Republika Online edisi:
04 Nov 1999

Ketua DPR: Presiden Perlu ke Aceh

JAKARTA -- Untuk menyelesaikan konflik di Aceh yang berlarut-larut, Ketua DPR RI Akbar Tanjung menyatakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) perlu berkunjung ke Serambi Mekah itu. ''Kunjungan itu diharapkan dapat mencegah kekerasan yang terus terjadi belakangan ini, termasuk yang dilakukan oknum aparat,'' ujarnya.

Akbar Tanjung mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan, di Gedung DPR RI, kemarin. Pada kesempatan itu, ia pun mengungkapkan penilaiannya, bahwa penuntasan masalah Aceh telah sulit ditawar. Dengan demikian, menurutnya, upaya penyelesaiannya mesti segera diambil.

Lebih jauh Akbar menguraikan masalah di Aceh bila dipelajari lebih mendalam, bersumber dari persoalan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh. Pemicu rasa tidak adil tersebut adalah kejadian maupun perlakuan yang mereka terima selama ini.

Akbar menawarkan langkah alternatif bagi penyelesaian masalah Aceh. Menurut Ketua Umum DPP Golkar ini, pemerintah dan TNI harus mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam berbagai peristiwa kekerasan di Aceh. Bila ada oknum aparat yang bersalah, mesti diadili dan dikenakan tindakan sesuai dengan apa yang dilakukan. ''Jadi baik pemerintah maupun TNI harus menyelidiki dengan sungguh-sungguh berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini,'' Akbar menegaskan.

Mantan Ketua HMI ini memberi contoh dengan tewasnya Tengku Bantaqiyah. Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Pemda setempat, Tengku Bantaqiyah bersama sejumlah pengikutnya tewas ditembak aparat keamanan. Dengan mengambil tindakan tegas bagi pelaku penembakan, Akbar menilai dapat mengembalikan kepercayaan rakyat Aceh kepada pemerintah dan TNI.

''Namun, kalau sampai tidak mengambil tindakan, sementara rakyat Aceh melihat adanya perlakuan-perlakuan yang tidak adil, maka semua itu akan berakumulasi yang menimbulkan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat seperti meminta referendum atau merdeka,'' kata Akbar sembari kembali mendorong agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan kasus Aceh.

Sedangkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir SH, mengharapkan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berani melakukan terobosan keputusan politik untuk menuntaskan masalah Aceh. Ia menilai rakyat Aceh kini membutuhkan realisasi atas janji yang selama ini diucapkan.

''Terus terang saja, kesan kuat yang kami dapatkan, komunikasi antara rakyat Aceh dan pihak pemerintah saat ini benar-benar buruk. Rakyat di sana mulai terlihat putus harapan kepada pihak pemerintah. Dengan demikian Presiden Gus Dur segera membuka dialog secara langsung dengan segenap unsur rakyat Aceh,'' kata Munir SH, di Jakarta, kemarin.

Munir menunjuk kekerasan yang terus berlangsung di Aceh sebagai indikasi kerentanan komunikasi antara pemerintah dan rakyat Aceh. Ia menyayangkan di tengah kerentanan komunikasi pemerintah belum maksimal untuk berunding dengan rakyat Aceh. ''Memang kalau dilihat dari pernyataan Presiden Gus Dur antara pemerintah dan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu sudah ada pembicaraan. Tapi sayangnya ini sifatnya tertutup. Dan, hasilnya malah terbukti tidak maksimal sebab sama sekali tidak bisa menghentikan ketidakpuasan rakyat Aceh,'' tuturnya.

Munir menawarkan langkah-langkah untuk menuntaskan masalah Aceh. Pertama, menurutnya, pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara tegas dan adil. Kedua, memecahkan problem politik yang hingga kini mensarati benak rakyat Aceh. Terakhir, menurutnya, mengkondisikan kehidupan normal di sana.

''Saya pandang ketiga prasyarat ini sifatnya sudah sangat fundamental. Sebab, bila gagal dilaksanakan maka saya pun yakin eskalasi kasus Aceh semakin hari semakin terus mengerucut,'' tandas Munir.

Berkaitan dengan upaya penyelesaian masalah Aceh, Panglima TNI Laksamana Widodo AS pun menilai pendekatan keamanan tak dapat lagi untuk menyelesaikan masalah Aceh secara tuntas. Dengan demikian, menurutnya, TNI akan meninggalkan pendekatan keamanan yang pernah diterapkan untuk menyelesaikan konflik di Aceh. ''Oleh karena itu mulai 18 Agustus 1999, TNI sudah menarik PPRM,'' katanya seusai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Bina Graha, kemarin.

Kendati demikian, Widodo tak menyebutkan bentuk pendekatan yang tepat bagi penuntasan masalah di Aceh. Namun, Menko Polkam Jenderal Wiranto pada Rapat Koordinasi Polkam, kemarin, menyebutkan pengaktualisasian otonomi diharapkan dapat meredam gejolak di Provinsi Serambi Mekah itu.

Sementara itu, sehubungan dengan instruksi Presiden Abdurrahman Wahid dan Panglima TNI, Pangdam I Bukit Barisan, Mayjen TNI AR Gaffar mengungkapkan pihaknya akan secepatnya menarik segenap unsur nonorganik TNI dari Aceh. Pasukan nonorganik yang ditarik di antaranya korps Marinir, Kostrad Yon 328, Siliwangi Jawa Barat, 2 kompi Yon Linud 100, dan Yon 131 Padang Sumatera Barat. ''Kapal untuk mengangkut mereka sudah dikirim dari Jakarta Selasa lalu,'' jelasnya pada temu pers di aula Kodam I BB, kemarin. Diharapkan penarikan itu rampung dalam pekan ini juga.

Dengan penarikan unsur nonorganik, menurut Gaffar, pengamanan di Aceh diserahkan kepada Polri. Selain itu, pihaknya pun melakukan pengelompokan Koramil di Aceh, demi memperkuat posisi TNI di desa-desa.

Gaffar sulit membayangkan persoalan keamanan pasca penarikan pasukan nonorganik. ''Bisa kemungkinan teror terus meningkat, tetapi sebaliknya bisa juga bertambah aman,'' ujarnya. Ia pun menilai sulit menciptakan situasi aman, bila hanya mengandalkan Polri saja. Alasannya, tindakan-tindakan yang dilakukan pihak perusuh, hanya mungkin diatasi dengan cara militer.

Jenderal berbintang dua ini pun menunjuk berbagai tindak kekerasan yang dilakukan perusuh yang menggunakan senjata api. Tindakan tersebut, menurutnya, membuat aparat pun menggunakan cara-cara militer untuk menciptakan situasi aman.

Gaffar menegaskan pihaknya tak akan membiarkan tindakan-tindakan masyarakat yang mengarah pada pembentukan negara tersendiri. Termasuk memberikan daerah itu untuk melaksanakan referendum. ''Tidak akan ada referendum di Aceh,'' tegasnya.

Berbeda dengan pernyataan Pangab yang akan mengubah pendekatan keamanan, Gaffar menyebutkan pihaknya tetap menjadikan sejumlah tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seperti Ismail Syahputra dan Saleh Syafii sebagai target operasi TNI. Alasannya, mereka bertanggung jawab atas berbagai tindakan melanggar hukum dan HAM.

Berkaitan dengan kerusuhan di Meulaboh, Gaffar menduga aksi massa telah direncanakan. Dugaan itu berdasarkan terkonsentrasinya massa dari luar Aceh Barat. Gaffar yakin GAM yang berada di belakang pengorganisasian massa, sebagai bagian dari usaha memperluas wilayah perlawanan.

Gaffar menyebutkan belum memastikan adanya mata rantai kerusuhan Meulaboh dengan peristiwa di Beutong Ateuh yang menewaskan 57 warga setempat, September lalu. Sedangkan Kadispen Polri Brigjen Pol Drs Erald Dotulong di Jakarta, menyebutkan Polda Aceh masih melakukan penyelidikan atas kerusuhan yang terjadi di Aceh Barat itu. Sedangkan kondisi keamanan di Meulaboh, menurut Gaffar, berangsur terkendali.

 

   

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999