendiri.
Saya ingin menyinggung sedikit
mengenai intelektualitas. Sebab kadang-kadang kita
kurang tepat mendefinisikan intelektualitas, terutama
dalam konteks PMKRI. Dalam rumusan visi dan misi
sebagaimana tertuang dalam AD PMKRI terdapat istilah
intelektual populis. Kira-kira yang dimaksudkan
ialah seorang intelektual organik, berpihak dan
hidup bersama kaum tertindas. Mungkin mirip dengan
pengertian intelektual dari Antonio Gramsci. Bisa
jadi memang dipengaruhi/terinspirasi oleh pemikiran
Gramsci. Jadi intelektual populis dalam rumusan
visi dan misi PMKRI kelihatannya mengadopsi pemikiran
Gramsci-an. Mungkin perlu diskusi kembali mengenai
soal ini.
Kata dan pengertin intelektual
populis adalah benar dalam dirinya sendiri, tetapi
secara praktis belum tentu tepat untuk diterapkan
di PMKRI. Sebab istilah tersebut mudah terjerumus
kedalam pemahaman sempit mengenai orientasi perjuangan
PMKRI yakni bahwa pilihan orientasi keberpihakan
kepada kaum tertindas (rakyat) diartikan sekaligus
menjadi pilihan metodologis, cara pencapaiannya.
Padahal perjuangan PMKRI bisa dilakukan dengan macam-macam
cara dan pada level apapun. Bisa di akar rumput,
boleh pada level struktural (policy). Saya sendiri
tidak mau terjebak pada mana pilihan yang benar
dari keduanya. Saya melihatnya dari sudut pandang
PMKRI tidak tepat jika memang maksudnya adalah keharusan
pilihan metodologis. Segmen perjuangan PMKRI sangat
luas dan karena itu tidak boleh ada pembatasan,
atas dasar alasan apapun juga.
Pembinaan & Perjuangan
PMKRI mencakup dua sisi sekaligus,
yakni “pembinaan dan perjuangan”. Mengenai perjuangan,
sederhananya adalah berjuang bagi kepentingan mahasiswa,
kepentingan gereja, kepentingan masyarakat dan kepentingan
anggotanya. Pencapaian empat target/sasaran bidang
pengembangan itu tidak boleh lengah pada salah satu
dari keempatnya.
Pertanyaannya, apa dan bagiamana
agar perjuangan di atas memperoleh hasil maksimal?
Jawabannya terletak pada pembinaan dan kaderisasi.
Tujuannya ialah menciptakan kader-kader sebagai
kelompok inti (nucleus/elite) yang akan mengemban
amanat perjuangan PMKRI. Dalam hal pembinaan dan
kaderisasi ini pasti tak ada yang berjalan secara
alamiah, terjadi/mengalir begitu saja. Karena tidak
terjadi begitu saja maka perlu adanya perekayasaan
terhadap system, dan pola pembinaan. Denga demikian
akan muncul kader-kader yang “siap dan dipersiapkan”
untuk berbagai macam tugas dan pekerjaan di berbagai
bidang seturut tingkat kemampuan, minat, bakat dan
panggilan hidupnya.
Bisakah PMKRI melakukan sendiri
atau secara mandiri? Ini adalah pertanyaan yang
menggugah. Dalam rumusan konsep PP PMKRI untuk materi
Loknas di Solo 4 – 9 November 2003, disebutkan bahwa
“mandiri dalam konteks internal terbagi dalam empat
bidang yaitu sistem pendidikan, gerakan, pengembangan
organisasi dan infrastruktur. Mandiri adalah sikap
tidak bergantung pada orang lain”. Barangkali perlu
ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian
mandiri tersebut supaya jalan pikirannya dapat ditangkap
utuh. Apakah pengertian sikap tidak bergantung pada
orang lain dimaksudkan semata-mata sebagai mampu
melakukannya sendiri? Atau ada arti lainnya? Apakah
dalam kaitan itu pula tidak perlu/tidak boleh melibatkan
pihak/orang lain? Memang perlu diskusi tersendiri.
Bagi saya, dalam melakukan pembinaan
di PMKRI, sejauh saya merefleksikan perjalanan ikut
membina diri di PMKRI dan apabila ingin hasilnya
benar-benar efektif, perlu dipertimbangkan kemungkinkan
pelibatan pihak/orang lain yang berkompeten dalam
merumuskan sistem dan mekanisme pembinaan di PMKRI.
Sebab pasti terdapat hal-hal yang mungkin di luar
jangkauan kemampuan kita. Karena itu perlu orang
lain (partner). Kita terlalu banyak memiliki kelemahan
untuk mencapai hasil maksimal/efektif secara sendiri.
Pembinaan dan kaderisasi haruslah
menjadi tema dan fokus kegiatan PMKRI. Maka PMKRI
adalah saranan membina/melatih diri. Apa yang harus
dilatih? Wawasan (pengetahuan), keterampilan, spiritualitas,
mental dan fisik dalam rangka mengemban fungsi dan
perannya di bidang kemahasiswaan, kekatolikan, kemasyarakatan
dan keorganisasian dengan dilandasi Tiga Benang
Merah PMKRI. Dimana perubahan dan pembenahan dilakukan?
Jawabannya terletak pada Cabang-Cabang di berbagai
daerah sebagai sumber utama stok kader dan kepemimpinan
di PMKRI. Karena itu, TO harus pula dipahami sebagai
membangun cabang-cabang sebagai pusat-pusat pembinaan
dan kaderisasi.
Transformasi Organisasi
Garis besar konsep transformasi
organisasi (TO) itu kelihatannya sudah menjadi pengetahuan
umum di PMKRI. Tanda paling sederhananya adalah
intensitas pembicaraan TO dalam setiap forum pertemuan
PMKRI, formal maupun informal. Ada semacam ‘kesepakatan’
– diucap atau pun tidak diucap – bahwa PMKRI perlu
ada TO. Jika yang dimaksudkan adalah merubah dan
menyesuaikan diri dengan keadaan. Sekalipun mungkin
masih ada yang bingung, tetapi pada prinsipnya tidak
ada yang memiliki sikap dasar menolak. Ia telah
diterima secara luas. Karena alasan dan tujuannya
adalah baik. PMKRI tak mau ketinggalan atau tertinggal
apalagi berjalan mundur. PMKRI harus maju/dimajukan,
berubah/bergerak dan terus berkembang seturut berubahnya
situasi, kondisi, iklim/cuaca dan aliran zaman.
Permasalahan utamanya ialah bukan
pada tujuannya yang sudah dianggap baik itu. Akan
tetapi sesuai kenyataan - sejauh gagasan tersebut
berjalan selama kurang labih empat tahun belakangan
- pertanyaan yang muncul dari banyak cabang masih
pada: 1). Apakah TO itu? 2). Lebih sulit lagi, bagaimana
TO itu harus dijalankan? Itu berarti, jika secara
konsepsionil belum dipahami berarti jelas secara
praktis pasti tidak berjalan dengan semestinya.
Maka disinilah kemudian kita/PMKRI
- tentu jika dianggap perlu – merumuskan dan membahasakan
TO itu sejelas mungkin. Jelas artinya mudah diserap,
dicerna, tidak multitafsir pada ide/gagasan pokoknya
sekaligus praktis dan bisa digunakan untuk menjawab
kebutuhan khusus/unik cabang-cabang yang pada hakekatnya
pasti berbeda-beda. Kiranya penting diurai/dipilah,
disusun dan dirumusukan penjelasan-penjelasan terhadap
bentuk, cara, isi, ruang lingkup/skala, tolok ukur,
konteks, prasyarat, juga barangkali pihak-pihak
yang terlibat atau perlu dilibatkan dalam isu atau
proyek TO. Sebab sesuatu tidak berjalan atau mungkin
tidak dapat dijalankan dengan baik apabila masih
terdapat kontroversial dalam unsur dasar/pokoknya.
Komponen-komponen pendukungnya belum diidentifikasi
secara lengkap dan meletakkannya dengan benar. Itu
satu soal.
Hal penting lainnya lagi ialah
masalah kepemimpinan. Seumpama saja seluruh faktor
yang disebut terdahulu dianggap telah terpenuhi,
tentu pencapaiannya pun tidak bisa terjadi begitu
saja. Supaya bisa berjalan harus ada kekuatan yang
menggerakkannya. Apa kekuatan itu? Yakni kepemimpinan
yang efektif, pada berbagai level. Supaya kepemimpinan
itu efktif maka perlu dan penting 1). mendapat dukungan
dari sebagian besar - syukur jika dapat seluruhnya
- dari stakeholders yang ada. 2). Memperoleh kepercayaan
atau dipercaya bisa membawa PMKRI bangkit dari "keterpurukan"
melalui TO ini. Jika tidak, dapat dikatakan dengan
drajat kepastian yang tingi yakni akan munculnya
penilaian bahwa TO ini telah gagal. Mengapa gagal?
Karena tidak ada kepemimpinan yang mesti melekat/tercakup
di dalamnya. Jika managemen adalah jawaban dari
pertanyaan bagaimana suatu prioritas dijalankan
dengan tepat dan benar, maka kepemimpinan adalah
untuk memutuskan apa saja yang termasuk dalam hal-hal
prioritas itu.
Apabila penilaian kegagalan itu
benar-benar berkembang luas, maka tanda “kekacauan”
menyeluruh segera menimpa PMKRI sebagai sebuah organsiasi.
Apa dasarnya? Percobaan penerapan konsep TO selama
ini, sedikit atau banyak, harus diakui telah “menjungkirbalikan”
sistem atau tata hubungan keorganisasian. Bagaimanapun
kehadiran TO dimaksudkan untuk menciptakan sesuatu
(sistem dan kultur) yang baru untuk menggantikan
sistem dan kultur lama karena barangkali dianggap
telah usang. Sementara hingga saat ini, sesuatu
yang baru itu belum begitu jelas. Praktis akan menimbulkan
kegoncangan dan kebingunan. Keadaan demikian harus
diantisipasi dengan baik sejak dini. Maka itu harus
ditopang dengan managemen yang baik serta kepemimpinan
yang efektif sehingga proses transisi di PMKRI sekarang
berjalan normal.
Kesimpulan
Jika perubahan adalah kensicayaan
zaman, tentu tidak ada sangkalan apabila PMKRI harus
berubah dan dirubah, baik struktur maupun kulturnya
yang sama-sama kita anggap pantas untuk dirubah.
Kecuali satu catatan penting yakni perubahan itu
mengandaikan bahwa kita tahu apa yang harus dirubah.
Supaya tahu apa yang harus dirubah maka kita pun
mesti tahu tentang PMKRI secara utuh; baik historis,
filosofis, dan politis, maupun tujuan-tujuan, karakteristik,
aspek kelembagaan dan sebagainya. Dengan demikian,
perubahan itu dapat dipastikan berjalan benar, tepat
dan terukur, baik dalam isi maupun caranya, Pemahaman
yang tidak utuh berkemungkinan besar melahirkan
rumusan konsep perubahan yang salah sasaran, ketidakjelasan
arah serta rapuh.
Penulis:
Anggota Biasa PMKRI Cabang Denpasar,
Staf PP PMKRI Periode 2000 - 2002
Jakarta, November 2003