JAKARTA -- Untuk menyelesaikan konflik di Aceh yang
berlarut-larut, Ketua DPR RI Akbar Tanjung menyatakan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) perlu berkunjung ke Serambi Mekah itu.
''Kunjungan itu diharapkan dapat mencegah kekerasan yang terus terjadi
belakangan ini, termasuk yang dilakukan oknum aparat,'' ujarnya.
Akbar Tanjung mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan, di Gedung
DPR RI, kemarin. Pada kesempatan itu, ia pun mengungkapkan penilaiannya,
bahwa penuntasan masalah Aceh telah sulit ditawar. Dengan demikian,
menurutnya, upaya penyelesaiannya mesti segera diambil.
Lebih jauh Akbar menguraikan masalah di Aceh bila dipelajari lebih
mendalam, bersumber dari persoalan ketidakadilan yang dirasakan
masyarakat Aceh. Pemicu rasa tidak adil tersebut adalah kejadian maupun
perlakuan yang mereka terima selama ini.
Akbar menawarkan langkah alternatif bagi penyelesaian masalah Aceh.
Menurut Ketua Umum DPP Golkar ini, pemerintah dan TNI harus mengambil
tindakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam berbagai peristiwa
kekerasan di Aceh. Bila ada oknum aparat yang bersalah, mesti diadili
dan dikenakan tindakan sesuai dengan apa yang dilakukan. ''Jadi baik
pemerintah maupun TNI harus menyelidiki dengan sungguh-sungguh berbagai
peristiwa yang terjadi belakangan ini,'' Akbar menegaskan.
Mantan Ketua HMI ini memberi contoh dengan tewasnya Tengku
Bantaqiyah. Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Pemda
setempat, Tengku Bantaqiyah bersama sejumlah pengikutnya tewas ditembak
aparat keamanan. Dengan mengambil tindakan tegas bagi pelaku penembakan,
Akbar menilai dapat mengembalikan kepercayaan rakyat Aceh kepada
pemerintah dan TNI.
''Namun, kalau sampai tidak mengambil tindakan, sementara rakyat Aceh
melihat adanya perlakuan-perlakuan yang tidak adil, maka semua itu akan
berakumulasi yang menimbulkan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat
seperti meminta referendum atau merdeka,'' kata Akbar sembari kembali
mendorong agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk
menyelesaikan kasus Aceh.
Sedangkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Munir SH, mengharapkan pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid berani melakukan terobosan keputusan politik untuk
menuntaskan masalah Aceh. Ia menilai rakyat Aceh kini membutuhkan
realisasi atas janji yang selama ini diucapkan.
''Terus terang saja, kesan kuat yang kami dapatkan, komunikasi antara
rakyat Aceh dan pihak pemerintah saat ini benar-benar buruk. Rakyat di
sana mulai terlihat putus harapan kepada pihak pemerintah. Dengan
demikian Presiden Gus Dur segera membuka dialog secara langsung dengan
segenap unsur rakyat Aceh,'' kata Munir SH, di Jakarta, kemarin.
Munir menunjuk kekerasan yang terus berlangsung di Aceh sebagai
indikasi kerentanan komunikasi antara pemerintah dan rakyat Aceh. Ia
menyayangkan di tengah kerentanan komunikasi pemerintah belum maksimal
untuk berunding dengan rakyat Aceh. ''Memang kalau dilihat dari
pernyataan Presiden Gus Dur antara pemerintah dan kelompok Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) itu sudah ada pembicaraan. Tapi sayangnya ini sifatnya
tertutup. Dan, hasilnya malah terbukti tidak maksimal sebab sama sekali
tidak bisa menghentikan ketidakpuasan rakyat Aceh,'' tuturnya.
Munir menawarkan langkah-langkah untuk menuntaskan masalah Aceh.
Pertama, menurutnya, pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
secara tegas dan adil. Kedua, memecahkan problem politik yang hingga
kini mensarati benak rakyat Aceh. Terakhir, menurutnya, mengkondisikan
kehidupan normal di sana.
''Saya pandang ketiga prasyarat ini sifatnya sudah sangat
fundamental. Sebab, bila gagal dilaksanakan maka saya pun yakin eskalasi
kasus Aceh semakin hari semakin terus mengerucut,'' tandas Munir.
Berkaitan dengan upaya penyelesaian masalah Aceh, Panglima TNI
Laksamana Widodo AS pun menilai pendekatan keamanan tak dapat lagi untuk
menyelesaikan masalah Aceh secara tuntas. Dengan demikian, menurutnya,
TNI akan meninggalkan pendekatan keamanan yang pernah diterapkan untuk
menyelesaikan konflik di Aceh. ''Oleh karena itu mulai 18 Agustus 1999,
TNI sudah menarik PPRM,'' katanya seusai mengikuti Sidang Kabinet
Paripurna di Bina Graha, kemarin.
Kendati demikian, Widodo tak menyebutkan bentuk pendekatan yang tepat
bagi penuntasan masalah di Aceh. Namun, Menko Polkam Jenderal Wiranto
pada Rapat Koordinasi Polkam, kemarin, menyebutkan pengaktualisasian
otonomi diharapkan dapat meredam gejolak di Provinsi Serambi Mekah itu.
Sementara itu, sehubungan dengan instruksi Presiden Abdurrahman Wahid
dan Panglima TNI, Pangdam I Bukit Barisan, Mayjen TNI AR Gaffar
mengungkapkan pihaknya akan secepatnya menarik segenap unsur nonorganik
TNI dari Aceh. Pasukan nonorganik yang ditarik di antaranya korps
Marinir, Kostrad Yon 328, Siliwangi Jawa Barat, 2 kompi Yon Linud 100,
dan Yon 131 Padang Sumatera Barat. ''Kapal untuk mengangkut mereka sudah
dikirim dari Jakarta Selasa lalu,'' jelasnya pada temu pers di aula
Kodam I BB, kemarin. Diharapkan penarikan itu rampung dalam pekan ini
juga.
Dengan penarikan unsur nonorganik, menurut Gaffar, pengamanan di Aceh
diserahkan kepada Polri. Selain itu, pihaknya pun melakukan
pengelompokan Koramil di Aceh, demi memperkuat posisi TNI di desa-desa.
Gaffar sulit membayangkan persoalan keamanan pasca penarikan pasukan
nonorganik. ''Bisa kemungkinan teror terus meningkat, tetapi sebaliknya
bisa juga bertambah aman,'' ujarnya. Ia pun menilai sulit menciptakan
situasi aman, bila hanya mengandalkan Polri saja. Alasannya,
tindakan-tindakan yang dilakukan pihak perusuh, hanya mungkin diatasi
dengan cara militer.
Jenderal berbintang dua ini pun menunjuk berbagai tindak kekerasan
yang dilakukan perusuh yang menggunakan senjata api. Tindakan tersebut,
menurutnya, membuat aparat pun menggunakan cara-cara militer untuk
menciptakan situasi aman.
Gaffar menegaskan pihaknya tak akan membiarkan tindakan-tindakan
masyarakat yang mengarah pada pembentukan negara tersendiri. Termasuk
memberikan daerah itu untuk melaksanakan referendum. ''Tidak akan ada
referendum di Aceh,'' tegasnya.
Berbeda dengan pernyataan Pangab yang akan mengubah pendekatan
keamanan, Gaffar menyebutkan pihaknya tetap menjadikan sejumlah tokoh
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seperti Ismail Syahputra dan Saleh Syafii
sebagai target operasi TNI. Alasannya, mereka bertanggung jawab atas
berbagai tindakan melanggar hukum dan HAM.
Berkaitan dengan kerusuhan di Meulaboh, Gaffar menduga aksi massa
telah direncanakan. Dugaan itu berdasarkan terkonsentrasinya massa dari
luar Aceh Barat. Gaffar yakin GAM yang berada di belakang
pengorganisasian massa, sebagai bagian dari usaha memperluas wilayah
perlawanan.
Gaffar menyebutkan belum memastikan adanya mata rantai kerusuhan
Meulaboh dengan peristiwa di Beutong Ateuh yang menewaskan 57 warga
setempat, September lalu. Sedangkan Kadispen Polri Brigjen Pol Drs Erald
Dotulong di Jakarta, menyebutkan Polda Aceh masih melakukan penyelidikan
atas kerusuhan yang terjadi di Aceh Barat itu. Sedangkan kondisi
keamanan di Meulaboh, menurut Gaffar, berangsur terkendali.