Update: 00.30 Wib Sabtu,  20  Mei 2000

  13 Warga Ranto Peureulak Mengaku Dianiaya Aparat Sejumlah 13 warga Desa Mata Ie, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, mengaku telah dianiaya oleh pasukan TNI Sat Rajawali III Pos Ranto Peureulak (Kebun Karang Inong PTPN-I), Rabu (17/5) siang. Dilaporkan pula, tiga warga luka berat, dan 12 KTP masih ditahan aparat.

  Nelayan A Timur Mengamuk, Empat Boat Pukat Dibakar Massa nelayan tradisional di Aceh Timur mengamuk dan membakar empat unit boat pukat langge (pukat sorong). Tindakan nekad itu dilakukan karena pukat langge disinyalir melakukan pencurian ikan, sehingga dinilai menjepit mata pencarian para nelayan tradisonal setempat. Namun, tak ada korban jiwa dari aksi pembakaran tersebut.

  Pasca MoU, Derita Aceh belum Berakhir? Nota kesepahaman atau "jeda kemanusiaan" antara pemerintah RI dengan GAM yang diteken 12 Mei 2000 di Davos, Swiss -- yang ter- bukti mendapat dukungan seluruh rakyat Aceh -- telah dinodai dengan sikap hiper arogan pihak-pihak tertentu. "Pasca penandatanganan MoU tersebut rakyat tetap jadi korban. Hidup tenang dan bebas dari rasa takut masih jauh dari harapan".

  Dan, Kesepahaman Itu pun Ternoda Nota kesepahaman atau "jeda kemanusiaan" antara pemerintah RI dengan GAM yang diteken 12 Mei 2000 di Davos, Swiss -- yang ter- bukti mendapat dukungan seluruh rakyat Aceh -- telah dinodai dengan sikap hiper arogan pihak-pihak tertentu. "Pasca penandatanganan MoU tersebut rakyat tetap jadi korban. Tampaknya, hidup tenang dan bebas dari rasa takut masih jauh dari harapan".

  RAPBD Diobok-obok, Dewan Usul Naik Gaji

  Korban Penembakan Dibawa ke RSU

  Diduga Pencuri Kabel, GC Ditembak Polisi

  Ribuan Anak Kekurangan Gizi

  MPI dan Gema Uteun Dukung Bebaskan Isolasi Kutacane

  61 TKW akan Berangkat ke Malaysia

  Temuan LSM-PEKA, DTD Agara Menguap Rp 89 Juta
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

13 Warga Ranto Peureulak Mengaku Dianiaya Aparat

Serambi-Langsa
Sejumlah 13 warga Desa Mata Ie, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, mengaku telah dianiaya oleh pasukan TNI Sat Rajawali III Pos Ranto Peureulak (Kebun Karang Inong PTPN-I), Rabu (17/5) siang. Dilaporkan pula, tiga warga luka berat, dan 12 KTP masih ditahan aparat.
Pengakuan itu disampaikan Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Timur, Saiful Bahri, dan Kepala Desa Mata Ie, M Nur Sufi, secara terpisah kepada Serambi, Jumat (19/5).
Kades M Nur Sufi berharap Dandim Aceh Timur agar menangani masalah ini, dan segera menyerahkan 12 KTP serta dua unit sepeda motor yang masih ditahan di Pos Kebun Karang Inong. "Kami berterima kasih aparat telah menjaga keamanan di desa. Tapi, kami menyesalkan tindakan penganiayaan yang membuat penduduk desa sekarang ini merasa tidak aman lagi. Karena KTP ditahan, warga itu tidak bisa kemana-mana," ungkap M Nur Sufi.
Ia dan para korban berharap aparat keamanan tidak bertindak semena-mena, sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi.
Dandim 0104 Aceh Timur, Letkol Inf Deni K Irawan, yang ditanya, mengaku belum mengetahui kejadian tersebut. Pihaknya berjanji akan mengecek ke Danden Rajawali yang bermarkas di Kutabinje, Julok.
Ia mengakui ada prajurit Rajawali yang belum mengerti bahwa status mereka di Aceh Timur adalah di-BKO Kodim. "Kalau mereka salah, akan kita peringatkan. Minimal saya akan mengingatkan Dan Den-nya," jelas Letkol Deni. "Tapi saya benar-benar nggak tahu ada kasus penganiayaan itu," ujarnya.
Tentang MoU jeda kemanusiaan, menurut Dandim, sebaiknya pemerintah segera menyebar-luaskan butir-butir/isi MoU tersebut. Sehingga seluruh masyarakat, termasuk aparat, tahu dan memahami. "Saya sendiri belum tahu apa isi MoU itu. Apalagi prajurit-prajurit," tambah Dandim.
Tebus Honda
Saiful Bahri memaparkan, kejadian berawal ketika pasukan Sat Rajawali (10 personil) melakukan patroli sekaligus 'sweeping' di kawasan Desa Mata Ie, sekitar 11 km dari Jalan Raya Banda Aceh-Medan, Rabu siang pukul 10.00 WIB.
Menurut keterangan masyarakat, waktu itu, aparat sempat menanyakan tentang rombongan AGAM yang melarikan diri ke arah desa itu kepada warga yang duduk di warung kopi, penarik RBT, maupun pedagang ikan (muge eungkot) yang dijumpai aparat secara terpisah-pisah. Jawaban masyarakat sama, bahwa mereka tidak tahu menahu dan tidak berjumpa dengan pasukan AGAM.
Selanjutnya, aparat melanjutkan perjalanan ke pelosok Desa Mata Ie. Kabarnya, saat berbalik pulang dan kembali melewati warung-warung tersebut, sekitar pukul 11.45 WIB, aparat Rajawali itu kembali menanyakan hal sama. Kali ini sembari 'sweeping' ketat dan marah-marah.
Dilaporkan, belasan warga yang saat itu tidak membawa KTP, dipukul dengan tangan dan popor senjata. Tiga warga yang luka berat (babak belur dan berdarah) masing-masing Said Ismail (40), Husein Abdullah (35), dan Mislanto (35). Seorang warga, Jafaruddin Ismail, sempat dibawa oleh aparat ke Markas bersama sepeda motor Yamaha RX-Special-nya. Jafaruddin dilepas menjelang maghrib, namun KTP dan sepeda motornya plus STNK masih ditahan sampai sekarang. Diduga karena STNK-nya mati dan belum bayar pajak.
Sedikitnya 12 warga yang mendapat pukulan ringan dan berat, umumnya karena tidak mengantungi KTP, antara lain Hanafiah (52), Tarmizi (25), Abubakar (51), Fazilan (20), Syahramli (18), Adi (20), Ramli Amin (25), Manyak (17), dan Musliadi. Saat kedatangan aparat tersebut, para korban sebagian sedang bekerja, seperti penarik RBT, muge eungkot, dan sebagian lainnya sedang duduk-duduk di warung ataupun baru pulang dari sawah/ladang. Seluruh korban sempat berobat di Puskesmas Ranto Peureulak. Namun, tidak ada yang diopname.
Saiful Bahri mengecam tindakan aparat kemananan itu. Menurut catatan Kontras Aceh Timur, penganiayaan yang sama --meski tak terlalu parah-- juga dilakukan aparat Rajawali di Desa Beurandang, Ranto Peureulak, serta Simpang Palang, Peureulak.(non)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Nelayan A Timur Mengamuk, Empat Boat Pukat Dibakar

Serambi-Langsa
Massa nelayan tradisional di Aceh Timur mengamuk dan membakar empat unit boat pukat langge (pukat sorong). Tindakan nekad itu dilakukan karena pukat langge disinyalir melakukan pencurian ikan, sehingga dinilai menjepit mata pencarian para nelayan tradisonal setempat. Namun, tak ada korban jiwa dari aksi pembakaran tersebut.
Peristiwa pembakaran boat pukat langge itu terjadi sekitar pukul 02.00 Wib, Rabu (17/5). Komandan Sat Pol Air Kuala Langsa melalui Bintara Operasi, Serka M Siregar yang didampingi Sertu Iskandar kepada Serambi Jumat (19/2) membenarkan adanya aksi pembakaran itu.
Petugas Pol Air mengetahui adanya peristiwa pembakaran boat langge pada pagi harinya, setelah salah seorang nelayan Alur Dua memberitahukannya.
Nelayan Alur Dua itu pada pagi dimaksud hendak melaut. Namun, ketika melintas kawasan Ujung Perling, ia melihat empat boat pukat langge sedang dijilat api. "Berdasarkan laporan itu baru kami mengetahui adanya kasus tersebut," ungkap seorang warga.
Nelayan tradisional selama ini terjepit mata pencarian akibat boat pukat sorong ini semakin merajalela beroperasi di perairan Aceh Timur. Padahal, boat pukat langge itu tidak memiliki izin beroperasi di wilayah tersebut, apalagi bila di lokasi nelayan tradisional biasa melaut. "Hal itulah yang membuat nelayan tradisional mengamuk," kata salah seorang nelayan Kuala Langsa yang enggan disebut namanya.
Sebelum terjadinya aksi itu, para nelayan telah berkali-kali memperingatkan pihak pukat langge agar jangan menangkap ikan di kawasan nelayan tradisional. Karena tak dihiraukan, dan pukat langge tetap membandel, ratusan massa nelayan tradisional pada malam tersebut memburu boat-boat asing tersebut. Empat boat pukat langge itu ditemukan sedang menangkap ikan di kawasan Ujung Perling.
Awak boat pukat langge tidak dapat berkutik, ketika massa nelayan tradisional itu melakukan aksi pembakaran, setelah sebelumnya seluruh awak kapal diperintah turun. Hingga kini, belum ada pihak yang diminta keterangan berkaitan dengan peristiwa tersebut. (tam)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Pemuda Muhammadiyah dan DEM-Unaya
Pasca MoU, Derita Aceh belum Berakhir?

Serambi-Banda Aceh
Nota kesepahaman atau "jeda kemanusiaan" antara pemerintah RI dengan GAM yang diteken 12 Mei 2000 di Davos, Swiss -- yang ter- bukti mendapat dukungan seluruh rakyat Aceh -- telah dinodai dengan sikap hiper arogan pihak-pihak tertentu. "Pasca penandatanganan MoU tersebut rakyat tetap jadi korban. Hidup tenang dan bebas dari rasa takut masih jauh dari harapan".
Demikian antara lain pernyataan Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Abulyatama (DEM-Unaya) dan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Propinsi Aceh melalui siaran pers yang diterima Serambi, Jumat kemarin.
Menurut Pemuda Muhammadiyah Aceh, menjelang dan pada saat penandatanganan MoU (nota kesepahaman) antara pemerintah RI dengan GAM di Davos, Swiss, seluruh rakyat Aceh berdoa di masjid dan mushalla. "Rakyat begitu sukacita".
Hingga hari ini, menurut Pemuda Muhammadiyah, seluruh rakyat Aceh dan semua pihak yang mendambakan hidup damai terus menunjukkan dukungannya sambil berdoa. Karena kesepahaman yang telah ditandatangani itu merupakan "entry point" bagi usaha bersama menghargai hak-hak asasi manusia sesuai hasil Konvensi Jenewa.
Dalam siaran pers-nya, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh menyatakan kesedihan mendalam sehubungan kenyataan yang terjadi dan menimpa rakyat Aceh di lapangan.
Mengutip laporan yang diterima Pemuda Muhammadiyah Aceh dari Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Aceh Besar, Aceh Timur, dan Aceh Selatan ternyata praktik kekerasan masih saja berlangsung. "Rakyat masih saja menjadi sasaran korban yang sangat empuk," ungkap Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh dalam pernyataan yang ditandatangani A Malik Musa SH M Hum (ketua), dan Taufiq A Rahim SE MSi (sekretaris).
Dalam siaran pers itu lebih lanjut Pemuda Muhammadiyah Aceh menyatakan, setelah rakyat menjadi korban bermunculan berbagai statement pembelaan dan penyalahan, baik dari elite TNI/Polri maupun GAM.
Namun statement yang dilontarkan membuat masyarakat semakin bingung. Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi sebenarnya, di mana rakyat tetap menjadi korban akibat pertikaian yang tak berujung.
Menghadapi kenyataan itu, Pemuda Muhammadiyah Aceh mempertanyakan, "Siapakah yang masih terus bermain dan ingin menghancurleburkan Aceh?".
Seharusnya, menurut Pemuda Muhammadiyah Aceh, "Pertanyaan itu bisa dijawab oleh pihak-pihak yang mengaku sangat terlatih dan bertaraf internasional serta memiliki tenaga intelligent yang sangat cakap".
Rakyat, kata Pemuda Muhammadiyah, jangan dijadikan "konsfirasi object politics" sebagai upaya melegitimasi praktik kekerasan yang terus saja terjadi. MoU yang ditandatangani di Davos diharapkan bisa menciptakan kesejukan dan kedamaian bagi rakyat Aceh. "Mudah- mudahan MoU bukan merupakan permainan politik tingkat tinggi untuk mengelabui mata dunia luar (internasional) terhadap pelanggaran HAM dan praktik kekerasan yang sudah lama berlangsung di Aceh".
Hiper arogan
Sementara itu DEM-Unaya Aceh dalam siaran pers yang ditandatangani Aliman Selian (ketua umum) dan Afrizal AB (sekjend) secara lebih tegas mengatakan, kesepahaman "jeda kemanusiaan" untuk Aceh telah dinodai oleh aksi hiper arogan aparat.
DEM-Unaya mengambil contoh kasus penembakan warga sipil di Aceh Utara pada 18 Mei 2000.
Bagi DEM-Unaya, alasan (pembenaran) klasik seperti "dicurigai sebagai sipil bersenjata" tidak harus menjadi pembenaran untuk menghilangkan paksa nyawa rakyat sipil.
Kasus Aceh Utara itu, menurut DEM-Unaya merupakan sikap "pembangkangan" terhadap usaha bersama untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap rakyat sipil.
"Kondisi ini sangat kontras dengan pernyataan petinggi militer di Aceh Utara yang pernah menyatakan tidak ingin lagi melihat ada darah tertumpah," kata DEM-Unaya melukiskan kasus "Pesisir Utara Lhokseumawe".
Menyikapi kasus penembakan warga sipil di Aceh Utara tersebut, DEM- Unaya mengeluarkan tiga point pernyataan sikap. Pertama; Menuntut pertanggung jawaban Panglima TNI/Polri atas sikap hiper arogan aparatnya di Aceh Utara. Kedua; Menuntut mundur Kapolres Aceh Utara dan Danrem 011 Lilawangsa sebagai tanggung jawab moral terhadap kasus memalukan tersebut. Da, ketiga; Mengimbau semua pihak yang bertikai untuk memberi ruang bernafas kepada rakyat Aceh di belantara konflik berkepanjangan dengan menghargai kesepahaman ber- sama "jeda kemanusiaan".(asi)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Dan, "Kesepahaman" Itu pun Ternoda

Serambi-Banda Aceh
Nota kesepahaman atau "jeda kemanusiaan" antara pemerintah RI dengan GAM yang diteken 12 Mei 2000 di Davos, Swiss -- yang ter- bukti mendapat dukungan seluruh rakyat Aceh -- telah dinodai dengan sikap hiper arogan pihak-pihak tertentu. "Pasca penandatanganan MoU tersebut rakyat tetap jadi korban. Tampaknya, hidup tenang dan bebas dari rasa takut masih jauh dari harapan".
Demikian inti pernyataan Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Abulyatama (DEM-Unaya), Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsyiah, BEMA IAIN Ar-Raniry, dan Farmidia melalui siaran pers yang diterima Serambi, Jumat kema- rin.
Menurut Pemuda Muhammadiyah, menjelang dan pada saat penandatanganan MoU (nota kesepahaman) antara pemerintah RI dengan GAM di Davos, Swiss, seluruh rakyat Aceh berdoa di masjid dan mushalla. "Rakyat begitu sukacita".
Hingga hari ini, menurut Pemuda Muhammadiyah, seluruh rakyat Aceh dan semua pihak yang mendambakan hidup damai terus menunjukkan dukungannya sambil berdoa. Karena kesepahaman yang telah ditandatangani itu merupakan "entry point" bagi usaha bersama menghargai hak-hak asasi manusia sesuai hasil Konvensi Jenewa.
Dalam siaran pers-nya, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh menyatakan kesedihan mendalam sehubungan kenyataan yang terjadi dan menimpa rakyat Aceh di lapangan.
Mengutip laporan yang diterima Pemuda Muhammadiyah Aceh dari Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Aceh Besar, Aceh Timur, dan Aceh Selatan ternyata praktik kekerasan masih saja berlangsung. "Rakyat masih saja menjadi sasaran korban yang sangat empuk," ungkap Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh dalam pernyataan yang ditandatangani A Malik Musa SH M Hum (ketua), dan Taufiq A Rahim SE MSi (sekretaris).
Dalam siaran pers itu lebih lanjut Pemuda Muhammadiyah Aceh menyatakan, setelah rakyat menjadi korban bermunculan berbagai statement pembelaan dan penyalahan, baik dari elite TNI/Polri maupun GAM.
Namun statement yang dilontarkan membuat masyarakat semakin bingung. Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi sebenarnya, di mana rakyat tetap menjadi korban akibat pertikaian yang tak berujung.
Menghadapi kenyataan itu, Pemuda Muhammadiyah Aceh mempertanyakan, "Siapakah yang masih terus bermain dan ingin menghancurleburkan Aceh?".
Seharusnya, menurut Pemuda Muhammadiyah Aceh, "Pertanyaan itu bisa dijawab oleh pihak-pihak yang mengaku sangat terlatih dan bertaraf internasional serta memiliki tenaga intelligent yang sangat cakap".
MoU yang ditandatangani di Davos diharapkan bisa menciptakan kesejukan dan kedamaian bagi rakyat Aceh. "Mudah-mudahan MoU bukan merupakan permainan politik tingkat tinggi untuk mengelabui mata dunia luar (internasional) terhadap pelanggaran HAM dan praktik kekerasan yang sudah lama berlangsung di Aceh".
Hiper arogan
Sementara itu DEM-Unaya Aceh dalam siaran pers yang ditandatangani Aliman Selian (ketua umum) dan Afrizal AB (sekjend) secara lebih tegas mengatakan, kesepahaman "jeda kemanusiaan" untuk Aceh telah dinodai oleh aksi hiper arogan aparat. DEM-Unaya mengambil contoh kasus penembakan warga sipil di Aceh Utara pada 18 Mei 2000.
Bagi DEM-Unaya, alasan (pembenaran) klasik seperti "dicurigai sebagai sipil bersenjata" tidak harus menjadi pembenaran untuk menghilangkan paksa nyawa rakyat sipil.
"Kondisi ini sangat kontras dengan pernyataan petinggi militer di Aceh Utara yang pernah menyatakan tidak ingin lagi melihat ada darah tertumpah," kata DEM-Unaya melukiskan kasus "Pesisir Utara Lhokseumawe".
Menyikapi kasus penembakan warga sipil di Aceh Utara tersebut, DEM- Unaya mengeluarkan tiga point pernyataan sikap. Pertama; Menuntut pertanggung jawaban Panglima TNI/Polri atas sikap hiper arogan aparatnya di Aceh Utara. Kedua; Menuntut mundur Kapolres Aceh Utara dan Danrem 011 Lilawangsa sebagai tanggung jawab moral terhadap kasus memalukan tersebut. Da, ketiga; Mengimbau semua pihak yang bertikai untuk memberi ruang bernafas kepada rakyat Aceh di belantara konflik berkepanjangan dengan menghargai kesepahaman ber- sama "jeda kemanusiaan".
Pernyataan hampir senada datang dari BEM Unsyiah. Menurut BEM Unsyiah dalam siaran pers yang diteken Mukminan (ketua umum), dan Muslim (sekretaris), MoU "jeda kemanusiaan" antara pemerintah RI dengan GAM sedang mengalami ujian berat. Kasus "Pesisir Utara Lhokseumawe" menjadi salah satu bukti ke arah itu.
Menurut BEM Unsyiah, insiden "Pesisir Utara Lhoksemawe" yang terjadi 18 Mei 2000 bisa pula menjadi indikasi bahwa pernyataan dan komitmen yang telah dibuat hanyalah sebuah retorika dan jargon. Lebih ironis lagi -- menyusul sesuatu insiden -- terlihat sikap cenderung melakukan "cuci tangan" dan saling menyalahkan.
Penyesalan dan kutukan terhadap "ternodanya" MoU "jeda kemanusiaan" terus mengalir ke redaksi Serambi hingga pukul 22.00 tadi malam.
Farmidia, dalam siaran pers yang ditandatangani Muksal (ketua devisi aksi) menyatakan, "insiden Lhokseumawe" sangat disesalkan. Karena menurut Farmidia, Polri masih menggunakan kekerasan dalam penyelesaian kasus Aceh. Salah satu pernyataan sikap Farmidia adalah; Mendesak Kapolri memecat Syafie Aksal sebagai Kapolres Aceh Utara dan segera tarik semua pasukan BKO polisi di Aceh.
Sedangkan BEMA IAIN Ar-Raniry, melalui siaran pers yang di- tandatangani Effendi Hasan (president) dan Ridwan M (kepala BP2AO selain mengecam terjadinya insiden 18 Mei di Lhokseumawe, juga menyampaikan empat point pernyataan sikap. Salah satunya menuntut Gubernur dan Kapolda Aceh untuk bertanggung jawab dengan kejadian di Lhokseumawe, karena peristiwa itu dinilai tidak berperikemanusiaan dan melebihi tindakan sebelumnya, semisal kasus Beutong Ateuh.(tim)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

RAPBD "Diobok-obok", Dewan Usul Naik Gaji

Serambi-Banda Aceh
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2000 sebesar Rp 92 milyar yang diajukan eksekutif sempat "diobok-obok" oleh panitia anggaran. Sejumlah pos yang dianggap kurang menyentuh pelayanan publik langsung dicoret dan diproses ulang. Melalui "paket" RAPBD tersebut, dewan juga mengusulkan kenaikan gaji menjadi Rp 1,5 juta/bulan.
Pembahasan RAPBD 2000 Kota Banda Aceh oleh panitia anggaran (dari unsur legislatif dan eksekutif) dimulai secara efektif Senin (15/5). Proses pembahasan RAPBD tersebut dilaporkan sempat "memanas" karena sejumlah pos terjadi tumpang-tindih dan tidak tepat sasaran.
Pihak dewan menilai, penyusunan RAPBD kurang aspiratif sehingga banyak program yang seharusnya diprioritaskan tidak tercermin dalam rencana anggaran.
Akibatnya, ketika berlangsung pembahasan hari pertama, Senin (15/5) dilakukan revisi secara besar-besaran. Pos-pos yang dinilai tidak menyentuh kepentingan masyarakat langsung dicoret. Meski demikian tidak mempengaruhi angka RAPBD Banda Aceh sebesar Rp 92 milyar tersebut.
Usul naik gaji
Melalui RAPBD 2000 anggota DPRD Banda Aceh juga mengusulkan kenaikan gaji menjadi Rp 1,5 juta/bulan dari yang mereka terima selama ini sekitar Rp 900.000/bulan.
Usulan naik gaji atau yang populer dengan istilah penyesuaian itu diakui sejumlah anggota kelompok kerja (pokja) panitia anggaran DPRD Banda Aceh kepada Serambi yang dihubungi sejak dua hari terakhir.
Menurut anggota DPRD Banda Aceh, di antaranya Daeng Iskandar SE MM, Drs Salimin Sulaiman, dan Amri M Ali, usulan kenaikan gaji dinilai sangat wajar, mengingat jumlah yang mereka terima selama ini tidak sesuai lagi dengan tingkat kebutuhan. "Usul menaikkan gaji anggota DPRD Banda Aceh dinilai sangat manusiawi," timpal M Dahlan Yusuf, anggota dewan yang duduk dalam panitia anggaran namun tidak termasuk dalam pokja.
Menurut Dahlan, jika dibanding gaji anggota DPRD Tingkat I Aceh yang mencapai Rp 5 juta, kenaikan gaji anggota DPRD Kota Banda Aceh sekitar Rp 600.000 dari yang diterima selama ini belum seberapa. Bahkan, gaji anggota dewan di beberapa Dati II di Aceh ada yang sudah naik sejak beberapa bulan lalu.
Sementara itu menurut Daeng Iskandar dan Salimin Sulaiman (ketua dan anggota komisi B bidang keuangan), kenaikan gaji dewan yang baru tahap usulan itu masih terus dibicarakan dengan pihak eksekutif. "Kami terus membahas secara seksama RAPBD Banda Aceh yang diajukan eksekutif. Semuanya harus tepat sasaran," tandas Amri M Ali, anggota dewan dari F-PPP yang juga salah seorang anggota pokja.
Sekarang ini, kata Amri M Ali, eksekutif tidak boleh lagi mereka- reka jumlah anggaran yang diplotkan untuk suatu proyek. Anggaran rutin/pembangunan 2000 yang mencapai Rp 92 milyar (April-Desember) harus benar-benar tepat sasaran. "Kami ingin merubah imej terhadap dewan yang sering diistilahkan 4-D (datang, duduk, dengar, dan duit)," ujar Amri yang juga anggota komisi D yang membidangi pembangunan.
Soal PAD
Dalam rapat pembahasan RAPBD 2000, turut pula dipersoalkan target PAD (pendapatan asli daerah) dari sektor perparkiran. Dari sektor ini, Pemda Banda Aceh hanya menargetkan Rp 225 juta. Setelah dipotong biaya operasional yang katanya mencapai 40 persen, bisa dibayangkan berapa sisanya yang masuk kas daerah.
Kemudian soal perpajakan dan retribusi yang ditetapkan sekitar Rp 3 milyar. Dalam hal ini, pokja juga minta ditinjau ulang sehingga angkanya bisa ditingkatkan, terutama setelah Kepala Badan Pengelola Perparkiran (BPP) diserahterimakan dari pejabat lama Madjadji kepada T Raden.
Menurut keterangan yang diperoleh Serambi dari Amri M Ali, pembahasan RAPBD yang telah dilakukan selama tiga hari terakhir antara pokja dewan dengan pihak eksekutif akan diajukan kembali dalam rapat pleno yang dihadiri seluruh anggota dewan. Selanjutnya terserah kepada pleno apakah menyetujui atau menolak RAPBD 2000 untuk ditetapkan menjadi Perda.(rid)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Korban Penembakan Dibawa ke RSU

Serambi-Lhokseumawe
Dua di antara tiga korban penembakan aparat keamanan di Geudumbak Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, Jumat (19/5) dibawa ke RSU Lhokseumawe atas biaya pihak ketiga yang tidak mau disebut namanya. Sebelumnya, kedua korban itu dirawat di rumah, karena ketiadaan biaya.
Keduanya, Ny Latifah Ahmad (35) dan Mohd Nizar Rauf (22), adalah isteri dan anak Kepala Desa Geudumbak, Tgk Abdurrauf. Sedangkan seorang lainnya janda Juwairiah (30) penduduk Desa Langkahan, sampai kemarin belum dibawa karena tidak diketahui di mana berada.
Tiga korban tersebut ditembak aparat Sabtu (13/5) sehari usai penandatanganan MoU di Jenewa Swiss, akibatnya Ny Latifah mengalami 13 luka tembak di tubuhnya. Sedangkan Mohd Nizar ditembak di bagian kaki dan janda Juwairiah ditembak di bagian punggung, ujar warga setempat.
Sejak penembakan itu terjadi, ketiga korban tidak dibawa ke Puskesmas, terutama karena jarah tempuhnya mencapai 25 Km dengan kota kecamatan Tanah Jambo Aye. Sementara Puskesmas pembantu yang ada di Tanjung Dalam Selatan tidak berfungsi, karena petugas medis jarang bertugas di sana termasuk dokternya hanya datang seminggu sekali.
Karenanya, keluarga bersikap tidak membawa korban untuk dirawat secara intensif. Apalagi, pihak keluarga tidak mampu membiayai perawatan, ujar Mohd Nizar, putra Tgk Abdurrauf yang dihubungi di RSU Lhokseumawe kemarin.
Namun, kemarin, dua korban dijemput seseorang dengan menggunakan mobil dinas ke Desa Geudumbak. "Biaya pengobatan sudah ada yang menanggulanginya, namun orang yang menjemput itu tidak menyebutkan dari mana dan siapa penanggungjawab untuk membayar biaya rawatan kami di RSU," kata Nizar.
Keteranagan diperoleh dari korban, Ny Latifah mengaku luka bekas tembakan di payudara sebelah kanan mulai terinfeksi, demikian pula di bagian kaki dan tangannya mulai terasa berdenyut, serta kondisi tubuhnya semakin lemah.
Waktu itu, sembilan aparat satu diantaranya dikenal bernama MHL yang bertugas sebagai TPO masuk ke kawasan rumah korban mencari M Yasin yang lolos dari tahanan aparat yang bermarkas di Botren, Kecamatan Julok.
Ketika enam aparat itu datang ke rumahnya, ternyata M Yasin tidak berada di rumah, karena yang dicari tidak ditemukan akhirnya aparat melepaskan tembakan beruntun, sehingga melukai tiga warga sipil tak berdosa.
Kepala Desa Geudumbak kepada Serambi di RSU Jumat kemarin mengungkapkan, isterinya Ny Latifah Ahmad, tertembak aparat ketika sedang shalat dhuhur di gubuk di sawahnya (rangkang blang).
Belum kembali
Sementara dua warga yang ditangkap aparat keamanan ketika melakukan penyisiran ke kawasan timur Aceh Utara, sampai Jumat (19/5) kemarin belum kembali. Keluarga korban telah mencari ke berbagai pos keamanan di Aceh Utara dan Aceh Timur, tapi tidak mendapat jawaban pasti dan semua mengaku tidak menangkapnya.
Korban yang sampai kemarin masih dicari keluarganya adalah Darmi (40) warga Desa Pantonlabu Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Sementara satu korban lainnya adalah T Jailani Hasan (50) warga Desa Meunasah Tingkeum, Kecamatan Simpang Ulim Aceh Timur.
Korban Darmi, ditangkap pada (1/4) lalu ketika pasukan asal Aceh Timur, menyisir beberapa desa di kawasan Lueng Kecamatan Simpang Ulim. Sedangkan korban T Jailani Hasan, ditangkap Jumat (12/5) ketika aparat menyisir desa kawasan Meunasah Tingkeum, korban kala itu baru selesai berdoa di meunasah menyambut penandatanganan kesepakatan Jenewa.
Hamdan, anak kandung T Jailani Hasan, didampingi Ridhwan SH (pakciknya), kepada Serambi mengatakan, bahwa bapaknya ditangkap aparat sekitar pukul 10.25 WIB (12/5). Menurut Hamdan, pada hari itu sejumlah warga Meunasah Tingkeum berdoa di meunasah. Usai itu keluar ke kedai kecil dan tiba-tiba datang pasukan aparat keamanan, salah satu di antaranya adalah TPO MHL yang waktu itu dilengkapi dengan senjata dan baju loreng.
Melihat T Jailani duduk bersama beberapa warga lain, ia segera ditangkap. Namun ketika diperiksa ke beberapa pos aparat, kata Ridhwan SH, mereka mengaku tidak pernah menangkap korban.
Pihak keluarga korban meminta aparat penegak hukum di jajaran Aceh Timur atau Aceh Utara yang pernah menangkap kedua korban, agar dikembalikan. "Kami siap menerima korban dalam bentuk apa saja. Kalau sudah meninggal, jenazahnya pun kami terima," ungkap seorang keluarga korban dengan penuh harap. (tim)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Diduga Pencuri Kabel, GC Ditembak Polisi

Serambi-Sigli
Polisi berhasil membekuk GC (40) warga Desa Len Kecamatan Padangtiji yang selama ini diidentifikasi sebagai tersangka komplotan pencuri kabel listrik tegangan tinggi. Pelumpuhan tersangka setelah aparat mengepung rumahnya dan ia ditembak karena mencoba melarikan diri.
Prosesi pengepungan rumah GC sekitar pukul 06.30 Wib, Sabtu (19/5) membuat masyarakat setempat kaget. Sementara tersangka sudah lama diintai aparat kepolisian. Selama ini, GC terkenal sebagai "bos'nya komplotan pencuri kabel listrik tegangan tinggi sepanjang jalur jaringan Kecamatan Padangtiji dan Muara Tiga.
Ketika aparat dengan melibatkan dua truk Brimob mengepung rumahnya, tersangka mencoba untuk meloloskan diri. Gelagatnya cepat tercium aparat, akhirnya muncong senjata terpaksa diarahkan kepada tersangka. "Itu hanya upaya pelumpuhan saja, karena tersangka mencoba melarikan diri," kata Kapolres Pidie Letkol Pol Endang Emiqail Bagus kepada Serambi kemarin. Sebelum bergerak, kata Bagus, polisi sudah mendapatkan informasi yang akurat tentang keberadaan tersangka di rumahnya. Ketika itu puluhan aparat langsung menuju rumah korban. Saat dikepung rumahnya, ia mencoba melarikan diri, akhirnya aparat terpaksa melumpuhkannya dengan menembak tersangka pada bagian paha.
Setelah roboh, menurut Bagus, tersangka ditangkap dan kini dalam pengawalan aparat. Sekarang pihak polisi sedang memberikan pengobatan intensif terhadap tersangka. "Luka tembak yang diderita tersangka tidak begitu parah, sehingga hanya membutuhkan perawatan biasa saja," kata Bagus.
Seharusnya tersangka tidak perlu berupaya meloloskan diri dari kepungan aparat. Kalau ia tidak lari, polisi tidak mungkin melumpuhkannya dengan tembakan. Bahkan aparat telah mencoba mengingatkan dan meminta tersangka untuk tidak melarikan diri. Karena tersangka tidak peduli, maka polisi terpaksa melepaskan tembakan pelumpuhan.
Pihaknya, kata Bagus, akan meminta keterangan lebih lanjut kepada tersangka, kendati ia sudah mengaku ikut terlibat dalam komplotan tersebut. Komplotan pencuri kabel listrik melibatkan banyak pihak. "Tidak mungkin tersangka bekerja sendiri, pasti banyak pihak lain yang terlibat," kata Bagus.
Kesepakatan
Sebelumnya polisi juga sudah menemukan barang bukti berupa kabel listrik curian di salah satu rumah penduduk di kawasan Desa Pulo Hagu Kecamatan Padangtiji pada Kamis (11/5), ketika polisi melakukan operasi. Selain menyita kabel listrik curian, juga ditemukan dua timbangan gantung.
Pemilik rumah di desa itu, menurut Bagus, kini menjadi buronan polisi. Diduga, pemilik rumah itu terlibat dalam komplotan pencurian kabel listrik tegangan tinggi yang sudah terpasang di sejumlah tower PLN. "Saya sudah sarankan, lebih baik pemilik rumah menyerahkan diri kepada polisi," katanya.
Sekitar 3,6 ton barang bukti yang berhasil diamankan polisi, menurut Bagus, rencananya akan diserahkan kepada PLN. Karena di Mapolres tidak ada gudang penyimpanan barang curian tersebut. Pihaknya mengaku sudah membicarakan masalah itu dengan pimpinan PLN.
Selain itu, tambah Bagus, pihaknya juga sudah meminta kepada PLN supaya pemasangan jaringan dilakukan secara bertahap. Maksudnya, setiap kabel yang sudah terpasang di setiap tower harus sudah ada arus listrik. Sehingga pencurian tidak mungkin terjadi, karena akan berbahaya bila mencuri kabel yang sudah berarus listrik.
Aksi pencurian kabel listrik tegangan tinggi, menurut Bagus, sudah berlangsung lama. Buktinya, hampir semua kabel yang sudah terpasang di kawasan Kecamatan Padangtiji dan Muaratiga banyak yang sudah hilang. Akibatnya, beberapa tower patah karena tidak ada keseimbangan.
Nekadnya komplotan itu melakukan aksi pencurian kabel, menurut Bagus, karena adanya pihak yang menampungnya. Bahkan harga kabel itu sangat tinggi, setelah dikupas lapisan bagian luar dan dipotong ukuran satu meter, kemudian baru dijual ke Medan Sumatera Utara.(tun)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Ribuan Anak Kekurangan Gizi

* HDC Harus Serius

Serambi-Langsa
Deperkirakan 3.000-an anak usia SD dan balita (bawah lima tahun) di Aceh Timur, kini dalam keadaan kekurangan gizi, bahkan nyaris kelaparan. Kekurangan gizi terutama ditemukan di kalangan keluarga bekas pengungsi dan kawasan pedesaan yang "rawan" keamanan.
Fakta tersebut merupakan temuan sejumlah LSM di daerah itu, antara lain Forum Peduli HAM Aceh Timur, Kontras, People Crisis Centre, dan beberapa lainnya yang turun langsung ke desa-desa.
Menurut Ketua FP HAM Aceh Timur Mohd Yusuf Puteh dan Koordinator Kontras Aceh Timur Saiful Bahri kepada Serambi Rabu (17/5), kekurangan gizi di kalangan balita dan anak-anak usia SD tersebut lebih disebabkan para orangtua mereka yang sulit mencari nafkah, terutama untuk mencukupi pangan dan gizi keluarga.
Penyebab sulitnya mencari nafkah di kalangan warga desa bekas pengungsi dan rawan keamanan tersebut, cukup bervariasi. "Banyak bekas pengungsi yang tidak punya modal menggarap lahan pertanian, seperti untuk membeli pupuk dan bibit padi. Karena selama ini mereka umumnya makan 'pade bijeh' (simpanan padi untuk bibit -Red)," papar Saiful.
Selain itu, banyak warga yang takut kepada aparat keamanan, sehingga tidak leluasa keluar rumah untuk mencari nafkah. Sebagian bahkan ada yang "dicari-cari" aparat dengan mendatangi ke rumah-rumah. Mereka umumnya berprofesi petani, nelayan, pedagang, bahkan juga sejumlah pimpinan pesantren. Para kepala keluarga yang merasa takut mencari nafkah ini umumnya bersembunyi di hutan atau di desa lain, dan terpaksa meninggalkan anak-anak dan istri.
Konsentrasi anak-anak kekurangan gizi/pangan ini umumnya terdapat di kecamatan-kecamatan wilayah Barat. Terbanyak kecamatan Ranto Peureulak, Julok, Idi Rayeuk, Nurussalam, dan Pante Bidari.
Para aktivis LSM ini berharap Komite Kemanusiaan yang nantinya dibentuk Henry Dunant Centre (HDC) dapat memperhatikan masalah ini secara serius. Penangananan dan penyaluran bantuan hendaknya langsung ke pedesaan. "Tidak perlu melalui orang-orang pemerintah. Karena sudah terbukti, banyak bantuan untuk rakyat, termasuk dana tanggap darurat, JPS, yang ditangani pemerintah selalu bermasalah," papar Saiful bahri.
Diharapkan para personil Komite Kemanusiaan HDC nantinya terdiri dari "orang-orang swasta" maupun aktivis yang jujur serta bermisi kemanusiaan dan perdamaian.
Menurut Yusuf Puteh, pihaknya bahkan tak berminat melaporkan masalah anak-anak kekerangan gizi/pangan ini ke Pemda Aceh Timur. "Rasanya mustahil mengharapkan Pemda dapat mengatasi masalah ini," ujar Yusuf Puteh. Dicontohkannya, bantuan dari Jakarta untuk pengungsi Aceh Timur yang masih tersisa Rp 500 juta dan kini tersimpan di kas Pemda, justru akan disalurkan untuk "pembangunan fisik" di desa. Bukannya untuk kemanusian atau kesejahteraan rakyat, seperti mengatasi masalah pangan, modal usaha, dan gizi anak-anak, yang saat ini mendesak dibutuhkan di sejumlah desa "rawan" keamanan tersebut.
Jumlah anak-anak kurang gizi/pangan di Aceh sejauh ini agaknya belum didata oleh Dinas Sosial maupun Kabag Kesra setempat.(non)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

MPI dan Gema Uteun Dukung Bebaskan Isolasi Kutacane

Serambi-Banda Aceh
Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) dan Yayasan Gema Uteun Aceh, mendukung rencana Pemda Aceh Tengara, merealisir program pembebasan isolasi Kutacane, melalui proyek pembangunan jalan tembus Lawe Pakam - Bahorok - Binjai - Medan.
"Alasannya, dengan dibangunnya jalan tembus tersebut, bukan saja telah membebaskan daerah itu dari keterisolirannya, -- tanpa merusak hutan lindung TNGL. Tapi, secara sosial ekonomi menguntungkan masyarakat Aceh dan Sumutera Utara," kata Ir H Abu Bakar Chekmat, kemarin.
Ketua Yayasan Gema Uteun Aceh Abu Bakar Chekmat menyebutkan, bila ditangani secara profesional dan transparan, maka pembukaan jalan tembus Kutacane - Bahorok, yang panjangnya sekitar 38 - 40 kilometer, dipastikan tidak akan merusak ekosistem TNGL.
"Malah, dengan adanya jalan di tengah hutan TNGL itu, secara tidak langsung akan mempermudah petugas mengawasi dan memberikan perlindungan terhadap ancaman perambah hutan lindung tersebut," katanya.
Menurut Wakil Ketua MPI Bakorda Aceh itu, apa yang disinyalir yang diikuti "gertak sambal" tim konsersium penyelamat hutan-kawasan ekosistem Leuser (TKPH-KEL) dan TNGL Sumut, dinilai sangat tidak berdasar.
Sebab, pembukaan jalan tembus Bahorok - Kutacane yang panjangnya sekitar 38 kilometer atau menghabiskan sekitar 16 - 20 hektar areal hutan yang harus ditebang. Karena, dengan asumsi jalan yang dibangun itu luasnya mencapai 40 meter, termasuk berem jalan, justeru selain menguntungkan masyarakat, juga mempemudah aparat melakukan pengawasan dan memberikan perlindungan ancaman perambahan dan pepencurian kayu di kawasan hutan lindung itu sendiri.
Seperti disiarkan harian ini, elemen pengacara yang terrgabung dalam Tim Konsersium Penyelamat Hutan-kawasan ekosistem Leuser (TKPH-KEL), dan TNGL di Sumut, mengancam akan menyeret Bupati Aceh Tenggara dan Langkat ke PN, bila jalan tembus Kutacane - Bahorok, direalisir.
Alasannya, pembangunan jalan yang akan membelah TNGL itu, akan merusak 75 persen hutan TNGL yang berada di Sumut, dan 25 persen yang berada di Aceh.
Menurutnya, yang terpenting dalam merealisir proyek pembebasan isolasi Kutarane, yaitu proyek pembangunan jalan tembus Kutacane Bahorok. Baik Pemda Aceh Tenggara, Pemda Langkat Sumatera Utara, maupun semua elemen masyarakat yang komit terhadap pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) -- pelestarian lingkungan hidup, termasuk TNGL, mampu memberikan jaminan. Dalam merealisir pembangunan jalan tembus itu, sekecil apa pun tidak akan terjadi perambahan dan pengambilan kayu di luar area yang telah diperuntukkan bagi pembangunan jalan tersebut.
Untuk menghindari berbagai kemungkinan buruk yang dapat mengganggu merusak hutan lindung TNGL, kecuali areal yang diperuntukkan bagi pembangunan badan jalan, MPI dan Gema Uteun menyarankan Pemda Aceh Tenggara, agar pelaksanaan proyek pembangunan jalan tembus itu tidak diserahkan kepada swasta. Tapi, ditangani pemerintah dengan managemen profesional dan transparan. Bahkan, untuk menghindari penyimpangan sekecil apa pun di lapangan, kayu tebangan dalam areal seluas sekitar 20 hektar itu, tidak untuk diperjualbelikan, kecuali setelah dilelang negara secara terbuka.
Abu Bakar Chekmat menambahkan, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang dikenal sebagai paru-paru dinia, tetap harus dijaga kelestariannya, tanpa harus menyenyampingkan kelestarian umat menusia didalamnya, yang juga merupakan ekosistem dari palnet bumi ini.
Perlu diketahui, TNGL menghasilkan oksigen (O2). Namun, tak berarti harus mengeyampingkan kehidupan ekosistem manusia itu sendiri. Berbagai pihak dan kalangan yang selama ini mengklaim dirinya seolah-olah pahlawan lingkungan, padahal dibalik itu mengekspolitir PSDA, termasuk TNGL untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.
Negara-negara industri maju misalnya, yang selama ini merupakan penghasil karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2), kemudian menimpakan persoalannya kepada negara berkembang (tropis) untuk menyaring kembali udara kotor yang diproduksi mereka.
"Dimanakah letak keadilan dan keseimbangan. Apa yang dapat diberikan negara industri sebagai konpensasi dan fungsi ekosistem dan pelestarian hutan yang berada di Aceh," katanya, berargumen.
Ia mengakui, kehadiran HPH di Aceh secara tak langsung memberikan andil bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan daerah, meski sedikit dan terbatas bagi pengusaha luar Aceh.
Namun demikian, dengan adanya peraturan perundangan yang berlaku saat ini, seperti UU no.41 tahun 1999, UU no.22 tahun 1999, UU no.23 tahun 1997 dan keputusan Gubernur No.19 tahun 1999, maka diharapkan HPH yang beroperasi di Aceh, seyogyanya dilakukan restrukrisasi dan penataan ulang. Sehingga, azas kerakyatan, pemerataan, keadilan yang berkelanjutan tetap terjaga di daerah ini. (awi)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

61 TKW akan Berangkat ke Malaysia

Serambi-Banda Aceh
Perusahaan pengerah tenaga kerja PT Sahara Fajarindo akan kembali mengirim 61 Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Aceh ke Malaysia untuk dipekerjakan di dua perusahaan elektronik. Sebelumnya telah diberangkatkan 12 TKW.
Menurut staf Perwakilan Daerah (Perwada) Aceh PT Sahara Fajarindo, Nur Fitriana kepada Serambi, Jumat, sebanyak 19 TKW yang akan berangkat Minggu (21/5) akan bekerja di Solector Sdn Bhd Penang dan hari Kamis berangkat lagi 42 TKW untuk dipekerjakan di Iso Technologi Sdn Bhd Penang.
Hingga kini, katanya, ada delapan Malaysia yang menyatakan siap menampung TKW Aceh yaitu Be Brown Sdn Bhd (obat-obatan) sebanyak 31 orang , True Tech Sdn Bhd (elektronik) 68 orang, Mattel Sdn Bhd di Penang 98 orang.
Selain itu Matsusita Sdn Bhd Johor (elektronik) 40 orang, Shinobe Sdn Bhd Johor (plastik) 28 orang, Sumber Terang Sdn Bhd Johor (elektronik), Mahlin Sdn Bhd Penang (elektronik), dan Saudi Cold Sdn Bhd Kedah (makanan).
Fasilitas yang diterima TKW, katanya, cukup memuaskan. Antara lain penginapan, makan dan fasilitas kesehatan (obat-obatan). Selain gaji pokok yang berkisar antara 330 hingga 560 ringgit atau sekitar Rp 660 ribu hingga Rp 1,120 juta), mereka juga menerima tunjangan bulanan dan uang lembur. "Dengan fasilitas seperti itu, TKW diharapkan dapat mandiri dan jika pulang ke Aceh sudah mempunyai tabungan untuk membuka usaha sendiri," katanya.
Dikatakan, sejak Pemda Aceh membuka kembali kran pengiriman TKW ke luar negeri, sudah 500 orang lebih yang telah mendaftar di PT Sahara. Namun, banyak yang tidak mendapat kesempatan, terutama karena usianya sudah di atas 25 tahun. "Salah satu syaratnya, umur maksimal 25 tahun dan mengikuti tes yang dilaksanakan langsung perusahaan penampung tenaga kerja tersebut," katanya.
Sebelum berangkat, kata Nur, TKW harus memenuhi persyaratan keuangan berkisar Rp 2.500.000 guna membiayai pengurusan paspor, medical test, dan fee untuk agen. "Semua pengurusan sampai tiket keberangkatan menghabiskan dana sekitar Rp 2 juta, sedangkan perusahaan menerima sekitar Rp 500.000 per TKW," katanya.(ema)

To Indek:



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Temuan LSM-PEKA, DTD Agara "Menguap" Rp 89 Juta

Serambi-Banda Aceh
Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Ekonomi Kerakyatan Aceh (LSM- PEKA) dalam investigasinya menemukan penyelewengan dalam penyaluran Dana Tanggap Darurat (DTD) di Aceh Tenggara (Agara) sebesar Rp 89,095 juta.
"Penyelewengan dana tersebut sebanyak Rp 63 juta terjadi pada Bantuan Langsung Masyarakat untuk pembelian alat pertanian dan sebanyak Rp 26,095 juta di bidang kesehatan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggungjawabkan," ujar Koordinator Anti Korupsi LSM-PEKA, Akhiruddin Mahjudin dalam keterangan persnya yang diterima Serambi, Kamis.
Dijelaskan, penyelewengan tersebut terjadi pada dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan bidang kesehatan.
Dirincikan, dana BLM DTD Agara sebesar Rp 510 juta dialokasikan untuk pembelian 15 unit traktor Agrindo KB100L dan power tresher.
Pembelian traktor Agrindo KB100 L dan power tresher dianggarkan sebesar Rp 34 juta per unit, tetapi dari bukti yang diperoleh PEKA, harga traktor tersebut tidak lebih dari Rp 24 juta per unit, sementara harga power tresher Rp 5,8 juta per unit.
Sehingga, jumlah dana untuk pembelian semua alat pertanian tersebut hanya Rp 447 juta, bukan Rp 510 juta. "Jadi terdapat selisih dana yang masih perlu dipertanggungjawabkan sebesar Rp 63 juta," kata Akhiruddin.
Di bidang kesehatan, katanya, juga terjadi selisih dana. Untuk Puskesmas Pembantu, menurut laporan realisasi bantuan sebesar Rp 54,635 juta (56 unit). Setiap unit seharusnya menerima Rp 975 ribu, tetapi dalam daftar penyaluran disebutkan penerima bantuan sebanyak 65 unit Puskesmas Pembantu. Masing-masing Rp 840.538. "Kami beranggapan bahwa jumlah yang fiktif sebanyak sembilan unit Puskesmas Pembantu. Jadi terdapat kekurangan bayar Rp 135.625 per unit, sehingga jumlah dana keseluruhannya Rp 7,595 juta.
Kemudian alokasi DTD untuk 229 unit Polindes dengan dana sebesar Rp 114,5 juta atau per unitnya Rp 500 ribu. Namun, realisasinya di lapangan hanya 192 unit yang menerima bantuan tersebut. "Jadi ada 37 unit lagi yang tidak menerima DTD dengan total dana Rp 18,5 juta," katanya.
Selain itu, PEKA juga mensinyalir di Aceh Tenggara terjadi penyelewengan lebih DTD besar lagi, yaitu sekitar Rp 293,889 juta karena kekurangan bayar atau fiktif, antara lain bantuan untuk Posyandu.
Justru itu, PEKA mendesak DPRD Aceh dan Kejaksaan Tinggi Aceh agar melakukan penyelidikan, sementara BPKP juga didesak agar melakukan pemeriksaan terhadap instansi yang bertanggung jawab terhadap kasus di atas.(naz)

To Indek: