Republika Online edisi:
05 Nov 1999

Ketenangan Warga Terusik, GPIB Depok pun Terbakar

Program utama Menteri Agama Kabinet Persatuan Nasional, Drs H M Tholhah Hasan adalah mengedepankan masalah kerukunan beragama. Masalah ini dianggap krusial, karena banyak sekali peristiwa yang mengakibatkan kerusakan hubungan antar umat beragama. Mulai dari peristiwa Ketapang, Kupang, Timor-timur sampai Ambon yang hingga kini belum terselesaikan.

Di era kepemimpinannya ini, Tholhah sempat mengatakan akan menjadikan Depag sebagai model kerukunan beragama. Namun konkretnya, pengganti Prof A Malik Fadjar ini belum bisa memaparkan secara gamblang. Keinginan Menag ini belum terwujud, tapi di Depok telah terjadi pembakaran sebuah gereja. Peristiwa ini jelas akan merenggangkan kerukunan antar umat beragama di sekitar lokasi itu.

Ihwal kerukunan beragama kembali mengemuka tatkala rumah ibadah umat Kristen di Depok menjadi sasaran amukan massa. Selasa [2/11] dinihari lalu adalah GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) Shalom di Jl Kembang Lio Beji, Depok. Kabarnya, gereja ini dirusak dan dibakar oleh puluhan pemuda tak dikenal.

Menurut warga sekitar, sejak awal rencana akan dibangun sebuah gereja di dekat perumahan itu sudah ditentang keras masyarakat. Alasannya, bukan saja lokasinya dekat dengan masjid, tapi jamaahnya tidak ada di sekitar kompleks itu. Jadi, ujar warga yang enggan disebutkan namanya, pihak gereja sengaja mendatangkan jamaat dari luar. ''Ini kan tidak dibenarkan,'' tegasnya bersemangat.

Selain itu juga, lanjut tokoh masyarakat setempat, masyarakat mulai khawatir dengan program Kristenisasi yang dicanangnya pihak gereja. Kabarnya, sejak ada gereja itu sudah dua keluarga masing-masing di Beji dan Lio terjual akidah Islamnya. Oleh karena itulah, tegasnya, warga sekitar sini khawatir kalau 'aksi' itu terus merambat ke keluarga yang lain.

Sebelum gereja itu dibangun, tadinya lahan itu masih berupa Situ (danau kecil). Tahun 1993 mulai dilakukan pengurukan untuk dibangun sebuah gereja. Tapi masyarakat sekitar yang mayoritas Muslim selalu menentangnya. Pertemuan dengan tokoh agama dan masyarakat setempat selalu mengalami jalan buntu. Sampai akhirnya, ujar warga tadi, pihak gereja mengurungkan niatnya membangun tempat ibadah itu.

Pembangunan gereja 'dibatalkan', kabarnya diganti dengan rumah tinggal. Tapi, setelah berdiri ternyata rumah itu menjadi tempat peribadatan. Aksi tipu ini sempat mengundang amarah warga. Pagar di depan gereja itu sempat dirusak massa. Tapi tampaknya, warning masyarakat tidak digubris. Selanjutnya, guna menimbun amarah warga, maka Walikota, Kodim, Koramil beserta tokoh agama dan masyarakat telah memutusakan kegiatan di gereja itu dihentikan. Bahkan, kabarnya Pemda setempat berjanji akan memindahkan gereja itu ke tempat lain.

Akhir Oktober lalu Walikota mengundang tokoh agama setempat. Namun, Walikota bersama Muspiko tidak ada yang datang. Tapi di sana, kata tokoh masyarakat tadi, telah datang perwakilan dari gereja Shalom. Menurutnya, kedatangan mereka ini bukan mengadakan perundingan melainkan meminta IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) kepada Walikota.

Mendengar alasan itu membuat marah para tokoh masayarakat setempat. ''Masalah pendirian gereja saja belum selesai, malah minta IMB segala,'' gertak salah seorang tokoh setempat. Tapi gertakan itu tidak membuat pihak gereja murung, malah mereka semakin bersemangat melakukan rutinitas peribadatan.

Akhirnya, warga memberikan peringatan terakhir dengan mengeluarkan surat yang intinya tidak bertanggungjawab jika terjadi aksi dari masyarakat. Hal inipun, tidak digubris oleh mereka. Sampai akhirnya terjadi pengrusakan dan pembakaran gereja itu.

Sementara itu pihak GPIB menyangkal bahwa pendirian gereja ityu tanpa persetujuan berbagai pihak. Seperti dikutip dari Suara Pembaruan 2 Npember lalu bahwa Majelis GPIB Shalom Joice Yongawa dan Ny Heling mengatakan gereja yang dibangun tahun 1996 ini telah mendapat persetujuan warga setempat, camat, sudi Tata Kota, PU dan Depag.

Simpang siur komunikasi yang menimbulkan kerawanan seperti ini bukan hal baru. Dibeberapa lokasi pun sempat terjadi pengrusakan rumah ibadah akibat tidak ada komunikasi yang jelas antara Pemda sebagai pihak pemberi ijin dengan masyarakat setempat. Seharusnya Pemda bisa bersikap tegas melarang pembangunan rumah peribadat yang tidak ada jamaahnya. SKB Mendagri dan Menag telah menetapkan larangan membangun rumah ibadah di wilayah yang dihuni agama mayoritas.

Peristiwa seperti ini kerap kali terjadi akibat Pemda enggan meninjau langsung ke lapangan, dan melihat reaksi masyarakat sekitar. Peristiwa seperti ini pernah dikeluhkan Ketua Umum MUI Prof KH Ali Yafie. Menurut Kiyai, umat Islam seringkali dirugikan dalam pelaksanaan kerukunan beragama. Sebagai bukti, ujarnya kepada Republika beberapa waktu lalu, ''Lihat saja, kini banyak perkampungan Muslim yang dibangun gereja. Apakah ini tidak merugikan umat Islam.''

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999