PENGALAMAN
RELIGIUS / PANJI NO. 29 TH III. 3 NOVEMBER 1999
Berperawakan
kurus--tinggi 1,72 meter, berat 50-an kilogram--anak Betawi yang satu ini sering
mejeng di televisi. Ichsanuddin
Noorsy memang mendadak jadi “selebritis”, menyusul keberaniannya mengungkap
skandal Bank Bali. “Jika saya renungi kembali perjalanan hidup saya, teringatlah
doa saya di pintu Ka’bah,” ungkap mantan anggota Komisi VIII DPR ini. Lalu
wajahnya berkaca-kaca. Apa yang Noorsy ucapkan di Rumah Allah itu? Bagaimana
pula kecamuk batin ayah dua anak ini ketika ia menjadi anggota Pansus DPR?
Kepada wartawan Panji, Dodi
Kusmajadi, Noorsy pun berbagi cerita.
Kamis
dini hari, 24 September 1999. Perdebatan sedang mencapai puncaknya hingga
menyerempet ke soal-soal pribadi. Saya pikir, ini sudah melenceng dari tujuan
awal: merumuskan kesimpulan akhir Pansus untuk dibawa ke Rapat Paripurna
DPR.
Situasi
mengarah pada perang urat syaraf. Kami saling tekan, saling tuding, dan saling
membongkar borok teman sendiri. Dalam situasi itu, praktis saya sendirian. Ada
beberapa teman membantu, tapi mereka bermain pada “frekuensi yang berbeda”.
Akhirnya, kami tak seiring sejalan.
Dalam
posisi seperti itu saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Tanpa saya duga, ada
saja orang yang datang membantu dan mendukung saya dari belakang, dalam beragam
bentuk dan cara. Semuanya sangat menolong sehingga saya tetap bertahan dan
tegar. “Kami ada di belakang Anda. Jangan takut,” kata mereka. Itu menenangkan
saya pada saat-saat kebimbangan datang mendera. Luar biasa. Mahatangguh Allah.
Saya sadari bahwa semua itu datang dari Dia.
Kasus
Bank Bali memang sudah menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Menjadi absurd, kalau
kasus ini dipetieskan. Karena itu, saya terus melangkah, meski untuk itu saya
harus menempuh berbagai risiko. Maklum, banyak orang kuat yang terlibat. Maka,
teror pun menjadi santapan saya
sehari-hari saya. Meski berusaha tetap tegar, jujur saya akui tekanan
terberat justru yang datang dari dalam Pansus sendiri.
Sebagai
anggota DPR, saya tidak ingin melanggar nilai-nilai kepatutan di dalam
masyarakat. Moralitas harus ditegakkan dan kerugian negara tak boleh terjadi.
Yah, setidaknya diminimalisasi sedapat mungkin. Bagaimanapun akuntabilitas
publik harus terpenuhi. Maka, saya juga tidak peduli kalau langkah saya
dipandang merugikan sebuah kelompok. Saya ingin proporsional saja. Bukankah Allah
menyuruh kita menegakkan keadilan? Bahwa dengan begitu, ada kelompok tertentu
yang dirugikan, itu merupakan konsekuensi saja.
Dampak
Puasa. Allah
memang Maha Penolong. Semua data tentang skandal Bank Bali, alhamdulillah,
seluruhnya dapat saya kumpulkan. Yakni, mulai dari daun, ranting, cabang,
batang, hingga ke akar-akarnya. Pokoknya, tak ada yang tersisa. Ini aneh. Sebab,
terus terang saja, saya tidak punya tim
khusus pencari data. Semuanya saya kerjakan sendiri. Tapi, entah
bagaimana, informasi itu malah datang sendiri. Pleng, pleng, pleng, begitu saja.
Padahal, setiap informasi selalu berkembang cepat.
Tanpa
diduga, ada teman menghubungi saya, ingin bertemu. Alasannya sih sekadar ingin mengobrol karena lama
tak bertemu. Tapi begitu bertemu, dia menyodorkan sejumlah data penting soal
Bank Bali. Tanpa diminta apalagi dibayar sepeser pun. Paling-paling, saya
sekadar mengeluarkan uang untuk makan, lain tidak. Itu gambaran bahwa Allah
Mahatahu dan selalu menunjukkan
jalan-Nya.
Akhir
Juni, sedikit demi sedikit rangkaian cerita skandal ini dapat saya himpun. Hanya
saja, datanya belum matang benar, masih parsial, sehingga belum berani
diungkapkan ke masyarakat. Sebab, saya belum mendapatkan bukti pencairan. Namun,
menginjak 9 Agustus 1999, saya mulai berani bicara ngablak di sebuah radio swasta. Tentu
saja karena data komplet sudah di tangan saya. Sejak saat itu data-data yang
memperkuat dan mengukuhkan akar masalah malah mengalir ke meja saya. Keyakinan
saya untuk bertindak pun menjadi makin kuat.
Sejalan
dengan itu, muncul keinginan untuk kembali berpuasa Senin-Kamis. Muncul begitu
saja. Anehnya, hampir seluruh rapat kerja tentang Bank Bali terjadi kebetulan
pada hari ketika saya sedang berpuasa. Dampaknya, selama rapat pikiran saya
terasa lebih jernih. Pertemuan demi pertemuan berjalan tanpa beban dan rasa
takut sedikit pun. Semua itu saya ceritakan kepada anak dan istri saya. “Ayah
benar, teruskan,” kata mereka. Ini sudah cukup bagi saya sebagai modal
menguatkan sikap saya.
Dalam
skandal Bank Bali, seperti juga kasus lainnya, saya selalu mengingatkan dulu
semua pihak yang diduga terlibat. Ini sesuai dengan prinsip Watawaashau bil haqq, watawaashau bish
shabr (Saling nasihatlah kamu dengan kebenaran, dan saling nasihatlah kamu
dengan kesabaran). Ini lho Mas,
masalahnya. Tolong dibaca. Anda itu jangan begini, begini, begini. Jika tidak,
Anda akan begini, begini, begini. Saya sudah berbicara langsung dengan para
petinggi moneter seperti Sjahril Sabirin (gubernur BI), Bambang Subianto
(menteri keuangan), dan Glenn M.S. Jusuf (kepala BPPN). Mereka telah
diperingatkan hingga tiga kali, tapi tak mau mendengarkan. Bagaimanapun prinsip
Watawaashau bil haqq, watawaashau bish
shabr terus saya tegakkan.
Pintu
Ka’bah. Setelah
memegang kasus Bank Bali, saya sering merenung dan bertanya kepada diri sendiri.
Apakah ini ada kaitannya dengan perjalanan ibadah haji saya? Benarkah doa saya
di depan pintu Ka’bah telah dikabulkan Allah? Inikah buktinya bahwa Engkau telah
meridai tugas saya sebagai anggota DPR?
Dalam
perjalanan ke Tanah Suci pada 1997, saya mengepalai sebuah rombongan. Kala itu,
saya meyakini, kekuatan ibadah haji bukan terletak pada unsur ritualnya,
melainkan pada substansinya. Sistem hukum Islam mengatakan, antara masyarakat
dan individu selalu ada keterkaitan dan ketergantungan. Ambil contoh, salat,
yang merupakan hablun minallah. Meski
merupakan hubungan individu dengan Allah, kan ada dampak sosialnya--berupa amal
saleh. Begitu juga dengan puasa. Nah, dalam pikiran saya, haji juga tentu ada
dampaknya bagi masyarakat. Tapi, apa?
Salat
lima waktu bisa dilakukan secara munfarid. Salat yang beruang lingkup
satu lingkungan dilaksanakan ketika salat Jumat. Salat yang bertaraf kebangsaan
dilakukan pada saat Idul Fitri. Sedangkan salat dalam lingkungan dunia
internasional dilakukan ketika ibadah haji. Pemetaan serupa ini saya ungkapkan
kepada seluruh anggota rombongan, ketika saya berkhutbah di Jabal Rahmah. Semua
orang terdiam. Menolak tidak, mengiyakan juga tidak.
Saya
katakan kepada mereka, janganlah kita hanya mengejar ritual selama menjalani
ibadah haji. Yang terpenting kita harus mencari substansinya. Pemikiran ini
tentu akan bertentangan dengan sebagian besar sikap dasar anggota rombongan
saya. Tapi, tak satu pun yang membantah. Dan, saya juga yakin jika ucapan saya
itu salah, Allah tentu akan segera menjatuhkan hukuman-Nya. Maklum, ini Tanah
Suci, Bung.
Dengan
pemikiran dan keyakinan semacam itu, maka saya begitu happy selama menjalankan ibadah haji.
Sejak datang, salat, tawaf, sampai tahallul, tak setetes air mata pun yang
meleleh di pipi. Saya juga tak merasa merinding ataupun ingin menangis. Meski
begitu, toh dalam pikiran saya Allah membenarkan langkah-langkah saya. Sebab
jika tidak, Allah pasti sudah menjatuhkan hukumannya. Selesai urusan.
Seluruh
prosesi ibadah haji bisa diselesaikan dengan lancar. Waktu itu tinggal
tawaf wada’ sebelum kembali ke Madinah. Saat
bertawaf saya memang tak terlalu ngoyo ingin mencium Hajar Aswad. Karena
saya memang tak terlalu ingin mengejar soal-soal ritual. Tetapi anehnya, begitu
saya berada tepat di depan pintu Kabah, tiba-tiba rrreet Allah memberikan kemudahan. Pintu
Kabah kini sudah ada di hadapan mata.
Ketika
itu Allah terasa begitu dekat. Dengan mata tertutup, kepala tertunduk, dan kedua
telapak tangan memegangi pintu Kabah, semua perasaaan dicurahkan di hadapan-Nya.
Tak terasa air mata mulai menetes. Semakin lama, semakin deras. Saya langsung
berdoa, “Ya, Allah, dalam pencalonan mendatang, hamba-Mu ini akan diberi amanat.
Jika Engkau tidak menyetujui dan buruk untuk masa depanku, maka janganlah
jadikan. Namun, jika Engkau anggap baik, maka jadikanlah.”
Masya
Allah, suasana saat itu begitu luar biasa. Serasa tak ada jarak lagi antara Sang
Khalik dan ciptaan-Nya. Itulah doa saya yang paling berkesan, dan hingga kini
pun masih terngiang-ngiang. Saya yakin, kasus Bank Bali merupakan salah satu
amanah dari Dia yang harus saya jalankan. Saya baru sadari hal itu belakangan
ini saja. Karena itu, saya sering menangis jika mengingat kembali perjalanan
hidup saya.
Setelah
berdoa, saya langsung salat dan tawaf lagi. Kemudian, saya bergabung kembali
dengan rombongan untuk persiapan pulang ke Tanah Air. Perjalanan ibadah haji ini
diselesaikan tepat 30 hari. Berangkat pada 8 April, pulang tepat 8 Mei. Begitu
mendarat di Indonesia, saya dikontak harus segera ke Nusa Tenggara Timur. Tak
sempat istirahat, memang, karena keesokan harinya harus sudah ada di lokasi
kampanye.
Masuk
Tahanan. Ramadan
buat saya punya kenangan tersendiri. Saat kanak-kanak, saya satu-satunya anak
kecil di lingkungan saya yang mau tadarusan di masjid, sebulan penuh.
Alhamdulillah, saya bisa khatam Al-Quran, puasanya pun tidak bolong. Setiap
malam, saya biasa membaca antara satu hingga satu setengah juz. Semua atas
kemauan sendiri, tak ada yang menyuruh.
Tapi
jangan salah. Meski rajin membaca Al-Quran, saya anak bandel. Maret 1976,
semasih SMA saya pernah ditahan selama tiga hari gara-gara ikut kebut-kebutan.
Juga tawuran. Saya masuk sel persis saat azan subuh berkumandang. Saya tak
percaya, ruang tahanan itu harus saya inapi. Dalam hati saya bertanya, benar nggak sih gua dalam penjara? Saya cubit lengan
saya. Ah, ternyata sakit juga. Jadi saya benar-benar dalam tahanan.
Di ruang
sempit berjeruji itu saya nggak bisa
makan. Bagaimana bisa makan, Anda tahu sendiri makanan dalam tahanan kayak apa. Saya menghibur diri, “Ah,
paling hari itu juga saya sudah bisa keluar.” Tapi, tiga hari kemudian saya baru
dibebaskan. Kepala saya digunduli, membuat saya malu dan sangat menyesal. Sejak
itu ada dorongan batin, saya buktikan saya sudah insyaf. Syukurlah, di sekolah
saya meraih juara umum bahkan mendapat beasiswa. Saya wujudkan rasa syukur itu
dengan aktif di Masjid Al-Azhar.
Pengalaman
sebagai aktivis masjid menjadi modal aktivitas di tengah masyarakat. Aktivitas
itu telah turut mengasah perasaan peka, bersih, kreatif, dan inovatif. Kesadaran
ini saya curahkan dalam proses mendidik anak. Buat saya pendidikan agama bagi
anak-anak sangatlah penting. Contoh kecilnya, sejak dini mereka harus diajari
sikap santun kepada siapa pun. Misalnya, sebelum bepergian mereka diajarkan
untuk mencium tangan orang yang lebih tua. Namun, mengetahui lingkungan rusak
juga tidak kalah pentingnya. Sebab, kalau dia cuma tahu yang benar, maka mereka
tidak tahu perbuatan yang salah. Supaya, kelak mereka tidak mudah
terjerembab.
Saya
sendiri sudah paham dengan kehidupan malam, karena saya pernah hidup di dunia entertainment. Pada 1979-1980, saya
sengaja melamar dan diterima menjadi business manager sebuah diskotek di
Bandung, dan disk jockey di Hotel
Savoy Homan, Bandung. Pekerjaan ini saya lakukan sembari menyusun skripsi.
Karena itu begitu saya menjadi anggota Dewan, saya tak canggung untuk bergaul
dengan teman-teman. Bersama mereka saya kerap pergi ke lingkungan aneh-aneh.
Tapi saya tak mau tersentuh maupun disentuh. Ya, sebatas tahu saja. Meskipun
saya berusaha menegakkan ad-din, saya
tetap tahu seperti apa lingkungan konyol itu.
Supaya
tak terlampau masuk, kita sendirilah yang harus sanggup membatasi diri. Yang
terpenting tetap membangun moralitas pribadi. Itu sama saja dengan injeksi nilai
dalam diri. Namun, keberanian dan keingintahuan juga harus tetap ada. Sehingga
kita tidak pernah puas dengan hasil yang didapat. Jangan cepat tergiur oleh
kenyamanan. Jika kita hidup di antara kemewahan dan kemiskinan, hidup kita akan
lebih kreatif.
Lingkungan
pendidikan juga telah membentuk kepribadian saya. Sejak SD, saya sekolah di dua
tempat. Pukul tujuh hingga 12 siang, saya sekolah di madrasah. Kemudian
dilanjutkan pada 12.30 WIB hingga pukul lima sore di SD biasa. Ketika itu, saya
anggap sekolah seperti bermain sehingga bisa menikmati. Karena itu tidak ada
cerita saya tidak mendapat juara kelas atau juara umum. Dan dalam posisi sebagai
anggota Dewan pun, saya lakukan tanpa beban. Nothing to loose. Nikmat sekali.
Percayalah, jika sudah sampai tahap itu. Tidak ada Yang Mahatangguh kecuali Dia.
Tidak ada Yang Mahaberani selain Dia. Tidak ada Yang Maha Melindungi kecuali
Dia. Dan tidak ada Yang Mahatahu selain Dia.
Di Luar
Arena.
Kekuasaan itu tidak perlu dicari. Jika kita berprestasi, ia akan datang sendiri.
Manusia hanya jadi perantara. Sehingga jabatan apa pun lewat manusia, saya
anggap hanya sebuah perantara. Di situlah saya merasakan kasih-Nya,
rahman-rahim-Nya. Makna penyayang Allah adalah Dia yang menjelaskan Al-Quran.
Dia yang memberikan ilmu kepada manusia lewat Al-Quran untuk memahami dunia dan
segala isinya. Sehingga ketika menerima rezeki, saya tidak merasa itu semua
milik saya. Itulah yang meyakinkan saya bahwa kekuasaan itu tidak perlu dicari.
Kekuasaan itu datangnya dari Allah. Jika Allah menghendaki, maka jadilah.
Keinginan
untuk mendapatkan rida Allah saat berdoa di pintu Ka’bah, rasanya sudah saya
capai. Saya merasakannya sebagai sebuah kebahagiaan yang tak dapat diukur dengan
uang, Rolls Royce, rumah mewah, atau yang lainnya. Mengapa? Karena saya datang
sendiri, dan akan pulang sendiri. Ketika “datang” kita ditolong dokter atau
bidan. Saat kita pulang, diantar tetangga atau saudara. Kita semua kan datang
dari lubang yang gelap gulita, dan kembali kepada lubang gelap gulita. Proses
datang dan pulang ini tergantung kita, akan diisi dengan apa.
Saat
saya mendengar omongan, oh si Ichsan vokal kan lantaran sudah tidak jadi lagi
anggota Dewan. Alhamdulillah, saya sekarang sanggup membantahnya. Bung,
jangankan pemutusan hubungan kerja atau amanat, sedangkan pemutusan usia kita
saja bisa terjadi kapan saja. Karena itu saya tak pernah merasa kecil hati saat
berada di luar arena. Saya hanya mencoba menyumbangkan sesuatu untuk bangsa ini
dengan pengetahuan dan keterampilan saya. Masyarakat pun, meski tidak diminta,
sudah memberikan penghargaan yang luar biasa. Karena itu saya sudah ceritakan
berulang-ulang. Saya merasa tidak punya utang kepada masyarakat.
Saya
lebih percaya kepada kehendak Allah, makanya saya tidak ngoyo. Saya nikmati saja kehidupan ini
karena masih banyak forum yang bisa saya gunakan untuk mengaktualisasikan diri.
Jika forum dalam negeri tidak bisa, saya masih punya forum di luar negeri.
Dengan bangsa mana pun, asal kita tidak direndahkan. Apakah itu dengan Malaysia,
Cina, Amerika, atau Australia. Dalam hubungan antarmanusia, kita tidak boleh
saling merendahkan. Dan, itulah kedaulatan.
Biodata
Nama
: Ichsanuddin Noorsy
Tempat/Tgl
Lahir
: Jakarta, 1958
Istri
: Deetje R. Tjakra
Anak
: Qiyam Padriansy (10)
Qodriana Pidriansy
(9)
Alamat
: Komplek DPR Kalibata Blok F-3 No.
456,
Jakarta Selatan
Pendidikan
: SD di Jakarta
SMP di
Jakarta
STM Tekstil di
Jakarta
Jurusan Tekstil UPN
Veteran
Fakultas Hukum
UI
Pengalaman
Organisasi
: Pengurus Dewan Mahasiswa UPN Veteran
Pendiri
Majalah Almamater di UPN
Veteran
Aktivis Masjid
Al-Azhar
Bergabung dengan Petisi 50
(1981)
Bergabung dengan Golkar
(1989)
Wakil Sekjen AMPI
(1992)
Pengalaman
Kerja
: Wartawan Harian Prioritas
(1986)
Wartawan Majalah Vista (1987)
Pemasaran Bank Summa (1989)
Humas Grup Bakrie
(1989)
Anggota Komisi VIII DPR RI (1997-
1999)