Di Ambon, Wanita Mulai Bunuh Diri

CONTENTS

Muslim World News On-line

Date of Publication: June 2000
INDONESIAN MUSLIMS FOR GLOBAL PEACE AND JUSTICE

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh

Di Ambon, Wanita Mulai Bunuh Diri


Rabu, 31 Mei 2000
Jakarta, Buana

Di tengah kesibukan para elite politik di Jakarta melancarkan intrik guna menjatuhkan lawan-lawan politik lewat isu KKN, tragedi kemanusian di Maluku terus tereskalasi. Bahkan, mulai menyajikan episode baru yang lebih memilukan. Tak tahan oleh penderitaan karena kaum pria di provinsi itu lebih memperlihatkan semangat saling membunuh, sejumlah wanita memilih mengakhiri hidupnya dengan yang amat tragis, bunuh diri.

Menyusul bentrok antarwarga bernuansa SARA di Desa Makete, Mamuya dan Duma, Kecamatan Galela, Provinsi Maluku Utara, Senin (29/5) sekitar pukul 17.00 WIT, sejumlah ibu rumah tangga dilaporkan melancarkan aksi bunuh diri. Para wanita di tiga desa itu sudah tidak tahan lagi menyaksikan kekerasan demi kekerasan yang telah berlangsung begitu lama.

Namun, sebegitu jauh, belum diperoleh jumlah wanita yang mengakhiri hidupnya dengan cara itu. Beberapa wanita melakukan bunuh diri setelah menyaksikan suami dan anak-anak mereka tewas, baik karena bentrokan antarkelompok maupun bentrokan dengan aparat. Nuansa bunuh diri massal terjadi setelah peristiwa bentrok antara aparat keamanan dengan para pengunjuk rasa di halaman Kantor KUD di Desa Makete, Senin petang.

"Kami telah menerima laporan tentang insiden itu. Tapi, belum diketahui berapa jumlah ibu rumah tangga yang melakukan aksi bunuh diri. Memang, di antara para korban yang meninggal itu juga termasuk tujuh orang wanita. Tapi, belum pasti akibat bunuh diri atau tewas saat pertikaian," kata seorang perwira dari aparat keamanan. Pada peristiwa bentrok antarkelompok masyarakat di tiga desa itu, jumlah korban meninggal dunia diketahui 52 orang. Adapun 102 lainnya luka berat dan ringan. Selain itu, tercatat sedikitnya 300-an rumah penduduk di tiga desa itu dibakar dan dirusak massa perusuh. Korban luka-luka untuk sementara ditampung di Posko Kesehatan di Desa Duma. Beberapa pihak telah mengirimkan tambahan obat-obatan serta dua orang tenaga medis, guna membantu perawatan para korban yang mengalami luka-luka.

Pertikaian di tiga desa itu diawali penyerangan ribuan massa perusuh. Perlawanan pun tidak seimbang karena jumlah warga Makete dan Duma hanya beberapa ratus orang. Apalagi, serangan massa perusuh itu dilengkapi senjata standar, dan menerapkan strategi ala militer: mengepung kedua desa dari darat, laut, serta kawasan pegunungan. Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Tamaela, yang dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan telah memperoleh laporan tentang insiden di wilayah itu. Sesuai laporan sementara, ia mengatakan, 44 orang meningal dan 102 lainnya mengalami luka berat/ringan. "Sesuai laporan sementara yang saya terima, 44 orang meninggal. Namun, ada kemungkinan bertambah, karena aparat keamanan sementara ini masih melakukan pendataan jumlah korban meninggal dan luka-luka," katanya.


Pemerintah Bertanggung Jawab

Sementara itu, aktivis perempuan yang juga pengamat politik UI, Chusnul Mar'iyah, mengungkapkan bahwa pemerintah tetap harus bertanggung jawab. Berbagai peristiwa yang terjadi di Maluku, termasuk aksi-aksi bunuh diri, menunjukkan langkah yang dilakukan pemerintah belum mencapai sasaran. Situasi bahkan justru sangat menyedihkan. Chusnul menegaskan, langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah tidak selalu dilakukan pada tataran official (pemerintah). Tapi, harus ada policy jelas. Pertama, mengidentifikasi kelompok yang bertikai. Kedua, dilakukan proses-proses transformasi tanpa kekerasan.

Chusnul juga menyoroti peran media massa. Menurutnya, media harus memberikan informasi yang balance dengan investigasi akurat. Tetapi, tanpa harus berubah jadi provokator. Selain itu, kondisi masyarakat yang 'sakit' merupakan produk politik masa lalu. "Masyarakat kita ditekan untuk tidak boleh berbeda pendapat. Dan, ini adalah konsekuensi logis dari tekanan-tekanan yang dulu dilakukan," ujarnya. Aadapun pengamat psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI) Sartono Mukadis menilai, aksi bunuh diri massal para warga perempuan di Maluku itu merupakan konsekuensi logis dari keadaan yang berlarut-larut tanpa harapan. "Tidak adanya kenyataan hidup yang mengarah pada perbaikan, dan keadaan hidup tanpa harapan, merupakan realitas yang kini terjadi di Maluku. Belum lagi permasalahan elite politik. Jadi, ini adalah reaksi yang 'wajar'. Maka, suicide (bunuh diri) adalah salah satu jalan yang 'logis'," ujar Sartono.

Bahkan, lanjutnya, kedatangan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ke Ambon, beberapa waktu lalu, tidak dianggap oleh masyarakat di sana. Pertikaian terus berlangsung. "Masyarakat kita saat ini sedang sakit. Bahkan, dibuat sakit," tandasnya.

Ia pun memberi contoh tentang perubahan arti kata. Makna diamankan dalam implementasinya malah ditangkap. "Berteriak-teriak tentang nilai-nilai agama, tapi tidak bertingkah laku seperti yang diperintahkan dalam ajaran agama. Semuanya bertentangan. Semuanya diubah. Termasuk, menggampangkan masalah," ujarnya. Lebih lanjut, ia juga mengkritik tindakan para elite politik yang berteriak-teriak soal kejujuran dan demokrasi, tapi tingkah lakunya sangat jauh berbeda. Para elite politik lebih memikirkan kepentingan sendiri dan menganggap semuanya gampang. Jadi, mereka bukannya mempermudah, tapi menggampangkan masalah. Dan, itu menjadikan situasi menjadi lebih complicated.***


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh


(DI-02/06/00)

Source : Berita Buana 31/05/00