: 04.30 Wib Kamis, 08 Juni
2000
Diculik
9 Hari, Serda Yusuf Belum Ditemukan Serda M Yusuf (35), anggota Koramil Karang
Baru, Aceh Timur, yang diculik kelompok bersenjata tak dikenal sembilan hari
lalu, belum berhasil ditemukan, bahkan jejak korban juga tak dapat
dilacak.
Kejari
Lhokseumawe Digranat Kantor Kejaksaan Negeri Lhokseumawe di Jalan Tgk Chik Ditiro Lancang
Garam, Rabu (7/6) malam sekitar pukul 19.45 WIB, dilempar dengan granat oleh
kelompok tak dikenal. Namun, granat rakitan berbentuk berwarna hijau itu urung
meledak. Begitupun, akibat lemparan kaca pintu kantor institusi hukum itu
hancur.
Diancam,
Sidang PN Dipindahkan ke LP Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Rabu (7/6) kemarin, terpaksa menggelar
persidangan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) setempat menyusul ancaman pengacauan
dari orang tak dikenal melalui telepon. Ancaman itu diterima PN beberapa saat
menjelang persidangan kasus pencurian di Stadion Reklamasi Pusong akan
digelar.
Pelacuran
Politik yang Memalukan
Bantuan
Brunai tak Mengalir ke Aceh Utara
Dua
Korban Penganiayaan Masuk RSU
HMI
Desak RI dan GAM agar Konsekuen
Korban
DOM Harus Didata Ulang
WN
Amerika Dituduh Sodomi
Bandar
Sabu-sabu Diringkus Bersama Teman Kumpul Kebo
Perkampungan
Islam Antarbangsa Dibangun di Aceh Tengah
To Indek:
Diculik 9 Hari, Serda Yusuf Belum
Ditemukan
*M Daud Tewas Ditembak
Serambi-Banda
Aceh
Serda M
Yusuf (35), anggota Koramil Karang Baru, Aceh Timur, yang diculik kelompok
bersenjata tak dikenal sembilan hari lalu, belum berhasil ditemukan, bahkan
jejak korban juga tak dapat dilacak.
M Yusuf diculik saat mengantar undangan
kenduri sunat rasul (khitan) anaknya ke Alur Nonang, Telaga Muku, Kecamatan
Bendahara, Senin (29/5) lalu. Kini, kenduri sunat rasul itu batal, dan istri
serta ketiga anaknya menunggu kabar M Yusuf dengan hati gelisah.
Dandim 0104 Aceh Timur melalui
Danramil Karang Baru, Kapten Inf Urip Arifin, menjawab Serambi, Selasa (6/6),
mengatakan pihaknya terus berupaya melakukan pencarian jejak M Yusuf. Termasuk
mengerahkan pasukan dari Kodim. "Famili M Yusuf yang bisa masuk-masuk kampung
juga pernah diajak ikut mencari, tapi belum berhasil," ujar Urip.
Diceritakan, pada hari kejadian, M
Yusuf sibuk mengantar undangan sunat rasul ke Kuala Simpang dan sekitarnya.
Rencananya, kenduri akan diadakan Sabtu (3/6). Ia juga mengundang rekan-rekannya
di Koramil Karang Baru, tak terkecuali Danramil Urip Arifin. "Dia (M Yusuf -Red)
bilang, saya harus datang. Berkali-kali dia meyakinkan saya. Karena itu kenduri
sunat rasul anak laki satu-satunya," kenang Urip.
Kepada rekan-rekannya di Koramil, M Yusuf
melontarkan rencananya hendak mengantar undangan untuk beberapa saudaranya di
Telaga Muku, kecamatan Bendahara. Waktu itu, anggota-anggota Koramil tersebut
sempat mengingatkan, supaya ia tidak ke sana. Karena kawasan Telaga Muku itu
dianggap rawan.
Namun, M Yusuf ngotot ingin pergi. Ia tidak takut karena merasa tidak
berbuat salah. "Saya nggak takut. Di sana itu saudara-saudara saya semua," ujar
laki-laki asal Pidie, yang beristrikan perempuan Aceh yang tinggal di Opak.
Saudara-saudara istrinya banyak yang tinggal di Karang Baru, Bendahara, dan
sekitarnya. Selain itu, alasannya, ia merasa tidak enak menitip-nitip undangan
pada orang lain.
Sore
hari, sekitar pukul 17.00 WIB, M Yusuf berangkat mengendarai sepeda motor
ditemani A Rahman (65), juga warga Opak. Menurut keterangan A Rahman, dalam
perjalanan ke Telaga Muku, sekitar tiga kilometer dari Koramil Bendahara, Sungai
Yu, mereka berpapasan dengan seseorang bersepeda motor. M Yusuf yang mengenakan
baju biasa (tidak pakai seragam, dan tidak bersenjata) sempat mengangkat tangan
serta menyapa dalam bahasa Aceh.
Tak lama kemudian, tiba-tiba mereka dibuntuti
oleh dua sepeda motor yang dikendarai empat orang. Tiba di kawasan yang agak
sepi, jauh dari pemukiman penduduk, kawanan itu menyuruh M Yusuf berhenti. Ia
menghentikan sepeda motornya. Ternyata di tempat itu telah menunggu dua orang
lainnya yang diduga anggota kelompok tersebut. Salah seorang membuka jaket,
seolah memperlihatkan senjata laras panjangnya.
Melihat gelagat mencurigakan, M Yusuf sempat
mencoba lari masuk ke arah hutan belukar. Dikejar oleh beberapa orang, korban
terjatuh. Kemudian ia dipukuli kawanan bersenjata tersebut. M Yusuf tak mampu
melawan mereka dengan tangan kosong. "Bek neupoh lon. Lon ureung hino syit,"
kata M Yusuf (seperti dikutip A Rahman), ketika meminta agar korban jangan
dipukuli. Menurut A Rahman, pembicaraan kelompok itu dengan korban berlangsung
dalam bahasa Aceh.
Korban diikat tangannya, lalu dinaikkan ke atas sepeda motor,
selanjutnya dibawa ke arah Telaga Muku. Setelah kawanan itu pergi, A Rahman yang
ditinggal sendirian, langsung pulang dan menceritakan kejadian tersebut ke
Koramil Karang Baru. Sayangnya, tak satu pun anggota kelompok penculik tersebut
yang dikenalnya.
Ditembak
Sementara itu, seorang petani miskin penduduk Desa Blang Crok Kecamatan
Nisam Aceh Utara, Muhammad Daud (48), Selasa (6/6) tewas setelah sebutir peluru
aparat bersarang di bagian kepalanya. Korban tewas di RS Kesrem Lhokseumawe.
Sebelumnya korban sudah mendapat perawatan medis beberapa jam, namun karena luka
serius dan pendarahan hebat akhirnya korban meninggal.
Keterangan diperoleh Serambi dari keluarganya
mengatakan, aparat keamanan yang ditugaskan di posko Cot Sabong, Nisam, Senin
(5/6) sekitar pukul 10.30 WIB, melakukan operasi penyisiran ke Simpang Cot
Murong Nisam, sekaligus menurunkan bendera GAM serta melepaskan rentetan
tembakan.
Menurut Tgk
Jamalul (54) yang mengaku masih famili dekat dengan korban, Muhammad Daud
sehari-hari bekerja sebagai petani. Untuk menutupi kebutuhan dan meringankan
biaya rumah tangga, korban mencari ikan di alur dan payau dengan cara
menggunakan icu alat kontak ikan dalam air.
Ketika aparat melewati kawasan Simpang Cot
Murong, melihat korban sedang berdiri dengan baterai alat kontak ikan di tangan.
Karena merasa takut lantas korban mencoba hindar. Aparat curiga, sehingga
melepaskan tembakan yang mengakibatkan korban jatuh tersungkur setelah sebutir
peluru menembus bagian kepalanya. "Korban bukan anggota GAM," ujar Nur Hasanah
(32) yang masih keluarga korban.
Setelah ditembak, ayah tujuh anak itu
diangkut dengan truk aparat ke RS TNI-AD di Lhokseumawe, namun karena pendarahan
hebat Selasa meninggal. Jenazah korban dikembalikan kepada keluarganya Selasa
untuk dikebumikan, ungkap beberapa warga setempat.
Biro Penerangan GAM Wilayah Pase, Abu Sabar,
melalui telepon ke redaksi Serambi tadi malam, mengecam tindakan aparat
keamanan. Karena, disaat-saat GAM mematuhi jeda kemanusiaan yang ditandatangani
12 Mai dan berlaku Jumat 2 Juni lalu telah dinodai aparat. "Sejak jeda
kemanusiaan ditandatangani 12 Mei lalu, aparat TNI terbanyak melakukan
pelanggaran. Dari 31 nyawa melayang, sebanyak 25 di antaranya warga sipil, enam
lainnya polisi dan TNI- AD termasuk diantaranya kontak senjata antara pasukan
Brimob dengan Polisi Militer bulan Mei lalu," katanya.(tim)
To Indek:
Kejari Lhokseumawe Digranat
*Rentetan Senjata di Teritit
Serambi-Lhokseumawe
Kantor Kejaksaan Negeri Lhokseumawe di Jalan
Tgk Chik Ditiro Lancang Garam, Rabu (7/6) malam sekitar pukul 19.45 WIB,
dilempar dengan granat oleh kelompok tak dikenal. Namun, granat rakitan
berbentuk berwarna hijau itu urung meledak. Begitupun, akibat lemparan kaca
pintu kantor institusi hukum itu hancur.
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei
Aksal yang ditemui di TKP tadi malam menduga keras, upaya penggranatan itu
berkait dengan ancaman tutup kantor oleh pihak GAM. "Sejak hari Senin (5/6),
pihak kantor tersebut mendapat ancaman serius dari GAM. Selain lewat telepon
bertubi-tubi, juga melalui faksimil. Baik telepon maupun faks sama-sama melarang
kantor itu beraktivitas," ungkap Syafei.
Pada saat kejadian, satu-satunya pegawai yang
berada di kantor adalah Kasi Intel Kejari, Masril N SH. Saat itu ia sedang
menonton televisi. Begitu mendengar kaca pecah dan melihat granat bergulir di
lantai, ia secara reflek meloncat ke ruang belakang kantor.
Aparat keamanan sempat memintai
keterangan sejumlah pemuda Lancang Garam yang kala kejadian sedang nongkrong di
sebuah warung kopi yang bertaut jarak sekitar 10 meter dari Kantor Kejaksaan.
Namun, tidak ada satupun di antara mereka yang ditahan.
Kejadian pelemparan granat itu awalnya tidak
diketahui banyak masyarakat sekitar karena tidak terdengar suara ledakan. Namun,
ketika aparat keamanan tiba di TKP, masyarakat mendadak heboh dan mengalir ke
kantor yang luput dari upaya penghancuran tersebut.
Kantor Kejaksaan Lhokseumawe yang menjadi
sasaran pelemparan granat itu berada di kawasan pemukiman penduduk Desa Lancang
Garam. Namun, tidak jauh dari kantor itu juga bermarkas instalasi komunikasi PT
Telkom. Juga Kampus Unima. Tidak jauh dari sana juga ada bangunan SMP-5, MTsN,
dan kantor Dinas Pertanian Aceh Utara.
Tembak dan bakar
Dari Aceh Tengah, Rabu kemarin, dilaporkan,
tembakan beruntun pecah di lintasan jalan Teritit-Pondok kawasan Totorlah,
Kecamatan Bukit. Di tempat itu juga ditemukan kerangka sepeda motor RX King yang
diperkirakan baru saja dibakar.
Kejadian sekitar pukul 14.45 WIB itu sangat
mengejutkan warga sekitar. Bahkan sebagian besar pertokoan di pasar Simpang
Teritit tutup setelah nyalak senjata terdengar secara beruntun dari kawasan yang
hanya berjarak 1 km tersebut.
Serambi yang turun ke lokasi hanya mendapatkan bangkai sepeda motor RX
King, namun tidak ada lagi plat polisi, sehingga sepeda motor tersebut tidak
bisa diidentifikasi. Beberapa warga di kawasan itu mengaku mereka tidak melihat
proses pembakaran, kecuali tembakan yang puluhan kali. "Kami sangat takut dan
langsung tutup pintu. Kemudian datang anggota TNI menanyakan kenapa mereka tidak
memberitahukan ada orang yang menghadang," ujar beberapa warga yang saat itu
menjawab bahwa tidak mengetahuinya.
Mengenai sepeda motor yang dibakar, beberapa
warga memperkirakan milik Reno, warga Kecamatan Bandar. Anak muda itu beberapa
waktu sebelum kejadian melintas di kawasan jalan SP Teritit menuju Pondok Baru.
Namun hal itu belum dapat dipastikan, karena warga tidak melihat yang
bersangkutan.
Kapolres Aceh Tengah, Letkol (pol) Drs Misik Natari yang dikonfirmasi
Rabu sore, mengaku tidak tahu tentang kejadian tersebut. Pihaknya sudah
menurunkan tim untuk mengusut siapa pelaku. "Anggota saya lagi ngecek ke
lapangan, dan itu tidak terlibat anggota polisi," jelas Misik
Natari.(tim)
To Indek:
Diancam, Sidang PN Dipindahkan ke LP
Serambi-Lhokseumawe
Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Rabu (7/6)
kemarin, terpaksa menggelar persidangan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) setempat
menyusul ancaman pengacauan dari orang tak dikenal melalui telepon. Ancaman itu
diterima PN beberapa saat menjelang persidangan kasus pencurian di Stadion
Reklamasi Pusong akan digelar.
Menurut sumber Serambi, penelepon itu
mengancam bila PN Lhokseumawe tetap menyidangkan perkara tersebut maka akan
dikirim dua orang khusus untuk mengganggu jalannya persidangan. Karena ancaman
itu dianggap serius, PN mengambil kebijaksanaan memindahkan ruang sidang ke LP
Lhokseumawe.
Kasus
pencurian di Stadion Reklamasi Pusong yang disidangkan di LP Lhokseumawe itu
melibatkan empat pelaku. Persidangan para terdakwa di LP, dilukiskan,
berlangsung mulus walaupun agak terlambat dari jadwal yang direncanakan. Prosesi
peradilan itu, menurut informasi, berlangsung di ruang administrasi LP.
Persidangan hanya berlangsung sekitar setengah jam.
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei
Aksal yang konfirmasi, tadi malam, mengaku belum mendapat informasi pemindahan
tempat sidang pidana pencurian tersebut. Namun, disebutkan, pihaknya sudah
mendapat pengaduan ancaman tutup kantor dari pihak yang tidak menginginkan Aceh
aman.
Bendera
GAM
Sementara itu,
sekitar pukul 16.00 WIB kemarin, aparat kepolisian "menghalau" empat pria
bersenjata api laras panjang yang bersama sejumlah warga yang mengibarkan
bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di kawasan Panggoi, Kecamatan Muara Dua, Aceh
Utara.
Namun, menurut
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei Aksal yang didampingi Perwira
Penghubung Penerangan, Kapten Pol Drs AM Kamal, penertiban yang dilakukan aparat
tidak sampai menimbulkan kontak senjata. "Begitu kita datang, mereka sudah
pergi," ungkap kapolres. Dari kawasan tersebut aparat berhasil menyita sekitar 10 lembar bendera
GAM. (tim)
To Indek:
Soal Dana Hibah Brunei
Pelacuran Politik yang Memalukan
*IPNU: Jangan Syakwasangka
Serambi-Banda
Aceh
Sentral
Informasi Referendum Aceh (SIRA) menilai terbongkarnya kasus dana Hibah Sultan
Brunei Hasanul Bolqiah merupakan pelacuran politik yang memalukan bagi Aceh.
Namun, Ikatan Putra NU (IPNU) mengimbau masyarakat untuk berpikir jernih dan
tidak syakwasangka, karena belum tentu dana hibah itu
disalahgunakan.
Pernyataan itu disampaikan kedua lembaga tersebut dalam keterangan pers
tertulis yang dikirimkan ke Serambi, Rabu (7/6). Seperti yang diberitakan
sebelumnya, Afdal Yasin, yang mengelola dana tersebut mengaku telah menyalurkan
hibah Sultan Brunei tersebut sebesar Rp 3 milyar kepada sejumlah LSM, buffer
aksi, dan lembaga-lembaga lainnya. Namun, penyaluran ini menjadi silang-sengketa
dikalangan publik karena penyalurannya sangat gampang (hanya dengan mengajukan
proposal), dan pengontrolannya pun sangat longgar sehingga dikhawatirkan tidak
sampai ke sasaran.
Dana hibah Sultan Brunei secara pribadi (sebesar Rp 2 juta dolar AS) itu
diserahkan beberapa bulan lalu kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Dana itu
dimaksudkan sebagai bantuan kemanusiaan rakyat Aceh. Belakangan diketahui,
pengelolaan dana hibah itu adalah Yayasan Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja)
pimpinan Afdal Yasin.
Dalam keterangan tertulis yang ditandatangani M Nazar (ketua presidium)
dan Ridwan M (Komisi Litbang), SIRA menyatakan terbongkarnya kasus dana hibah
Sultan Brunei kepada rakyat Aceh sangat merugikan opini Aceh. Apalagi, sejumlah
dana tersebut sempat diterima beberapa lembaga yang misinya beragam. Mulai dari
kemanusiaan sampai kepada pemberdayaan. Tapi tidak disalurkan secara maksimal
kepada yang membutuhkan.
"Menurut pantauan SIRA di lapangan, kemungkinan hanya Pemraka dan
Wakampas yang menggunakan dana itu untuk misi kemanusiaan ke arah yang lebih
tepat. Sedangkan lembaga lainnya, belum bisa diketahui secara jelas,"
katanya.
SIRA
berpendapat, apapun alasannya, apabila dana tersebut hanya dimanfaatkan untuk
kelompok dan pribadi tertentu, hal ini merupakan pelacuran politik yang akan
memalukan bangsa Aceh. Hal itu juga akan menghambat proses penyelesaian kasus
Aceh secara komprehensif.
Dengan kejadian itu, SIRA mengharapkan agar semua lembaga agar lebih
berhati-hati. Karena persoalan ini bisa berpengaruh pada politik.
Selain itu, ketidakjelasan
penggunaan dana tersebut bukan tidak mungkin akan memicu kemarahan bangsa Aceh
terhadap lembaga-lembaga yang menyalahgunakan penyaluran dana itu. "Selama ini,
SIRA hanya memantau ada beberapa orang Aceh yang kerjanya bolak-balik istana
Presiden. Tapi SIRA belum mengetahui secara jelas misi dan informasi apa yang
diberikan kepada Gus Dur. Tetapi yang perlu diketahui oleh semua pihak, bahwa
persoalan tersebut akan berpengaruh besar terhadap penyelesaian kasus Aceh
secara keseluruhan. Karena itu, kepada lembaga-lembaga yang sempat menerima
bantuan dana tersebut sebaiknya segera mengklarifikasikannya kepada publik.
Tujuannya agar tidak menambah konflik baru," tegas SIRA.
Jangan vonis
Pada kesempatan berbeda, pengurus PC Ikatan
Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) Banda Aceh meminta kepada seluruh komponen
masyarakat Aceh agar jangan memvonis yayasan pengelola dana hibah dari sultan
Brunei. Menurut IPNU, belum tentu Yayasan Ahlussunah Waljamaah (Aswaja)
menyalahgunakan kepercayaan dalam penyaluran dana hibah dimaksud.
Sepengetahuan IPNU, sebut siaran
pers yang ditandatangani Zulfan Effendi (ketua) dan Safiran Nizar (sekretaris),
Yayasan Aswaja telah banyak menyalurkan dana hibah itu kepada komponen mahasiswa
yang turun langsung ke desa-desa. Mereka menyalurkannya melalui
pengabdian-pengabdian kepada masyarakat.
Untuk itu, komponen mahasiswa jangan langsung
membantah tidak pernah menerima bantuan dari Afdal Yasin ketika persoalan ini
mencuat. Karena, banyak pihak-pihak yang menuding dana itu tidak disalurkan
sesuai harapan masyarakat.
Di samping itu, IPNU mengharapkan kepada semua pihak jangan menuduh apa
yang telah dilakukan Yayasan Aswaja merupakan perbuatan salah. Karena,
persoalannya harus disesuaikan dulu dengan fakta yang ada di lapangan. Lagi
pula, banyak pihak yang bermain dalam penyelesaian masalah Aceh untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Bahkan IPNU menilai, cara penyaluran lebih
baik dikelola oleh yayasan/LSM dari pada Pemda. Karena, masyarakat sudah kurang
percaya kepada pemerintah daerah yang banyak melakukan
penyelewengan.
Pernah
terima
Pengurus
demisioner Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran (Sema FK) Unsyiah periode
1999-2000 mengaku pernah menerima dana dari Afdal Yasin. Bantuan dimaksud, sebut
siaran pers yang ditandatangani ketua dan sekretaris umumnya, Nasrul Musadir
Alsa dan Des Dwiputra Effendy, dipergunakan untuk berbagai kegiatan. Di
antaranya kegiatan bakti sosial FK di kamp pengungsi Cot Ijue, sumbangan untuk
pembangunan masjid saat melakukan pengabdian di Pulo Aceh, upaya
pengobatan/operasi Rizki Aria, bantuan biaya untuk pengobatan pasien penderita
tumor sub mandibula dari Cot Ijue, bantuan keberangkatan mahasiswa FK mengikuti
kegiatan di luar daerah, serta beberapa kegiatan kemahasiswaan yang berlangsung
di kampus FK Unsyiah.
Di samping itu, Sema FK Unsyiah juga pernah melakukan koordinasi dengan
BEMA IAIN Ar-raniry untuk membantu biaya pengobatan Angkasah (Mahasiswa IAIN
penderita luka bakar). Untuk itu, pengurus SEMA FK Unsyiah mengimbau semua pihak
agar tidak menjadikan persoalan ini sebagai konsumsi politik dan kepentingan
golongan/kelompok tertentu. "Sema FK Unsyiah mengenal Afdal Yasin sebagai orang
yang punya komitmen untuk kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Lagi pula, dalam
menyalurkan bantuan, ia tidak pernah menghubungkan dengan latar belakang apapun.
Apalagi latar belakang politik," kata pernyataan itu.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Aceh Besar,
Bachtari Arahas yang menelpon Serambi, Rabu (7/6) sore, meminta agar pihak
pengelola dana segera mengklarifikasi bantuan yang diserahkan untuk Pulau Aceh.
Karena, pihak legislatif perlu melakukan pengontrolan apakah dana itu
benar-benar sampai ke tujuan.
Jika tidak sampai ke tujuan, kata Bachtari, sangat kita sayangkan.
Berarti pula, kesempatan ini tidak diberikan untuk rakyat yang menderita.
Pengawasan itu juga dimaksudkan agar dana itu jangan sampai dipergunakan untuk
pribadi orang yang menerima bantuan dari Sultan Brunei melalui Yayasan
Aswaja.(yed)
To Indek:
Pengakuan LSM:
Bantuan Brunai tak Mengalir ke Aceh Utara
Serambi-Lhokseumawe
Sejumlah pengurus LSM di Aceh Utara,
menyebutkan tidak pernah mengajukan proposal dan menyalurkan bantuan yang
bersumber dari Sultan Brunai Darussalam. Mereka mengakui, ada sejumlah LSM yang
menerima bantuan dari luar negeri, namun bukan dari Sultan Brunai.
Keterangan tersebut diungkapkan
sejumlah pengurus LSM, Rabu (7/6) berkaitan dengan dana hibah dari Sultan Brunai
Darussalam untuk pemberdayaan masyarakat Aceh. Keberadaan bantuan itu sampai
sekarang masih simpang siur, karena tidak jelas siapa saja yang
menerimanya.
Mereka
yang ditemui secara terpisah antara lain, Pelaksana PKBI, T Nadirsyah, M Basri
dari Birata, Cut Mutia dari LBH Apik, dan Murdhani pengurus Forkla serta
pengurus LSM Limid. Sementara beberapa pengurus LSM lainnya, termasuk Mappra
tidak berada di tempat.
Disebutkan T Nadirsyah, PKBI merupakan salah satu LSM yang tertua di
Lhokseumawe. Kiprah yang diemban pihaknya adalah merehabilitasi kaum pengungsi,
baik ketika berada di kamp pengungsian maupun ketika mereka
pulang.
"Kami tidak
pernah meminta dan menerima bantuan dari Sultan Brunai atau melalui pihak yang
terkait dengan negara itu. Sumber dana yang kami peroleh dari Jepang melalui
Kedubes di Jakarta sekitar Rp 20 juta dan sudah disalurkan," ungkap
Nadirsyah.
Program
yang diusung adalah rehabilitasi rumah pengungsi, pemberdayaan ekonomi pertanian
di Pidie dan Bireuen. Terakhir menyantuni kaum pengungsi di Cot Rawatu, ketika
mereka masih berada di Masjid Meunasah Jurong, Sawang, jelasnya.
Sementara itu, Basri A Thaleb
menyebutkan, LSM Birata digerakkan untuk bidang kemanusiaan khususnya
memberdayakan korban DOM dan pasca DOM, termasuk kaum pengungsi, tidak pernah
mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan Sultan Brunai. Sedangkan sumber
dana yang dikelola mereka adalah dari donatur dalam negeri dan tidak
mengikat.
Hal yang
sama diungkapkan pengurus Forkla, Limid dan LBH Apik. Pada intinya mereka
menerima bantuan dari donatur dalam negeri dan luar negeri. Tetapi tidak
mengikat, dan bukan dari negara Brunai.
"Kalau ada proposal dan permohonan ke Brunai,
pasti kami ketahui. Karena setiap bantuan yang masuk berdasarkan proposal.
Biasanya tidak seluruh program disetujui," ujar pengurus Forkla.
Kalau memang ada LSM di Aceh Utara
yang menerima bantuan itu, hendaknya melaporkan atau menjelaskan secara
transparan. Karena jumlah LSM yang terdaftar di dinas terkait mencapai 40
lembaga. "Tapi hanya sebagian kecil yang terdaftar di Forum LSM," sebut
Basri.
Pengurus
Birata menyebutkan, LSM yang sudah mendaftar di Forum LSM Aceh antara lain
LPLHa, P3S, Peurata, dan Sahara. LSM Birata, Limid, Madika dan Forkla. "Forkla
dan Porjadom masih disebut KSM atau organisasi rakyat dan belum dapat disebutkan
sebagai LSM," ujar Murdhani.
Salah seorang pejabat terkait di Setdakab Aceh Utara menyebutkan, LSM
yang bergerak di Aceh Utara mencapai puluhan. Menyangkut kegiatan memang bukan
suatu kewajiban untuk melaporkan, tapi sebaiknya melakukan koordinasi, sehingga
diketahui apa yang sedang diberdayakan dan sumber dana dari mana mereka peroleh.
(u)
To Indek:
Patroli Aparat Kian Meresahkan
Dua Korban Penganiayaan Masuk RSU
Serambi-Langsa
Dua warga Desa Seunebok Rambong,
Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur, masing-masing Zainuddin Sulaiman (49) dan M
Isa (38), yang dianiaya aparat TNI Sat Rajawali III, Selasa kemarin, hingga Rabu
(7/6), masih diopname di RSU Langsa. Keduanya mengalami luka-luka lembab, sakit
dada, dan traumatis yang parah.
Hari itu juga Ketua FP HAM Aceh Timur, Mohd
Yusuf Puteh, langsung menyurati Dandim 0104 dan Kapolres Aceh Timur, meminta
agar aparat menghentikan tindak kekerasan dan sadis terhadap masyarakat tidak
berdosa.
Dalam surat
bernomor 047/FPHAM/VI/2000, Nek Suh mengingatkan Dandim dan Kapolres tentang
Jeda Kemanusiaan untuk Aceh yang telah ditanda-tangani. Karenya, ia sangat
menyesalkan tragedi yang dialami Zainuddin dan M Isa tersebut. Surat yang
tembusannya dikirim kepada Bupati Aceh Timur, ketua DPRD, dan Pers, itu juga
dilampirkan pengakuan tertulis kedua korban.
Kepada Serambi, M Yusuf Puteh alias Nek Suh
mengaku heran, setelah Jeda Kemanusiaan dimulai, aparat TNI --terutama pasukan
Sat Rajawali III yang bermarkas di Desa Bandar Baru, kecamatan Julok bergabung
dengan aparat satuan yang sama di kecamatan Nurussalam, Aceh Timur-- justru kian
aktif beroperasi ke desa-desa, yang diwarnai penganiayaan dan penculikan warga
tak bersalah.
Padahal
AGAM di kawasan Aceh Timur, terutama wilayah Peureulak, menurutnya, sudah
bersedia "menggantungkan senjata" selama Jeda Kemanusiaan berlaku. "Mengapa TNI
masih membandel?" tanya Nek Suh.
Dandim Aceh Timur Letkol Inf Deni K Irawan
yang berulang kali dihubungi Serambi, menurut ajudannya, sedang
keluar.
Buru
Senjata
Dalam
pengakuan tertulis yang ditanda-tangani kedua korban, Zainuddin menceritakan
pada hari Selasa, 6 Juni 2000, sekitar pukul 4.00 Wib, ketika ia dan keluarga
masih tidur, di rumahnya datang serombongan aparat (18 orang). Mereka mengetuk
pintu. Karena lama tak dibuka, pintu didobrak oleh aparat.
Anggota TNI dari Sat Rajawali yang
telah tiga hari beroperasi di daerah itu,
langsun