Republika Online edisi:
17 Dec 1999

Hukuman Terlalu Ringan, Prostitusi Menjamur

'Allahu Akbar, Allahu Akbar'. Pekik suara menyebut asma Allah dikumandangkan oleh ribuan warga saat memulai aksi protes terhadap beroperasinya sejumlah rumah hiburan, hotel dan warung remang-remang yang diduga kuat sebagai tempat maksiat di kawasan Parung. Dengan semangat jihad fisabilillah, massa melakukan arak-arakan di depan puluhan bangunan yang akan menjadi sasaran amuk.

Seorang di antaranya berjubah hitam yang kemudian diketahui sebagai koordinator lapangan membaca catatan dan menunjuk sejumlah bangunan. Berselang dua menit ribuan warga yang menamakan dirinya anti-PPN (prostitusi, perjudian dan narkoba) langsung melempari bangunan tadi dan membakarnya.

Dalam waktu sekitar tiga jam saja, amuk massa itu telah merusak dan menghanguskan sedikitnya 60 bangunan dengan perkiraan sementara kerugian mencapai Rp 3 miliar. Informasi yang dihimpun, aksi pengrusakan itu tepat sasaran, misalnya 3 panti pijat, dua sanggar hiburan, 1 karaoke, hotel Pendopo 45, dan 48 warung remang. Hanya saja sebuah rumah penduduk turut hangus karena api dengan cepat menjalar dari bangunan sanggar Sahabat yang menjadi sasaran massa.

Pengrusakan dan pembakaran tempat hiburan, hotel dan warung remang oleh warga dari empat desa di Parung itu berlangung Rabu (8/12) sehari menjelang Ramadhan.

Sebulan sebelum kejadian di daerah ini, warga Puncak, Cisarua juga melakukan aksi serupa. Ribuan santri yang diketahui berasal dari lima pesantren di kawasan ini merusak dan membakar 17 bangunan, 11 di antaranya hotel/penginapan yang diduga sebagai tempat praktek maksiat. Beberapa hotel/penginapan yang dirusak dan dibakar itu, tahun lalu juga menjadi sasaran emosi warga, tapi pengelolanya tetap saja tidak kapok. Misalnya Hotel Rileks dan Monggo Mas, yang memiliki sarana hiburan dangdutan serta karaoke dan diskotik.

Aksi warga di dua tempat itu tampaknya merupakan luapan emosi yang terpendam selama ini. Motivasinya satu, agar pemilik bangunan 'bermasalah' itu menghentikan usahanya yang diduga pemancing utama tumbuh suburnya praktek prostitusi dan peredaran narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba).

Menurut seorang warga, melalui alim ulama, tokoh masyarakat dan Muspika Parung, para pengelola rumah hiburan telah diperingatkan berkali-kali agar menutup usahanya. Karena telah disalahgunakan menjadi tempat transaksi seks, prostitusi dan peredaran narkoba. Jika praktek yang telah berjalan tahunan ini terus dibiarkan, akan merusak moral dan budaya khususnya warga Parung. ''Anda bisa melihat puluhan wanita penghibur mangkal di pinggir jalan dan di warung remang-remang setiap malam, apakah itu bisa kita biarkan,'' cetus seorang warga yang ikut aksi pembakaran.

Juru bicara Pemda Kab Bogor Helmi mengaku, hampir semua bangunan yang menjadi sasaran amuk massa di dua tempat itu tidak mamiliki izin usaha. Peruntukan bangunannya sendiri melanggar dan tidak sesuai dengan IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Bayangkan lanjutnya, IMB rumah disulap menjadi diskotik, atau yang tadinya warung berubah menjadi panti pijat. Perubahan peruntukan ini yang membuat semakin subur praktik maksiat di sana.

Bupati Bogor Agus Utara Effendi pun menuding pengusaha tempat hiburan sebagai pemicu kemarahan warga. Disebutkan, Muspida telah berkali-kali memberi peringatan agar menutup usaha hiburan dan penginapan yang selama ini ditengarai sebagai tempat maksiat dan peredaran narkoba. Tapi peringatan itu sama sekali tidak diindahkan oleh mereka. ''Dasar pengusaha bandel,'' cetus Agus.

Pemda sendiri tidak memperoleh pemasukan dari pengoperasian tempat hiburan di Parung maupun Puncak, karena memang tidak memiliki perizinan. Agus pun menegaskan, daripada membebani atau karena ulah mereka citra Pemda tercoreng, lebih baik semua usaha ilegal itu ditutup.

Kapolres Bogor Letkol Pol Ade Husen mengakui, penyerbuan massa tersebut adalah sebagai dampak kian menjamurnya hotel dan rumah hiburan tanpa izin di kawasan tersebut. Massa tidak dapat menerima kehadiran hotel dan rumah hiburan yang diduga kuat difungsikan sebagai tempat transaksi seks dan pelacuran. ''Tidak ada motivasi politik di balik penyerbuan massa terhadap sejumlah hotel dan tempat hiburan,'' katanya menanggapi kemarahan warga Cisarua dan Parung.

Informasi yang diperoleh, dikawasan Puncak, Cisarau setidaknya terdapat 45 unit penginapan dan rumah hiburan yang sehari-hari dipakai sebagai tempat mesum dan transaksi seks. Sementara di kawasan Parung, sedikitnya 40 tempat maksiat beroperasi setiap malam, belum termasuk warung remang-remang yang belakangan ini tumbuh menjamur.

Untuk mendukung penginapan dan bisnis haram itu, ratusan wanita penghibur berkeliran setiap malam di pinggir-pinggir jalan dan tempat hiburan. Belakangan diketahui para WTS semakin membanjiri kawasan Parung setelah wilayah Puncak dibakar oleh warga.

Diakui, Pemda memang agak kesulitan membasmi bisnis haram itu. Karena seperti di kawasan Puncak, selain hotel dan penginapan, banyak juga vila yang juga difungsikan sebagai tempat maksiat. Sementara di Parung rumah warga pun disewakan untuk tempat memuaskan nafsu setan itu.

Dengan kondisi demikian, aparat Muspida tidak akan mampu menertibkan praktik prostitusi di wilayah ini. Satu-satunya jalan untuk menghalau praktik itu adalah dengan menggerakkan warga yang diharapkan terus memantau beroperasinya tempat hiburan, hotel/penginapan serta rumah warga yang disalahfungsikan menjadi tempat maksiat tadi.

Sementara, usaha Pemda menjaring wanita penghibur guna menekan maraknya praktik prostitusi tampaknya kurang efektif mengingat relatif ringannya hukuman/sanksi bagi para tersangka. Biasanya para WTS tersebut hanya bisa dikenai tindak pidana ringan (tipiring) dengan hukuman membayar denda Rp 20.000-25.000/orang. Jika mereka tidak mampu membayar, baru dikenai kurungan 2-3 hari. Setelah itu, mereka kembali bebas dan siap menjalankan kembali profesinya sebagai pramunikmat.

''Undang-undang kita baru bisa menjerat mereka dengan tuntutan tersebut,'' kata Kakansospol Kota Bogor E Rukanda.

Mengingat ringannya hukuman tadi, membuat para pramunikmat itu tidak pernah jera dalam 'berdagang'. Seperti yang terjadi di Kota Bogor, dilepaskan hari ini, esoknya kembali beroperasi. Karena itu banyak di antara WTS yang terjaring itu sudah berkali-kali tertangkap dan memang tidak pernah jera atas perbuatannya.

Wanita penghibur yang beroperasi di jalan-jalan itu juga kebanyakan sudah pernah mengikuti program rehabilitasi seperti di Cibadak, Sukabumi. Sayangnya, program ini juga tidak cukup ampuh membuat mereka jera. Karena itu sulit rasanya membasmi praktik prostitusi ini dari muka bumi ini. Mungkin dengan hukuman moral, seperti yang direalisasikan oleh masyarakat Aceh, dengan mengarak tersangka keliling kampung, praktik haram dapat ditekan.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999