Rabu, 31 Mei 2000
Jakarta, Buana
Di tengah kesibukan para elite politik di Jakarta melancarkan intrik guna
menjatuhkan lawan-lawan politik lewat isu KKN, tragedi kemanusian di Maluku
terus tereskalasi. Bahkan, mulai menyajikan episode baru yang lebih
memilukan. Tak tahan oleh penderitaan karena kaum pria di provinsi itu
lebih
memperlihatkan semangat saling membunuh, sejumlah wanita memilih mengakhiri
hidupnya dengan yang amat tragis, bunuh diri.
Menyusul bentrok antarwarga bernuansa SARA di Desa Makete, Mamuya dan Duma,
Kecamatan Galela, Provinsi Maluku Utara, Senin (29/5) sekitar pukul 17.00
WIT, sejumlah ibu rumah tangga dilaporkan melancarkan aksi bunuh diri. Para
wanita di tiga desa itu sudah tidak tahan lagi menyaksikan kekerasan demi
kekerasan yang telah berlangsung begitu lama.
Namun, sebegitu jauh, belum diperoleh jumlah wanita yang mengakhiri
hidupnya
dengan cara itu. Beberapa wanita melakukan bunuh diri setelah menyaksikan
suami dan anak-anak mereka tewas, baik karena bentrokan antarkelompok
maupun
bentrokan dengan aparat. Nuansa bunuh diri massal terjadi setelah peristiwa
bentrok antara aparat keamanan dengan para pengunjuk rasa di halaman Kantor
KUD di Desa Makete, Senin petang.
"Kami telah menerima laporan tentang insiden itu. Tapi, belum diketahui
berapa jumlah ibu rumah tangga yang melakukan aksi bunuh diri. Memang, di
antara para korban yang meninggal itu juga termasuk tujuh orang wanita.
Tapi, belum pasti akibat bunuh diri atau tewas saat pertikaian," kata
seorang perwira dari aparat keamanan. Pada peristiwa bentrok antarkelompok
masyarakat di tiga desa itu, jumlah korban meninggal dunia diketahui 52
orang. Adapun 102 lainnya luka berat dan ringan. Selain itu, tercatat
sedikitnya 300-an rumah penduduk di tiga desa itu dibakar dan dirusak massa
perusuh. Korban luka-luka untuk sementara ditampung di Posko Kesehatan di
Desa Duma. Beberapa pihak telah mengirimkan tambahan obat-obatan serta dua
orang tenaga medis, guna membantu perawatan para korban yang mengalami
luka-luka.
Pertikaian di tiga desa itu diawali penyerangan ribuan massa perusuh.
Perlawanan pun tidak seimbang karena jumlah warga Makete dan Duma hanya
beberapa ratus orang. Apalagi, serangan massa perusuh itu dilengkapi
senjata
standar, dan menerapkan strategi ala militer: mengepung kedua desa dari
darat, laut, serta kawasan pegunungan. Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI
Max
Tamaela, yang dikonfirmasi secara terpisah, mengatakan telah memperoleh
laporan tentang insiden di wilayah itu. Sesuai laporan sementara, ia
mengatakan, 44 orang meningal dan 102 lainnya mengalami luka berat/ringan.
"Sesuai laporan sementara yang saya terima, 44 orang meninggal. Namun, ada
kemungkinan bertambah, karena aparat keamanan sementara ini masih melakukan
pendataan jumlah korban meninggal dan luka-luka," katanya.
Pemerintah Bertanggung Jawab
Sementara itu, aktivis perempuan yang juga pengamat politik UI, Chusnul
Mar'iyah, mengungkapkan bahwa pemerintah tetap harus bertanggung jawab.
Berbagai peristiwa yang terjadi di Maluku, termasuk aksi-aksi bunuh diri,
menunjukkan langkah yang dilakukan pemerintah belum mencapai sasaran.
Situasi bahkan justru sangat menyedihkan. Chusnul menegaskan, langkah
konkret yang harus dilakukan pemerintah tidak selalu dilakukan pada tataran
official (pemerintah). Tapi, harus ada policy jelas. Pertama,
mengidentifikasi kelompok yang bertikai. Kedua, dilakukan proses-proses
transformasi tanpa kekerasan.
Chusnul juga menyoroti peran media massa. Menurutnya, media harus
memberikan
informasi yang balance dengan investigasi akurat. Tetapi, tanpa harus
berubah jadi provokator. Selain itu, kondisi masyarakat yang 'sakit'
merupakan produk politik masa lalu. "Masyarakat kita ditekan untuk tidak
boleh berbeda pendapat. Dan, ini adalah konsekuensi logis dari
tekanan-tekanan yang dulu dilakukan," ujarnya. Aadapun pengamat psikologi
sosial dari Universitas Indonesia (UI) Sartono Mukadis menilai, aksi bunuh
diri massal para warga perempuan di Maluku itu merupakan konsekuensi logis
dari keadaan yang berlarut-larut tanpa harapan. "Tidak adanya kenyataan
hidup yang mengarah pada perbaikan, dan keadaan hidup tanpa harapan,
merupakan realitas yang kini terjadi di Maluku. Belum lagi permasalahan
elite politik. Jadi, ini adalah reaksi yang 'wajar'. Maka, suicide (bunuh
diri) adalah salah satu jalan yang 'logis'," ujar Sartono.
Bahkan, lanjutnya, kedatangan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ke
Ambon, beberapa waktu lalu, tidak dianggap oleh masyarakat di sana.
Pertikaian terus berlangsung. "Masyarakat kita saat ini sedang sakit.
Bahkan, dibuat sakit," tandasnya.
Ia pun memberi contoh tentang perubahan arti kata. Makna diamankan dalam
implementasinya malah ditangkap. "Berteriak-teriak tentang nilai-nilai
agama, tapi tidak bertingkah laku seperti yang diperintahkan dalam ajaran
agama. Semuanya bertentangan. Semuanya diubah. Termasuk, menggampangkan
masalah," ujarnya. Lebih lanjut, ia juga mengkritik tindakan para elite
politik yang berteriak-teriak soal kejujuran dan demokrasi, tapi tingkah
lakunya sangat jauh berbeda. Para elite politik lebih memikirkan
kepentingan
sendiri dan menganggap semuanya gampang. Jadi, mereka bukannya mempermudah,
tapi menggampangkan masalah. Dan, itu menjadikan situasi menjadi lebih
complicated.***
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh