Program utama Menteri Agama Kabinet Persatuan Nasional, Drs H M
Tholhah Hasan adalah mengedepankan masalah kerukunan beragama. Masalah
ini dianggap krusial, karena banyak sekali peristiwa yang mengakibatkan
kerusakan hubungan antar umat beragama. Mulai dari peristiwa Ketapang,
Kupang, Timor-timur sampai Ambon yang hingga kini belum terselesaikan.
Di era kepemimpinannya ini, Tholhah sempat mengatakan akan menjadikan
Depag sebagai model kerukunan beragama. Namun konkretnya, pengganti Prof
A Malik Fadjar ini belum bisa memaparkan secara gamblang. Keinginan
Menag ini belum terwujud, tapi di Depok telah terjadi pembakaran sebuah
gereja. Peristiwa ini jelas akan merenggangkan kerukunan antar umat
beragama di sekitar lokasi itu.
Ihwal kerukunan beragama kembali mengemuka tatkala rumah ibadah umat
Kristen di Depok menjadi sasaran amukan massa. Selasa [2/11] dinihari
lalu adalah GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) Shalom di Jl Kembang
Lio Beji, Depok. Kabarnya, gereja ini dirusak dan dibakar oleh puluhan
pemuda tak dikenal.
Menurut warga sekitar, sejak awal rencana akan dibangun sebuah gereja
di dekat perumahan itu sudah ditentang keras masyarakat. Alasannya,
bukan saja lokasinya dekat dengan masjid, tapi jamaahnya tidak ada di
sekitar kompleks itu. Jadi, ujar warga yang enggan disebutkan namanya,
pihak gereja sengaja mendatangkan jamaat dari luar. ''Ini kan tidak
dibenarkan,'' tegasnya bersemangat.
Selain itu juga, lanjut tokoh masyarakat setempat, masyarakat mulai
khawatir dengan program Kristenisasi yang dicanangnya pihak gereja.
Kabarnya, sejak ada gereja itu sudah dua keluarga masing-masing di Beji
dan Lio terjual akidah Islamnya. Oleh karena itulah, tegasnya, warga
sekitar sini khawatir kalau 'aksi' itu terus merambat ke keluarga yang
lain.
Sebelum gereja itu dibangun, tadinya lahan itu masih berupa Situ
(danau kecil). Tahun 1993 mulai dilakukan pengurukan untuk dibangun
sebuah gereja. Tapi masyarakat sekitar yang mayoritas Muslim selalu
menentangnya. Pertemuan dengan tokoh agama dan masyarakat setempat
selalu mengalami jalan buntu. Sampai akhirnya, ujar warga tadi, pihak
gereja mengurungkan niatnya membangun tempat ibadah itu.
Pembangunan gereja 'dibatalkan', kabarnya diganti dengan rumah
tinggal. Tapi, setelah berdiri ternyata rumah itu menjadi tempat
peribadatan. Aksi tipu ini sempat mengundang amarah warga. Pagar di
depan gereja itu sempat dirusak massa. Tapi tampaknya, warning
masyarakat tidak digubris. Selanjutnya, guna menimbun amarah warga, maka
Walikota, Kodim, Koramil beserta tokoh agama dan masyarakat telah
memutusakan kegiatan di gereja itu dihentikan. Bahkan, kabarnya Pemda
setempat berjanji akan memindahkan gereja itu ke tempat lain.
Akhir Oktober lalu Walikota mengundang tokoh agama setempat. Namun,
Walikota bersama Muspiko tidak ada yang datang. Tapi di sana, kata tokoh
masyarakat tadi, telah datang perwakilan dari gereja Shalom. Menurutnya,
kedatangan mereka ini bukan mengadakan perundingan melainkan meminta IMB
(Ijin Mendirikan Bangunan) kepada Walikota.
Mendengar alasan itu membuat marah para tokoh masayarakat setempat.
''Masalah pendirian gereja saja belum selesai, malah minta IMB segala,''
gertak salah seorang tokoh setempat. Tapi gertakan itu tidak membuat
pihak gereja murung, malah mereka semakin bersemangat melakukan
rutinitas peribadatan.
Akhirnya, warga memberikan peringatan terakhir dengan mengeluarkan
surat yang intinya tidak bertanggungjawab jika terjadi aksi dari
masyarakat. Hal inipun, tidak digubris oleh mereka. Sampai akhirnya
terjadi pengrusakan dan pembakaran gereja itu.
Sementara itu pihak GPIB menyangkal bahwa pendirian gereja ityu tanpa
persetujuan berbagai pihak. Seperti dikutip dari Suara Pembaruan
2 Npember lalu bahwa Majelis GPIB Shalom Joice Yongawa dan Ny Heling
mengatakan gereja yang dibangun tahun 1996 ini telah mendapat
persetujuan warga setempat, camat, sudi Tata Kota, PU dan Depag.
Simpang siur komunikasi yang menimbulkan kerawanan seperti ini bukan
hal baru. Dibeberapa lokasi pun sempat terjadi pengrusakan rumah ibadah
akibat tidak ada komunikasi yang jelas antara Pemda sebagai pihak
pemberi ijin dengan masyarakat setempat. Seharusnya Pemda bisa bersikap
tegas melarang pembangunan rumah peribadat yang tidak ada jamaahnya. SKB
Mendagri dan Menag telah menetapkan larangan membangun rumah ibadah di
wilayah yang dihuni agama mayoritas.
Peristiwa seperti ini kerap kali terjadi akibat Pemda enggan meninjau
langsung ke lapangan, dan melihat reaksi masyarakat sekitar. Peristiwa
seperti ini pernah dikeluhkan Ketua Umum MUI Prof KH Ali Yafie. Menurut
Kiyai, umat Islam seringkali dirugikan dalam pelaksanaan kerukunan
beragama. Sebagai bukti, ujarnya kepada Republika beberapa waktu
lalu, ''Lihat saja, kini banyak perkampungan Muslim yang dibangun
gereja. Apakah ini tidak merugikan umat Islam.''