BINTANG ZAMAN / PANJI NO. 29 TH III. 3 NOVEMBER 1999

 

Diponegoro

 

Pangeran Kesederhanaan, Pangeran Keberanian

 

Pelukis Basuki Abdullah, juga Raden Saleh, menggambarkannya sebagai pemimpin perang dengan jubah putihnya. Ia pangeran Jawa, meski bukan dari garwa padmi (permaisuri). Jubah dan serbannya, mencitrakan ia muslim taat, bahkan pemuka agama nan alim. Betul demikian? Bahwa ia muslim: ya. Tetapi, dalam paparan yang dibuatnya sendiri, Babad Diponegoro, catatan napaktilasnya sampai ia diasingkan Belanda, ia menyebutkan sejumlah kejadian supranatural khas kejawen yang dialaminya. Termasuk mendefinisikan diri sebagai “Ratu Adil”, dan pernah bersua dengan Ratu Kidul segala. Sejarah Indonesia mencatatnya sebagai Pahlawan Nasional. Siapa sangka di masa mudanya ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berbagai bacaan, dari buku-buku agama, sejarah, kesusastraan, dan kebatinan. Kemampuan konsepsionalnya tak hanya urusan perang, tapi juga dalam kenegaraan. Merujuk berbagai sumber, wartawan Panji Abdul Rahman Ma’mun dibantu Iqbal Setyarso menuangkan sekelumit ihwal Diponegoro.

 

 

Abad kesembilan belas dalam lintasan sejarah Indonesia mengukir nama besar Pangeran Diponegoro, pemegang peranan penting dalam perang kemerdekaan pada masa-masa awal. Ia mengobarkan perang yang mengguncangkan sendi-sendi kolonialisme Belanda, kelak dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830). Pribadi Pangeran Diponegoro memberikan nafas kepahlawanan yang amat panjang bagi api kemerdekaan yang berkobar pada era itu, nyalanya hadir kembali pada diri para pahlawan hingga tercapai Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945.

Soal daya juang Diponegoro ini, Belanda pun mengaguminya. “Kita sungguh-sungguh harus mengagumimu, Pangeran Diponegoro, yang sungguh pun terus-menerus menderita pukulan dan ditimpa kemalangan, kehilangan sanak-saudaranya yang terdekat, panglima perangnya yang paling cakap, namun masih juga kuat dan berani menggerakkan perlawanan menghadapi tentara kita terus-menerus,” kata Kapiten J.P. Schomaker, seorang opsir Belanda.

Diponegoro, lelaki berdarah biru ini bisa tumbuh menjadi pribadi seperti itu, memang ada faktor psikologis tertentu yang melatarbelakanginya.

 

Revolusioner Muda. Satu kata yang dibubuhkan di depan namanya, pangeran, adalah gelar kebangsawanan tertinggi di Jawa. Gelar ini hanya berhak disandang anak raja. Diponegoro adalah putra Hamengku Buwono (HB) III yang dikenal sebagai Sultan Raja. Kakeknya, Sultan HB II atau Sultan Sepuh, dan buyutnya HB I (Sultan Swargi) pendiri kerajaan Mataram di Yogyakarta. Adik Diponegoro, Pangeran Jarot, maupun keponakannya, Pangeran Menol, dalam babakan sejarah Mataram dinobatkan menjadi Raja. Pangeran Jarot menjadi Raja dengan gelar Sultan HB IV, dan Pangeran Menol, dalam usia tiga tahun dinobatkan sebagai Sultan HB V. Diponegoro sendiri, putra raja dari garwa ampeyan (bukan permaisuri), yakni R.A. Mangkarawati, berasal dari Pacitan. Sang bunda, putri seorang bupati dan masih berdarah Madura. Pribadi Diponegoro sendiri punya pembawaan yang tegas memancarkan wibawa tersendiri. Kawan dan lawan (Belanda penjajah), segan padanya. Perbawa Diponegoro ini memikat para bangsawan lainnya kelak, dalam situasi genting, bergabung di bawah kepemimpinan Diponegoro melawan Belanda. Misalnya saja, Pangeran Mangkubumi bertindak sebagai Panasihat Agung, Pangeran Ngabehi Jayakusuma sebagai panglima besar yang dalam sebuah pertempuran gugur dan dimakamkan di bukit Singi, daerah aliran sungai Progo, sebelah barat Kota Yogyakarta.

Diponegoro kecil sudah mendapati pemandangan yang tak mengenakkan hatinya. Ia menyaksikan sendiri ketakberdayaan raja-raja Mataram di bawah kuasa penjajah. Kemarahannya menjadikan Diponegoro sebagai seorang revolusioner.

Pada umur 20-an, Diponegoro menyaksikan rontoknya kehormatan keraton. Dulu, wakil Belandalah yang lebih dulu memberi hormat saat berjumpa Susuhunan Surakarta, atau Sultan Yogya. Daendels membongkarnya. Sultan yang harus menemuinya di tempat peristirahatan Daendels. Dan ia tak pernah mengelu-elukan Sultan ketika baginda masuk ruangan.

 

Gelora Perang yang Dahsyat. Diponegoro lahir pada Jumat Wage, 8 Muharram tahun Be 1712 Wuku Wayang, atau 11 November 1785. Pada saat kelahirannya, Sultan HB I alias Sultan Swargi, kakek buyut Diponegoro menitahkan agar bayi itu dibawa kepadanya. Saat itu baginda Raja sedang duduk di serambi dalam. Pada saat HB I memperhatikan bayi itu, ia berkata kepada permaisurinya, ”Adinda, ketahuilah bahwa adalah kehendak Mahakuasa bahwasanya cicit Adinda ini telah ditentukan kelak akan mengisruhkan orang-orang Belanda. Adapun betapa akhirnya kelak hanya Tuhan Yang Mahakuasalah yang mengetahuinya. Anak ini akan melebihi saya. Oleh karena itulah Adinda, maka Adinda harus memelihara bayi ini dengan baik.”

Diponegoro kecil bernama Antawirya. Pangeran Antawirya sejak dini memang mendapat pendidikan agama. Saat ia menginjak usia muda, juga diserahkan kepada neneknya, Ratu Ageng, yang tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta. Ratu Ageng adalah sosok yang dikenal salihah dan taat. Di bawah asuhan Ratu Ageng ini, Antawirya mempelajari dan memperdalam agama dan kebatinan. Kitab agama dan Jawa kuno yang mengandung ajaran hukum dan ajaran keluhuran rohani, dilalapnya habis. Tak heran, Antawirya kelak menjadi orang yang sederhana hidupnya, saleh, dan taat menunaikan kewajiban agamanya.

Ketaatan dan kesederhanaan Pangeran Diponegoro ini diakui musuhnya, Cakranegara, yang menilai Diponegoro sebagai lambang orang saleh dan sederhana hidupnya. Sebagai putra raja, bisa saja Diponegoro hidup bersenang-senang, bergelimang kemewahan.

Namun itu tak dilakukannya. Ia malah memilih hidup sederhana di luar tembok istana, di tengah rakyat yang menderita di Tegalrejo, sebuah desa di bagian barat Kota Yogyakarta.

Tuduhan Belanda bahwa Diponegoro menyiapkan pemberontakan dan mengangkat senjata melawan Belanda gara-gara kecewa ia tak diangkat menjadi raja, sungguh sebuah fitnah. Karena sebenarnya Diponegoro sejak kecil justru memilih hidup sederhana sebagaimana rakyat biasa.

Diponegoro adalah orang yang tahu dan menjunjung tinggi adat istiadat kerajaan, dan selalu menghormati kepercayaan rakyat. Terbukti, suatu ketika ia harus menyeberangi sungai Bagawanta. Menurut kepercayaan rakyat, keturunan raja Mataram tidak boleh menyeberangi sungai Bagawanta menuju ke barat. Sungguhpun Diponegoro dan kawan-kawan seperjuangannya sudah berada di tepi sungai itu, dan dalam posisi terdesak pula, beliau mau memikirkan jalan lain demi menghormati kepercayaan itu.  

Di sisi lain, Diponegoro sangat menentang cara hidup dan campur tangan asing dalam urusan kerajaan. Campur tangan asing--yang sering disebutnya sebagai orang kafir--secara keras ditentangnya, seperti urusan perwalian dalam kerajaan. Ini menyalahi hukum agama. Untuk itu Diponegoro tak segan menyampaikan fatwanya.

Diponegoro yang hidup bersahaja dikenal pula suka mengembara ke tempat sunyi. Ia menguatkan jiwa dan mempertebal semangatnya dalam memenuhi panggilan suci agama yang dimuliakannya, dan Tanah Air yang dicintainya.

Pangeran Diponegoro tidak mengisi jiwa dan pengetahuannya dengan hanya mendaras kitab agama dan kebatinan saja, ia pun mempelajari kitab-kitab ilmu kesusastraan serta sejarah. Dia banyak pula membaca sejarah bangun dan runtuhnya kerajaan-kerajaan. Ia pun cukup paham bagaimana Mataram yang awalnya luas dan besar kekuasaannya itu sampai jatuh dan susut menjadi kerajaan yang tak berdaya dan selalu bergantung pada kekuasaan kolonial.

Ketergantungan kerajaan pada kekuasaan asing itu rupanya amat merisaukan Pangeran Diponegoro. Dalam banyak hal, kultur Barat telah merasuki kerajaan. Misalnya, meluasnya peredaran minuman keras, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat kebanyakan. Kalau ini masuk istana, sungguh sebuah ancaman bagi kehidupan agama Islam. Gelar kekhalifahan sultan menjadi merosot dalam pandangan agama. “Para bangsawan telah mengabaikan ajaran agama, dan tak lagi menghormati ulama,” kata Diponegoro mengecam gaya hidup yang mulai amburadul itu. Padahal Raja Sultan Agung, pendiri Mataram, amat dibanggakan sebagai raja yang taat beragama, menampakkan kehidupan spiritual atau kebatinan yang tinggi. Sultan HB IV yang memerintah saat itu sudah jauh dari keteladanan pendiri Mataram. Menghadapi kolonial Belanda, ia lemah. Kesan dibawahi penjajah, begitu mencolok.

Dipo makin dingin terhadap Belanda. Maka ia diwaspadai. Apalagi, dialah satu-satunya pangeran yang mengenakan serban, gamis sadariah, dan jubah, ikat pinggangnya seperti yang dikenakan ulama Mekah, di saat pangeran lainnya masih berbusana kebesaran Jawa. Suatu ketika, Diponegoro memergoki Residen Belanda duduk memeluk Sultan Cilik, yang didiamkan Patihnya, dengan mata berkilat-kilat, Dipo berbalik, pulang. Ia murka si kafir najis memangku Sultan, lambang suci kerajaan. Saat itulah ia memutuskan uzlah, menyingkir dari istana di puncak kemarahannya, menetap di Tegalrejo.

Kemerosotan moral di istana melahirkan golongan kontra meliputi beberapa bangsawan, ulama, dan pejabat birokrasi kerajaan termasuk Diponegoro. Kelompok kontra  yang kecewa dengan perkembangan ini makin runcing tak hanya dalam tembok istana, namun sudah menyebar di tengah masyarakat kebanyakan. Selain Belanda memang tak menghargai adat istiadat setempat, kondisi itu diperparah oleh sikap Belanda yang sangat mengeksploitasi rakyat, terutama dengan pembebanan pajak.

Suatu ketika di Desa Tegalrejo, tempat tinggal Diponegoro, bakal diterjang perluasan jalan. Tanpa sepengetahuan Diponegoro, pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro, bahkan jalan itu kelak akan melintas di makam leluhur Diponegoro. Keruan saja Diponegoro menentang kebijakan ini. Tak ada pilihan, situasi mengantar pada konflik terbuka antara Diponegoro dan tentara Belanda.

Genderang perang ditabuh sudah ditandai letusan meriam pihak Belanda. Rakyat Tegalrejo bersiaga dengan senjata seadanya: tombak, lembing, dan pelontar batu. Tersiarlah kabar, pasukan Diponegoro terdesak. Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro, segera menemui Diponegoro dan mengingatkan agar Diponegoro menyingkir saja dari Tegalrejo. Diponegoro akhirnya menuruti nasihat sang paman, bahkan sang paman ikut bersamanya. Mereka bisa lolos dari kejaran Belanda, dan menyusuri jalan-jalan tersembunyi sampai tiba di sebuah goa. Di goa yang kemudian terkenal sebagai Goa Selarong ini, Diponegoro bermarkas. Lambat laun perlawanan Diponegoro telah menyedot simpati rakyat. Dukungan demi dukungan mengalir, memperkuat pasukan Diponegoro. Saat itu Diponegoro menegaskan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.

Keberanian Diponegoro dalam pertempuran demi pertempuran merupakan daya pikat tersendiri sehingga makin banyak saja orang yang merasa mantap bergabung dengan Diponegoro melawan penjajah. Meskipun banyak yang bergabung dengan Diponegoro, Sunan Paku Buwono dari Keraton Kasunanan Surakarta ternyata tak tergerak untuk bergabung dengan Diponegoro. Meskipun demikian, salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kiai Mojo, memilih bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Semboyan “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro menjadi perekat perjuangan bagi mereka yang memiliki keinsyafan keagamaan yang tinggi. Keberanian pasukan Diponegoro terus berkobar dan meluas sampai ke luar kawasan Yogyakarta. Pengaruhnya sampai ke wilayah Pacitan dan Kedu. Perang Diponegoro berkobar dengan semangat yang tinggi dalam kurun lima tahun yang menyulitkan Belanda. Sampai belanda berhasil lewat tipu dayanya, menangkap Diponegoro pada 1830. Selama Perang Diponegoro, yang juga disebut Perang Jawa itu, menurut catatan, Belanda kehilangan tak kurang dari 15.000 tentara dan biaya perang yang begitu besar, lebih dari 20 juta gulden.

 

Memimpin Perang dan Dibuang

 

Lebih dari 200.000 orang gugur dan dua jutaan orang atau sepertiga dari penduduk Jawa pada waktu itu menderita akibat perang sepanjang lima tahun (1825-1830). Di pihak Belanda, sekitar 15.000 serdadu tewas. Perang perlawanan yang dipimpin Diponegoro tercatat dalam sejarah sebagai pergolakan terbesar yang terakhir yang dihadapi Belanda di Jawa.

Akumulasi ketakpuasan atas pemerahan rakyat Jawa oleh Belanda telah menyulut perang besar ini. Sistem pajak yang diterapkan turun-temurun begitu mencekik rakyat. Rakyat dibebani pajak tumpang tindih. Selain itu, ada kerig aji (herendiensten), berupa kerja wajib untuk raja, padahal rakyat sudah dikenai wilah weling (pajak tanah), pengawang-awang (pajak halaman pekarangan), pajiga (pajak ternak). Tak cukup itu saja, rakyat masih diwajibkan membayar pecumpling (pajak sesuai jumlah pintu), penyongket (pajak ganti nama), dan pajak menyewa tanah atau menerima jabatan (bekti). Kalau pemerintah saat ini kreatif menciptakan jenis-jenis pajak begitu banyaknya, Belanda lewat Raja Jawa sudah memberi contoh itu.

Pada masa itu ada juga pungutan yang ditarik pada tempat pabeyan (semacam tol), yang kebanyakan disewa keturunan Tionghoa. Semua lalu lintas dengan pengangkut barang dikenakan pajak. Sampai-sampai, ibu yang menggendong bayi anaknya dikenakan pajak!

Faktor ekonomi lainnya yang menimbulkan kegelisahan ialah keadaan yang memburuk pascapenerapan kebijakan Van der Capellen, yang menetapkan bahwa semua penyewa tanah oleh pengusaha Eropa dari penguasa dan bangsawan pribumi di Surakarta dan Yogyakarta dibatalkan dengan mengembalikan uang sewa atau dengan pembayaran lain. Akibatnya, banyak kaum ningrat dirugikan peraturan ini, bahkan mengalami kesulitan serius.

Kasus di Yogyakarta yang langsung menyangkut Pangeran Diponegoro ialah soal “penyewaan” tanah Sri Sultan oleh Residen Nahuys, yakni tanah perkebunan kopi Berdaya. Tanah itu disewakan 25 real, namun berdasarkan peraturan itu Nahuys menuntut ganti rugi sebesar 60.000 real. Alasannya, ia sudah menanam modal besar di tanah itu. Tawar-menawar soal ganti rugi itu mengakibatkan Diponegoro sangat gusar.

Pemerintah sesudah HB I menjadi tak stabil. HB II (Sultan Sepuh) dianggap tidak dapat diandalkan dan dibuang, diganti HB III (Sultan Raja). Setelah ia meninggal pada 1814, diganti putranya yang lahir dari rahim ibu yang berdarah bangsawan. Meskipun Diponegoro anak tertua, tetapi ia terlahir dari ibu seorang kebanyakan, ia tidak diangkat menjadi raja. Padahal, pernah dijanjikan oleh HB II bahwa sepeninggalnya Diponegoro akan diangkat menduduki takhta Kerajaan Yogyakata. HB IV ini dalam perjalanannya menjadi seorang sultan yang bergaya hidup mewah. Bahkan memasukkan aktivitas baru dan asing ke dalam keraton. Setelah meninggal dengan mendadak, diangkatlah putra lelakinya yang masih kecil, Sultan Menol, menjadi HB V. Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi emban-nya (pengasuh). Diponegoro tambah gusar, apalagi patih Danurejo selalu menghalangi langkah-langkah Diponegoro sebagai wali.

Di tengah suasana yang serba glamor dan modern di lingkungan keraton, Diponegoro lebih banyak berdiam di Tegalrejo. Memperdalam Islam dan tekun beribadah. Selain itu ia banyak bertapa dan menerapkan mistik. Sampai suatu ketika datang ilham, Diponegoro mendapat perintah menyelamatkan Tanah jawa. Tugas yang diterimanya melalui ilham inilah yang memberikan otoritas kepadanya untuk memimpin gerakan pada satu pihak, dan menjadikan tuntunannya untuk bersikap keras dan tegas di setiap perundingan dengan Belanda atau pihak lainnya.

Di sinilah, mahdiisme atau ratu adilisme menjadi ramuan penting sehingga Perang Diponegoro ini tumbuh meluas sebagai gerakan massa. Konsep Ratu Adil yang dipancarkan Diponegoro begitu efektif memobilisasi massa terutama rakyat jelata. Diponegoro pun dengan kapasitas yang dibangun selama uzlah menjadi tampak patut menyandang gelar Panatagama (pengatur agama) atau pemimpin. Keyakinan ini menjadi tuntunan dan hidup di tengah pengikutnya sampai akhir perjuangannya.

Perang Jawa meletus gara-gara provokasi awal dari pihak Belanda sendiri. Belanda bikin gara-gara dengan menerabas tanah milik pribadi Diponegoro bahkan bakal mengusik makam leluhur Diponegoro saat memperluas jalan. Sebagai protes, patok-patok tanah yang dipancangkan dicabut dan diganti tombak. Residen Smissaert berusaha mengadakan perundingan, tetapi Diponegoro tidak mau muncul. Ia hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Usaha Asisten Residen Chevallier menangkap kedua oangeran itu (Diponegoro dan Mangkubumi) digagalkan barisan rakyat Tegalrejo. Kemudian mereka meninggalkan Tegalrejo, hijrah dan mengatur siasat di Goa Selarong.

Kota Yogyakarta lantas dikepung agar penghuninya kelaparan. Pertahanan yang berpusat di benteng Vredenburg hanya terdiri atas 200 orang, bala bantuan pun sangat diperlukan dari Surakarta, Semarang, dan Jawa Timur. Di dalam kota, penduduk Belanda juga merasa ketakutan. Mereka khawatir “perampokan” bakal terjadi. Yogyakarta mulai diserang sehingga Pangeran Menol harus diungsikan ke Benteng. Perang dengan taktik gerilya pun menyebar luas di berbagai tempat di Yogyakarta, bahkan Semarang dan daerah pantai di sekitarnya diserang pula. Akhirnya datang bala bantuan dari Sulawesi Selatan, dan Kalimantan, sementara bisa meredam perlawanan gerilya itu.

Diponegoro tak menghiraukan tawaran perundingan, baik yang diajukan Residen Yogyakarta maupun Jenderal de Kock. Situasi yang agak terkendali di bawah Belanda, membuat Diponegoro juga memperkuat pasukannya. Perbawa Kiai Mojo, juga Sentot Prawiradirdja telah menambah simpati rakyat dan menebar rasa keterpanggilan juang rakyat. Dengan kewibawaan Kiai Maja banyak pengikut baru dari Pajang. Ideologi perang sabil melawan kaum kafir telah memperkuat pasukan Diponegoro begitu rupa sehingga berdayajuang amat tinggi.

Memasuki tahun 1826, terjadi pasang-surut. Plered diduduki kedua belah pihak silih berganti. Pada pertempuran di dekat Lengkong yang dipimpin Sentot, banyak memakan korban di pihak Diponegoro, termasuk di antaranya dua wali Sultan gugur. Tahu perbawa Diponegoro, juga sejumlah pengikutnya yang juga ulama dan bangsawan yang bercitra baik di mata rakyat, Belanda bermaksud mengimbangi wibawa. Tahun 1826 bulan September,  Belanda mengangkat Sultan Sepuh kembali. Tapi taktik ini buyar lantaran Sultan Sepuh sudah tak berwibawa lagi di mata rakyat.

Tahun 1827 Belanda memperkuat diri dengan menjalankan taktik benteng stelsel dan mengerahkan bala bantuan dari negeri Belanda sekitar tiga 3.000 orang. Taktik benteng stelsel diwujudkan dengan mendirikan benteng-benteng di daerah-daerah yang sudah diamankan dan dikuasai, di antara masing-masing  benteng itu dihubungkan dengan jalan sehingga komunikasi dapat dijalankan dengan mudah. Benteng juga difungsikan untuk melindungi rakyat yang tetap bermukim dan bercocok tanam ke wilayah sekitarnya. daerah operasi Pangeran Diponegoro hendak dibatasi di daerah antara Sungai Praga dan Bagawanta.

Tahun 1827 itu juga Kiai Maja bersedia berunding, sementara dua pihak menghentikan pertempuran. Apa yang dilakukan Kiai Maja merupakan tamparan bagi Diponegoro. Kebetulan, meledak pemberontakan di daerah Rembang sehingga kekuatan Belanda sebagian teralihkan ke daerah itu. Meskipun beberapa kali menderita kekalahan selama tahun 1828, Sentot berhasil meneruskan perang di Banyumas. Pada tahun yang sama, pasukan Kiai Maja kalah. Kiai Maja ditangkap dan dibuang ke Manado. Pada awal tahun 1829, Diponegoro menyatakan kesediaannya berunding tanpa melepas tuntutannya untuk tetap diakui sebagai panatagama. Berturut-turut, sesudah itu menyerahlah Pangeran Mangkubumi (September 1829), dan Sentot (Oktober 1829), yang menyatakan siap sedia mencurahkan tenaga bagi bala tentara Belanda. Pada Februari 1830 terjadi perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Van de Kock. Perundingan itu sempat ditunda karena Diponegoro tak bersedia berunding selama bulan puasa.

Saat perayaan Idul Fitri, 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro diundang ke rumah Residen Van de Kock guna meneruskan perundingan. Dalam perundingan, Diponegoro ternyata masih berkeras dengan tuntutannya sehingga ia ditawan dan diantar ke Semarang untuk selanjutnya pada 3 Mei 1830 melalui Batavia dibuang ke Manado. Di Manado, Pangeran Diponegoro hanya empat tahun karena Belanda menganggap penjagaan di Manado kurang kuat. Diponegoro dipindah ke Makasar (kini Ujungpandang), sampai wafatnya, 8 Januari 1855, dalam usia 70 tahun.

Meskipun pemimpin perang itu akhirnya dibuang ke luar Jawa, apa yang dilakukan Diponegoro memberi inspirasi gerakan perlawanan melawan pemerintah kolonial. Sampai akhrnya, Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945.