Republika Online edisi:
12 Oct 1999

Barak Legalisasi Pembongkaran Pemukiman Ilegal

YERUSALEM -- PM Israel Ehud Barak menyetujui keputusan kabinet untuk membongkar pemukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat, Ahad malam. Keputusan ini memudahkan jalan bagi Barak untuk menentukan nasib 42 perumahan yang sebagian besar dibangun selama beberapa tahun oleh penduduk Yahudi.

Barak dikabarkan akan membuat keputusan dalam beberapa hari ini. Deputy Menteri Pertahanan Ephraim Sneh sebelumnya mengatakan sejumlah pemukiman yang didirikan oleh penduduk Israel di Tepi Barat dalam beberapa bulan terakhir tak sah. ''Sejumlah pemukiman tak memiliki perizinan sama sekali dan ini tak bisa ditolerir,'' katanya.

Bagi pihak berwenang Palestina, para pemukim di Tepi Barat telah mengabaikan seruan pemerintahan Arafat, yang mengatakan seluruh pemukiman Yahudi di wilayah itu ilegal dan harus dipindah dalam perjanjian damai final. ''Israel harus memindah seluruh pemukiman, apakah mereka baru didirikan atau sudah berdiri lama, sebab kesemuanya ilegal,'' kata seorang menteri Palestina, Nabil Amr.

Negosiator Palestina Yasser Abed Rabbo mengkritik keputusan komite kabinet yang mengatakan pembangunan terus-menerus pemukiman akan mengancam proses perdamaian. ''Keputusan ini membuktikan pemerintah Israel tak serius dalam memecahkan isu bahaya dan meletakan hambatan besar dalam negosiasi,'' katanya.

Kabinet Barak membuat komite khusus untuk memutuskan nasib pemukim Yahudi. Para pemukim Yahudi mendesak Barak untuk tak mengotak-atik pemukiman yang baru didirikan atau pemukiman lama. ''Dia memiliki hak dan meninggalkannya dalam pemerintahan. Sekarang bila dia mengganggu pemukiman, dia tak akan memiliki pemerintah,'' kata pemukim Yahudi Elyakim Haetzni.

Dalam perjanjian perdamaian Israel-Palestina, nasib 160 pemukiman di antara Tepi Barat dan Jalur Gaza akan ditentukan, seperti halnya nasib masa depan Yerusalem, pengungsi Palestina, dan garis batas permanen. Kedua pihak menetapkan mencapai kesepakatan final pada September tahun 2000.

Barak mengatakan Israel harus mempertahankan kedaulatan atas blok pemukiman yang sangat luas dalam setiap perjanjian permanen. Sementara Palestina menginginkan seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza bagi negara masa depan.

Sementara itu ''jalur aman'' (safe passage), yang memungkinkan warga Palestina melintasi wilayah Israel yang terletak antara Tepi Barat dana Jalur Gaza, secara prinsip akan dibuka Ahad pekan depan. Namun rincian pembukaan belum ditetapkan.

Pejabat Palestina Jamil Tarifi kepada radio Palestina mengatakan jalur aman rencananya dibuka 1 Oktober, seperti isi perjanjian Sharm el-Sheikh. Namun rencana itu ditunda hingga 17 Oktober, tapi lagi-lagi ditunda karena kedua pihak tak mencapai kesepakatan.

Tarifi mengatakan negosiator Israel dan Palestina belum menyepakati lokasi pasti kantor gabungan Israel-Palestina. Dia mengatakan hanya ada sedikit masalah teknis operasi yang belum diselesaikan. ''Dalam dua hari mendatang kementrian kami akan mulai menerima aplikasi bagi persyaratan melintas yang harus digunaakan,'' kata Tarifi.

Jika masalah ''jalur aman'' menunjukkan titik terang tidak demikian halnya isu pembebasan tahanan. Pada hari Ahad (10/10) negosiator Israel dan Palestina gagal mencapai kesepakatan dalam masalah pembebasan 150 warga Palestina dan Arab yang ditahan oleh pihak Israel. ''Israel bersikeras dengan posisinya dan kami pada posisi kami,'' kata negosiator utama Palestina, Saeb Erakat.

Erakat mengungkapkan akan menjaga kontak dengan Israel untuk mencapai kesepakatan. Dia juga mendesak agar negara Yahudi itu menghargai komitmen mereka.

Menurut rencana, para tahanan itu akan dibebaskan hari Jumat (8/10) sesuai dengan perjanjian Sharm el-Sheikh. Namun Israel, Kamis (7/10) mengatakan bahwa pembebasan tak akan dilakukan setelah terjadi perselisihan atas tahanan yang harus dibebaskan.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999