Republika Online edisi:
17 Dec 1999

Komentar terhadap Hadis Bukhari-Muslim

Kajian terhadap Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, khususnya yang dilakukan para cendekiawan Muslim kalangan Sunni, umumnya berkesimpulan seperti terungkap dalam pidato pengukuhan guru besar Dr Hasanuddin AF, MA tentang keabsahan Hadis Bukhari dan Muslim, sebagaimana terangkum dalam tulisan di Dialog Jumat, Edisi 11 Juni 1999. Walaupun sesungguhnya dalam beberapa segi, Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kedua Imam Hadis tersebut ada yang seharusnya didha'ifkan secara makna (matn), meskipun secara riwayat (sanad) Hadis-hadis termaksud adalah shahih. Karena penyahihan suatu Hadis tidak hanya terletak pada sanad saja, melainkan juga pada matn.

Memang, para kritisi Hadis telah bersepakat, Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari dan Muslim Ibn al-Hajjaj al-Naisaburi sangat berjasa dalam melestarikan Hadis-hadis Nabi SAW, sebagaimana menurut penuturan para ahli, bahwa Bukhari-Muslim adalah pembaru dalam kodifikasi Hadis, yang menyiapkan bahan untuk generasi berikutnya. Ibn Katsir (al-Ba'its al-Hatsits: 25) menyatakan bahwa orang yang pertama kali memperhatikan dan memisahkan Hadis shahih dari yang lainnya adalah Bukhari, yang selanjutnya diikuti oleh murid dan sahabatnya, Muslim. Walaupun dari segi penetapan kriteria periwayatan kedua Imam ini berbeda, Bukhari lebih ketat daripada Muslim. Misalnya, Bukhari menetapkan bahwa setiap perawi antara satu dengan yang lainnya harus pernah bertemu walaupun satu kali saja, yakni berhubungan sebagai guru-murid. Sedangkan Muslim menetapkan cukup sezaman saja, dan sezaman belum tentu bertemu dan berhubungan sebagai guru-murid.

Penekanan pada adanya kepastian bertemu (tsubut al-liqa) antara perawi penerima dan perawi penyampai yang ditetapkan Bukhari, hal ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama ahli Hadis yang menekankan kemungkinan pernah bertemu. Artinya Bukhari telah malampaui batas yang telah ditetapkan jumhur ulama, bahkan yang ditetapkan Bukhari lebih meyakinkan dibandingkan dengan apa yang ditetapkan kebanyakan ulama dalam hal sanad suatu periwayatan Hadis. Dengan demikian, perawi yang dipakai Bukhari lebih meyakinkan kebenarannya bahwa perawi baik yang menerima maupun yang menyampaikan saling bertemu dan pernah mendengar tentang apa yang mereka riwayatkan. Dan syarat al-liqa yang mengandung arti mendengar langsung (tashrih al-sama') yang dialami para perawi yang dipakai Bukhari itu adalah mengandung nilai suatu periwayatan yang memiliki kualitas paling tinggi yang menduduki peringkat pertama dalam periwayatan Hadis.

Kepastian pernah bertemu yang mengandung indikasi mendengar langsung, penetapan ini bisa menghindari terjadinya penyimpangan, penyembunyian atau kekeliruan yang dilakukan perawi penerima riwayat (murid) terhadap riwayat yang disampaikan gurunya.

Dengan demikian, persyaratan yang ditetapkan Bukhari mengenai peristiwa dan masa yang harus teralami seorang perawi adalah untuk mengukur bersambung atau tidaknya suatu rangkaian sanad, dan ini merupakan persyaratan yang ditetapkan secara objektif, di mana persyaratan itu tidak hanya diukur berdasarkan kualitas individunya saja, tetapi juga kualitas peristiwanya.

Karena objektivitas penilaian itu tidak hanya mengenai pada kualitas individunya saja, tetapi juga peristiwa dan masanya, yang bisa lebih meyakinkan kebenaran suatu penelitian terhadap Hadis. Maka berarti tingkat selektivitas yang digunakan Bukhari dalam mengukur kebersambungan suatu sanad Hadis sangat tinggi dan ketat, dan keketatan ini bisa menjadi salah satu cara untuk mengukur tingkat kualitas tinggi rendahnya suatu persyaratan, sebagaimana yang dilakukan Bukhari dalam menerima dan mencantumkan periwayatan Hadis dalam kitabnya. Cukup meyakinkan apabila Bukhari mengatakan: ''Aku tidak memasukkan suatu Hadis dalam kitab Jami'ku ini kecuali yang shahih saja''.

Sementara komentar dari segi Hadisnya, tampak beragam. Namun umumnya yang berkomentar 'miring' terhadap riwayat keduanya memang mempunyai reputasi yang tidak sebanding dengan para pembelanya apalagi dengan kedua tokoh Hadis ini. Bahkan ada yang dicap sebagai orientalis atau oksidentalis, seperti juga diungkapkan dalam rangkuman pidato pengukuhan Hasanuddin AF, tersebut.

Kritik kepada Bukhari, misalnya dilakukan Abu Rayyah. Dalam bukunya Adhwa' 'ala al-Sunnah al-Muhammadiyah halaman 348, ia menyatakan bahwa Ibn Hajar al-Asqalani, seorang penulis syarh Shahih al-Bukhari, konon menyatakan bahwa ia telah menceritakan kepada Abu Ishaq Ibrahim Ibn Ahmad al-Musta'la, bahwa dirinya telah menukil kitab al-Bukhari dari buku aslinya yang ada pada sahabatnya, Muhammad Ibn Yusuf al-Fariri. Di dalamnya ia menemukan Hadis-Hadis yang belum lengkap dan masih kabur (mubidhah), di antaranya biografi perawi yang masih belum jelas dan Hadis-Hadis yang belum dijelaskan biografi perawinya, sehingga ia menambahkan sebagian Hadis itu kepada sebagian yang lainnya.

Kritik Abu Rayyah barangkali kurang diterima, karena ia punya reputasi jelek di al-Azhar, Mesir, karena dicap sebagai agen orientalis.

Para pengkritik Shahih al-Bukhari ada yang menyatakan bahwa seperempat isi kitab ini merupakan Hadis mu'allaq. Kritik ini telah dibantah oleh al-Suyuthi secara baik (Rif'at Fauzi, Kutub al-Sunnah, I: 90), dan telah pula didudukkan persoalannya oleh Ajjaj al-Khathib (Ushul al-Hadits: 313).

Selain itu, Shahih al-Bukhari juga dinyatakan berisi Hadis-Hadis yang cacat (ma'lul), yang kemudian dibantah oleh Ibn Hajar al-'Asqalani dengan mengatakan bahwa, al-Bukhari maupun Muslim lebih tahu tentang Hadis-Hadis ma'lul ketimbang orang-orang yang mengritiknya.

Terlalu pagi

Kritik yang lain mengatakan bahwa Shahih al-Bukhari berisi Hadis-Hadis yang diragukan kebenarannya dari Rasulullah saw lantaran isinya yang bertentangan dengan Alquran.

Adapun beberapa buah Hadis yang materinya dianggap bertentangan dengan riwayat yang lebih shahih seperti yang diungkapkan oleh para pengkritik shahih al-Bukhari itu, tampaknya bukan kesalahan dan kelalaian Bukhari sendiri, melainkan kelemahan riwayat yang dipertentangkan itu terletak pada sumber pertama penyampai Hadis itu sendiri, yakni sahabat Nabi. Sehingga dari segi sanad Hadis itu amat meyakinkan bahwa sabda itu betul-betul berasal dari Nabi, namun ternyata ada sahabat Nabi lainnya yang membantah dan meluruskan periwayatan itu yang sebenarnya berasal dari Nabi, seperti sebuah riwayat bahwa Umar Ibn Khathab dan Abdullah Ibn Umar pernah menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ''Sesungguhnya mayat itu disiksa sebab ditangisi oleh keluarganya'' (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini shahih menurut versi Bukhari dan Muslim. Tetapi jika dilihat dari segi materinya (matn), ternyata bertentangan dengan beberapa ayat Alquran yang menyatakan bahwa amal perbuatan seseorang yang akan mendapat balasan dari Allah SWT kelak di akhirat, bukan karena amal orang lain. Alquran menyatakan: ''Dan seorang yang berdosa tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain'' (QS Al-Isra/17: 15).

Penegasan ayat Alquran ini sangat bertentangan dengan Hadis di atas. Dan Hadis tersebut dinilai tidak termasuk Hadis shahih sekalipun diriwayatkan oleh dua imam Hadis terkenal. Sebab yakin bahwa hal itu bukan ucapan Rasul, bukan Hadis Nabi. Karena mustahil Nabi menentang ayat, membantah Alquran.

Karena riwayat itu bersumber dari Umar dan Ibn Umar, yang dikenal sebagai tokoh sahabat, dan terlebih Umar yang termasyhur paling ketat dan selektif dalam meriwayatkan Hadis dari Nabi, maka jika demikian apakah kedua sahabat ini berdusta atau salah mendengar? Tidak mungkin sahabat setingkat Umar dan Ibn Umar yang dikenal sebagai tokoh cendekia dari kalangan sahabat itu berbuat kesalahan yang fatal. Tetapi tidak mustahil kalau ia berbuat keliru atau salah dengar, bukankah mereka juga manusia yang suatu saat bisa pula mengalami sifat kemanusiaannya yakni berbuat keliru. Karenanya, ketika riwayat itu didengar oleh Aisyah, ia menyatakan kepada Umar dan Ibn Umar: ''Sesungguhnya kamu menceritakan kepadaku bahwa Hadis itu bukan diriwayatkan oleh orang yang biasa berdusta dan tidak bisa didustakan, akan tetapi (bisa saja) pendengaran yang salah.''

Aisyah tidak menuduh dusta kepada Umar dan Ibn Umar, apalagi menuduhnya sebagai pendusta, tetapi ia menyangsikan kebenaran Hadis itu berasal dari Rasul dan ia meyakini bahwa keduanya salah mendengar. Selanjutnya Aisyah menyatakan: ''Cukup untuk kamu sekalian Alquran dan dosa seseorang tidak bisa dibebankan kepada orang lain'' (QS Al-Isra/17: 15).

Masih menurut Aisyah, bahwa cerita yang sebenarnya adalah ketika Rasulullah saw melewati kuburan orang Yahudi, di atas kuburan tersebut ada orang yang sedang menangisinya. Kemudian Rasul menanggapi perbuatan orang Yahudi itu, dan menyatakan: ''Kuburan ditangisi padahal ahli kuburnya sedang disiksa''. Redaksi ini berubah menjadi ''ahli kubur (mayat) disiksa karena tangisan keluarganya''.

Dari sini cukup jelas apa yang diterangkan Aisyah, tentang status Hadis di atas. Namun, mengapa Bukhari dan Muslim memasukkan Hadis yang kontroversial ini ke dalam kitab shahih mereka? Jawabannya seperti yang telah diungkap itu tadi, bahwa kesalahan ini bukan hanya terletak pada Bukhari dan Muslim saja, tetapi juga lebih nyata ada pada kekeliruan Umar dan Ibn Umar sebagaimana yang dikritik Aisyah di atas. Di sinilah barangkali kelebihan orang ada pembatasnya yakni sunnatullah, bahwa manusia ada kalanya benar dan ada kalanya keliru.

Jadi, memang terlalu pagi jika kita menyatakan bahwa sebagian Hadis yang terdapat dalam kitab keduanya ada Hadis-hadis yang dha'if atau Hadis-Hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebelum diadakan penelitian secara cermat dan besar-besaran. Sebab, pernyataan itu mempunyai konsekuensi yang amat luas, yakni di samping perlu mempertanyakan kredibilitas dan kualitas para pengritiknya, juga perlu mempertimbangkan berbagai pernyataan yang berisikan pujian atas kelebihan kitab shahih kedua imam ini dari imam-imam Hadis lainnya, baik yang sezaman maupun generasi imam Hadis sesudah mereka.

Namun begitu, Hadis-hadis yang senada dengan Hadis di atas namun berbeda tema dan kandungannya dijumpai dalam kedua kitab shahih di atas misalnya sebagai berikut: ''Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW apakah ada faedahnya untuk ayahku yang telah meninggal dunia, jika saya bersedekah atas namanya? Rasul menjawab na'am, ya'' (HR Bukhari dan Muslim); ''Seorang istri bertanya kepada Rasulullah saw: Ibuku meninggalkan puasa sebulan, Rasulullah bersabda: puasakanlah oleh kamu'' (HR Bukhari); dan ''Barangsiapa yang mati meninggalkan puasa, maka harus dipuasakan oleh ahli warisnya'' (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga Hadis terakhir di atas, menerangkan bahwa orang yang beramal (baik), tetapi yang mendapat pahalanya bukan dirinya, malah orang lain, atau ada orang yang menerima pahala bukan dari buah amal perbuatannya.

Secara kritik kita menyatakan bahwa Hadis-hadis tersebut tidak logis dan bertentangan dengan akal sehat, tidak rasional sesuai dengan temanya. Oleh karena itu tidak berlebihan, bila kita menyatakan bahwa Hadis itu dha'if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Meski riwayat itu masyhur, dikenal banyak oleh para ahli dan disahkan sanadnya sebagai suatu riwayat yang shahih, sebagaimana tercatat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, tetapi sayang materinya bertentangan dengan Alquran. Sebagaimana pernyataan Aisyah di atas.

Namun demikian, pernyataan di atas sesungguhnya belumlah final, penelitian tetap diperlukan, guna terhindar dari amal yang salah karena mendapat petunjuk yang salah. Dan pernyataan ini tentu saja bertentangan dengan harapan Prof Hasanuddin, yang mengharapkan ketelitian dan sekaligus kehati-hatian dalam melakukan kajian terhadap validitas kedua kitab tersebut, jika pertimbangannya atas dasar bahwa mengingat selama ini kedudukan dan keshahihan kedua kitab itu tidak diragukan lagi di kalangan umat Islam. Karena penolakan terhadap sebagian kecil Hadis-Hadis yang terdapat dalam kedua kitab itu, semata-mata atas pertimbangan ilmiah bukan atas image masyarakat, yang sesungguhnya dibenarkan oleh Ilmu Hadis. Pertimbangan rasional lainnya bisa dinyatakan bahwa tidak semua Hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab shahih sekalipun itu namanya, Hadis-hadisnya berkualitas.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999