Benang Merah RMS dan Kerusuhan
Maluku
Fakta menunjukkan pertikaian di Maluku
adalah bagian dari rencana RMS yang matang. Dirancang matang di Belanda.
Bahkan Israel disebut-sebut terlibat.
Tidak berselang lama setelah pembantaian
ummat Islam di Tobelo dan Galela, Halmahera Utara yang menewaskan
ratusan korban, sebuah Harian Belanda Volkstrant (Rabu 12/1/2000)
membuat berita mengejutkan. “Orang-orang Maluku di Belanda telah
mengumpulkan dana untuk pembelian senjata guna dikirim ke Indonesia.”
Konflik Islam-Kristen di Maluku saat ini memang
telah menyeret banyak pihak ke dalam kancah perang yang tidak kunjung
berkesudahan. Semakin lama pertikaian berlangsung, bukannya semakin
reda, malah semakin banyak pihak yang terlibat dan daerah konfliknya
semakin luas. Persenjataan yang digunakan juga semakin canggih.
Akibatnya, jumlah korban jauh lebih banyak dari pada saat permulaan
konflik.
Catatan Suadi Marasabessy, Kasum TNI, menyangkut
pertikaian di Maluku menunjukkan hal itu. Pada awal pertikaian, senjata
yang digunakan sebatas senjata tajam dan bom-bom molotov. Pada
pertikaian tahap kedua dan berikutnya, tidak lagi bom molotov dan
senjata rakitan, tapi sudah menggunakan senjata organik dan bom betulan.
Banyak pula senjata yang tidak dimiliki aparat keamanan, seperti senjata
berperedam, berteropong bahkan senapan mesin. Luar biasa.
Seperti terjadinya pembantian di Tobelo dan
Galela, beberapa saksi mata yang selamat mengaku melihat pembantaian
dilakukan dengan menggunakan senapan mesin. Selain dibakar hidup-hidup
di dalam masjid, sehingga dalam waktu satu hari korban bisa mencapai
800-an orang.
Salah satu pihak yang paling kuat keterlibatannya
adalah orang-orang Maluku di Belanda. Mereka adalah para pejuang
Republik Maluku Selatan (RMS), yang melarikan diri setelah terjadinya
pemberontakan RMS pada tahun 1950.
RMS dideklarasikan oleh dr Soumokil, Ir Manusama,
dan mantan Tentara KNIL, pada pertemuan di Ambon 18 Januari 1950. Nama
RMS muncul ke perbukaan dan dikenal publik baru pada tanggal 25 April
1950, ketika terjadi pemberontakan terhadap pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Menurut sejarahwan, Ahmad Mansur Suryanegara,
awalnya RMS adalah Republik Maluku Serani, bukan Republik Maluku Selatan
seperti yang dikenal sekarang. Di Maluku Serani berarti Nasrani. Tetapi
kemudian diubah dalam penulisan sejarah menjadi Republik Maluku Selatan
sebagai upaya meredam kemungkinan terjadi perang agama. Lambat laun
orang akhirnya melupakannya. RMS dianggap hanya bagian dari sejarah masa
lalu semata.
Orang tidak tahu bahwa di Belanda, para pejuang
RMS melakukan roses kaderisasi secara sistematis, hingga saat ini. Untuk
melanjutkan cita-citanya pembentukan negara merdeka, tokoh-tokoh RMS di
negeri Belanda dipimpin oleh Frans LJ Tutuhatunewa selaku Presiden.
Mereka juga sudah lama merencanakan pengambil alihan teritorial di
Maluku.
Bahkan ketika terjadi tragedi Idul Fitri berdarah
19 Januari 1999, yang menewaskan ratusan ummat Islam di Ambon.
Masyarakat belum menyadari bahwa pertikaian yang terjadi di Ambon adalah
bagian dari permainan RMS. Masyarakat baru terhenyak ketika menemukan
fakta-fakta di lapangan yang menegaskan adanya RMS, termasuk orang
Maluku sendiri.
Misalnya, tidak begitu lama setelah insiden
berlangsung, massa berikat kepala merah yang menerobos masuk jalan AJ
Patty, Ambon meneriakkan yel-yel `Hidup RMS!'. Fakta ini kemudian
diperkuat dengan berbagai temuan dokumen tentang kelompok RMS di
beberapa tempat. Isi dokumen itu tentang rencana kerusuhan di
Ambon.
AM Hendroprijono, mantan Menteri Transmigrasi
yang lama berkecimpung dalam dunia intelijen membenarkan keterlibatan
pihak Republik Maluku-Selatan (RMS) di balik kasus Maluku ini. Tragedi
Maluku berdarah itu berlangsung bertepatan sehari setelah hari ulang
tahun (HUT) RMS ke-49, 18 Januari 1950.
Sejumlah tokoh di Maluku juga menegaskan adanya
peran RMS dalam meledakkan pertikaian di daerah yang dikenal sebagai
penghasil rempah-rempah itu. “Gerakan separatis RMS merupakan salah satu
faktor pemicu kerusuhan,” kata Ali Fauzi, Ketua DPC Partai Bulan Bintang
Kodia Ambon kepada Sahid. Penegasan yang sama juga
disampaikan oleh Sulaiman Latupono, Ketua Forum Pemuda Muslim Baguala
Ambon.
Fakta-fakta dan temuan di lapangan agaknya akan
menggiring orang berkesimpulan bahwa RMS berada di balik pertikaian yang
terjadi di negeri yang oleh Ibnu Batutah disebut Jazirat
Al-Muluk (semenanjung raja-raja) itu.
Misalnya, beberapa hari sebelum tragedi Idul
Fitri berdarah itu, sejumlah mantan pejuang RMS yang selama ini menetap
di Belanda, kembali ke Ambon. Mereka sempat diterima Menteri Dalam
Negeri Syarwan Hamid waktu itu. Begitu orang-orang ini kembali ke
kampung halaman, tak selang berapa lama kemudian kerusuhan
meledak.
Perlu diketahui pula, ternyata Yopie Saiya,
preman yang memalak Usman, sopir angkot warga Batu Merah, yang menyulut
pertikaian Ambon, adalah warga Desa Amantelu yang berasal dari Aboru.
Sudah menjadi rahasia umum, terutama bagi warga Ambon, bahwa orang-orang
Aboru adalah para pengikut setia RMS. Paling jelek, sebagai simpatisan.
Karena itulah warga Muslim di Ambon meyakini bahwa RMS berada di balik
aksi-aksi brutal anti-Muslim itu.
Dua hari setelah kerusuhan, Kamis 21 Januari 1999
(3 Syawal 1419 H) sekitar pukul 12.00, bendera RMS berwarna merah,
putih, biru, dan hijau berkibar di Karang Panjang, Gunung Nona, dan
Kudamati. Wilayah ini merupakan basis ummat Kristen di Ambon.
Sorenya, sekitar pukul 16.00, ditemukan dokumen
RMS bertanggal 22 Pebruari 1997 yang ditandatangani oleh Komite
Nasional-RMS, FLJ Tutuhatunewa di rumah Edwin Manuputty (Pegawai Bappeda
Tingkat I Maluku). Dokumen itu berisi coretan konsep surat permohonan
kepada D Sahalessy untuk mendapatkan simpati dan bantuan Amnesti
Internasional bagi perjuangan kemerdekaan rakyat Maluku Selatan. Di situ
tertuang kecaman-kecaman terhadap pemerintah RI yang dianggap sebagai
penjajah Maluku.
Sebelum insiden Idul Fitri berdarah,
simbol-simbol dan yel-yel RMS sebenarnya sudah bermunculan. Karena itu,
aksi-aksi RMS selama kerusuhan diduga terkait dengan dua aksi
sebelumnya. Pertama, menggemanya yel-yel pro-RMS dalam aksi unjuk rasa
mahasiswa Universitas Pattimura di muka Markas Korem 174/Pattimura
tanggal 12-18 November 1998 lalu. Kedua, proklamasi RMS oleh sekelompok
orang Belanda keturunan Ambon di Belanda pada 19 Desember 1998.
Bukti terbaru, 3 Jan 2000 lalu ditemukan kamp RMS
di hutan Pulau Seram, tepatnya sekitar 5 km dari Dusun Sopelesi,
Desa/Kec Tehoru, Kab Maluku Tengah. Ada bendera RMS berukuran 90x35 cm
dipancang di tiang bambu setinggi tiga meter, logistik berupa lima
karung beras dan 20 karton mie instan serta tungku masak. Diduga kamp
itu hanya salah satu dari markas kegiatan RMS yang tersebar di banyak
tempat.
Karena itu bagi Ahmad Mansur Suryanegara, yang
terjadi di Maluku sekarang bukan sekedar pertikaian biasa, tetapi juga
sebuah pemberontakan yang di dasari dengan sentimen agama. Skenario yang
paling jelek. “Itu sebagai gerakan imbangan agama (balance of
religion),” kata ahli sejarah dari Unpad ini dalam buku terbarunya
Benarkah Reformasi Menimbulkan Perang Agama?
Mansur bahkan dapat memastikan itu merupakan
kelanjutan situasi Timor Timur yang diisukan menjadi `Daerah Otonomi
Khusus Katolik' dengan mengusir ummat Islam. Situasi yang demikian ini
membangkitkan minat sementara kalangan Protestan Ambon akan menjadikan
Ambon `wilayah khusus Protestan', mengimbangi Timor Timur.
Tampaknya mereka mencoba meniru reformasi di
Eropa yang melahirkan negara-negara Eropa yang dibagi atas dasar:
cujus regio ejus religio (tiap raja memilih agamanya untuk
di wilayahnya). Pembagian yang demikian ini pernah dijadikan sebagai
jalan keluar dalam mengakhiri Perang Agama yang berkepanjangan antara
Protestan dan Katolik.
Pendapat ini dibenarkan pakar sejarah Ahmad
Syafii Maarif. Menurut Ketua PP Muhammadiyah ini, di kalangan Kristen
memang terdapat kelompok agresif, radikal, dan militan yang ingin
secepatnya mengubah perimbangan pemeluk agama antara Islam dan Kristen
(Protestan).
Begitulah. “Sekalipun sudah ditumpas, RMS sebagai
cita-cita politik tidak pernah mati di Maluku,” kata Sjafii Maarif. Era
reformasi adalah saat yang dianggap tepat untuk sekali lagi meminta
perhatian dunia atas eksistensi RMS itu, dengan dukungan kuat gereja dan
tokoh-tokoh mereka yang bermukim di Belanda.
Informasi yang terhimpun dari Belanda sebagai
tempat pelarian pejuang RMS semakin memperkuatkan hal itu. Harian
Rotterdam Dagblad (11/1) mengekspos pernyataan Menteri
Sekretaris Kabinet RMS J Watilette yang menyatakan bahwa RMS tengah
melakukan persiapan terakhir untuk mengambil alih kekuasaan di Maluku
saat pemerintahan Indonesia lemah.
Hal itu diperkuat pula dengan pernyataan Presiden
RMS Frans LJ Tutuhatunewa di harian yang sama Desember 1998 lalu yang
menyatakan bahwa pengambilalihan kekuasaan harus segera dilakukan begitu
pemerintahan Jakarta jatuh.
Dibentuklah Kongres Nasional Maluku 19 Desember
1998 yang bertugas mengambil alih kekuasaan, melucuti dan membubarkan
TNI, menghimpun bantuan dana, dan mengorganisir orang-orang di Maluku,
termasuk memasok senjata.
Parlemen Belanda bahkan secara transparan
memperlihatkan support-nya, terutama Partai Buruh dan
Fraksi Kristen Demokrat. Pers Belanda bahkan menyebut RMS sebagai
pemerintahan dalam pengasingan (in exile).
Harian Haagsche Courant (16/12/98)
juga menyatakan hal senada. Tulisannya berbunyi, “Pemerintah Maluku
Selatan (AMS) yang berbasis di Belanda kini tengah mematangkan persiapan
untuk mengambil alih kekuasan di Maluku Selatan.” Kepada harian itu,
Tutuhatunewa mengatakan bahwa beberapa kader RMS dari Belanda saat ini
sedang berada di Maluku untuk melakukan misi memperkuat semangat di
kalangan penduduk dan menyempurnakan persiapan kemerdekaan.
Tentang pengiriman senjata ke Maluku, harian
De Volkskrant (12/1) melaporkan kegiatan RMS mengumpulkan
dana untuk membeli senjata guna membantu `saudara-saudara Kristen di
Maluku'. Melalui jaringan internasional, senjata itu akan dikirim ke
Maluku lewat Filipina Selatan.
Malahan, RMS di Belanda ikut bergabung ke dalam
UNPO (Unnational People Organization), sebuah organisasi
teroris internasional yang sasarannya negeri-negeri berpenduduk
mayoritas Muslim. Organisasi teroris ini, banyak mendapat bantuan dana
dari Israel dan negara-negara Barat.
Guna memperluas pengaruh jaringannya, gerakan
separatis ini mulai merasuk ke dalam jaringan internet. Paling tidak ada
dua homepage yang diketahui sebagai alat propaganda RMS.
Dalam DLM (Djangan Lupa Maluku; http://www.hidayatullah.com/2000/02/www.dlm.org)
misalnya, dapat dijumpai naskah proklamasi RMS tanggal 25 April 1950
yang ditandatangani JH Manuhutu dan A Wairisal.
Bahkan dalam Front Siwa Lima (http://ourworld.compuserve.com/homepages/asahureka/oproep.htm),
terang-terangan memuat artikel terbitan United Israel Bulletin (UIB)
berisi harapan RMS untuk mendapat dukungan Israel. Dalam situs itu
dijelaskan, hubungan RMS, UNPO, dan Zionis Israel, bukan semata-mata
teroris kelas bulu, tetapi bagian dari suatu konspirasi internasional
anti perdamaian dan kemanusiaan (Siar, 15-21/3/99).
Menilik temuan yang ada, yang terjadi di Maluku
merupakan bagian dari sebuah revolusi RMS yang memproklamirkan perang
kemerdekaan untuk mewujudkan kembali negara Republik Maluku Serani,
dengan memanfaatkan lemahnya Indonesia dalam konstelasi politik dunia
yang sedang berubah.
Untuk mencapai cita-cita itu, RMS membutuhkan
pengakuan internasional dan teritorial. Hal terakhir inilah yang tengah
dengan keras diupayakan. Sementara yang pertama tak begitu sulit
diwujudkan sebab Belanda yang pernah menjanjikan tanah air bagi RMS akan
terus aktif memberikan dukungan.
Karena itu, Direktur Delft Information Society
(DIS) yang berkedudukan di Belanda, sekali lagi menegaskan setiap
analisis yang tidak mempercayai keterlibatan RMS dalam pertikaian di
Maluku adalah analisis yang ngawur dan miskin data.