Isra Mikraj dan `Aerospace` Spiritual
Media Indonesia - Opini (11/5/99)

Oleh Burhanuddin

M Imam Rouyani

Keduanya pemerhati masalah sosial keagamaan

BEBERAPA tahun lalu, John Updike, seorang novelis tersohor, kembali membetot perhatian para penggemar novel di seluruh dunia, melalui karya terbarunya, Roger`s Version. Dalam novel ini, seorang mantan pendeta dan kini menjadi guru besar ilmu ketuhanan (divinity) Roger Lambert didatangi seorang mahasiswa ahli komputer, Dale Kohler. Dengan keyakinan yang amat teguh, anak muda ingin mendapat dukungan dari Profesor Lambert dalam suatu usaha yang penting untuk iman; membantah para ilmuwan yang atheis dengan sederet bukti tentang adanya Tuhan, justru dengan penalaran yang berdasarkan fakta-fakta ilmiah. Uniknya, Roger tak bergeming, bahkan ia bukan saja bimbang, tetapi juga menolak argumentasi rasional Kohler.

Bagi Kohler, sang ahli komputer yang menguasai rumus-rumus aksiomatik pelbagai macam ilmu, jika Tuhan dalam faktanya telah menciptakan alam semesta, maka sebagai fakta hal tersebut pada akhirnya akan kelihatan. Sebaliknya bagi Lambert, seorang pengagum Karl Barth, Tuhan yang disimpulkan melalui pemikiran diskursif --dari fakta yang satu berkembang masuk ke fakta yang lain, hingga terbukti, seperti pembuktian dalam geometri dan fisika-- bukanlah Tuhan yang sebenarnya, yang diimaninya.

"Tidak ada jalan antara kita dan Tuhan," demikian Lambert mengutip Barth. "Tuhan yang berdiri di ujung jalan insani... bukanlah Tuhan." Bagi Lambert, langkah-langkah penalaran yang dipergunakan oleh Kohler, dengan semangat keilmuannya yang menggebu-gebu, hanyalah merengkuh "kerajaan surga" dengan cara kekerasan. Anak ini, guman Lambert dalam hati tentang Dale Kohler, "akan memperlakukan" Tuhan sebagai suatu objek ilmiah yang tak punya suara sendiri dalam wahyu-Nya.

Di luar jangkauan rasio

Cuplikan novel John Updike di atas menegaskan bahwa memikirkan realitas Tuhan dapat membawa kita kepada pengembaraan agony yang tak ada ujungnya. Bisa dimaklumi jika Nabi Muhammad dalam sebuah hadis bersabda, "Pikirkanlah ciptaan Tuhan dan jangan kausekali-sekali memikirkan dzat Tuhan." Nabi Muhammad seakan-akan menyatakan bahwa berpikir ala positivis terhadap Tuhan takkan membawa kita untuk menemukan hakikat absolut Tuhan itu sendiri. Tak terkecuali, dalam memikirkan peristiwa supranatural, Isra Mikraj misalnya, yang ada korelasinya langsung dengan realitas Yang Mahametafisis, Tuhan.

Perjalanan Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Bait al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat al-Muntaha dan kembali lagi ke Mekah dalam waktu yang relatif singkat, merupakan tantangan keimanan terbesar yang ditawarkan Alquran kepada manusia. Peristiwa ini, tulis Prof Dr Quraisy Shihab (1992:338), membuktikan bahwa ilmu dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terkurung oleh ruang dan waktu. Tuhan ingin "menampar" siapa saja yang terlalu sombong dengan kekuatan ilmunya.

Kaum empiris dan rasionalis, lanjut Quraisy Shihab, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu boleh dan sah-sah saja menggugat. Bagaimana mungkin kecepatan yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Nabi Muhammad saw tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari gaya tarik (gravitasi) bumi? Sebuah rentetan pertanyaan yang reasonable, remarkable, dan admirable untuk menolak Isra dan Mikraj karena dicap tidak sesuai dengan patokan-patokan logika.

Pendekatan `Imany`

Oleh karena itu, pendekatan yang paling tepat untuk memahami Isra dan Mikraj, menurut Quraisy Shihab, adalah pendekatan imany. Inilah yang ditempuh oleh sahabat Abu Bakar, seperti terekam dalam ucapannya, "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Manakala komunitas masyarakat Mekah diramaikan oleh gelak tawa mendengar ocehan Nabi Muhammad saw tentang Isra dan Mikraj yang baru saja dijalani beliau, Abu Bakar dengan tegarnya membenarkan peristiwa irasional tersebut. Tak berlebihan, jika kemudian Abu Bakar mendapat sebutan As-Shiddiq (yang membenarkan).

Bahkan seandainya para scientist muslim dengan semangat apologetik tinggi menangkis pertanyaan-pertanyaan kaum empiris dan rasionalis di atas dengan sederet bukti-bukti ilmiah yang standar, pun takkan mampu menyingkap selimut misteri Isra dan Mikraj yang sebenarnya. Apa yang dirumuskan oleh Prof Dr Syekh Kadirun Yahya (1985) sekaligus yang digunakannya sebagai bukti aksiomatik untuk mengukur derajat eksakta Isra dan Mikraj "hanyalah" suatu usaha manusia untuk membuka tabir peristiwa Isra dan Mikraj. Sebuah usaha "menghibur diri" dari serangan kaum rasionalis dan positivis, yang tidak mustahil akan patah lagi di kemudian hari. Ini juga dikisahkan dalam novel Roger`s Version pada akhir cerita.

Tak terkecuali, ikhtiar menegakkan rasionalitas dalam upaya membedah realitas metafisis yang semula digagas oleh Pervez Hoodboy (1996) juga takkan menyelesaikan persoalan metafisika sampai ke akar-akarnya.

Dengan tandas, Komaruddin Hidayat (1994) mengatakan, "Jika Tuhan sebagai Realitas Absolut bisa didefinisikan secara "natural" atau bisa "dipresentasikan" sebagaimana kaum positivis menghadirkan realita, maka berarti Tuhan telah "dikuasai" oleh yang relatif dan berarti Dia tidak lagi sebagai Ada Mutlak. Tuhan sebagai Realitas Absolut tidak mungkin dipahami oleh manusia kecuali secara tidak langsung, parsial, dan relasional yaitu melalui "jejak-jejak" napak tilas karya-Nya yang kemudian menghubungkan manusia untuk mengapresiasi Tuhan sesuai dengan tingkat intelegensianya serta situasi etis-psikologisnya.

Dengan kata lain, pendekatan imany merekomendasikan akan keterbatasan pancaindera dan rasio manusia dalam memahami realitas di luar jangkauannya. Meski keterbatasan alat pengetahuan manusia itu adalah suatu keniscayaan, bukan berarti kita mengadakan "pembatasan". Silakan akal dan alat pengetahuan kita ini berkelana dan mengembara ke mana saja untuk menapaktilasi karya agung Tuhan. Namun perlu dicatat, kata Lambert, kapan pun saja ilmu pengetahuan menyentuh teologi, ia akan terbakar. Bukankah Tuhan berfirman, "Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit" (QS. 17:85). Selain ayat ini, Alquran juga tidak bosan-bosannya mengingatkan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambil menyangkut keterbatasan itu (QS 16:8, QS. 16:74, dan QS. 17:36).

Penegasan teologis dari Alquran di atas, ternyata mendapat banyak sokongan dari para ilmuwan kontemporer. Teori Black Holes menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedangkan 97% selebihnya di luar kemampuan manusia. Meminjam istilah Albert Einstein, di atas segalanya ada yang dinamakan "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Alquran: "Al-Aziz al-Alim" (QS Yasin: 38). Karena itu, tegas Lambert, mencoba mensaripatikan iman dari statiska ilmu dan ilmu fisika serta teori Big Bang yang menjelaskan terjadinya alam semesta adalah sebuah harapan yang terlampau angkuh.

Kalau demikian, seandainya pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra dan Mikraj ini, maka usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara ilmiah menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku setiap saat dan tempat (Syihab: 1992: 342). Padahal peristiwa Isra Mikraj hanya terjadi sekali saja. Artinya, peristiwa supernatural tersebut tidak dapat dicoba, diamati, dan dilakukan eksperimentasi.

Itulah sebabnya mengapa Kierkegard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Barangkali itulah sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata, "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itulah sebabnya, "buah tangan" yang dibawa Rasulullah dari Isra dan Mikraj adalah perintah salat, karena salat adalah medium pensucian jiwa dan rohani untuk "bercengkerama" dan bermunajat kepada Illahi.

Salat, tulis Alexis Carrel, seorang ahli kedokteran dan psikiater yang meraih Hadiah Nobel, turut menentukan berdiri tegaknya peradaban manusia. Masyarakat yang mengabaikan salat berarti telah menandatangani kontrak bagi kehancurannya sendiri. Sebagai pamungkas wacana, Rasulullah pernah bersabda, "al-sholaatu mi`rajul mu`minin" (salat itu menjadi mi`raj-nya kaum yang beriman). Orang yang hanya mengukur kesalehan dan religiusitasnya menurut parameter material saja menandakan ia baru sampai pada tahap "isra" saja. Lain halnya bila ia telah sampai pada tahap mikraj, suatu keadaan batin yang tak terbatas, tak terpermanai. Seorang yang telah menjadikan salatnya sebagai mikraj berarti ia telah menginvasi "aerospace" spiritual. Ia telah berhasil mendaki titik kulmuniasi peradaban par excellence (Sidrotul Muntaha), suatu pohon peradaban yang eternal.***(A-2)

 

 ©1999 Media Indonesia in association with Indonesia Interactive. All rights reserved.
 Created & Design by Indonesia Interactive Development Team.