INTERNASIONAL / PANJI NO. 30 TH III. 10 NOVEMBER 1999

 

Mahalnya Ongkos untuk Merdeka

 

Rusia: Pesawat-pesawat tempur Rusia kembali melancarkan serangan udara. Mereka tidak rela jika wilayah bekas jajahannya memisahkan diri. Ribuan korban menjadi tumbal.

 

Sungguh tak mudah mewujudkan keinginan Chechnya untuk memisahkan diri dari Rusia. Meski dalam perang saudara--sepanjang tahun 1994 hingga 1996--pejuang Chechen berhasil mempecundangi pasukan Beruang Merah, tetapi hingga kini Moskow belum juga mengakui kemerdekaan Chechnya. Sebalinya, mereka justru bertekad ingin membalas kekalahan tiga tahun silam.

Tentu hal ini tak dapat diterima rakyat Chechnya yang mayoritas memeluk Islam. Pasalnya, selain Moskow dinilai tidak aspiratif, juga dianggap tidak adil dalam hal pembagian keuntungan ekonomi, sehingga Chechnya tertinggal dari bagian Rusia lainnya. Maka, rencana Moskow untuk membalas kekalahan, dan ingin menguasai wilayahnya yang sempat lepas, akan dihadapi oleh pejuang Chechen. “Pasukan Chechen akan mempertahankan Grozny dan tak akan pernah menyerah,” kata Presiden Chechnya Aslan Maskhadov.

Sebaliknya, Rusia berulang-ulang mengisyaratkan bahwa Chechnya masih merupakan bagian dari wilayahnya. Perang mulut ini berlangsung sepanjang Agustus sampai September lalu, hingga meletuslah rangkaian serangan bom pada beberapa apartemem di Moskow. Serangan yang dikomandoi oleh panglima perang Shamil Basayev ini dimaksudkan agar Rusia segera mengakui kemerdekaan Chechnya.

Namun, tuntutan itu tak dipenuhinya. Bahkan, pemerintah Rusia justru mengumumkan hadiah sebesar US$1 juta bagi siapa saja yang bisa membunuh Basayev. Karena, pejuang karismatik itu dianggap telah melakukan teror terhadap penduduk Moskow dan pemerintah Rusia. Tetapi, usaha itu hingga kini tak pernah membuahkan hasil.

Kesal dengan pejuang Chechen yang melakukan taktik perang gerilya, menyusup dan membikin onar dengan meledakkan apartemen, maka sejak pekan lalu Rusia mengumumkan perang terbuka terhadap Chechnya. “Kami ingin mengakhiri pemberontak di Chechnya sekali untuk selamanya sehingga rakyat bisa hidup damai dan tenang,” kata Presiden BorisYeltsin melalui televisi, sesaat sebelum pesawat-pesawat Rusia membombardir Grozny, ibu kota Chechnya, pada Rabu pekan lalu.

Dalam serangan udara yang berlangsung tiga hari berturut-turut, Grozny dihujani puluhan roket. Sedangkan dari darat, pasukan Rusia yang menguasai wilayah perbatasan di kota Mozdok, meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk dengan dua rudal penjelajahnya. Akibatnya, 140 orang meninggal dan 260 lainnya luka-luka. Sedangkan pada serangan terakhir, juru  bicara militer Chechen, Vakha Ibragimov, melaporkan, tindakan brutal Rusia itu telah mencederai 225 orang dan mengakibatkan tewasanya 112 penduduk sipil tak berdosa.

Lebih dari itu, Rusia yang lebih unggul dalam hal persenjataan terus merangsek mengepung Grozny. Diperkirakan, hingga awal November ini 80% rute yang biasa digunakan untuk keluar dari ibu kota Chechnya telah diblokade oleh serdadu Negeri Tirai Besi. Hal ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Perdana Menteri Rusia Vladimir Alexander Putin.

Itulah sebabnya, Aslan Maskhadov enggan membicarakan penyelesaian damai dengan Putin. Karena, menurut dia, hal itu akan sia-sia mengingat Putin hanya mengenal bahasa kekerasan. “Sia-sia untuk mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Vladimir Putin sebab dia hanya mencoba balas dendam,” kata Maskhadov.

Bahkan, ketika Menlu AS Madeleine Albright mengingatkan bahwa Amerika akan mengambil tindakan atas serangan Rusia terhadap Chechnya, Putin tak ambil peduli. Karena, menurut dia, masalah Chechnya adalah urusan internal Rusia dan Moskow serta akan diselesaikan dengan caranya sendiri.

Menghadapi sikap Putin yang tidak bisa diajak berunding, Maskhadov pun lalu mengirimkan surat kepada Paus Johanes Paulus II agar menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan serangan Rusia. Karena, jika hal tesebut dibiarkan, maka akan jatuh korban yang semakin banyak. Betapa tidak, dalam kurun waktu dua bulan saja, yakni sejak serangan udara Rusia ke Chechen pada 5 September lalu, sedikitnya telah tewas 3.265 rakyat tak berdosa dan melukai 5.000 lainnya.

Sementara itu, infrastruktur berupa jalan, jembatan, jaringan pipa air minum, banyak yang mengalami rusak berat hingga tak dapat berfungsi lagi. Akibatnya, secara bertahap, penduduk Chechnya pun mulai meninggalkan tanah airnya, menuju lokasi lain di wilayah Kaukasus yang lebih aman. Berdasarkan statistik pemerintah, sedikitnya sudah 190.000 orang mengungsi ke negeri terdekat.

Kenyataan inilah yang membuat negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa perlu mengingatkan Rusia agar menghentikan tindakannya yang keliru itu. Sebagai kumpulan negara yang sangat peduli pada masalah HAM, mereka mengecam serangan Rusia terhadap Chechnya. Dalam pertemuan tingkat tinggi Rusia-Uni Eropa di Helsinki, yang berlangsung pekan lalu, misalnya, delegasi Rusia banyak diserang, dan diminta untuk menghentikan tindakannya yang brutal itu

Masalahnya, maukah Rusia menerima tekanan Amerika, Eropa, atau saran Paus?

 

Mahfud Ahmad