Aceh, Sekolah Yang Terbakar Dan Generasi "Bom Waktu"

CONTENTS

Date: Thu, 17 Jun 1999 18:43:16 +0700
From: KOALISI NGO HAM Aceh


Aceh, Sekolah Yang Terbakar Dan Generasi "Bom Waktu"

Banda Aceh-Hari itu, Senin 14 Juni 1999, bagi bocah kecil Muhammad Amin (11) dengan nama kecil Agam, dari desa Pucok Alue, Kecamatan, Lhoksukon, 30 KM ke arah Timur Lhokseumawe, barangkali akan menjadi salah-satu hari yang paling bersejarah dalam hidupnya. Bagaimana tidak, inilah hari yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, sekolah yang telah ia tingggalkan selama sebulan lebih untuk menikmati liburan semester, ternyata kini hanya tinggal puing-puing dan abu, karena terbakar.

Serta merta pupus rasa bangga dalam hatinya yang telah menggumpal sejak sebulan lalu, ketika ia menerima rapor kenaikan kelas. Telah dibayangkan bagaimana bahagia hatinya, karena hari Senin itu adalah hari pertama ia akan duduk di kelas VI SD Negeri Pucok Alue, dan itu artinya tahun depan ia akan segera tamat dari SD tersebut. Itu juga artinya ia akan segera masuk ke SLTP di Lhoksukon. Bukankah itu maknanya ia sudah besar? Tetapi tiba-tiba ia terhenyak seperti tidak bisa berpikir lagi, ketika dari pagar sekolah ia hanya bisa memandang dengan tatapan kosong gedung sekolah yang telah rata dengan tanah.

Keperihan yang sama dengan Agam dirasakan juga oleh belasan ribu teman seusianya di seluruh Aceh yang Senin itu semestinya akan memasuki hari belajar pertama. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Kakandepdikbud Aceh, Drs. Syahbuddin, AR, selama sebulan terakhir ini tidak kurang dari 61 gedung SD di seluruh Aceh telah habis dibakar oleh orang-orang tak bertanggungjawab-- yang sampai hari ini tidak jelas identitasnya. Tetapi berita-berita di media massa hanya mengidentifikasi para "pembakar" itu dengan sebutan "provokator".

Jumlah gedung-gedung SD yang terbakar di seluruh Aceh, kata Syahbuddin kepada Pembaruan, Rabu (16/6) di Banda Aceh, antara lain, di Pidie sebanyak 21 SD, di Aceh Utara 28 SD, Aceh Tengah satu SD, Aceh Timur satu SD, Aceh Barat 7 SD dan Aceh Selatan 3 SD. "Kerugian yang ditimbulkan karena kebakaran ini mencapai tidak kurang dari Rp.13 milyar," sebut Syahbuddin. Lalu apakah yang akan dicatat oleh Agam dan ribuan putra-putri Aceh lainnya yang kemudian tidak dapat kembali bersekolah seperti biasa? "Kata Abu (sebutan untuk Ayah), sekolah kami sengaja dibakar oleh orang yang membenci kami, supaya kami bodoh, karena tidak bisa sekolah lagi," ujar Agam dengan lugas.

"Siapakah yang membenci kalian?" tanya tanya seorang wartawan, dalam bahasa daerah.

"Nyan, hom (itu yang kami tidak tahu)" jawab Agam. Tetapi ada isyarat kemarahan pada wajah dan tekanan suaranya, seperti menyembunyikan sesuatu. Agam tentu tidak tahu makna politik, ia awam apa itu Aceh Merdeka, TNI, provokator, cuak serta konstelasi politik apa yang sedang berkecamuk di Aceh. Tapi ia memahami apa yang dikatakan oeh orang kampung, Ayah, Paman dan pemuda-pemuda kampung lainnya-bahwa ada sesuatu yang menakutkan bagi semua orang di kampungnya, yaitu "tentara". Ia mendengar bahwa orang mengungsi karena takut pada tentara, ia mendengar bahwa menurut orang-orang di desa, "provokator" yang membakar sekolahnya juga adalah tentara. "Apakah kamu tidak takut pada Aceh Merdeka?" "Aceh Merdeka Nyan, hantom beudee kamo (Aceh Merdeka itu tidak pernah menembak kami" jawab Agam yakin.

Salahkah, jawaban si Agam? Tentu kita tidak bisa begitu saja memvonisnya. Bagaimanapun Jawaban yang diberikan Agam adalah batas dan sekaligus refleksi pemahamannya tentang apa yang sebenarnya sedang ia dan lingkungannya hadapi.

Tetapi, kata, Agam, menurut apa yang ia dengar dari percakapan publik di kampungnya, tentara adalah orang yang membenci mereka, karena mereka dianggap pemberontak. Dan Agam sendiri kerap menyaksikan bagaimana tentara memasuki kampung, menggerebek rumah-rumah, menyiksa orang-orang dan tak jarang (khususnya semasa DOM) mengeksekusi penduduk di depan umum). Agam sebenarnya tidak pernah mau pusing memikirkan latar belakang dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembakaran sekolahnya. Yang ia pikirkan adalah "bagaimana saya belajar, kalau sekolahnya tidak dibangun lagi". Agam tentu tidak bisa menjawabnya. Namun yang pasti, hari itu, Senin 14 Juni 1999 ia telah mencatat sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Sebuah sejarah yang akan memberikan warna dalam pemikirannya di masa depan. Mungkin 10 atau 20 tahun yang akan datang. Sejarah pahit tanah kelahirannya, Aceh.

Sementara itu, Kakanwil P dan K Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Drs. A.Malik Raden, kepada wartawan mengatakan, sampai Rabu (16/6), tercatat sebanyak 37 gedung SLTP dan SMU yang terbakar di seluruh Aceh. Di Pidie ada 12 gedung SLTP dan 3 gedung SMU yang hangus terbakar, di Aceh Selatan 4 SLTP, di Aceh Utara 4 SLTP dan 7 SMU, di Aceh Barat sebanyak 4 gedung SLTP dan 2 SMU, dan di Aceh Tengah sebuah gedung SLTP. Total ada 37 SMU dengan nilai kerugian puluhan milyar rupiah.

Seperti Agam di Pucok Alue, puluhan ribu siswa SLTP dan SMU di seluruh Aceh, juga harus mengalami kesulitan karena sekolah-sekolahnya telah dibakar. Umumnya mereka samasekali tidak bisa paham, kenapa harus gedung-gedung sekolah yang dibakar dan menurut pihak keamanan dilakukan oleh "provokator" itu.

"Saya yakin ini semua adalah rangkaian perbuatan yang dimaksudkan untuk membuat Aceh semakin tidak menentu, dan akhirnya akan mengundang kekerasan militer di sini, seperti kejadian yang sudah-sudah," ujar fakhrurazi (17) pelajar kelas 2 SMUN Samudra, Aceh Utara. Kalau Razzi, pangggilan pemuda tanggung itu mulai mencoba menggunakan nalarnya, maka tidak sedikit pelajar-pelajar lain yang tidak bisa memahami kenapa harus gedung sekolah yang dibakar. Tetapi, kondisi represip dan perilaku politik kekerasan yang dipraktekkan militer di Aceh telah mengajari masyarakat di sana-termasuk generasi mudanya-bahwa peristiwa yang berbau provokasi pastilah dilakukan pihak militer. Dan itu telah menjadi stigma bagi orang Aceh.

Tetapi menurut Kadis P dan K Aceh, Drs. Syahbuddin AR, aksi-aksi pembakaran sekolah merupakan bagian dari usaha pembodohan rakyat Aceh. Perbuatan itu, menurutnya sangat keterlaluan. Tidak pernah ada dalam sejarah, sebuah peristiwa politik yang bagaimanapun seriusnya, ditandai dengan pembakaran-pembakaran sekolah, katanya gusar, sambil menggambarkan bahwa hal itu adalah sangat brutal dan tidak beradab.

Agam dan Razi serta ribuan generasi muda Aceh lainnya, saat ini memang sedang berada dalam kondisi kritis dalam arti sosial dan budaya. Setelah sekolah-sekolah mereka dibakar, mereka harus kembali lagi menempuh pelajarannya dengan kondisi sangat prihatin, dan hal itu akan butuh waktu sangat lama agar dapat pulih kembali. Mereka akan banyak ketinggalan. Tetapi sebagai manusia, puluhan ribu generasi muda itu sekarang mencatat sebuah sejarah kepahitan hubungan daerahnya yang bernama Aceh dengan Republik Indonesia. Karena semua orang faham, bahwa segeala peristiwa dan kerusuhan yang terjadi di Aceh berkaitan erat dengan faktor kehadiran militer serta Aceh Merdeka. Itulah sebabnya, kini di Aceh ada semacam kesepakatan publik, "tarik militer dari Aceh, maka persoalan selesai". Seperti yang digambarkan oleh DR. Nazaruddin Syamsuddin, ahli politik UI, kelahiran Seuneudon, Aceh Utara, dalam suatu pertemuan di Banda Aceh, bahwa "generasi muda Aceh adalah generasi yang berdarah". Mereka mencatat semua kepedihannya, dan mereka dendam pada keadaan ini, dan kondisi ini akan menjadi bom waktu bagi kelanjutan sejarah serta hubungan Aceh-Indonesia itu sendiri pada 10 atau 20 tahun ke depan.

Maka, ribuan Agam dan Razi, sekarang mencoba menggali puing-puing kehancuran masyarakatnya yang bernama Aceh, dan mencoba membangun "sekolah ketabahan" untuk merakit "bom waktu" atas kepahitan dan dendam masa lalu mereka. Sementara, sekarang ini, mungkin mereka sedang mencoba memahami "bencana apa yang sebenarnya terjadi pada mereka dan mencatat: Inikah hasil kesetiaan Aceh pada Indonesia!"


Divisi Kampanye
Koalisi N.G.O. HAM Aceh