Republika Online edisi:
11 Oct 1999

Abu Zar al-Gifari

Abu Zar al-Gifari, salah seorang sahabat Rasulullah saw, yang terkenal karena kesalehannya. Banyak kisah teladan yang menyertai sejarah kehidupannya. Nama sebenarnya adalah Jundub bin Junadah ar-Rabazi. Sebutan kabilah al-Gifari di belakang namanya merupakan eponim dari Gifar bin Mulail, tokoh dari kabilah Adnan. Abu Zar dan Abdullah bin Mas'ud dipandang sebagai ahli hadis terkemuka. Dialah yang memperjelas bahwa ucapan ''assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh'' itu adalah produk budaya Islam, bukan budaya Arab, yang memang tak mengenalnya sebelum itu.

Sifat yang selalu ditunjukkan adalah pemihakannya kepada kaum miskin. Sifat ini juga diperlihatkannya kendati yang dihadapi adalah pejabat seperti gubernur atau khalifah. Hal itu ditunjukkannya ketika di masa Khalifah Usman ia melihat ada gejala-gejala kesenjangan sosial di kalangan Muslimin. Hatinya memberontak. Sahabat Nabi ini menyarankan kepada Khalifah supaya keadaan demikian ini dirombak. Kecenderungannya sebagai zahid dengan cara yang khas dan pembela kaum duafa dan miskin yang gigih, membuat ia dikenal sebagai seorang sosialis pertama dalam sejarah Islam.

Kritik Abu Zar kepada Khalifah Usman bukan tanpa sebab. Khalifah Usman, tokoh pedagang kaya yang jujur dan punya sifat-sifat terpuji, kendati tak pernah terdengar suka membanggakan diri, namun punya kelemahan. Sifat lemah-lembut dan perasaannya yang halus itu membuat ia selalu berusaha untuk tidak menyakiti hati orang atau melakukan kekerasan.

Sifat-sifat itu agaknya yang membuat Abu Zar melontarkan kritiknya. Tatkala menggantikan Umar sebagai khalifah ketiga, Usman tampaknya lebih longgar. Kaum Muslimin yang bermigrasi ke luar dibolehkan kembali ke Madinah dengan membawa kekayaan --yang di masa Umar dilarang-- sehingga mereka yang hidup lebih mewah terlihat lebih mencolok di samping sebagian kaum Muslimin yang masih hidup miskin dan serba kekurangan.

Melihat keadaan demikian Abu Zar tidak tinggal diam. Sampai pada masa itu kehidupan politik kaum Muslimin memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Mereka bebas menyampaikan pendapat atau kritik kepada para khalifah. Ketika itulah Abu Zar mengecam kebijakan Khalifah Usman. Juga ia melancarkan kritik dalam soal pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara.

Untuk menghindari pertikaian, Khalifah Usman memerintahkan Abu Zar pergi ke Syam. Ternyata apa yang dilakukannya di Madinah juga disampaikannya pula kepada Gubernur Syam, Muawiah bin Abi Sufyan, yakni supaya menyantuni kaum fakir miskin. Sementara ia menyebarkan seruannya itu, Muawiah mencoba menguji kesungguhan niat Abu Zar. Ia mengutus orang membawa uang buat dia seribu dinar dan memberi isyarat supaya keesokannya uang itu diambil kembali disertai permintaan maaf bahwa uang itu dimaksudkan untuk yang lain. Tetapi ternyata uang itu oleh Abu Zar sudah dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin. Muawiah yakin bahwa Abu Zar memang bersungguh-sungguh dengan seruannya itu.

Abu Zar kemudian kembali ke Madinah atas permintaan Khalifah Usman. Ia tinggal di Rabzah, sebuah desa kecil di dekat Madinah sampai akhir hayatnya, pada tahun 32 atau 33 H (652 M). Hingga akhir hayatnya, pemihakannya kepada kaum fakir miskin tak pernah luntur.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999