PEMILIHAN PRESIDEN LANGSUNG
SUBSTANSI DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh : Zainal Arifin
Keputusan politik untuk melakukan pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sebetulnya
sudah merupakan sebuah langkah maju. Sekaligus menjanjikan
kultur politik demokratis di masa depan. Problemnya
adalah bagaimana hal tersebut dapat diatur secara
baik sehingga akan berujung pada sekurang-kurangnya
dua hal yakni, munculnya pemimpin yang berkualitas
di satu sisi, dan pada sisi lainnya juga sebagai
momentum untuk menumbuhkan kualitas partisipasi
politik rakyat. Dengan demikian, rakyat tidak hanya
sekedar dimobilisir tetapi sekaligus memperoleh
pendidikan dan pencerahan politik.
Hasil perubahan UUD 1945 jelas mengamanatkan
perlunya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan
secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD 1945).
Akan tetapi, yang kemudian melahirkan perdebatan
dan silang pendapat terutama adalah penguraian ketentuan
konstitusi tersebut ke dalam Undang-Undang (UU)
yang mengatur prosedur, mekanisme dan persyaratan
calon Presiden. Hal ini terlihat jelas dalam proses
pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, yang telah disahkan
menjadi Undang-Undang No. 23 tahun 2003 pada bulan
Juli lalu.
Akan tetapi harus diakui, UU No. 23
tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (selanjutnya disebut UU Pilpres) tersebut
dalam dirinya masih mengandung kontroversi dan kelemahan-kelemahan.
Dalam tulisan ini akan disinggung beberapa kelemahan
pokok dari UU tersebut yang berimplikasi serius
terhadap kualitas partisipasi politik dan upaya
perlindungan bagi hak pemilih.
Karena pemilihan presiden secara langsung
relatif masih baru, tentu banyak segi yang perlu
disoroti. Fokus tulisan ini ialah pada substansi
dan problematika pemilihan Presiden dari perspektif
pemilih, yang semestinya dilindungi oleh UU. Hak
dan kepentingan pemilih adalah soal yang terabaikan
dalam wacana publik selama ini, termasuk dalam proses
pembahasan RUU Pilpres.
Melindungi Pemilih
Salah satu isu penting dalam pembahasan
RUU Pilpres adalah menyangkut proses penetapan persyaratan
dalam seleksi calon Presiden. Hal ini penting ditekankan
karena kita menghendaki agar rakyat tidak salah
dalam menentukan pilihannya kelak. Dengan kata lain,
memilih orang yang dianggap tepat dan layak. Mengapa
demikian? Karena di dalam sistem presidensial, rakyat
hanya diberi kesempatan memilih sekali dalam lima
tahun. Prinsipnya adalah, presiden terpilih memangku
jabatan tetap (fixed term) selama periode lima tahun.
Secara politik presiden tidak dapat dijatuhkan di
tengah jalan atau selama memerintah. Karena itu,
selaku subyek yang menentukan siapa yang layak menjadi
Presiden, rakyat mesti diingatkan dan dilindungi
hak pilihnya agar bisa memilih dengan sebaik-baiknya.
Langkah yang diperlukan supaya pemilu
presiden itu sunguh-sungguh menjadi sebuah proses
politik yang bermakna tak lain adalah sebuah UU
yang menjamin bahwa rakyat dapat menggunakan kesempatan
tersebut secara baik dan tepat. Namun dari proses
pembahasan RUU Pilpres tampaknya apa yang diharapkan
itu masih jauh dari tercapai. Perdebatan seputar
syarat-syarat calon pada waktu itu berlangsung cukup
alot. Akan tetapi, pada akhirnya tak terhindarkan
adanya kompromi-kompromi politik antara partai-partai
besar. Terutama mengenai pasal-pasal yang mempengaruhi
posisi dari calon presiden masing-masing partai.
Sebagai contoh adalah perdebatan ketika menyusun
pasal 6 tentang syarat calon presiden dan wakil
presiden. Akhirnya, masing-masing partai merelakan
dihapusnya prinsip yang diperjuangkan, demi memperoleh
keringanan bagi calon presidennya sendiri-sendiri.
Kepentingan dan hak pemilih untuk mendapat calon
presiden yang memenuhi syarat sebaik-baiknya, diabaikan
dan tersingkirkan.
Partai Golkar misalnya, menolak usul
pencantuman syarat bahwa calon presiden bukanlah
seorang yang sedang jadi terdakwa dalam perkara
pidana. Ini berkaitan dengan posisi Akbar Tanjung
selaku ketua umum Partai Golkar yang sedang tersangkut
perkara korupsi dana nonbudgeter Bulog. Sebagai
imbangannya, PDI Perjuangan menolak usul Partai
Golkar agar calon presiden memenuhi syarat pendidikan
S1, dengan alasan hal itu tidak relevan dengan kecakapan
memimpin negara. Tentu penolakan ini berkenaan dengan
diri Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan
dan sekaligus calon presiden partai untuk pemilu
akan datang. Kemudian syarat “sehat jasmani dan
rohani” pun tidak disebut-sebut lagi, sehubungan
dengan keadaan KH Abdurrahman Wahid, yang sangat
mungkin jadi calon presiden dari PKB. Yang tetap
tercantum ialah “mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden”.
Sebetulnya mengenai persyaratan tingkat
pendidikan terakhir, selain tidak tercantum dalam
konstitusi sebagai syarat seorang presiden, mayoritas
fraksi serta opini umum yang berkembang di masyarakat
melihat hal itu tidak terlampau signifikan untuk
diatur dalam UU. Akan tetapi mengenai syarat status
“bukan terdakwa kejahatan pidana” atau yang sedang
tersangkut perkara pidana memang impilikasinya sangat
serius terhadap hak pilih rakyat.
Pertanyaannya ialah apakah UU Pilpres
yang ada cukup memberi perlindungan pada hak para
pemilih? Harus diakui bahwa UU No. 23 tahun 2003
memang belum menjamin hal itu. Maka konsekuensinya,
ketika tak ada ketentuan yang melarang seorang terdakwa
atau tersangkut perkara pidana menjadi calon Presiden,
artinya sama dengan mereduksi makna pemilu itu sebagai
sebuah mekanisme politik yang fair dan demokratis
dalam menentukan pemimpin bangsa yang dipercaya.
Misalnya, jika ternyata di kemudian
hari calon yang berstatus terdakwa terpilih sebagai
Presiden atau Wapres, tapi kemudian terbukti melakukan
pelanggaran hukum dan divonis pidana penjara, maka
selain mengganggu jalannya pemerintahan, hal itu
juga mengkhianati aspirasi rakyat pemilihnya. Sekaligus
pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai sarana
penegakan hukum dan kedaulatan rakyat ikut dicederai.
Kendala waktu dan geografi
Sekurang-kurangnya terdapat dua permasalahan
lain yang juga jadi kendala dilihat dari sudut pengutamaan
hak pemilih. Pertama, mengenai schedule pelaksanaan
pemilu presiden. Penentuan pasangan calon presiden
dan wakilnya baru dilakukan setelah pemilu legislatif.
Pasal 5 ayat 3 UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilu
Presiden dan Wapres mengatur bahwa pendaftaran pasangan
calon oleh partai politik atau gabungan partai politik
ke KPU dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan
perolehan kursi DPR atau perolehan suara sah seperti
yang ditentukan oleh undang-undang.
Rentang waktu yang pendek antara penentuan
pasangan calon dan waktu pemilihan menjadi problem.
Antara lain, para calon tidak memiliki banyak waktu
untuk memperkenalkan diri dan programnya. Di pihak
lain, rakyat pemilih tidak diberi waktu yang cukup
untuk melakukan penilaian dan mengenal para kandidat
presiden. Risiko salah pilih cukup besar.
Kedua, faktor geografi Indonesia sebagai
negara kepulauan akan sangat berpengaruh terhadap
efektifitas pelaksanaan tahapan pemilu presiden.
Misalnya, pelaksanaan kampanye kandidat presiden
dalam rangka pengenalan visi dan programnya. UU
Pilpres menegaskan pelaksanaan kampanye itu dilakukan
di seluruh wilayah Negara Indonesia (pasal 36 ayat
5). Pada tahapan ini, keadaan geografi (negara yang
terdiri dari pulau-pulau dan laut serta aspek keluasan
wilayah) disertai iklim yang tidak kondusif (misalnya,
curah hujan dan gelombang laut) yang bakal terjadi
pada bulan-bulan pelaksanaannya tentu mengundang
permasalahan tersendiri. Akibatnya dapat menggangu
perencanaan schedule waktu dan tempat yang sudah
ditetapkan bagi pelaksanaan kampanye pemilu presiden.
Perjalanan para calon ke seluruh pelosok tanah air,
dari sabang sampai Merauke untuk mempekenalkan diri
juga ikut terhambat. Ditambah dengan ketersediaan
sarana dan prasarananya tidak cukup memadai untuk
mencapai tujuan dan sasaran kampanye.
Tahapan lainnya, seperti pendistribusian
surat suara dari KPU ke tempat-tempat pemungutan
suara di berbagai daerah atau sebaliknya pun akan
menemukan kendala serupa. Sementara UU Pilpres menegaskan
pelaksanaannya secara cepat, tepat, dan akurat dengan
mengutamakan aspek kualitas, keamanan, dan hemat
anggaran (pasal, 17 ayat 1).
Permasalahan di atas penting dikemukankan
karena faktanya masih terdapat sebagian penduduk
di negeri ini, terutama di daerah-daerah terpencil
sama sekali tidak sempat mengenal para calon presiden
yang ada. Diketahui sebagian terbesar rakyat pemilih
terdapat di daerah-daerah pedesaan. Tidak mudah
dijangkau karena hambatan geografis.
Data hasil polling Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (Balitbang-Pusat PDI Perjuangan) pada
bulan Juni 2003 yang dilakukan di 15 Provinsi di
Indonesia menunjukkan minimnya informasi yang dimiliki
masyarakat pedesaan mengenai para calon presiden.
Sebagian bahkan belum pernah mendengar nama-nama
calon presiden sebagaimana yang disodorkan dalam
penelitian tersebut, antara lain adalah: Yuzril
Izha Mahendra, Yusuf Kalla, Wiranto, Taufik Kiemas,
Susilo Bambang Yodhoyono, Sultan Hamengkubuwono
X, Nurcholis Madjid, Megawati Soekarnoputri, Kwiek
Kian Gie, Hasyim Muzadi, Hamzah Haz, Amien Rais,
Akbar Tanjung dan Abdurrahman Wahid. Prosentase
responden yang belum pernah mendengar nama-nama
para calon presiden tersebut cukup siknifikan, yakni
berkisar antara 3,1 % - 64,6 % (lihat: Survey Balitbang
Pusat PDI Perjuangan).
Data tersebut diatas pada dasarnya
hendak berbicara tentang sosok kandidat Presiden
di mata para calon pemilih. Jumlahnya yang cukup
besar disertai tingkat penyebarannya yang hampir
merata, tentu tidak boleh dianggap sepele. Itu barulah
urusan nama. Belum lagi menyangkut persoalan track
record masing-masing kandidat. Karena itu penting
diungkapkan ke publik menyangkut kelayakannya. Agar
pemilih mengetahui secara persis siapa sebenarnya
sosok calon presiden yang mereka pilih itu. Tak
lain untuk melindungi hak para pemilih dalam penetapan
seleksi calon pemimpin bangsa di masa depan.
Calon Independen
Sempat pula mengemuka wacana mengenai
kandidat Presiden dari kalangan independen untuk
pemilu presiden 2004. Publik cukup merindukan tampilnya
kandidat presiden yang berasal dari luar partai
politik. Akan mungkinkah hal itu terwujud dalam
pemilu Presiden tahun 2004 nanti?
Kehendak memunculkan calon independen
tersebut tampaknya akan menemukan kendala, karena
aturannya masih mengandung kelemahan atau kurang
sempurna. Ketika merumuskan aturan dimaksud, hak
pemilih untuk menentukan calon presiden tidak cukup
mendapatkan perhatian. Begitu juga halnya dengan
hak untuk mendapat kesempatan bagi figur yang dipercaya
dan memenuhi syarat menjadi calon presiden dari
kalangan independen.
UUD 1945 hasil Amandemen sama sekali
tidak menyebut bagaimana seorang figur non-partai
politik – apabila ada dan dianggap layak – dapat
menjadi calon presiden. Konstitusi hanya menetapkan
kewenangan partai politik mengusulkan calon. Pasal
6A ayat 2 UUD 1945 berbunyi “Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Kemudian dalam
pasal 25 UU No. 23 tentang Pilpres, menegaskan “Calon
Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu”. Peranan partai politik begitu menonjol
sehingga tidak mungkin muncul calon presiden tanpa
melalui partai.
Konstitusi sudah menggariskan bahwa
pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu. Permasalahannya, UU Pilpres mengatur
syarat bagi partai politik dalam mengusulkan pasangan
calon presiden. Contoh, khusus untuk pemilu 2004,
partai politik harus memenuhi syarat sekurang-kurang
3% dari jumlah kursi DPR atau 5% dari perolehan
suara sah secara nasional (Pasal 101, Ketentuan
Peralihan). Padahal UUD 1945 tidak memberi syarat
yang membatasi partai politik untuk mengusulkan
pasangan calon. Yang diatur hanyalah syarat calon
presiden dan wakil presiden (Pasal 6 ayat 1), sekaligus
mengamanatkan perlunya sebuah UU yang mengatur lebih
lanjut syarat-syarat menjadi presiden dan wakil
presiden (Pasal 6 ayat 2). Akibat dari persyaratan
tersebut maka UU Pilpres telah mengambil alih hak
pemilih dalam proses seleksi ke-pemimpin-an nasional.
Karena semakin sedikit alternatif bagi pemilih dalam
menentukan calon presiden. Ketentuan konstitusi
sendiri tidak pernah memberi batasan seperti dalam
UU Pilpres tersebut. Dengan kata lain, UU Pilpres
telah mengebiri aturan konstitusi mengenai pencalonan
presiden oleh partai politik peserta pemilu, karena
itu melanggar konstitusi.
Sukar membayangkan munculnya calon
presiden independen dalam pemilu 2004 ini, jika
tak ada terobosan politik. Aturan mengenai pemilihan
presiden itu sendiri kurang mendukung. Hal itu disebabkan
karena dalam perumusan konstitusi dan UU itu – yang
dilakukan oleh wakil-wakil partai politik sendiri
– kepentingan partai tampak jauh lebih dominan ketimbang
usaha serius untuk melakukan perubahan seleksi presiden
sehingga lebih melayani kehendak rakyat dalam pengertian
yang sesungguhnya.
Kendala ini akan senantiasa menjadi
kenyataan, sampai ada perubahan dalam rumusan perundang-undangan
yang ada, mulai dari konstitusi sampai ke UU Pilpres.
Sementara itu, untuk memperluas pilihan rakyat sehingga
bisa mencakup calon-calon yang bermutu dari stock
kepemimpinan nasional yang ada, jalan yang saat
ini terbuka ialah bila partai-partai politik mempunyai
kesadaran pengutamaan hak pemilih, dengan cara memberi
dan mencari secara aktif kandidat dari luar partainya
juga. ***
Zaenal
Arifin
Anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan