'Allahu Akbar, Allahu Akbar'. Pekik suara menyebut asma Allah
dikumandangkan oleh ribuan warga saat memulai aksi protes terhadap
beroperasinya sejumlah rumah hiburan, hotel dan warung remang-remang
yang diduga kuat sebagai tempat maksiat di kawasan Parung. Dengan
semangat jihad fisabilillah, massa melakukan arak-arakan di depan
puluhan bangunan yang akan menjadi sasaran amuk.
Seorang di antaranya berjubah hitam yang kemudian diketahui sebagai
koordinator lapangan membaca catatan dan menunjuk sejumlah bangunan.
Berselang dua menit ribuan warga yang menamakan dirinya anti-PPN
(prostitusi, perjudian dan narkoba) langsung melempari bangunan tadi dan
membakarnya.
Dalam waktu sekitar tiga jam saja, amuk massa itu telah merusak dan
menghanguskan sedikitnya 60 bangunan dengan perkiraan sementara kerugian
mencapai Rp 3 miliar. Informasi yang dihimpun, aksi pengrusakan itu
tepat sasaran, misalnya 3 panti pijat, dua sanggar hiburan, 1 karaoke,
hotel Pendopo 45, dan 48 warung remang. Hanya saja sebuah rumah penduduk
turut hangus karena api dengan cepat menjalar dari bangunan sanggar
Sahabat yang menjadi sasaran massa.
Pengrusakan dan pembakaran tempat hiburan, hotel dan warung remang
oleh warga dari empat desa di Parung itu berlangung Rabu (8/12) sehari
menjelang Ramadhan.
Sebulan sebelum kejadian di daerah ini, warga Puncak, Cisarua juga
melakukan aksi serupa. Ribuan santri yang diketahui berasal dari lima
pesantren di kawasan ini merusak dan membakar 17 bangunan, 11 di
antaranya hotel/penginapan yang diduga sebagai tempat praktek maksiat.
Beberapa hotel/penginapan yang dirusak dan dibakar itu, tahun lalu juga
menjadi sasaran emosi warga, tapi pengelolanya tetap saja tidak kapok.
Misalnya Hotel Rileks dan Monggo Mas, yang memiliki sarana hiburan
dangdutan serta karaoke dan diskotik.
Aksi warga di dua tempat itu tampaknya merupakan luapan emosi yang
terpendam selama ini. Motivasinya satu, agar pemilik bangunan
'bermasalah' itu menghentikan usahanya yang diduga pemancing utama
tumbuh suburnya praktek prostitusi dan peredaran narkotika dan obat-obat
terlarang (narkoba).
Menurut seorang warga, melalui alim ulama, tokoh masyarakat dan
Muspika Parung, para pengelola rumah hiburan telah diperingatkan
berkali-kali agar menutup usahanya. Karena telah disalahgunakan menjadi
tempat transaksi seks, prostitusi dan peredaran narkoba. Jika praktek
yang telah berjalan tahunan ini terus dibiarkan, akan merusak moral dan
budaya khususnya warga Parung. ''Anda bisa melihat puluhan wanita
penghibur mangkal di pinggir jalan dan di warung remang-remang setiap
malam, apakah itu bisa kita biarkan,'' cetus seorang warga yang ikut
aksi pembakaran.
Juru bicara Pemda Kab Bogor Helmi mengaku, hampir semua bangunan yang
menjadi sasaran amuk massa di dua tempat itu tidak mamiliki izin usaha.
Peruntukan bangunannya sendiri melanggar dan tidak sesuai dengan IMB
(Izin Mendirikan Bangunan). Bayangkan lanjutnya, IMB rumah disulap
menjadi diskotik, atau yang tadinya warung berubah menjadi panti pijat.
Perubahan peruntukan ini yang membuat semakin subur praktik maksiat di
sana.
Bupati Bogor Agus Utara Effendi pun menuding pengusaha tempat hiburan
sebagai pemicu kemarahan warga. Disebutkan, Muspida telah berkali-kali
memberi peringatan agar menutup usaha hiburan dan penginapan yang selama
ini ditengarai sebagai tempat maksiat dan peredaran narkoba. Tapi
peringatan itu sama sekali tidak diindahkan oleh mereka. ''Dasar
pengusaha bandel,'' cetus Agus.
Pemda sendiri tidak memperoleh pemasukan dari pengoperasian tempat
hiburan di Parung maupun Puncak, karena memang tidak memiliki perizinan.
Agus pun menegaskan, daripada membebani atau karena ulah mereka citra
Pemda tercoreng, lebih baik semua usaha ilegal itu ditutup.
Kapolres Bogor Letkol Pol Ade Husen mengakui, penyerbuan massa
tersebut adalah sebagai dampak kian menjamurnya hotel dan rumah hiburan
tanpa izin di kawasan tersebut. Massa tidak dapat menerima kehadiran
hotel dan rumah hiburan yang diduga kuat difungsikan sebagai tempat
transaksi seks dan pelacuran. ''Tidak ada motivasi politik di balik
penyerbuan massa terhadap sejumlah hotel dan tempat hiburan,'' katanya
menanggapi kemarahan warga Cisarua dan Parung.
Informasi yang diperoleh, dikawasan Puncak, Cisarau setidaknya
terdapat 45 unit penginapan dan rumah hiburan yang sehari-hari dipakai
sebagai tempat mesum dan transaksi seks. Sementara di kawasan Parung,
sedikitnya 40 tempat maksiat beroperasi setiap malam, belum termasuk
warung remang-remang yang belakangan ini tumbuh menjamur.
Untuk mendukung penginapan dan bisnis haram itu, ratusan wanita
penghibur berkeliran setiap malam di pinggir-pinggir jalan dan tempat
hiburan. Belakangan diketahui para WTS semakin membanjiri kawasan Parung
setelah wilayah Puncak dibakar oleh warga.
Diakui, Pemda memang agak kesulitan membasmi bisnis haram itu. Karena
seperti di kawasan Puncak, selain hotel dan penginapan, banyak juga vila
yang juga difungsikan sebagai tempat maksiat. Sementara di Parung rumah
warga pun disewakan untuk tempat memuaskan nafsu setan itu.
Dengan kondisi demikian, aparat Muspida tidak akan mampu menertibkan
praktik prostitusi di wilayah ini. Satu-satunya jalan untuk menghalau
praktik itu adalah dengan menggerakkan warga yang diharapkan terus
memantau beroperasinya tempat hiburan, hotel/penginapan serta rumah
warga yang disalahfungsikan menjadi tempat maksiat tadi.
Sementara, usaha Pemda menjaring wanita penghibur guna menekan
maraknya praktik prostitusi tampaknya kurang efektif mengingat relatif
ringannya hukuman/sanksi bagi para tersangka. Biasanya para WTS tersebut
hanya bisa dikenai tindak pidana ringan (tipiring) dengan hukuman
membayar denda Rp 20.000-25.000/orang. Jika mereka tidak mampu membayar,
baru dikenai kurungan 2-3 hari. Setelah itu, mereka kembali bebas dan
siap menjalankan kembali profesinya sebagai pramunikmat.
''Undang-undang kita baru bisa menjerat mereka dengan tuntutan
tersebut,'' kata Kakansospol Kota Bogor E Rukanda.
Mengingat ringannya hukuman tadi, membuat para pramunikmat itu tidak
pernah jera dalam 'berdagang'. Seperti yang terjadi di Kota Bogor,
dilepaskan hari ini, esoknya kembali beroperasi. Karena itu banyak di
antara WTS yang terjaring itu sudah berkali-kali tertangkap dan memang
tidak pernah jera atas perbuatannya.
Wanita penghibur yang beroperasi di jalan-jalan itu juga kebanyakan
sudah pernah mengikuti program rehabilitasi seperti di Cibadak,
Sukabumi. Sayangnya, program ini juga tidak cukup ampuh membuat mereka
jera. Karena itu sulit rasanya membasmi praktik prostitusi ini dari muka
bumi ini. Mungkin dengan hukuman moral, seperti yang direalisasikan oleh
masyarakat Aceh, dengan mengarak tersangka keliling kampung, praktik
haram dapat ditekan.