BINTANG
ZAMAN / PANJI NO. 29 TH III. 3 NOVEMBER 1999
Diponegoro
Pangeran Kesederhanaan, Pangeran Keberanian
Pelukis
Basuki Abdullah, juga Raden Saleh, menggambarkannya sebagai pemimpin perang
dengan jubah putihnya. Ia pangeran Jawa, meski bukan dari garwa padmi (permaisuri). Jubah dan
serbannya, mencitrakan ia muslim taat, bahkan pemuka agama nan alim. Betul
demikian? Bahwa ia muslim: ya. Tetapi, dalam paparan yang dibuatnya sendiri, Babad Diponegoro, catatan napaktilasnya
sampai ia diasingkan Belanda, ia menyebutkan sejumlah kejadian supranatural khas
kejawen yang dialaminya. Termasuk mendefinisikan diri sebagai “Ratu Adil”, dan
pernah bersua dengan Ratu Kidul segala. Sejarah Indonesia mencatatnya sebagai
Pahlawan Nasional. Siapa sangka di masa mudanya ia lebih banyak menghabiskan
waktunya dengan berbagai bacaan, dari buku-buku agama, sejarah, kesusastraan,
dan kebatinan. Kemampuan konsepsionalnya tak hanya urusan perang, tapi juga
dalam kenegaraan. Merujuk berbagai sumber, wartawan Panji Abdul Rahman Ma’mun dibantu Iqbal
Setyarso menuangkan sekelumit ihwal Diponegoro.
Abad
kesembilan belas dalam lintasan sejarah Indonesia mengukir nama besar Pangeran
Diponegoro, pemegang peranan penting dalam perang kemerdekaan pada masa-masa
awal. Ia mengobarkan perang yang mengguncangkan sendi-sendi kolonialisme
Belanda, kelak dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830). Pribadi Pangeran
Diponegoro memberikan nafas kepahlawanan yang amat panjang bagi api kemerdekaan
yang berkobar pada era itu, nyalanya hadir kembali pada diri para pahlawan
hingga tercapai Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945.
Soal
daya juang Diponegoro ini, Belanda pun mengaguminya. “Kita sungguh-sungguh harus
mengagumimu, Pangeran Diponegoro, yang sungguh pun terus-menerus menderita
pukulan dan ditimpa kemalangan, kehilangan sanak-saudaranya yang terdekat,
panglima perangnya yang paling cakap, namun masih juga kuat dan berani
menggerakkan perlawanan menghadapi tentara kita terus-menerus,” kata Kapiten
J.P. Schomaker, seorang opsir Belanda.
Diponegoro,
lelaki berdarah biru ini bisa tumbuh menjadi pribadi seperti itu, memang ada
faktor psikologis tertentu yang melatarbelakanginya.
Revolusioner
Muda. Satu
kata yang dibubuhkan di depan namanya, pangeran, adalah gelar kebangsawanan
tertinggi di Jawa. Gelar ini hanya berhak disandang anak raja. Diponegoro adalah
putra Hamengku Buwono (HB) III yang dikenal sebagai Sultan Raja. Kakeknya,
Sultan HB II atau Sultan Sepuh, dan buyutnya HB I (Sultan Swargi) pendiri
kerajaan Mataram di Yogyakarta. Adik Diponegoro, Pangeran Jarot, maupun
keponakannya, Pangeran Menol, dalam babakan sejarah Mataram dinobatkan menjadi
Raja. Pangeran Jarot menjadi Raja dengan gelar Sultan HB IV, dan Pangeran Menol,
dalam usia tiga tahun dinobatkan sebagai Sultan HB V. Diponegoro sendiri, putra
raja dari garwa ampeyan (bukan
permaisuri), yakni R.A. Mangkarawati, berasal dari Pacitan. Sang bunda, putri
seorang bupati dan masih berdarah Madura. Pribadi Diponegoro sendiri punya
pembawaan yang tegas memancarkan wibawa tersendiri. Kawan dan lawan (Belanda
penjajah), segan padanya. Perbawa Diponegoro ini memikat para bangsawan lainnya
kelak, dalam situasi genting, bergabung di bawah kepemimpinan Diponegoro melawan
Belanda. Misalnya saja, Pangeran Mangkubumi bertindak sebagai Panasihat Agung,
Pangeran Ngabehi Jayakusuma sebagai panglima besar yang dalam sebuah pertempuran
gugur dan dimakamkan di bukit Singi, daerah aliran sungai Progo, sebelah barat
Kota Yogyakarta.
Diponegoro
kecil sudah mendapati pemandangan yang tak mengenakkan hatinya. Ia menyaksikan
sendiri ketakberdayaan raja-raja Mataram di bawah kuasa penjajah. Kemarahannya
menjadikan Diponegoro sebagai seorang revolusioner.
Pada
umur 20-an, Diponegoro menyaksikan rontoknya kehormatan keraton. Dulu, wakil
Belandalah yang lebih dulu memberi hormat saat berjumpa Susuhunan Surakarta,
atau Sultan Yogya. Daendels membongkarnya. Sultan yang harus menemuinya di
tempat peristirahatan Daendels. Dan ia tak pernah mengelu-elukan Sultan ketika
baginda masuk ruangan.
Gelora
Perang yang Dahsyat.
Diponegoro lahir pada Jumat Wage, 8 Muharram tahun Be 1712 Wuku Wayang, atau 11
November 1785. Pada saat kelahirannya, Sultan HB I alias Sultan Swargi, kakek
buyut Diponegoro menitahkan agar bayi itu dibawa kepadanya. Saat itu baginda
Raja sedang duduk di serambi dalam. Pada saat HB I memperhatikan bayi itu, ia
berkata kepada permaisurinya, ”Adinda, ketahuilah bahwa adalah kehendak
Mahakuasa bahwasanya cicit Adinda ini telah ditentukan kelak akan mengisruhkan
orang-orang Belanda. Adapun betapa akhirnya kelak hanya Tuhan Yang Mahakuasalah
yang mengetahuinya. Anak ini akan melebihi saya. Oleh karena itulah Adinda, maka
Adinda harus memelihara bayi ini dengan baik.”
Diponegoro
kecil bernama Antawirya. Pangeran Antawirya sejak dini memang mendapat
pendidikan agama. Saat ia menginjak usia muda, juga diserahkan kepada neneknya,
Ratu Ageng, yang tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta. Ratu Ageng adalah sosok yang
dikenal salihah dan taat. Di bawah asuhan Ratu Ageng ini, Antawirya mempelajari
dan memperdalam agama dan kebatinan. Kitab agama dan Jawa kuno yang mengandung
ajaran hukum dan ajaran keluhuran rohani, dilalapnya habis. Tak heran, Antawirya
kelak menjadi orang yang sederhana hidupnya, saleh, dan taat menunaikan
kewajiban agamanya.
Ketaatan
dan kesederhanaan Pangeran Diponegoro ini diakui musuhnya, Cakranegara, yang
menilai Diponegoro sebagai lambang orang saleh dan sederhana hidupnya. Sebagai
putra raja, bisa saja Diponegoro hidup bersenang-senang, bergelimang kemewahan.
Namun
itu tak dilakukannya. Ia malah memilih hidup sederhana di luar tembok istana, di
tengah rakyat yang menderita di Tegalrejo, sebuah desa di bagian barat Kota
Yogyakarta.
Tuduhan
Belanda bahwa Diponegoro menyiapkan pemberontakan dan mengangkat senjata melawan
Belanda gara-gara kecewa ia tak diangkat menjadi raja, sungguh sebuah fitnah.
Karena sebenarnya Diponegoro sejak kecil justru memilih hidup sederhana
sebagaimana rakyat biasa.
Diponegoro
adalah orang yang tahu dan menjunjung tinggi adat istiadat kerajaan, dan selalu
menghormati kepercayaan rakyat. Terbukti, suatu ketika ia harus menyeberangi
sungai Bagawanta. Menurut kepercayaan rakyat, keturunan raja Mataram tidak boleh
menyeberangi sungai Bagawanta menuju ke barat. Sungguhpun Diponegoro dan
kawan-kawan seperjuangannya sudah berada di tepi sungai itu, dan dalam posisi
terdesak pula, beliau mau memikirkan jalan lain demi menghormati kepercayaan
itu.
Di sisi
lain, Diponegoro sangat menentang cara hidup dan campur tangan asing dalam
urusan kerajaan. Campur tangan asing--yang sering disebutnya sebagai orang
kafir--secara keras ditentangnya, seperti urusan perwalian dalam kerajaan. Ini
menyalahi hukum agama. Untuk itu Diponegoro tak segan menyampaikan fatwanya.
Diponegoro
yang hidup bersahaja dikenal pula suka mengembara ke tempat sunyi. Ia menguatkan
jiwa dan mempertebal semangatnya dalam memenuhi panggilan suci agama yang
dimuliakannya, dan Tanah Air yang dicintainya.
Pangeran
Diponegoro tidak mengisi jiwa dan pengetahuannya dengan hanya mendaras kitab
agama dan kebatinan saja, ia pun mempelajari kitab-kitab ilmu kesusastraan serta
sejarah. Dia banyak pula membaca sejarah bangun dan runtuhnya kerajaan-kerajaan.
Ia pun cukup paham bagaimana Mataram yang awalnya luas dan besar kekuasaannya
itu sampai jatuh dan susut menjadi kerajaan yang tak berdaya dan selalu
bergantung pada kekuasaan kolonial.
Ketergantungan
kerajaan pada kekuasaan asing itu rupanya amat merisaukan Pangeran Diponegoro.
Dalam banyak hal, kultur Barat telah merasuki kerajaan. Misalnya, meluasnya
peredaran minuman keras, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat kebanyakan.
Kalau ini masuk istana, sungguh sebuah ancaman bagi kehidupan agama Islam. Gelar
kekhalifahan sultan menjadi merosot dalam pandangan agama. “Para bangsawan telah
mengabaikan ajaran agama, dan tak lagi menghormati ulama,” kata Diponegoro
mengecam gaya hidup yang mulai amburadul itu. Padahal Raja Sultan
Agung, pendiri Mataram, amat dibanggakan sebagai raja yang taat beragama,
menampakkan kehidupan spiritual atau kebatinan yang tinggi. Sultan HB IV yang
memerintah saat itu sudah jauh dari keteladanan pendiri Mataram. Menghadapi
kolonial Belanda, ia lemah. Kesan dibawahi penjajah, begitu
mencolok.
Dipo
makin dingin terhadap Belanda. Maka ia diwaspadai. Apalagi, dialah satu-satunya
pangeran yang mengenakan serban, gamis sadariah, dan jubah, ikat pinggangnya
seperti yang dikenakan ulama Mekah, di saat pangeran lainnya masih berbusana
kebesaran Jawa. Suatu ketika, Diponegoro memergoki Residen Belanda duduk memeluk
Sultan Cilik, yang didiamkan Patihnya, dengan mata berkilat-kilat, Dipo
berbalik, pulang. Ia murka si kafir najis memangku Sultan, lambang suci
kerajaan. Saat itulah ia memutuskan uzlah, menyingkir dari istana di puncak
kemarahannya, menetap di Tegalrejo.
Kemerosotan
moral di istana melahirkan golongan kontra meliputi beberapa bangsawan, ulama,
dan pejabat birokrasi kerajaan termasuk Diponegoro. Kelompok kontra yang kecewa dengan perkembangan ini
makin runcing tak hanya dalam tembok istana, namun sudah menyebar di tengah
masyarakat kebanyakan. Selain Belanda memang tak menghargai adat istiadat
setempat, kondisi itu diperparah oleh sikap Belanda yang sangat mengeksploitasi
rakyat, terutama dengan pembebanan pajak.
Suatu
ketika di Desa Tegalrejo, tempat tinggal Diponegoro, bakal diterjang perluasan
jalan. Tanpa sepengetahuan Diponegoro, pihak Belanda memasang patok di tanah
milik Diponegoro, bahkan jalan itu kelak akan melintas di makam leluhur
Diponegoro. Keruan saja Diponegoro menentang kebijakan ini. Tak ada pilihan,
situasi mengantar pada konflik terbuka antara Diponegoro dan tentara
Belanda.
Genderang
perang ditabuh sudah ditandai letusan meriam pihak Belanda. Rakyat Tegalrejo
bersiaga dengan senjata seadanya: tombak, lembing, dan pelontar batu. Tersiarlah
kabar, pasukan Diponegoro terdesak. Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro,
segera menemui Diponegoro dan mengingatkan agar Diponegoro menyingkir saja dari
Tegalrejo. Diponegoro akhirnya menuruti nasihat sang paman, bahkan sang paman
ikut bersamanya. Mereka bisa lolos dari kejaran Belanda, dan menyusuri
jalan-jalan tersembunyi sampai tiba di sebuah goa. Di goa yang kemudian terkenal
sebagai Goa Selarong ini, Diponegoro bermarkas. Lambat laun perlawanan
Diponegoro telah menyedot simpati rakyat. Dukungan demi dukungan mengalir,
memperkuat pasukan Diponegoro. Saat itu Diponegoro menegaskan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Keberanian
Diponegoro dalam pertempuran demi pertempuran merupakan daya pikat tersendiri
sehingga makin banyak saja orang yang merasa mantap bergabung dengan Diponegoro
melawan penjajah. Meskipun banyak yang bergabung dengan Diponegoro, Sunan Paku
Buwono dari Keraton Kasunanan Surakarta ternyata tak tergerak untuk bergabung
dengan Diponegoro. Meskipun demikian, salah seorang tokoh agama di Surakarta,
Kiai Mojo, memilih bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Semboyan
“perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro menjadi perekat perjuangan bagi mereka
yang memiliki keinsyafan keagamaan yang tinggi. Keberanian pasukan Diponegoro
terus berkobar dan meluas sampai ke luar kawasan Yogyakarta. Pengaruhnya sampai
ke wilayah Pacitan dan Kedu. Perang Diponegoro berkobar dengan semangat yang
tinggi dalam kurun lima tahun yang menyulitkan Belanda. Sampai belanda berhasil
lewat tipu dayanya, menangkap Diponegoro pada 1830. Selama Perang Diponegoro,
yang juga disebut Perang Jawa itu, menurut catatan, Belanda kehilangan tak
kurang dari 15.000 tentara dan biaya perang yang begitu besar, lebih dari 20
juta gulden.
Memimpin
Perang dan Dibuang
Lebih
dari 200.000 orang gugur dan dua jutaan orang atau sepertiga dari penduduk Jawa
pada waktu itu menderita akibat perang sepanjang lima tahun (1825-1830). Di
pihak Belanda, sekitar 15.000 serdadu tewas. Perang perlawanan yang dipimpin
Diponegoro tercatat dalam sejarah sebagai pergolakan terbesar yang terakhir yang
dihadapi Belanda di Jawa.
Akumulasi
ketakpuasan atas pemerahan rakyat Jawa oleh Belanda telah menyulut perang besar
ini. Sistem pajak yang diterapkan turun-temurun begitu mencekik rakyat. Rakyat
dibebani pajak tumpang tindih. Selain itu, ada kerig aji (herendiensten), berupa kerja wajib untuk
raja, padahal rakyat sudah dikenai wilah
weling (pajak tanah), pengawang-awang
(pajak halaman pekarangan), pajiga
(pajak ternak). Tak cukup itu saja, rakyat masih diwajibkan membayar pecumpling (pajak sesuai jumlah pintu),
penyongket (pajak ganti nama), dan
pajak menyewa tanah atau menerima jabatan (bekti). Kalau pemerintah saat ini
kreatif menciptakan jenis-jenis pajak begitu banyaknya, Belanda lewat Raja Jawa
sudah memberi contoh itu.
Pada
masa itu ada juga pungutan yang ditarik pada tempat pabeyan (semacam tol), yang kebanyakan
disewa keturunan Tionghoa. Semua lalu lintas dengan pengangkut barang dikenakan
pajak. Sampai-sampai, ibu yang menggendong bayi anaknya dikenakan
pajak!
Faktor
ekonomi lainnya yang menimbulkan kegelisahan ialah keadaan yang memburuk
pascapenerapan kebijakan Van der Capellen, yang menetapkan bahwa semua penyewa
tanah oleh pengusaha Eropa dari penguasa dan bangsawan pribumi di Surakarta dan
Yogyakarta dibatalkan dengan mengembalikan uang sewa atau dengan pembayaran
lain. Akibatnya, banyak kaum ningrat dirugikan peraturan ini, bahkan mengalami
kesulitan serius.
Kasus di
Yogyakarta yang langsung menyangkut Pangeran Diponegoro ialah soal “penyewaan”
tanah Sri Sultan oleh Residen Nahuys, yakni tanah perkebunan kopi Berdaya. Tanah
itu disewakan 25 real, namun berdasarkan peraturan itu Nahuys menuntut ganti
rugi sebesar 60.000 real. Alasannya, ia sudah menanam modal besar di tanah itu.
Tawar-menawar soal ganti rugi itu mengakibatkan Diponegoro sangat gusar.
Pemerintah
sesudah HB I menjadi tak stabil. HB II (Sultan Sepuh) dianggap tidak dapat
diandalkan dan dibuang, diganti HB III (Sultan Raja). Setelah ia meninggal pada
1814, diganti putranya yang lahir dari rahim ibu yang berdarah bangsawan.
Meskipun Diponegoro anak tertua, tetapi ia terlahir dari ibu seorang kebanyakan,
ia tidak diangkat menjadi raja. Padahal, pernah dijanjikan oleh HB II bahwa
sepeninggalnya Diponegoro akan diangkat menduduki takhta Kerajaan Yogyakata. HB
IV ini dalam perjalanannya menjadi seorang sultan yang bergaya hidup mewah.
Bahkan memasukkan aktivitas baru dan asing ke dalam keraton. Setelah meninggal
dengan mendadak, diangkatlah putra lelakinya yang masih kecil, Sultan Menol,
menjadi HB V. Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi
emban-nya (pengasuh). Diponegoro
tambah gusar, apalagi patih Danurejo selalu menghalangi langkah-langkah
Diponegoro sebagai wali.
Di
tengah suasana yang serba glamor dan modern di lingkungan keraton, Diponegoro
lebih banyak berdiam di Tegalrejo. Memperdalam Islam dan tekun beribadah. Selain
itu ia banyak bertapa dan menerapkan mistik. Sampai suatu ketika datang ilham,
Diponegoro mendapat perintah menyelamatkan Tanah jawa. Tugas yang diterimanya
melalui ilham inilah yang memberikan otoritas kepadanya untuk memimpin gerakan
pada satu pihak, dan menjadikan tuntunannya untuk bersikap keras dan tegas di
setiap perundingan dengan Belanda atau pihak lainnya.
Di
sinilah, mahdiisme atau ratu adilisme menjadi ramuan penting sehingga Perang
Diponegoro ini tumbuh meluas sebagai gerakan massa. Konsep Ratu Adil yang
dipancarkan Diponegoro begitu efektif memobilisasi massa terutama rakyat jelata.
Diponegoro pun dengan kapasitas yang dibangun selama uzlah menjadi tampak patut menyandang
gelar Panatagama (pengatur agama)
atau pemimpin. Keyakinan ini menjadi tuntunan dan hidup di tengah pengikutnya
sampai akhir perjuangannya.
Perang
Jawa meletus gara-gara provokasi awal dari pihak Belanda sendiri. Belanda bikin
gara-gara dengan menerabas tanah milik pribadi Diponegoro bahkan bakal mengusik
makam leluhur Diponegoro saat memperluas jalan. Sebagai protes, patok-patok
tanah yang dipancangkan dicabut dan diganti tombak. Residen Smissaert berusaha
mengadakan perundingan, tetapi Diponegoro tidak mau muncul. Ia hanya mengirim
wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Usaha Asisten Residen Chevallier menangkap kedua
oangeran itu (Diponegoro dan Mangkubumi) digagalkan barisan rakyat Tegalrejo.
Kemudian mereka meninggalkan Tegalrejo, hijrah dan mengatur siasat di Goa
Selarong.
Kota
Yogyakarta lantas dikepung agar penghuninya kelaparan. Pertahanan yang berpusat
di benteng Vredenburg hanya terdiri atas 200 orang, bala bantuan pun sangat
diperlukan dari Surakarta, Semarang, dan Jawa Timur. Di dalam kota, penduduk
Belanda juga merasa ketakutan. Mereka khawatir “perampokan” bakal terjadi.
Yogyakarta mulai diserang sehingga Pangeran Menol harus diungsikan ke Benteng.
Perang dengan taktik gerilya pun menyebar luas di berbagai tempat di Yogyakarta,
bahkan Semarang dan daerah pantai di sekitarnya diserang pula. Akhirnya datang
bala bantuan dari Sulawesi Selatan, dan Kalimantan, sementara bisa meredam
perlawanan gerilya itu.
Diponegoro
tak menghiraukan tawaran perundingan, baik yang diajukan Residen Yogyakarta
maupun Jenderal de Kock. Situasi yang agak terkendali di bawah Belanda, membuat
Diponegoro juga memperkuat pasukannya. Perbawa Kiai Mojo, juga Sentot
Prawiradirdja telah menambah simpati rakyat dan menebar rasa keterpanggilan
juang rakyat. Dengan kewibawaan Kiai Maja banyak pengikut baru dari Pajang.
Ideologi perang sabil melawan kaum kafir telah memperkuat pasukan Diponegoro
begitu rupa sehingga berdayajuang amat tinggi.
Memasuki
tahun 1826, terjadi pasang-surut. Plered diduduki kedua belah pihak silih
berganti. Pada pertempuran di dekat Lengkong yang dipimpin Sentot, banyak
memakan korban di pihak Diponegoro, termasuk di antaranya dua wali Sultan gugur.
Tahu perbawa Diponegoro, juga sejumlah pengikutnya yang juga ulama dan bangsawan
yang bercitra baik di mata rakyat, Belanda bermaksud mengimbangi wibawa. Tahun
1826 bulan September, Belanda
mengangkat Sultan Sepuh kembali. Tapi taktik ini buyar lantaran Sultan Sepuh
sudah tak berwibawa lagi di mata rakyat.
Tahun
1827 Belanda memperkuat diri dengan menjalankan taktik benteng stelsel dan mengerahkan bala
bantuan dari negeri Belanda sekitar tiga 3.000 orang. Taktik benteng stelsel diwujudkan dengan
mendirikan benteng-benteng di daerah-daerah yang sudah diamankan dan dikuasai,
di antara masing-masing benteng itu
dihubungkan dengan jalan sehingga komunikasi dapat dijalankan dengan mudah.
Benteng juga difungsikan untuk melindungi rakyat yang tetap bermukim dan
bercocok tanam ke wilayah sekitarnya. daerah operasi Pangeran Diponegoro hendak
dibatasi di daerah antara Sungai Praga dan Bagawanta.
Tahun
1827 itu juga Kiai Maja bersedia berunding, sementara dua pihak menghentikan
pertempuran. Apa yang dilakukan Kiai Maja merupakan tamparan bagi Diponegoro.
Kebetulan, meledak pemberontakan di daerah Rembang sehingga kekuatan Belanda
sebagian teralihkan ke daerah itu. Meskipun beberapa kali menderita kekalahan
selama tahun 1828, Sentot berhasil meneruskan perang di Banyumas. Pada tahun
yang sama, pasukan Kiai Maja kalah. Kiai Maja ditangkap dan dibuang ke Manado.
Pada awal tahun 1829, Diponegoro menyatakan kesediaannya berunding tanpa melepas
tuntutannya untuk tetap diakui sebagai panatagama. Berturut-turut, sesudah itu
menyerahlah Pangeran Mangkubumi (September 1829), dan Sentot (Oktober 1829),
yang menyatakan siap sedia mencurahkan tenaga bagi bala tentara Belanda. Pada
Februari 1830 terjadi perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Van de Kock.
Perundingan itu sempat ditunda karena Diponegoro tak bersedia berunding selama
bulan puasa.
Saat
perayaan Idul Fitri, 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro diundang ke rumah
Residen Van de Kock guna meneruskan perundingan. Dalam perundingan, Diponegoro
ternyata masih berkeras dengan tuntutannya sehingga ia ditawan dan diantar ke
Semarang untuk selanjutnya pada 3 Mei 1830 melalui Batavia dibuang ke Manado. Di
Manado, Pangeran Diponegoro hanya empat tahun karena Belanda menganggap
penjagaan di Manado kurang kuat. Diponegoro dipindah ke Makasar (kini
Ujungpandang), sampai wafatnya, 8 Januari 1855, dalam usia 70
tahun.
Meskipun
pemimpin perang itu akhirnya dibuang ke luar Jawa, apa yang dilakukan Diponegoro
memberi inspirasi gerakan perlawanan melawan pemerintah kolonial. Sampai
akhrnya, Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945.