INTERNASIONAL / PANJI NO. 26 TAHUN III. 13 OKTOBER 1999
Rusia-Chechnya: Banjir darah kemungkinan
bakal terulang kembali. Akankah Rusia mengalami nasib yang sama, kalah perang
dengan Chechnya?
Pengalaman ternyata tak membuat Rusia jera. Kekalahan dalam
perang setahun melawan tentara Chechnya, sepanjang 1994-1995 silam, belum juga
dijadikan sebagai pelajaran. Bahkan kali ini Rusia melakukan manuver berbahaya
dengan menggempur sebagian wilayah Republik Chechnya. Alasannya, memburu
pejuang-pejuang muslim yang ingin mendirikan negara Islam di kawasan pegunungan
Kaukasus. Mereka inilah yang dinilai telah melakukan serangkaian ledakan bom di
beberapa kota di Rusia.
Negara Beruang Merah itu tampaknya tengah bermain api.
Kendati belum ada titik kejelasan siapa sesungguhnya yang melakukan serangkaian
ledakan bom, Moskow telah memerintahkan melakukan serangan besar-besaran
terhadap pejuang muslim Chechnya. Tetapi akibatnya sungguh tragis, rakyat
sipillah yang menjadi korban keganasan mesin-mesin perang Rusia yang memiliki
peralatan mutakhir. Sedikitnya 26 mayat bergelimpangan di kawasan Grozny, ibu
kota Chechnya. Sedangkan puluhan mayat lainnya tergeletak berserakan di
desa-desa yang berbatasan dengan Republik Dagestan. Paling tidak, gempuran
jet-jet tempur Rusia selama sepekan, mulai Senin lalu, telah menelan hampir 400
korban jiwa.
Menurut kalangan pengamat, sebagaimana diberitakan kantor
berita AFP, kemungkinan korban akan
terus berjatuhan mengingat belum ada tanda-tanda Rusia mengendurkan
serangannya. Gawatnya situasi memaksa sebagian besar penduduk Chechnya memilih
mengungsi ke negara tetangganya, Republik Ingushetia. “Operasi kali ini sangat
berbeda dengan kampanye sebelumnya. Kami tidak ingin anak cucu kami diserang
kaum pemberontak,” ujar Menteri Pertahanan Rusia Igor Sergeyev. Ia juga menyatakan,
tidak tertutup kemungkinan akan dilancarkannya serangan darat untuk mendukung
serangan udara.
Jika hal itu sampai dilakukan, Rusia bakal terlibat kembali
perang besar dengan Chechnya. Secara defacto,
Chechnya sebenarnya merupakan sebuah wilayah yang merdeka, lepas dari Rusia.
Tetapi Rusia masih mengklaim bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari
Rusia. Karena itu, kendati Chechnya telah menyatakan pisah dari negara
induknya, Rusia masih berani melakukan serangan di daerah-daerah Chechnya.
Tentu saja hal ini sangat menyinggung pemimpin Chechnya, Aslan Maskadov.
Apalagi dia dituding telah memberikan perlindungan kepada kelompok gerilyawan
muslim pimpinan mantan pejuang Chechnya, Shamil Bassayev.
Maskadov mengecam Moskow karena tidak mau menghentikan
serangan yang mengakibatkan jatuhnya korban dari rakyat sipil. “Jika dipaksa
maka saya akan menyelamatkan rakyat saya dan melakukan segala usaha untuk
mencegah perang baru,” ujarnya. Tetapi, menurut dia, Chechnya masih memberikan
kesempatan kepada Rusia untuk berunding jika tidak menghendaki peristiwa
pahit terjadi kembali.
Namun, tampaknya Rusia tak menanggapi usulan Maskadov.
Bahkan Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin merasa tidak perlu untuk melakukan
perundingan selama tidak ada titik temu yang berguna bagi penyelesaian konflik.
Terbukti, upaya penyelesaian damai tak ditindaklanjuti. Sebaliknya, justru kian
menggalakkan serangan udara yang menghancurkan fasilitas-fasilitas umum. Putin
pun menuding serangkaian serangan yang dilakukan gerilyawan muslim Chechnya
merupakan bagian dari rencana yang disponsori asing untuk memisahkan
wilayah-wilayah kaya sumber alam dari Rusia. Mereka menggunakan kelompok muslim
Chechnya sebagai batu loncatan. “Saya yakin bahwa ini bukan masalah perang
saudara,” tandas Putin yang tidak mau menyebutkan secara spesifik negara asing
mana yang turut campur.
Dari berbagai analisis memang ada yang menyebutkan,
munculnya milisi-milisi pejuang muslim ada kaitannya dengan upaya memecah belah
wilayah Rusia, terutama yang terletak di pegunungan Kaukasus. Wilayah ini
memiliki kandungan berbagai sumber alam yang sangat potensial untuk digali.
Kabarnya, AS dan negara-negara di Asia Tengah sangat berminat menanamkan
investasinya di kawasan ini. Hanya saja, analisis lainnya menyebutkan bahwa
munculnya aksi separatisme sebenarnya lebih karena didorong oleh rasa persatuan
etnis di wilayah ini yang sebagian besar beragama Islam. Apalagi dipicu adanya
angin perubahan yang terjadi di Rusia sehingga membangkitkan kesadaran
tokoh-tokoh politik di kawasan Kaukasus untuk membentuk negara sendiri, lepas
dari kontrol Rusia yang telah menyedot kekayaan alam mereka.
Bagi Rusia, lepasnya sebagian wilayah seperti Dagestan yang
juga ingin merdeka, tentu tidak dikehendaki. Cuma, bila Rusia berusaha
mempertahankannya dengan kekuatan militer maka negara ini tak tertutup
kemungkinan bakal menghadapi persoalan yang lebih gawat. Maklum, perekonomian
Rusia kini tengah morat-marit dan pemimpinya, Boris Yeltsin, pun dituntut
mundur karena kegagalannya memperbaiki perekonomian. Maka, tak berlebihan jika
Deputi PM Chechnya, Isa Asterimov, menuding bahwa Moskow hanya ingin
mengalihkan perhatian atas persoalan yang tengah terjadi di dalam negeri dengan
jalan melakukan serangan ke Chechnya.
Puji Irwanto