Suatu ketika Hamlet berkata pada Horotio : masih
lebih banyak lagi sesuatu di sorga dan di bumi dari pada apa yang
dimimpikan dalam filsafatmu, Horotio. Kalimat tersebut barangkali
tepat pula bila ditujukan kepada para fisikawan di akhir abad ke-19.
Memasuki permulaan abad ke-19, perkembangan dalam penelitian fisika
klasik dapat dikatakan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Pada
saat itu, hampir semua bidang studi yang berhubungan dengan fisika,
seperti mekanika, gelombang, bunyi, optik, listrik, magnet dan
sebagainya telah dikuasai semuanya. Menjelang akhir abad ke-19,
sebagian besar fisikawan merasa puas dengan pengetahuan yang mereka
kuasai. Mereka mengira bahwa setiap hal penting dalam fisika sudah
diketahui, dan merasa tidak akan ada lagi penemuan-penemuan besar
untuk menjelaskan fenomena alam. Persoalan-persoalan yang masih ada
dalam fisika diyakini akan dapat dipecahkan menggunakan kerangka teori
yang suatu ketika dapat ditemukan.
Teori Kuantum
Pada tahun 1900, fisikawan berkebangsaan Jernam Max
Planck (1858-1947), memutuskan untuk mempelajari radiasi benda hitam.
Beliau berusaha untuk mendapatkan persamaan matematika yang menyangkut
bentuk dan posisi kurva pada grafik distribusi spektrum. Planck
menganggap bahwa permukaan benda hitam memancarkan radiasi secara
terus-menerus, sesuai dengan hukum-hukum fisika yang diakui pada saat
itu. Hukum-hukum itu diturunkan dari hukum dasar mekanika yang
dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Namun dengan asumsi tersebut
ternyata Planck gagal untuk mendapatkan persamaan matematika yang
dicarinya. Kegagalan ini telah mendorong Planck untuk berpendapat
bahwa hukum mekanika yang berkenaan dengan kerja suatu atom sedikit
banyak berbeda dengan hukum Newton.
Max Planck mulai dengan asumsi baru, bahwa
permukaan benda hitam tidak menyerap atau memancarkan energi secara
kontinyu, melainkan berjalan sedikit demi sedikit dan bertahap-tahap.
Menurut Planck, benda hitam menyerap energi dalam berkas-berkas kecil
dan memancarkan energi yang diserapnya dalam berkas-berkan kecil pula.
Berkas-berkas kecil itu selanjutnya disebut kuantum. Teori kuantum ini
bisa diibaratkan dengan naik atau turun menggunakan tangga. Hanya pada
posisi-posisi tertentu, yaitu pada posisi anak tangga kita dapat
menginjakkan kaki, dan tidak mungkin menginjakkan kaki di antara
anak-anak tangga itu. Dengan hipotesa yang revolusioner ini, Planck
berhasil menemukan suatu persamaan matematika untuk radiasi benda
hitam yang benar-benar sesuai dengan data percobaan yang diperolehnya.
Persamaan tersebut selanjutnya disebut Hukum Radiasi Benda Hitam
Planck yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan dari
suatu benda hitam berbeda-beda sesuai dengan panjang gelombang cahaya.
Planck mendapatkan suatu persamaan : E = hn, yang menyatakan bahwa
energi suatu kuantum (E) adalah setara dengan nilai tetapan tertentu
yang dikenal sebagai tetapan Planck (h), dikalikan dengan frekwensi
(n) kuantum radiasi. Hipotesa Planck yang bertentangan dengan teori
klasik tentang gelombang elektromagnetik ini merupakan titik awal dari
lahirnya teori kuantum yang menandai terjadinya revolusi dalam bidang
fisika. Terobosan Planck merupakan tindakan yang sangat berani karena
bertentangan dengan hukum fisika yang telah mapan dan sangat
dihormati. Dengan teori ini ilmu fisika mampu menyuguhkan pengertian
yang mendalam tentang alam benda dan materi. Planck menerbitkan
karyanya pada majalah yang sangat terkenal. Namun untuk beberapa saat,
karya Planck ini tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat ilmiah
saat itu. Pada mulanya, Planck sendiri dan fisikawan lainnya
menganggap bahwa hipotesa tersebut tidak lain dari fiksi matematika
yang cocok. Namun setelah berjalan beberapa tahun, anggapan tersebut
berubah hingga hipotesa Planck tentang kuantum dapat digunakan untuk
menerangkan berbagai fenomena fisika.
Pengakuan terhadap Teori Kuantum
Teori kuantum sangat penting dalam ilmu pengetahuan
karena pada prinsipnya teori ini dapat digunakan untuk meramalkan
sifat-sifat kimia dan fisika suatu zat. Pengakuan terhadap hasil karya
Planck datang perlahan-lahan karena pendekatan yang ditempuhnya
merupakan cara berfikir yang sama sekali baru. Albert Einstein
misalnya, menggunakan konsep kuantum ini untuk menjelaskan efek foto
listrik yang diamatinya. Efek foto listrik merupakan fenomena fisika
berupa pancaran elektron dari permukaan benda apabila cahaya dengan
energi tertentu menimpa permukaan benda itu. Semua logam dapat
menunjukkan fenomena ini. Penjelasan Einstein mengenai efek foto
listrik itu terbilang sangat radikal, sehingga untuk beberapa waktu
tidak diterima secara umum. Namun ketika Einstein menerbitkan hasil
karyanya pada tahun 1905, penjelasannya memperoleh perhatian luas di
kalangan fisikawan. Dengan demikian, penerapan teori kuantum untuk
menjelaskan efek foto listrik telah mendorong ke arah perhatian yang
luar biasa terhadap teori kuantum dari Planck yang sebelumnya
diabaikan.
Pada tahun 1913, Niels Bohr, fisikawan
berkebangsaan Swedia, mengikuti jejak Einstein menerapkan teori
kuantum untuk menerangkan hasil studinya mengenai spektrum atom
hidrogen. Bohr mengemukakan teori baru mengenai struktur dan
sifat-sifat atom. Teori atom Bohr ini pada prinsipnya menggabungkan
teori kuantum Planck dan teori atom dari Ernest Rutherford yang
dikemukakan pada tahun 1911. Bohr mengemukakan bahwa apabila elektron
dalam orbit atom menyerap suatu kuantum energi, elektron akan meloncat
keluar menuju orbit yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika elektron itu
memancarkan suatu kuantum energi, elektron akan jatuh ke orbit yang
lebih dekat dengan inti atom.
Dengan teori kuantum, Bohr juga menemukan rumus
matematika yang dapat dipergunakan untuk menghitung panjang gelombang
dari semua garis yang muncul dalam spektrum atom hidrogen. Nilai hasil
perhitungan ternyata sangat cocok dengan yang diperoleh dari percobaan
langsung. Namun untuk unsur yang lebih rumit dari hidrogen, teori Bohr
ini ternyata tidak cocok dalam meramalkan panjang gelombang garis
spektrum. Meskipun demikian, teori ini diakui sebagai langkah maju
dalam menjelaskan fenomena-fenomena fisika yang terjadi dalam
tingkatan atomik. Teori kuantum dari Planck diakui kebenarannya karena
dapat dipakai untuk menjelaskan berbagai fenomena fisika yang saat itu
tidak bisa diterangkan dengan teori klasik. Pada tahun 1918 Planck
memperoleh hadiah Nobel bidang fisika berkat teori kuantumnya itu.
Dengan memanfaatkan teori kuantum untuk menjelaskan efek foto listrik,
Einstein memenangkan hadiah Nobel bidang fisika pada tahun 1921.
Selanjutnya Bohr yang mengikuti jejak Einstein menggunakan teori
kuantum untuk teori atomnya juga dianugerahi hadiah Nobel Bidang
fisika tahun 1922.
Tiga hadiah Nobel fisika dalam waktu yang hampir
berurutan di awal abad ke-20 itu menandai pengakuan secara luas
terhadap lahirnya teori mekanika kuantum. Teori ini mempunyai arti
penting dan fundamental dalam fisika. Di antara perkembangan beberapa
bidang ilmu pengetahuan di abad ke-20, perkembangan mekanika kuantum
memiliki arti yang paling penting, jauh lebih penting dibandingkan
teori relativitas dari Einstein. Oleh sebab itu, Planck dianggap
sebagai Bapak Mekanika Kuantum yang telah mengalihkan perhatian
penelitian dari fisika makro yang mempelajari objek-objek tampak ke
fisika mikro yang mempelajari objek-objek sub-atomik. Dengan adanya
perombakan dalam penelitian fisika yang dimulai sejak memasuki abad
ke-20 ini, maka perhatian orang mulai tertuju ke arah penelitian atom,
dan melalui penjelasan teori kuantum inilah manusia mampu mengenali
atom dengan baik.
Sebagai konsekwensi atas beralihnya bidang kajian
dalam fisika ini, maka muncullah beberapa disipilin ilmu spesialis
seperti fisika nuklir dan fisika zat padat. Fisika nuklir yang
perkembangannya cukup kontraversial kini menawarkan berbagai macam
aplikasi praktis yang sangat bermanfaat dalam kehidupan. Energi nuklir
misalnya, saat ini telah mensuplai sekitar 17 % kebutuan energi
listrik dunia. Sedang perkembangan dalam fisika zat pada telah
mengantarkan ke arah revolusi dalam bidang mikro elektronika, dan kini
sedang menuju ke arah nano elektronika.
Cairan Kuantum
Setelah berumur hampir seabad, teori kuantum masih
tetap mendapatkan perhatian yang sangat besar di kalangan fisikawan.
Hal ini terbukti dengan dimenagkannya hadiah Nobel bidang fisikat
untuk tahun 1998 ini oleh tiga kampium fisika kuantum akhir abad 20.
Komite Nobel Karolinska Institute di Stockholm, Swedia, pada tanggal
13 Oktober 1998 mengumunkan Prof. Robert B. Laughlin (universitas
Stanford, California), Prof. Daniel C. Tsui (Universitas Princeton)
dan Prof. Horst L. Stoemer (fisikawan berkebangsaan Jerman yang
bekerja di Universitas Columbia, New York dan sebagai peneliti di Bell
Labs, New Yersey) sebagai nobelis fisika tahun 1998.
Pada tahun 1982, Horst L. Stoemer dan Daniel C.
Tsui melakukan eksperimen dasar menggunakan medan magnet sangat kuat
pada temperatur rendah berupa superkonduktor yang didinginkan helium
cair. Para nobelis fisika itu berjasa dalam penemuan mekanisme aksi
elektron dalam medan magnet kuat sehingga membentuk partikel-partikel
elementer baru yang bermuatan mirip elektron. Pada tahun yang
bersamaan, Robert B. Laughlin juga menginformasikan fenomena serupa.
Melalui analisa fisika teori, mereka berhasil menunjukkan bahwa
elektron-elektron dalam medan magnet sangat kuat dapat berkondensasi
membentuk semacam cairan sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai
cairan kuantum.
Hasil yang diperoleh ketiga fisikawan tadi sangat
penting artinya bagi para peneliti dalam memahami struktur suatu
materi, termasuk pembuatan aneka perangkat superkonduktor. Temuan itu
juga merupakan terobosan dalam pengembangan teori dan eksperimen
fisika kuantum serta pengembangan konsep-konsep baru dalam beberapa
cabang fisika moderen. Para nobelis fisika sama-sama mempunyai latar
belakang riset dalam pengembangan fisika kuantum yang mempunyai peran
penting bagi kemajuan riset pengembangan perangkat fotonik. Temuan
para nobelis fisika tahun 1998 ini telah memungkinkan efek kuantum
menjadi mudah diamati. Fenomena Efek Hall (Hall effect) dalam fisika
yang pertama kali dilaporkan oleh Edwin H. Hall pada tahun 1879 dan
sangat menakjubkan itu, kini seakan-akan dapat diamati oleh para
fisikawan di manapun.
Komputer Fotonik
Kiprah mekanika kuantum di masa-masa mendatang
barang kali masih akan tetap diperhitungkan. Misteri lain yang mungkin
lebih besar barangkali masih tersimpan dalam teori kuantum itu. Paling
tidak para ilmuwan berharap, dengan mengendarai kuantum mereka akan
sampai pada tujuan mewujudkan impian berupa hadirnya perangkat fotonik
serta gagasan pembuatan komputer fotonik (komputer kuantum) yang akan
mencerahkan kehidupan manusia di awal milenium ketiga ini. Arun N.
Netravali, ilmuwan berdarah India yang menjabat Vice President
Research Lucent Technology dan Direktur Bell Labs di AS, telah
melakukan terobosan dalam proses pembuatan prosesor fotonik, sehingga
beliau pada tahun 1998 menerima penghargaan tertinggi dari perusahaan
elektronik NEC, Jepang. Basis dari perangkat fotonik ini bukan lagi
pada teknologi silikon seperti yang saat ini banyak diaplikasikan,
melainkan mulai bergerak menuju teknologi foton yang memanfaatkan
cahaya.
Para ilmuwan sebetulnya sudah sejak lama berusaha
mencari alternatif lain dalam mengembangkan komputer elektronik.
Mereka umumnya melirik jalam untuk beralih dari komputer elektronik ke
komputer fotonik. Banyak kelebihan yang dimiliki komputer fotonik ini
jika kelak benar-benar bisa diwujudkan, yaitu :
- Pada komputer elektronik sinyal dibawa oleh berkas elektron,
sedang pada komputer fotonik sinyal itu dibawa oleh foton (gelombang
elektromagnetik) dalam bentuk cahaya tampak.
- Gerak atau cepat rambat foton cahaya paling tidak mencapai tiga
kali lebih cepat dibandingkan cepat rambat elektron. Oleh sebab itu,
komputer fotonik akan bekerja jauh lebih cepat dibandingkan komputer
elektronik yang saat ini beredar.
- Semua cahaya tidak dapat saling mengganggu (berinterferensi)
kecuali jika cahaya-cahaya itu berasal dari satu sumber. Di samping
itu, cahaya dapat merambat di dalam serat optis yang lebih ringan
dibandingkan logam (tembaga) yang saat ini dipakai sebagai media
aliran elektron pada komputer elektronik.
- Pada komputer elektronik data disimpan dalam medium dua dimensi
seperti pita magnetik dan yang lainnya, sedang pada komputer fotonik
data dapat disimpan secara tiga dimensi dalam medium yang
ketebalannya berorde mikro meter. Jadi satu penyimpan fotonik bisa
memiliki kapasitas yang setara dengan ribuan penyimpan elektronik.
Kini para ilmuwan telah berhasil menghadirkan
sumber cahaya dalam bentuk laser semikonduktor dan LED (Light Emitting
Diode) yang dapat dipakai sebagai sumber pembawa sinyal pada komputer
fotonik. Teknologi serat optis pun sudah berkembang sedemikian rupa
sehingga siap mendukung tampilnya perangkat fotonik. Riset menuju
terwujudnya komputer fotonik berkembang sangat pesat dan telah
mencapai tingkat yang sangat mengagumkan. Tidak mustahil jika komputer
fotonik ini akan segera hadir di hadapan kita dan ikut meramaikan
unjuk kecanggihan teknologi moderen di awal milenium tiga ini.
Sumber: Elektro Indonesia no. 31/VI, Mei 2000