Kajian terhadap Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, khususnya yang
dilakukan para cendekiawan Muslim kalangan Sunni, umumnya berkesimpulan
seperti terungkap dalam pidato pengukuhan guru besar Dr Hasanuddin AF,
MA tentang keabsahan Hadis Bukhari dan Muslim, sebagaimana terangkum
dalam tulisan di Dialog Jumat, Edisi 11 Juni 1999. Walaupun
sesungguhnya dalam beberapa segi, Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
kedua Imam Hadis tersebut ada yang seharusnya didha'ifkan secara makna
(matn), meskipun secara riwayat (sanad) Hadis-hadis termaksud adalah
shahih. Karena penyahihan suatu Hadis tidak hanya terletak pada sanad
saja, melainkan juga pada matn.
Memang, para kritisi Hadis telah bersepakat, Muhammad Ibn Ismail
al-Bukhari dan Muslim Ibn al-Hajjaj al-Naisaburi sangat berjasa dalam
melestarikan Hadis-hadis Nabi SAW, sebagaimana menurut penuturan para
ahli, bahwa Bukhari-Muslim adalah pembaru dalam kodifikasi Hadis, yang
menyiapkan bahan untuk generasi berikutnya. Ibn Katsir (al-Ba'its
al-Hatsits: 25) menyatakan bahwa orang yang pertama kali memperhatikan
dan memisahkan Hadis shahih dari yang lainnya adalah Bukhari, yang
selanjutnya diikuti oleh murid dan sahabatnya, Muslim. Walaupun dari
segi penetapan kriteria periwayatan kedua Imam ini berbeda, Bukhari
lebih ketat daripada Muslim. Misalnya, Bukhari menetapkan bahwa setiap
perawi antara satu dengan yang lainnya harus pernah bertemu walaupun
satu kali saja, yakni berhubungan sebagai guru-murid. Sedangkan Muslim
menetapkan cukup sezaman saja, dan sezaman belum tentu bertemu dan
berhubungan sebagai guru-murid.
Penekanan pada adanya kepastian bertemu (tsubut al-liqa)
antara perawi penerima dan perawi penyampai yang ditetapkan Bukhari, hal
ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama ahli Hadis yang menekankan
kemungkinan pernah bertemu. Artinya Bukhari telah malampaui batas yang
telah ditetapkan jumhur ulama, bahkan yang ditetapkan Bukhari lebih
meyakinkan dibandingkan dengan apa yang ditetapkan kebanyakan ulama
dalam hal sanad suatu periwayatan Hadis. Dengan demikian, perawi yang
dipakai Bukhari lebih meyakinkan kebenarannya bahwa perawi baik yang
menerima maupun yang menyampaikan saling bertemu dan pernah mendengar
tentang apa yang mereka riwayatkan. Dan syarat al-liqa yang
mengandung arti mendengar langsung (tashrih al-sama') yang
dialami para perawi yang dipakai Bukhari itu adalah mengandung nilai
suatu periwayatan yang memiliki kualitas paling tinggi yang menduduki
peringkat pertama dalam periwayatan Hadis.
Kepastian pernah bertemu yang mengandung indikasi mendengar langsung,
penetapan ini bisa menghindari terjadinya penyimpangan, penyembunyian
atau kekeliruan yang dilakukan perawi penerima riwayat (murid) terhadap
riwayat yang disampaikan gurunya.
Dengan demikian, persyaratan yang ditetapkan Bukhari mengenai
peristiwa dan masa yang harus teralami seorang perawi adalah untuk
mengukur bersambung atau tidaknya suatu rangkaian sanad, dan ini
merupakan persyaratan yang ditetapkan secara objektif, di mana
persyaratan itu tidak hanya diukur berdasarkan kualitas individunya
saja, tetapi juga kualitas peristiwanya.
Karena objektivitas penilaian itu tidak hanya mengenai pada kualitas
individunya saja, tetapi juga peristiwa dan masanya, yang bisa lebih
meyakinkan kebenaran suatu penelitian terhadap Hadis. Maka berarti
tingkat selektivitas yang digunakan Bukhari dalam mengukur
kebersambungan suatu sanad Hadis sangat tinggi dan ketat, dan keketatan
ini bisa menjadi salah satu cara untuk mengukur tingkat kualitas tinggi
rendahnya suatu persyaratan, sebagaimana yang dilakukan Bukhari dalam
menerima dan mencantumkan periwayatan Hadis dalam kitabnya. Cukup
meyakinkan apabila Bukhari mengatakan: ''Aku tidak memasukkan suatu
Hadis dalam kitab Jami'ku ini kecuali yang shahih saja''.
Sementara komentar dari segi Hadisnya, tampak beragam. Namun umumnya
yang berkomentar 'miring' terhadap riwayat keduanya memang mempunyai
reputasi yang tidak sebanding dengan para pembelanya apalagi dengan
kedua tokoh Hadis ini. Bahkan ada yang dicap sebagai orientalis atau
oksidentalis, seperti juga diungkapkan dalam rangkuman pidato pengukuhan
Hasanuddin AF, tersebut.
Kritik kepada Bukhari, misalnya dilakukan Abu Rayyah. Dalam bukunya
Adhwa' 'ala al-Sunnah al-Muhammadiyah halaman 348, ia menyatakan
bahwa Ibn Hajar al-Asqalani, seorang penulis syarh Shahih al-Bukhari,
konon menyatakan bahwa ia telah menceritakan kepada Abu Ishaq Ibrahim
Ibn Ahmad al-Musta'la, bahwa dirinya telah menukil kitab al-Bukhari dari
buku aslinya yang ada pada sahabatnya, Muhammad Ibn Yusuf al-Fariri. Di
dalamnya ia menemukan Hadis-Hadis yang belum lengkap dan masih kabur
(mubidhah), di antaranya biografi perawi yang masih belum jelas
dan Hadis-Hadis yang belum dijelaskan biografi perawinya, sehingga ia
menambahkan sebagian Hadis itu kepada sebagian yang lainnya.
Kritik Abu Rayyah barangkali kurang diterima, karena ia punya
reputasi jelek di al-Azhar, Mesir, karena dicap sebagai agen orientalis.
Para pengkritik Shahih al-Bukhari ada yang menyatakan bahwa
seperempat isi kitab ini merupakan Hadis mu'allaq. Kritik ini
telah dibantah oleh al-Suyuthi secara baik (Rif'at Fauzi, Kutub
al-Sunnah, I: 90), dan telah pula didudukkan persoalannya oleh Ajjaj
al-Khathib (Ushul al-Hadits: 313).
Selain itu, Shahih al-Bukhari juga dinyatakan berisi Hadis-Hadis yang
cacat (ma'lul), yang kemudian dibantah oleh Ibn Hajar
al-'Asqalani dengan mengatakan bahwa, al-Bukhari maupun Muslim lebih
tahu tentang Hadis-Hadis ma'lul ketimbang orang-orang yang
mengritiknya.
Terlalu pagi
Kritik yang lain mengatakan bahwa Shahih al-Bukhari berisi
Hadis-Hadis yang diragukan kebenarannya dari Rasulullah saw lantaran
isinya yang bertentangan dengan Alquran.
Adapun beberapa buah Hadis yang materinya dianggap bertentangan
dengan riwayat yang lebih shahih seperti yang diungkapkan oleh para
pengkritik shahih al-Bukhari itu, tampaknya bukan kesalahan dan
kelalaian Bukhari sendiri, melainkan kelemahan riwayat yang
dipertentangkan itu terletak pada sumber pertama penyampai Hadis itu
sendiri, yakni sahabat Nabi. Sehingga dari segi sanad Hadis itu amat
meyakinkan bahwa sabda itu betul-betul berasal dari Nabi, namun ternyata
ada sahabat Nabi lainnya yang membantah dan meluruskan periwayatan itu
yang sebenarnya berasal dari Nabi, seperti sebuah riwayat bahwa Umar Ibn
Khathab dan Abdullah Ibn Umar pernah menyatakan bahwa Rasulullah saw
pernah bersabda: ''Sesungguhnya mayat itu disiksa sebab ditangisi oleh
keluarganya'' (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini shahih menurut versi Bukhari dan Muslim. Tetapi jika
dilihat dari segi materinya (matn), ternyata bertentangan dengan
beberapa ayat Alquran yang menyatakan bahwa amal perbuatan seseorang
yang akan mendapat balasan dari Allah SWT kelak di akhirat, bukan karena
amal orang lain. Alquran menyatakan: ''Dan seorang yang berdosa tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain'' (QS Al-Isra/17: 15).
Penegasan ayat Alquran ini sangat bertentangan dengan Hadis di atas.
Dan Hadis tersebut dinilai tidak termasuk Hadis shahih sekalipun
diriwayatkan oleh dua imam Hadis terkenal. Sebab yakin bahwa hal itu
bukan ucapan Rasul, bukan Hadis Nabi. Karena mustahil Nabi menentang
ayat, membantah Alquran.
Karena riwayat itu bersumber dari Umar dan Ibn Umar, yang dikenal
sebagai tokoh sahabat, dan terlebih Umar yang termasyhur paling ketat
dan selektif dalam meriwayatkan Hadis dari Nabi, maka jika demikian
apakah kedua sahabat ini berdusta atau salah mendengar? Tidak mungkin
sahabat setingkat Umar dan Ibn Umar yang dikenal sebagai tokoh cendekia
dari kalangan sahabat itu berbuat kesalahan yang fatal. Tetapi tidak
mustahil kalau ia berbuat keliru atau salah dengar, bukankah mereka juga
manusia yang suatu saat bisa pula mengalami sifat kemanusiaannya yakni
berbuat keliru. Karenanya, ketika riwayat itu didengar oleh Aisyah, ia
menyatakan kepada Umar dan Ibn Umar: ''Sesungguhnya kamu menceritakan
kepadaku bahwa Hadis itu bukan diriwayatkan oleh orang yang biasa
berdusta dan tidak bisa didustakan, akan tetapi (bisa saja) pendengaran
yang salah.''
Aisyah tidak menuduh dusta kepada Umar dan Ibn Umar, apalagi
menuduhnya sebagai pendusta, tetapi ia menyangsikan kebenaran Hadis itu
berasal dari Rasul dan ia meyakini bahwa keduanya salah mendengar.
Selanjutnya Aisyah menyatakan: ''Cukup untuk kamu sekalian Alquran dan
dosa seseorang tidak bisa dibebankan kepada orang lain'' (QS Al-Isra/17:
15).
Masih menurut Aisyah, bahwa cerita yang sebenarnya adalah ketika
Rasulullah saw melewati kuburan orang Yahudi, di atas kuburan tersebut
ada orang yang sedang menangisinya. Kemudian Rasul menanggapi perbuatan
orang Yahudi itu, dan menyatakan: ''Kuburan ditangisi padahal ahli
kuburnya sedang disiksa''. Redaksi ini berubah menjadi ''ahli kubur
(mayat) disiksa karena tangisan keluarganya''.
Dari sini cukup jelas apa yang diterangkan Aisyah, tentang status
Hadis di atas. Namun, mengapa Bukhari dan Muslim memasukkan Hadis yang
kontroversial ini ke dalam kitab shahih mereka? Jawabannya seperti yang
telah diungkap itu tadi, bahwa kesalahan ini bukan hanya terletak pada
Bukhari dan Muslim saja, tetapi juga lebih nyata ada pada kekeliruan
Umar dan Ibn Umar sebagaimana yang dikritik Aisyah di atas. Di sinilah
barangkali kelebihan orang ada pembatasnya yakni sunnatullah, bahwa
manusia ada kalanya benar dan ada kalanya keliru.
Jadi, memang terlalu pagi jika kita menyatakan bahwa sebagian Hadis
yang terdapat dalam kitab keduanya ada Hadis-hadis yang dha'if atau
Hadis-Hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebelum diadakan
penelitian secara cermat dan besar-besaran. Sebab, pernyataan itu
mempunyai konsekuensi yang amat luas, yakni di samping perlu
mempertanyakan kredibilitas dan kualitas para pengritiknya, juga perlu
mempertimbangkan berbagai pernyataan yang berisikan pujian atas
kelebihan kitab shahih kedua imam ini dari imam-imam Hadis lainnya, baik
yang sezaman maupun generasi imam Hadis sesudah mereka.
Namun begitu, Hadis-hadis yang senada dengan Hadis di atas namun
berbeda tema dan kandungannya dijumpai dalam kedua kitab shahih di atas
misalnya sebagai berikut: ''Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW
apakah ada faedahnya untuk ayahku yang telah meninggal dunia, jika saya
bersedekah atas namanya? Rasul menjawab na'am, ya'' (HR Bukhari dan
Muslim); ''Seorang istri bertanya kepada Rasulullah saw: Ibuku
meninggalkan puasa sebulan, Rasulullah bersabda: puasakanlah oleh kamu''
(HR Bukhari); dan ''Barangsiapa yang mati meninggalkan puasa, maka harus
dipuasakan oleh ahli warisnya'' (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga Hadis terakhir di atas, menerangkan bahwa orang yang beramal
(baik), tetapi yang mendapat pahalanya bukan dirinya, malah orang lain,
atau ada orang yang menerima pahala bukan dari buah amal perbuatannya.
Secara kritik kita menyatakan bahwa Hadis-hadis tersebut tidak logis
dan bertentangan dengan akal sehat, tidak rasional sesuai dengan
temanya. Oleh karena itu tidak berlebihan, bila kita menyatakan bahwa
Hadis itu dha'if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Meski riwayat itu
masyhur, dikenal banyak oleh para ahli dan disahkan sanadnya sebagai
suatu riwayat yang shahih, sebagaimana tercatat dalam kitab shahih
Bukhari dan Muslim, tetapi sayang materinya bertentangan dengan Alquran.
Sebagaimana pernyataan Aisyah di atas.
Namun demikian, pernyataan di atas sesungguhnya belumlah final,
penelitian tetap diperlukan, guna terhindar dari amal yang salah karena
mendapat petunjuk yang salah. Dan pernyataan ini tentu saja bertentangan
dengan harapan Prof Hasanuddin, yang mengharapkan ketelitian dan
sekaligus kehati-hatian dalam melakukan kajian terhadap validitas kedua
kitab tersebut, jika pertimbangannya atas dasar bahwa mengingat selama
ini kedudukan dan keshahihan kedua kitab itu tidak diragukan lagi di
kalangan umat Islam. Karena penolakan terhadap sebagian kecil
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kedua kitab itu, semata-mata atas
pertimbangan ilmiah bukan atas image masyarakat, yang
sesungguhnya dibenarkan oleh Ilmu Hadis. Pertimbangan rasional lainnya
bisa dinyatakan bahwa tidak semua Hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab
shahih sekalipun itu namanya, Hadis-hadisnya berkualitas.