Aceh, Sekolah Yang Terbakar Dan Generasi "Bom Waktu"
Banda Aceh-Hari itu, Senin 14 Juni 1999, bagi bocah kecil Muhammad Amin
(11) dengan nama kecil Agam, dari desa Pucok Alue, Kecamatan, Lhoksukon, 30
KM ke arah Timur Lhokseumawe, barangkali akan menjadi salah-satu hari yang
paling bersejarah dalam hidupnya. Bagaimana tidak, inilah hari yang tidak
pernah ia bayangkan sebelumnya, sekolah yang telah ia tingggalkan selama
sebulan lebih untuk menikmati liburan semester, ternyata kini hanya tinggal
puing-puing dan abu, karena terbakar.
Serta merta pupus rasa bangga dalam hatinya yang telah menggumpal sejak
sebulan lalu, ketika ia menerima rapor kenaikan kelas. Telah dibayangkan
bagaimana bahagia hatinya, karena hari Senin itu adalah hari pertama ia
akan duduk di kelas VI SD Negeri Pucok Alue, dan itu artinya tahun depan ia
akan segera tamat dari SD tersebut. Itu juga artinya ia akan segera masuk
ke SLTP di Lhoksukon. Bukankah itu maknanya ia sudah besar? Tetapi
tiba-tiba ia terhenyak seperti tidak bisa berpikir lagi, ketika dari pagar
sekolah ia hanya bisa memandang dengan tatapan kosong gedung sekolah yang
telah rata dengan tanah.
Keperihan yang sama dengan Agam dirasakan juga oleh belasan ribu teman
seusianya di seluruh Aceh yang Senin itu semestinya akan memasuki hari
belajar pertama. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Kakandepdikbud Aceh,
Drs. Syahbuddin, AR, selama sebulan terakhir ini tidak kurang dari 61
gedung SD di seluruh Aceh telah habis dibakar oleh orang-orang tak
bertanggungjawab-- yang sampai hari ini tidak jelas identitasnya. Tetapi
berita-berita di media massa hanya mengidentifikasi para "pembakar" itu
dengan sebutan "provokator".
Jumlah gedung-gedung SD yang terbakar di seluruh Aceh, kata Syahbuddin
kepada Pembaruan, Rabu (16/6) di Banda Aceh, antara lain, di Pidie sebanyak
21 SD, di Aceh Utara 28 SD, Aceh Tengah satu SD, Aceh Timur satu SD, Aceh
Barat 7 SD dan Aceh Selatan 3 SD. "Kerugian yang ditimbulkan karena
kebakaran ini mencapai tidak kurang dari Rp.13 milyar," sebut Syahbuddin.
Lalu apakah yang akan dicatat oleh Agam dan ribuan putra-putri Aceh lainnya
yang kemudian tidak dapat kembali bersekolah seperti biasa? "Kata Abu
(sebutan untuk Ayah), sekolah kami sengaja dibakar oleh orang yang membenci
kami, supaya kami bodoh, karena tidak bisa sekolah lagi," ujar Agam dengan
lugas.
"Siapakah yang membenci kalian?" tanya tanya seorang wartawan, dalam bahasa
daerah.
"Nyan, hom (itu yang kami tidak tahu)" jawab Agam. Tetapi ada isyarat
kemarahan pada wajah dan tekanan suaranya, seperti menyembunyikan sesuatu.
Agam tentu tidak tahu makna politik, ia awam apa itu Aceh Merdeka, TNI,
provokator, cuak serta konstelasi politik apa yang sedang berkecamuk di
Aceh. Tapi ia memahami apa yang dikatakan oeh orang kampung, Ayah, Paman
dan pemuda-pemuda kampung lainnya-bahwa ada sesuatu yang menakutkan bagi
semua orang di kampungnya, yaitu "tentara". Ia mendengar bahwa orang
mengungsi karena takut pada tentara, ia mendengar bahwa menurut orang-orang
di desa, "provokator" yang membakar sekolahnya juga adalah tentara.
"Apakah kamu tidak takut pada Aceh Merdeka?"
"Aceh Merdeka Nyan, hantom beudee kamo (Aceh Merdeka itu tidak pernah
menembak kami" jawab Agam yakin.
Salahkah, jawaban si Agam? Tentu kita tidak bisa begitu saja memvonisnya.
Bagaimanapun Jawaban yang diberikan Agam adalah batas dan sekaligus
refleksi pemahamannya tentang apa yang sebenarnya sedang ia dan
lingkungannya hadapi.
Tetapi, kata, Agam, menurut apa yang ia dengar dari percakapan publik di
kampungnya, tentara adalah orang yang membenci mereka, karena mereka
dianggap pemberontak. Dan Agam sendiri kerap menyaksikan bagaimana tentara
memasuki kampung, menggerebek rumah-rumah, menyiksa orang-orang dan tak
jarang (khususnya semasa DOM) mengeksekusi penduduk di depan umum).
Agam sebenarnya tidak pernah mau pusing memikirkan latar belakang dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan pembakaran sekolahnya. Yang ia
pikirkan adalah "bagaimana saya belajar, kalau sekolahnya tidak dibangun
lagi". Agam tentu tidak bisa menjawabnya. Namun yang pasti, hari itu, Senin
14 Juni 1999 ia telah mencatat sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Sebuah
sejarah yang akan memberikan warna dalam pemikirannya di masa depan.
Mungkin 10 atau 20 tahun yang akan datang. Sejarah pahit tanah
kelahirannya, Aceh.
Sementara itu, Kakanwil P dan K Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Drs. A.Malik
Raden, kepada wartawan mengatakan, sampai Rabu (16/6), tercatat sebanyak 37
gedung SLTP dan SMU yang terbakar di seluruh Aceh.
Di Pidie ada 12 gedung SLTP dan 3 gedung SMU yang hangus terbakar, di Aceh
Selatan 4 SLTP, di Aceh Utara 4 SLTP dan 7 SMU, di Aceh Barat sebanyak 4
gedung SLTP dan 2 SMU, dan di Aceh Tengah sebuah gedung SLTP. Total ada 37
SMU dengan nilai kerugian puluhan milyar rupiah.
Seperti Agam di Pucok Alue, puluhan ribu siswa SLTP dan SMU di seluruh
Aceh, juga harus mengalami kesulitan karena sekolah-sekolahnya telah
dibakar. Umumnya mereka samasekali tidak bisa paham, kenapa harus
gedung-gedung sekolah yang dibakar dan menurut pihak keamanan dilakukan
oleh "provokator" itu.
"Saya yakin ini semua adalah rangkaian perbuatan yang dimaksudkan untuk
membuat Aceh semakin tidak menentu, dan akhirnya akan mengundang kekerasan
militer di sini, seperti kejadian yang sudah-sudah," ujar fakhrurazi (17)
pelajar kelas 2 SMUN Samudra, Aceh Utara. Kalau Razzi, pangggilan pemuda
tanggung itu mulai mencoba menggunakan nalarnya, maka tidak sedikit
pelajar-pelajar lain yang tidak bisa memahami kenapa harus gedung sekolah
yang dibakar. Tetapi, kondisi represip dan perilaku politik kekerasan yang
dipraktekkan militer di Aceh telah mengajari masyarakat di sana-termasuk
generasi mudanya-bahwa peristiwa yang berbau provokasi pastilah dilakukan
pihak militer. Dan itu telah menjadi stigma bagi orang Aceh.
Tetapi menurut Kadis P dan K Aceh, Drs. Syahbuddin AR, aksi-aksi pembakaran
sekolah merupakan bagian dari usaha pembodohan rakyat Aceh. Perbuatan itu,
menurutnya sangat keterlaluan. Tidak pernah ada dalam sejarah, sebuah
peristiwa politik yang bagaimanapun seriusnya, ditandai dengan
pembakaran-pembakaran sekolah, katanya gusar, sambil menggambarkan bahwa
hal itu adalah sangat brutal dan tidak beradab.
Agam dan Razi serta ribuan generasi muda Aceh lainnya, saat ini memang
sedang berada dalam kondisi kritis dalam arti sosial dan budaya. Setelah
sekolah-sekolah mereka dibakar, mereka harus kembali lagi menempuh
pelajarannya dengan kondisi sangat prihatin, dan hal itu akan butuh waktu
sangat lama agar dapat pulih kembali. Mereka akan banyak ketinggalan.
Tetapi sebagai manusia, puluhan ribu generasi muda itu sekarang mencatat
sebuah sejarah kepahitan hubungan daerahnya yang bernama Aceh dengan
Republik Indonesia. Karena semua orang faham, bahwa segeala peristiwa dan
kerusuhan yang terjadi di Aceh berkaitan erat dengan faktor kehadiran
militer serta Aceh Merdeka. Itulah sebabnya, kini di Aceh ada semacam
kesepakatan publik, "tarik militer dari Aceh, maka persoalan selesai".
Seperti yang digambarkan oleh DR. Nazaruddin Syamsuddin, ahli politik UI,
kelahiran Seuneudon, Aceh Utara, dalam suatu pertemuan di Banda Aceh, bahwa
"generasi muda Aceh adalah generasi yang berdarah". Mereka mencatat semua
kepedihannya, dan mereka dendam pada keadaan ini, dan kondisi ini akan
menjadi bom waktu bagi kelanjutan sejarah serta hubungan Aceh-Indonesia itu
sendiri pada 10 atau 20 tahun ke depan.
Maka, ribuan Agam dan Razi, sekarang mencoba menggali puing-puing
kehancuran masyarakatnya yang bernama Aceh, dan mencoba membangun "sekolah
ketabahan" untuk merakit "bom waktu" atas kepahitan dan dendam masa lalu
mereka. Sementara, sekarang ini, mungkin mereka sedang mencoba memahami
"bencana apa yang sebenarnya terjadi pada mereka dan mencatat: Inikah hasil
kesetiaan Aceh pada Indonesia!"
Divisi Kampanye
Koalisi N.G.O. HAM Aceh