Insiden Alue Nireh Menambah Kebrutalan ABRI DI Aceh

CONTENTS

Date: Thu, 17 Jun 1999 18:53:56 +0700
From: KOALISI NGO HAM Aceh [koalisi-ham@aceh.wasantara.net.id]
Subject: Pernyataan Pers

INSIDEN ALUE NIREH MENAMBAH KEBRUTALAN ABRI DI ACEH
SIARAN PERS
No. 022/Koalisi-NGO/VI/1999

Mencermati perkembangan kondisi keamanan Aceh akhir-akhir ini, dimana rentetan kejadian demi kejadian mulai dari tragedi Pusong/Kandang, Penembak Misterius (Petrus), kasus Idi Cut Aceh Timur 3 Januari 1999, penganiayaan warga sipil digedung KNPI 3 Februari 1999, Tragedi Simpang KKA Mei 199, tragedi Peudada yang menewaskan dua para medis 25 Mei 1999 hingga tragedi yang terakhir di Peureulak Aceh Timur 13 juni 1999 yang menyebabkan lima orang warga sipil yang terdiri dari wanita dan anak-anak tewas sia-sia akibat tindakan TNI yang over acting dan tidak profesional, serta puluhan kejadian-kejadian lainnya yang berkaitan dengan aktivitas militer. Hal mana telah memberikan bukti jelas bagi semua pihak, bahwa aktivitas militer di Aceh telah menghasilkan suatu teror dan kontra-produktivnya peran militer, merupakan bibit dari instabilitas di daerah ini.

Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan oleh Koalisi NGO HAM Aceh, jelas menunjukkan bahwa tidak ada logika yang bisa membenarkan tindakan militer dalam aksi kekerasannya terhadap rakyat Aceh. Selain itu ditemukan indikasi yang kuat bahwa sesungguhnya persoalan di Aceh dapat diselesaikan dengan ditariknya pasukan militer dari pusat ke luar Aceh, karena faktanya, kehadiran militer tidak menambah keamanan, tetapi sebaliknya, menjadikan Aceh sebagai daerah yang rawan dan rakyat Aceh selalu menjadi korban kebuasan pasukan militer (TNI).

Hal ini dapat ditandai dengan adanya Aksi Eksodus masyarakat Aceh secara besar-besaran akibat dari tindakan operasi keamanan yang dilakukan aparat militer dengan label PPRM, yang menjadikan tujuan PPRM menjadi tidak sebenarnya dan jauh dari rasa aman untuk mengusir-tangkap perusuh. Justru Trauma masa DOM menjadi menebal dalam benak rakyat sipil. Aksi pengungsian ini akan terus berlangsung apabila pihak militer tidak menghentikan semua tindakan kekerasan terhadap masyarakat Aceh. Kemudian tak hilang ingatan juga dengan terjadinya insiden Bersenjata tanggal 25 Mei 1999 di Peudada Aceh Utara. Dari insiden ini menunjukkan pasukan militer PPRM jelas telah menggunakan tameng/perisai manusia yaitu para medik untuk menghadapi lawan dalam insiden bersenjata tersebut yang mengakibatkan tewasnya 2 orang tenaga para medik dan 2 luka berat. Dari hal tersebut mencerminkan tugas yang dilaksanakan oleh pasukan PPRM jauh dari profesional dan telah menyimpang dari prosedur dengan menaikkan para medik ke atas kendaraan militer.

Insiden Peureulak, Aceh Timur yang terjadi pada Minggu tanggal 13 Juni 1999 lalu menunjukkan intensitas kekerasan yang dilakukan TNI semakin meningkat dan menjadi bukti tidak profesionalnya mereka dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan penghargaan atas keselamatan jiwa manusia. Berdasarkan logika-logika akal sehat dan pemahaman atas pola-pola peristiwa dan kejadian, serta fakta-fakta dari hasil investigasi di lapangan yang dikumpulkan dari berbagai pihak, kami berkesimpulan bahwa sikap petinggi militer yang selalu mencari pembenaran untuk menegakkan benang basah atas perilaku dan sikap pasukan TNI dilapangan, menunjukkan tidak adanya keinginan militer untuk menciptakan keamanan yang sesungguhnya di Aceh dan selalu berusaha memaksakan penempatan pasukan militer lebih banyak, juga tidak pernah memiliki itikad yang baik dan benar untuk menegakkan keadilan.

Maka mencermati hal-hal tersebut diatas, Koalisi NGO HAM Aceh menyatakan sebagai berikut :
1. Dari segala rangkaian insiden bersenjata yang terjadi di Aceh baik berupa Petrus, Kasus Idi Cut, Kasus Kandang, Kasus Pusong, kasus KNPI, kasus Sp. KKA, kasus Peudada dan yang terakhir kasus peureulak ditambah eksodusnya masyarakat Desa Geulumpang tiga, Peudada, Ulee Glee dan terakhir dari Kecamatan Banda Sakti, Aceh Utara, tidak terlepas adanya peran Militer yang mendorong meningkatnya eskalasi in-stabilitas keamanan masyarakat, hal mana sangat bertentangan dengan idealnya fungsi militer, yakni menciptakan keamanan dan ketentraman bagi rakyat.
2. Akibat begitu kentalnya peran militer dalam setiap insiden yang terjadi di Aceh telah melahirkan perasaan takut dan Anti Militer dari rakyat Aceh, tak terkecuali terhadap PPRM yang konon dimaksudkan sebagai pasukan pelindung rakyat.
3. Bahwa pasukan tambahan untuk Aceh tak terkecuali PPRM telah menimbulkan rasa takut rakyat sipil yang bertentangan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia.
4. Bahwa kami dari Koalisi NGO Hak Asasi Manusia di Aceh mengutuk keras atas Insiden Bersenjata di Peureulak Utara yang merenggut mnyawa dua anak-anak seorang wanita dan dua penduduk sipil yang tidak tahu apa-apa.
5. Untuk itu, kami menyarankan kepada petinggi militer di Jakarta agar segera menarik pasukannya dari Aceh, karena berdasarkan hal-hal yang kami kemukakan di atas telah jelas, bahwa persoalan di Aceh hanya dapat diselesaikan apabila ada itikad baik dari pihak TNI yang melakukan praktek kekerasan dan kekuasaan di daerah ini. Jelas telah dipahami bahwa TNI-lah, dan bukan kelompok pemberontak yang membunuhi rakyat, jadi tidak ada alasan bagi TNI untuk terus ada di Aceh dengan alasan membasmi pemberontak, meskipun ada upaya-upaya tidak masuk akal yang menggiring opini, bahwa seakan-akan kelompok pemberontaklah yang mengacaukan situasi.
6. Bahwa TNI memiliki kepentingan di Aceh, kami mengharapkan agar tidak menjadikan rakyat sebagai tumbal, karena hal ini sangat bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum manusia di seluruh dunia.

Demikianlah siaran pers ini kami terbitkan.


Banda Aceh, 16 Juni 1999

Koalisi NGO HAM Aceh
Abdul Rahman Yacob Maimul Fidar