Republika Online edisi:
17 Dec 1999

Kompleks Yayasan Doulos Dibakar, Seorang Meninggal

JAKARTA -- Sekitar lima ratus massa membakar Kompleks Yayasan Doulos, di RT 04/04 Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Dalam amuk bernuansa SARA itu, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) milik yayasan itu, tewas dikeroyok massa. Dua lainnya luka parah dan delapan orang luka ringan. Pihak berwajib telah menahan enam tersangka pelaku pembakaran.

Akibat amuk massa pada Rabu malam lalu itu, semua bangunan di kompleks seluas dua hektar, di antaranya Sekolah Tinggi Teologi (STT) Doulos dan panti rehabilitasi penderita narkoba, serta empat kendaraan roda empat, hangus. Staf SDM Yayasan Doulos, Andrew, menaksir kerugian yang ditanggung pihak yayasan, hingga Rp 2 miliar.

Akibat lain dari peristiwa tersebut, ratusan umat Kristiani -- yang sebagian besar mahasiswa STT Doulos -- mendatangi DPR, kemarin. Mereka mendesak para wakil rakyat untuk menindaklanjuti kasus pembakaran tersebut.

Saksi mata mengisahkan, aksi tersebut diawali dengan kehadiran ratusan massa ke tempat kejadian. Staf yayasan, Andrew, mengungkapkan kehadiran massa itu, terdiri atas tiga gelombang. Gelombang pertama sekitar 50 orang menyerbu sekitar pukul 20:30. Mereka membakar pos jaga dan satu sepeda motor. Tak lama kemudian, gelombang kedua dan ketiga, datang bersamaan dari arah samping bangunan.

Menurut Andrew, massa membawa berbagai jenis senjata tajam dan bom molotov. Mereka mulai membakar bangunan sekitar pukul 21:00. ''Saat massa menyerbu para mahasiswa sedang belajar. Tidak ada yang melakukan perlawanan. Semuanya melarikan diri.''

Api segera menjilat bangunan berupa kantor pusat, dua unit perumahan staf, sebuah bangunan taman kanak-kanak, sebuah perpustakaan dua lantai, dua buah bangunan asrama, sebuah rumah rehabilitasi jiwa dan narkoba, serta sebuah ruangan doa.

Pendeta Nusremas -- yang memimpin delegasi mengadu ke DPR, saat diterima Komisi II DPR Amin Aryoso di Gedung DPR, kemarin siang -- mengungkapkan, massa tersebut membawa senjata tajam dan bom molotov. Ia pun melukiskan, massa yang ditaksirnya sekitar 200-an orang itu berpakaian putih dan topi putih.

Namun, pimpinan asrama milik yayasan itu, Wiwi, kepada Republika mengisahkan, tak seorang pun mengenakan jubah putih dan mengenakan surban atau kopiah putih. Di saat api membakar tempat doa, Wiwi berusaha menyelamatkan diri keluar. Namun, menurutnya, ia dihadang tiga pria di antaranya berambut gondrong. Akhirnya, Wiwi bersama penghuni lainnya, menyelamatkan diri dari pintu belakang.

Hal senada pun diungkapkan Ferdi Salhotoru. Mahasiswa STT Doulos ini mengisahkan, saat kejadian ia sempat diserang dua pemuda. ''Saya diserang orang yang memakai pakaian gelap dan memakai topeng seperti ninja. Mereka menyerang saya dengan senjata tajam,'' kisahnya.

Nusremas menyesalkan aparat keamanan tidak segera datang. Padahal, jarak yayasan dengan Mabes TNI berdekatan. ''Sangat ironis bahwa setelah dua jam baru aparat datang padahal letak Doulos dengan Mabes TNI sangat dekat,'' katanya.

Petugas yang kemudian datang, akhirnya dapat menghalau massa. Namun, armada pemadam kebakaran yang mengalami kesulitan memasuki jalan kecil di lokasi kejadian, baru dapat memadamkan api pada pukul 02:00. Sedangkan sekitar 300 penghuni Wisma Doulos diungsikan ke Mapolda Metro Jaya. Jenazah Sariman (31) yang tubuhnya terkena luka bacok, hingga kemarin petang, masih berada di RSCM.

Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Noegroho Djajoesman, mengungkapkan pihaknya telah menahan enam tersangka yaitu UNT, ANU, SR, HMD, SMJ, dan HRD. Menduga keenamnya sebagai penggerak massa, Kapolda belum bersedia menyingkap terinci jatidiri tersangka. ''Mereka itu bukan dalam kelompok tapi perkawanan saja,'' ujarnya, seusai mengunjungi lokasi kejadian.

Kapolda menjelaskan keenam tersangka penduduk di sekitar tempat kejadian. ''Mereka tinggal satu kecamatan. Ada yang pelajar dan karyawan. Itu saja dulu yang kami bisa sampaikan,'' ujar Kapolda sembari mengungkapkan usia mereka masih belia.

Kapolda pun mengungkapkan, hingga kini petugas sedang memeriksa tersangka secara intensif. Kendati belum mengetahui persis motifnya, Kapolda mengungkapkan para tersangka telah beberapa kali rapat, sebelum melakukan pembakaran. Berdasarkan hal tersebut, Kapolda menduga, ''Pembakaran ini pasti sudah direncanakan.''

Menanggapi peristiwa tersebut, Menteri Agama KH Tolchah Hasan menyesalkan peristiwa tersebut, terutama mengingat di saat Ramadhan selaiknya semua pihak menahan diri. Ia menilai agama bukan faktor yang mengawali aksi berbau SARA seperti di Cipayung. ''Agama di sini dipakai sebagai pemicu,'' katanya tadi malam dalam acara buka puasa bersama wartawan Ibu Kota.

Selain itu, ia menunjuk adanya kelompok-kelompok yang tidak menginginkan ketentraman dan memberi sugesti kepada masyarakat untuk melakukan tindakan sesuai keinginan kelompok tersebut. ''Seringkali sugesti agama jadi modus di sini,'' katanya sembari menyayangkan dipakainya agama sebagai pendorong massa membuat kerusakan.

Sementara itu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dalam siaran persnya, mencetuskan kekecewaan atas peristiwa tersebut. PGI menilai peristiwa itu mencerminkan merosotnya moral dan rasa kebersamaan di tengah masyarakat. ''Rusaknya budaya harmoni dan semakin meningginya keinginan destruktif, kini bukan hanya melahirkan ancaman friksi internal, tetapi akan semakin memicu keinginan-keinginan disintegratif,'' kata Ketua Umum PGI Pdt Dr Soelarso Soepator sembari mengharapkan agar komponen bangsa rendah hati dan menghargai pluralitas.

Sedangkan Komite Internasional untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dalam siaran persnya, menyesalkan kejadian tersebut. Kendati demikian, menurut Kahumas KISDI HM Syef Sachrudin A, KISDI dapat memahami tindakan yang akibat kehilangan kendali emosi, karena terprovokasi kelompok provokator yang berkedok agama Kristen. arp/bid/tid/rif

Gus Dur pun Pernah Menegur Dolous

JAKARTA -- Berdasarkan informasi yang dihimpun Republika, aksi massa itu diduga, akibat akumulasi kekecewaan dan kejengkelan yang berlarut-larut. Seorang warga yang enggan disingkap jatidirinya kepada Republika mengisahkan masyarakat setempat keberatan atas kehadiran STT, Gereja, dan panti rehabilitasi narkoba yang diresmikan Dirjen Bimas Kristen Protestan, Pdt. P Siahaan pada 7 Agustus 1999.

Keberatan tersebut dicetuskan melalui surat, dua bulan silam, oleh pengurus masjid, majelis taklim, dan tokoh masyarakat yang ditujukan kepada Walikota Jakarta Timur. Salah satu surat yang ditujukan kepada Walikota Drs HA Mappaganty tertanggal 27 September 1999, secara tegas meminta Walikota Jakarta Timur untuk menutup wisma Doulos dan membubarkan kegiatan Yayasan Kristen Doulos di Jl Tugu Cipayung Jakarta Timur tersebut.

Di surat tersebut, dipaparkan berbagai alasan keberatan tersebut. Salah satu alasan, misalkan, bangunan untuk gereja dan sebagainya, belum mendapatkan izin seperti IMB, SIPPT, maupun Blok Plan. Ketua Yayasan Doulos Ruyandi Hutasoit membenarkan hal tersebut. ''Memang kami belum punya IMB. Tapi itu karena telah dua tahun kami ajukan tapi belum mendapat persetujuan pemda,'' katanya.

Alasan lainnya, disebutkan yayasan itu melakukan penyebaran agama dengan cara melanggar aturan dan perundangan. Sesuai Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 01/BRE/MDN-MAG/1969 dan Keputusan Menteri Agama No 70/1978 tentang penyiaran agama, jelas dinyatakan pelarangan untuk menyebarkan agama kepada orang yang telah memeluk agama lain.

Berbagai sumber yang dihimpun Republika mengungkapkan yayasan tersebut acapkali menggunakan simbol-simbol dan pakaian yang mencerminkan Islam tetapi justru digunakan untuk mendiskreditkan Islam. ''Mereka menyebarkan agama Kristen menggunakan identitas Islam. Ini yang membuat warga resah,'' ujar seorang tokoh masyarakat setempat kepada Republika. Bahkan, surat yang ditujukan kepada Walikota Jakarta Timur itu, mengungkapkan adanya prosesi pembabtisan bagi sejumlah penderita ketergantungan narkoba yang dirawat di klinik Doulos.

Menanggapi keluhan warga, menurut Kabag Humas Walikota Jaktim Rusli Kahar beberapa waktu lalu, pihaknya memanggil pengurus yayasan. Namun, pihak yayasan menyangkal semua tudingan itu. Terakhir, Walikota melalui surat bertanggal 5 November 1999 yang ditujukan kepada Ketua Yayasan Doulos, meminta menghentikan semua kegiatan lembaga yang dipimpinnya. Walikota beralasan antara lain kegiatan Doulos tidak sesuai dengan surat Keputusan Menteri Agama No 70 dan Surat PBNU tertanggal 28 September yang ditujukan kepada Walikota Jakarta Timur.

Dalam surat yang bersifat teguran Ketua PBNU [saat itu ditandatangani Abdurrahman Wahid alias Gus Dur] yang ditujukan kepada Walikota Jakarta Timur itu, secara tegas minta dilakukan klarifikasi yang antara lain dinyatakan Yayasan Doulos bergerak di bidang kemanusiaan bukan Kristenisasi.

Selain dua surat tersebut, berdasarkan surat Keputusan Direktorat Jenderal Bimas Kristen Protestan No 5 Tahun 1993 tanggal 29 Januari 1993 dalam nomor urut empat Diktum Keputusan tersebut dinyatakan, Yayasan Doulos tidak dibenarkan menjalankan fungsi dan tugas sebagai gereja dan atau mengarah kepada pembentukan gereja.

Namun, surat perintah Walikota itu tak diindahkan. Beberapa bulan sebelum pembakaran, menurut Wini Rorimpande yang bekerja di yayasan itu, pihaknya diteror. ''Ini adalah serangan yang sangat terencana. Sejak beberapa waktu lalu kami diancam harus ditutup,'' ujarnya sembari mengungkapkan ancaman itu menuding yayasan itu tempat pengedaran narkoba dan Kristenisasi.

Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Doulos, Sulaeman (44), seperti dikutip Antara membantah bila di kompleks yayasan itu ada tempat ibadah. Bahkan, menurutnya, tak ada rencana membangun tempat ibadah di sana. Ia pun melukiskan hubungan pihak yayasan dengan warga setempat, cukup baik.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999