Rusia:
Pesawat-pesawat tempur Rusia kembali melancarkan serangan udara. Mereka tidak
rela jika wilayah bekas jajahannya memisahkan diri. Ribuan korban menjadi
tumbal.
Sungguh
tak mudah mewujudkan keinginan Chechnya untuk memisahkan diri dari Rusia. Meski
dalam perang saudara--sepanjang tahun 1994 hingga 1996--pejuang Chechen berhasil
mempecundangi pasukan Beruang Merah, tetapi hingga kini Moskow belum juga
mengakui kemerdekaan Chechnya. Sebalinya, mereka justru bertekad ingin membalas
kekalahan tiga tahun silam.
Tentu
hal ini tak dapat diterima rakyat Chechnya yang mayoritas memeluk Islam.
Pasalnya, selain Moskow dinilai tidak aspiratif, juga dianggap tidak adil dalam
hal pembagian keuntungan ekonomi, sehingga Chechnya tertinggal dari bagian Rusia
lainnya. Maka, rencana Moskow untuk membalas kekalahan, dan ingin menguasai
wilayahnya yang sempat lepas, akan dihadapi oleh pejuang Chechen. “Pasukan
Chechen akan mempertahankan Grozny dan tak akan pernah menyerah,” kata Presiden
Chechnya Aslan Maskhadov.
Sebaliknya,
Rusia berulang-ulang mengisyaratkan bahwa Chechnya masih merupakan bagian dari
wilayahnya. Perang mulut ini berlangsung sepanjang Agustus sampai September
lalu, hingga meletuslah rangkaian serangan bom pada beberapa apartemem di
Moskow. Serangan yang dikomandoi oleh panglima perang Shamil Basayev ini
dimaksudkan agar Rusia segera mengakui kemerdekaan
Chechnya.
Namun,
tuntutan itu tak dipenuhinya. Bahkan, pemerintah Rusia justru mengumumkan hadiah
sebesar US$1 juta bagi siapa saja yang bisa membunuh Basayev. Karena, pejuang
karismatik itu dianggap telah melakukan teror terhadap penduduk Moskow dan
pemerintah Rusia. Tetapi, usaha itu hingga kini tak pernah membuahkan
hasil.
Kesal
dengan pejuang Chechen yang melakukan taktik perang gerilya, menyusup dan
membikin onar dengan meledakkan apartemen, maka sejak pekan lalu Rusia
mengumumkan perang terbuka terhadap Chechnya. “Kami ingin mengakhiri pemberontak
di Chechnya sekali untuk selamanya sehingga rakyat bisa hidup damai dan tenang,”
kata Presiden BorisYeltsin melalui televisi, sesaat sebelum pesawat-pesawat
Rusia membombardir Grozny, ibu kota Chechnya, pada Rabu pekan
lalu.
Dalam
serangan udara yang berlangsung tiga hari berturut-turut, Grozny dihujani
puluhan roket. Sedangkan dari darat, pasukan Rusia yang menguasai wilayah
perbatasan di kota Mozdok, meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk dengan dua
rudal penjelajahnya. Akibatnya, 140 orang meninggal dan 260 lainnya luka-luka.
Sedangkan pada serangan terakhir, juru
bicara militer Chechen, Vakha Ibragimov, melaporkan, tindakan brutal
Rusia itu telah mencederai 225 orang dan mengakibatkan tewasanya 112 penduduk
sipil tak berdosa.
Lebih
dari itu, Rusia yang lebih unggul dalam hal persenjataan terus merangsek
mengepung Grozny. Diperkirakan, hingga awal November ini 80% rute yang biasa
digunakan untuk keluar dari ibu kota Chechnya telah diblokade oleh serdadu
Negeri Tirai Besi. Hal ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Perdana
Menteri Rusia Vladimir Alexander Putin.
Itulah
sebabnya, Aslan Maskhadov enggan membicarakan penyelesaian damai dengan Putin.
Karena, menurut dia, hal itu akan sia-sia mengingat Putin hanya mengenal bahasa
kekerasan. “Sia-sia untuk mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Vladimir
Putin sebab dia hanya mencoba balas dendam,” kata
Maskhadov.
Bahkan,
ketika Menlu AS Madeleine Albright mengingatkan bahwa Amerika akan mengambil
tindakan atas serangan Rusia terhadap Chechnya, Putin tak ambil peduli. Karena,
menurut dia, masalah Chechnya adalah urusan internal Rusia dan Moskow serta akan
diselesaikan dengan caranya sendiri.
Menghadapi
sikap Putin yang tidak bisa diajak berunding, Maskhadov pun lalu mengirimkan
surat kepada Paus Johanes Paulus II agar menggunakan pengaruhnya untuk
menghentikan serangan Rusia. Karena, jika hal tesebut dibiarkan, maka akan jatuh
korban yang semakin banyak. Betapa tidak, dalam kurun waktu dua bulan saja,
yakni sejak serangan udara Rusia ke Chechen pada 5 September lalu, sedikitnya
telah tewas 3.265 rakyat tak berdosa dan melukai 5.000
lainnya.
Sementara
itu, infrastruktur berupa jalan, jembatan, jaringan pipa air minum, banyak yang
mengalami rusak berat hingga tak dapat berfungsi lagi. Akibatnya, secara
bertahap, penduduk Chechnya pun mulai meninggalkan tanah airnya, menuju lokasi
lain di wilayah Kaukasus yang lebih aman. Berdasarkan statistik pemerintah,
sedikitnya sudah 190.000 orang mengungsi ke negeri terdekat.
Kenyataan
inilah yang membuat negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa perlu
mengingatkan Rusia agar menghentikan tindakannya yang keliru itu. Sebagai
kumpulan negara yang sangat peduli pada masalah HAM, mereka mengecam serangan
Rusia terhadap Chechnya. Dalam pertemuan tingkat tinggi Rusia-Uni Eropa di
Helsinki, yang berlangsung pekan lalu, misalnya, delegasi Rusia banyak diserang,
dan diminta untuk menghentikan tindakannya yang brutal itu
Masalahnya,
maukah Rusia menerima tekanan Amerika, Eropa, atau saran
Paus?
Mahfud
Ahmad