Medan Jihad di Resopombo Blitar, Khotbah di Atas Bukit

CONTENTS

Date: Sun, 10 Oct 1999 12:11:10 BST
From: f.j. raharjo [f_j_raharjo@hotmail.com]

Medan Jihad di Resopombo Blitar, Khotbah di Atas Bukit


Khotbah di Atas Bukit

Seorang janda sendirian memerangi kemusyrikan, membendung kristenisasi, dan menaklukkan ganasnya alam. Berhasilkah ia?

Matahari baru saja menampakkan diri. Meski masih senyap, denyut nadi kehidupan di Resapombo Kec Doko, 32 km arah timur Blitar (Jatim), mulai terasa. Tak terkecuali di sebuah rumah tua pinggiran desa, tatkala Hj Mursila (50) mulai berkemas guna melaksanakan tugas rutinnya. Ia ambil tas, diisi mukena, Al Quran kecil, sapu tangan, serta beberapa butir gula-gula. Sebelumnya, ia matikan lampu minyak yang menyala di beberapa sudut ruangan. Rumah itu memang belum berlistrik. Sejurus kemudian nenek lima cucu itu menyambar sepatu sport CX Style, dan akhirnya bergegas ke sadel ojek yang telah siaga di depan rumahnya.

Bu Hajah &emdash;demikian panggilan akrabnya&emdash; bukan hendak olahraga atau darmawisata. Ia tengah berangkat ke medan jihad. Bagaimana tidak, beberapa menit selanjutnya ia harus bergelut dengan maut. Ojek langganan yang ditumpanginya itu harus menyusuri hutan pinus lereng gunung Kawi. Melewati jalan setapak, didampingi jurang menganga dan tebing curam begitu angkuhnya.

"Dulu Bu Hajah malah jalan kaki. Kalau hujan, kasihan sekali. Bila ngojek beliau lebih banyak jalan daripada duduk di atas sadel," ujar Pariyono (27), tukang ojek itu.

Memang masih untung, musim kemarau. Cuma, serangan debu yang begitu tebal menyelimuti jalan setapak itu tak kalah dahsyat dibanding guyuran air hujan, dan melukisi pakaian dengan warna coklat.

Semua itu dilakoni saban hari. Dan Mursila terus mengerahkan segala daya untuk itu. Ada satu hal yang membuatnya terus termotivasi menjelajah ganasnya alam: dakwah. Ia sebarkan rahmat ke dusun-dusun terpencil yang begitu "kering" dari kesejukan Islam.

Bermodal Mimpi dan Warung Makan

Sebenarnya, janda dengan empat anak ini tak pernah bercita-cita menjadi dai atau mubalighat. Sewaktu kecil, Mursila yang lahir di Blitar 23 September 1949 ini ingin jadi bidan. "Alhamdulillah tercapai, menjadi bidan spiritual," katanya tergelak.

Ilmu agama juga tak dikuasai. Namun rupanya Allah menentukan lain, membimbing jalan hidupnya menjadi seorang mujahidah. Caranya pun khas: lewat mimpi.

Dunia dakwah mulai digeluti tatkala ia berhasil mengislamkan seorang TKW asal Filipina di Arab Saudi. Waktu itu (1987), Mursila menjadi baby sitter di negara petrodolar itu. Profesi ini terpaksa digeluti, meninggalkan pekerjaan sebagai guru sebuah SMA swasta di Malang, demi memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya.

Dari sinilah Bu Hajah &emdash;setelah menunaikan haji tahun 1991&emdash; mulai intensif mendalami Islam. Ketika wanita Manila itu menyatakan diri masuk Islam, ada sesuatu tak terlukiskan yang singgah dalam perasaan Mursila. Bahagia, haru, bangga, dan entah apa lagi, campur aduk jadi satu.

Bersamaan dengan itu, tiap tidur Mursila terus-menerus diganggu mimpi yang begitu sulit ditafsirkan. Ia seakan menyaksikan sebuah proyek besar di daerah Resapombo, Blitar. Di desa itu ia pernah tinggal bersama Rofi'i, mantan suaminya. Juga, daerah itu diserang sekelompok pasukan sampai-sampai Mursila teriak histeris agar warga menyelamatkan diri. Ketika bangun, kekhawatiran lantas menyergap perasaannya. Ia tiba-tiba cemas dengan nasib anak dan sahabat-sahabatnya. Dan seperti digiring kekuatan yang begitu dahsyat, Mursila memutuskan kembali ke Indonesia (1993).

Gelora dakwah yang mulai tumbuh mengajaknya tinggal di Resapombo, bukannya di Malang (di rumah pemberian suaminya). Mursila kontrak rumah tua yang sudah rusak, 200 ribu rupiah per tahun. Begitu parah kondisinya sehingga ia harus mengeluarkan 250 ribu untuk renovasi. Perabotan juga tak kuasa dibeli, cuma ada dhingklik (kursi kecil). Karuan saja anak-anaknya protes, tak mau tinggal bersamanya. Saudara-saudaranya bahkan tak kuasa menahan derasnya air mata begitu tahu kondisi rumah Mursila. "Hidup seperti ini mau jadi apa?" begitu komentarnya.

Sebagai seorang wanita, tentu saja keluh kesah itu cukup membuat batinnya tertekan. Namun ia merasa bahwa hidupnya akan lebih berarti dan bermanfaat bagi umat bila tetap tinggal di desa itu, bukan di kota. Anak-anaknya dibiarkan tinggal di Malang, ada pula yang kos. Mursila betul-betul tak tega meninggalkan Resapombo. Bagaimana tidak. Kristenisasi begitu gencar. Di kampung itu ada 2 buah gereja megah, sementara masjidnya cuma satu, itupun sepi. Suara adzan sama sekali tak pernah bergema di kampung itu.

Kultur warga setempat juga tak mencerminkan sikap islami. Mursila membuktikan sendiri. Ketika ia yang waktu itu sudah berjilbab jalan-jalan mengunjungi beberapa teman baiknya, komentar-komentar sinis kerap hinggap di telinganya. "Apa nggak gerah sih ditutupi seperti itu?" Bahkan ada yang meludah, saking tidak suka, barangkali. Maklum, jilbab memang masih menjadi barang aneh.

Jiwa mujahidnya justru makin menggebu. Mursila kian berani menampakkan identitasnya sebagai Muslimah. Pintu rumahnya ia tempeli stiker "Islam Will Never Die", "Islam is My Way of Life", walau tak bertahan lama karena disobek-sobek entah oleh siapa.

"Apakah saya hanya akan menjadi objek seperti ini?" Mursila tercenung. Apa yang mesti dilakukan untuk menegakkan agama Allah? Pertanyaan itu terus saja memenuhi benaknya. Untung ia bertemu seorang ustadz, di sebuah mikrolet. "Ustadz, saya ingin berjihad. Bagaimana caranya?"

"Ibu ingin berjihad? Insya Allah akan ada jalan," ustadz muda yang kelak menjadi pembimbing rohani Mursila itu sempat tertegun. Spontan ia berdoa, Mursila mengamini, hingga seluruh penumpang mikrolet heran dibuatnya.

Mursila terus berpikir, jalan seperti apa? Dia belum juga bisa memecahkan teka-teki itu. Cuma, yang dirasakan adalah warung makan penyangga ekonomi keluarganya, tambah laris. Dengan warung itu pula ia bisa berkomunikasi dengan umat, dengan orang-orang yang selama ini tak pernah mendapat siraman rohani. Banyak pembeli yang betah berlama-lama di warung Mursila gara-gara merasa tenang dengan nasihat-nasihat agama yang menjadi servis plusnya. Jalan ke medan jihad tampak mulai tersibak.

Ternyata warung makan itu tak hanya mendatangkan berkah, juga fitnah. Begitu larisnya sehingga ia diisukan, maaf, menjual diri. Yang membuat dadanya kian sesak, ia 'diadili' oleh seorang ustadzah di sebuah forum pengajian (yang sebagian besar bisa masuk Islam atas bimbingan Mursila). Benar-benar shock, hingga Mursila lari menuju rumah ustadz yang membimbingnya, di Blitar. "Sudahlah, orang berjihad itu akan selalu diterpa fitnah. Bila fitnah semakin besar, nilai jihadnya akan semakin tinggi," petuah itu akhirnya kuasa meredam emosi.

Nah, bila Mursila menjenguk anak-anaknya di Malang, fitnah seperti itu terus saja menyergapnya. "Wong cuma punya warung makan kok anaknya bisa kuliah," demikian rumor yang santer beredar.

Mereka tak tahu bahwa pendidikan anak-anak Mursila banyak disokong salah seorang saudara yang tinggal di Surabaya. Para tetangga juga tak mau mengerti bahwa Mursila masih punya tabungan sekitar 2 juta rupiah, hasil keringat dari Arab Saudi. "Pola pikir masyarakat memang seperti itu, semua serba negatif," Mursila berusaha menahan diri.

Cobaan itu lumayan membuat stres. Tiap malam, ketika shalat lail dan baca Al Quran, Mursila menangis sejadi-jadinya. Eh, timbul fitnah juga, kali ini dari tetangga yang rumahnya berhimpitan, beragama Nasrani. Katanya, Mursila sudah gila karena tiap malam menangis sendirian.

Berbagai berita memojokkan itu membuat warungnya menjadi sepi. Pernah suatu hari Mursila hanya dapat pemasukan Rp 250,-. Seringkali makanan yang masih ada ditu dibagi-bagikan ke beberapa desa miskin di wilayah Doko. Kebetulan Mursila memang sudah mulai aktif ke luar kandang, membina desa-desa yang selama ini jadi lahan garapan misionaris Kristen, Hindu, dan Budha. Warung makan itu akhirnya ditutup karena kesibukannya dakwahnya.

Juru selamat

Adalah Desa Tunggorono, jaraknya sekitar 8 km arah utara Resapombo, salah satu lahan dakwahnya. Desa itu demikian terpencil dan terbelakang. Miskin lagi. Namun di sana terdapat sebuah gereja megah yang konon menjadi tempat diklat misionaris. Umat Islam adalah kaum minoritas.

Untuk mencapai desa itu, Mursila cukup jalan kaki. Demikian pula ketika harus membina desa-desa sekitarnya yang berjarak 5-8 km. Penyebabnya, tak ada dana untuk transportasi. Untuk memperpendek jarak, Mursila sering mengambil jalan pintas melewati sawah, hutan pinus, jati, dan perkebunan cengkih. Itu semua dilakukan seorang diri.

Tiap kali menempuh perjalanan itu, dalam benaknya terus dipenuhi wajah-wajah orang dusun yang begitu lugu, yang sama sekali tak berdaya menghadapi sergapan ajaran agama lain. Begitu polos dan lugu sehingga seringkali tersua hal-hal yang lucu.

"Ibu ini orang apa sih?" tanya seorang warga yang kini menjadi jamaah pengajiannya.

"Saya orang Islam."

"Maksudnya, NU atau Muhammadiyah?" Kedua organisasi itu rupanya lebih dikenal daripada istilah 'Islam'.

Sekali lagi diberi penjelasan bahwa Mursila orang Islam. Orang itu lantas mengumumkan kepada para tetangga bahwa Bu Hajah itu bukan orang NU atau Muhammadiyah, tetapi Islam. Bagi mereka, aneh sekali.

Hubungan makin akrab, sampai akhirnya Mursila diundang menghadiri acara tahlil di Tunggorono. Lumayan, pesertanya ada 12 orang. Tahlil menjadi satu-satunya tradisi berbau Islam yang dikenal di sana, meski yang bisa baca cuma satu orang sementara lainnya hanya bisa andil manggut-manggut.

Pertama kali ke Tunggorono, Mursila mengelus dada. Waktu itu ia ingin wudhu. Dia amat terkejut ketika melihat di samping sumur tempatnya wudhu&emdash; adalah kandang babi. Ibu yang murah senyum ini tertegun, dan tak terasa air mata menetes di pipinya. "Masya Allah, masih ada saudara saya yang seperti ini," gumamnya.

Tak hanya itu. Seminggu berikutnya, Mursila hendak menunaikan shalat. Tuan rumah menunjukkan sebuah kamar yang katanya bisa untuk shalat. Begitu pintu dibuka, tiba-tiba, "Guk...guk...guk...!" sekelompok anjing menyalak, mengejutkan. Spontan Mursila lari terbirit-birit.

"Lho, bukan yang itu Bu Hajah, sebelahnya. Kamar itu memang untuk menyimpan anjing supaya tak ketahuan Bu Hajah."

Mursila hanya bisa mengucap istigfar begitu mendengar penjelasan itu. Ia pun segera menunaikan shalat, diiringi dengusan beberapa ekor anjing yang berada di kamar sebelahnya.

Lain lagi kisah di Selorejo, sebuah kampung yang terletak sekitar 5 km sebelah barat Resapombo. Pertama kali ke sana, sapaan 'Assalamu'alaikum' sama sekali belum dikenal. Bila Mursila mengucap salam, biasanya mereka menjawab, "Inggih" (Ya), malah ada yang menjawab sekenanya dengan "rohim", atau "amin". Sesuatu yang amat wajar sebab agama Islam memang belum begitu akrab dengan mereka. Mushala di dusun itu hanya berupa bangunan kecil, dinding bambu berlantai tanah. Sementara gerejanya begitu megah, lengkap dengan perwakilan paroki, seperti dusun-dusun lain di sekitarnya. Kini Mursila tengah membangun mushala demi menyelamatkan akidah kaum Muslimin yang baru beberapa kepala.

Kejadian serupa juga dialami ketika ia datang ke Dukuhsari, 7 km dari tempat tinggal Mursila. Sampai saat ini, masih ada orang yang belum bisa mengucapkan kalimah syahadat. Tiap Selasa Mursila membina jamaah pengajian di sebuah mushala reyot. Tak hanya ibu-ibu, kaum lelaki pun turut serta. "Saya bingung juga sebab bertentangan dengan hukum. Tapi siapa lagi yang akan membina mereka?" kata Mursila sembari mengangkat bahunya.

Ia kadang juga tak kuasa menolak ketika bapak-bapak itu mengajaknya berjabat tangan tiap Mursila tiba di forum pengajian. Mereka bermaksud memberi penghormatan, dan memang belum tahu hukum jabat tangan orang yang berlainan jenis.

Mursila mengaku harus ekstra hati-hati menjelaskan permasalahan semacam ini. "Ibarat makan bubur panas, saya harus mulai dari tepi, sedikit demi sedikit. Kalau saya bersikap keras, mereka justru akan lari."

Yang lebih membingungkan adalah ketika diundang kenduri dan diminta memimpin doa. Bagaimana tidak repot, semua peserta acara itu laki-laki. Tapi apa boleh buat, Mursila pun berangkat. Apalagi dicarterkan ojek segala. Pikirnya, ini kesempatan memberi bimbingan doa yang benar, tidak seperti cara selama ini yang memakai doa agama Hindu, hasil binaan sebuah pura di desa itu.

Tradisi Hindu juga masih banyak dijumpai di Desa Sidomulyo, 4 km dari Resapombo. Upacara selamatan, tumpengan, dan sesaji di tempat-tempat keramat &emdash;warga menyebutnya tempat dhanyangan&emdash; menjadi acara ritual yang begitu disakralkan masyarakat. Salah satunya adalah tradisi labuhan di pantai Selatan. "Saya katakan bahwa kalau mati mereka akan menjadi teman Nyi Roro kidul," ujar Mursila geli. Ternyata mangkus juga. Beberapa jamaahnya kini telah meninggalkan acara itu.

Untuk sesaji yang diadakan di perempatan jalan atau pohon-pohon besar, Mursila punya taktik tersendiri. Ia tidak melarang secara frontal, tetapi acaranya dipindah ke mushala. "Sesaji di perempatan boleh saja, tapi zaman dulu. Sekarang kan ada tempat yang lebih bagus yaitu mushala, tak lagi kumpul sama kotoran kerbau dan sapi. Itu kan nggak enak dan nggak sehat," bujuknya.

Desa ini memang begitu menantang. Di sana ada dua wihara dan dua gereja megah. Masjidnya juga ada dua, semua dibangun berkat jasa Mursila. Gerbang rumah-rumah penduduk kebanyakan berbentuk stupa. Ada pula kompleks pertapaan yang dihuni puluhan biksu nonpribumi (Cina). Pusat kegiatan agama Budha ini menyediakan perkebunan cengkih dan pisang puluhan hektar, yang penggarapannya diserahkan kepada warga setempat. Keuntungannya dibagi dua.

Masalah dhanyangan juga begitu lekat dengan warga dusun Tlogorame dan Kalirejo. Untuk menghilangkan tradisi syirik ini, Mursila mengaku pernah ketemu dengan salah satu dhanyangan. Ia katakan kepada warga bahwa sebenarnya dhanyangan itu tak minta disembah dan diberi sesaji. Tradisi selama ini hanyalah ulah dan karangan orang saja. Alhamdulillah, warga percaya saja.

Butuh Partner Dakwah

Untuk memperlancar kegiatan dakwah, Mursila mendirikan Yayasan Al Ammalul Islami bersama beberapa rekannya (1995). Rumah kontrakan yang kini ditempati adalah kantornya. Sayang, pengurusnya tak bisa aktif. Ada yang menikah sehingga ikut suami, sibuk kerja, dan segala macam. Apa boleh buat, Mursila yang tiap malam minum jamu (untuk menjaga stamina) ini harus kerja seorang diri.

Dalam membangun masjid misalnya, ia harus mengurus dari soal penetapan tempat, pembelian material, sampai bentuk bangunannya. Tak heran bila dia hapal betul harga-harga kayu, semen, batu bata, genting, paku, dsb. Hari Senin ia alokasikan untuk memeriksa proyek-proyek itu.

Dananya dari mana? "Dari teman-teman saya. Allah yang mengaturnya." Mengenai hal ini, Mursila seringkali mendapat rezeki yang tak disangka-sangka. Ketika Agustus lalu mengadakan khitanan massal misalnya, ia butuh dana Rp 350 ribu untuk 14 anak. "Eh, kumpul uang dari teman-teman kok ya pas segitu. Ini kan namanya pertolongan Allah."

Yayasan Al Ammalul Islami di bawah komando Mursila saat ini tengah membangun masjid di Tegalrejo, Sumberarum, Babadan, dan Tretes. Sementara di Kalirejo, Ampelgading, dan Sidomulyo, sudah bisa difungsikan.

Mursila juga bergerak membangun tempat pendidikan, terutama TK. Hingga saat ini sudah berdiri TK Kelirejo dan Wonorejo, meski perlengkapannya belum memadai. Satu lagi TK binaanya, di Ampelgading, yang masih numpang di rumah warga.

Hal yang sangat layak didukung karena dusun-dusun itu memang tak punya lembaga pendidikan Islam. Lembaga Kristen banyak. Di Sumberarum contohnya, ada sebuah TK Kristen yang mewah. Tiap Rabu dan Sabtu mereka membagikan beras 10 kg kepada para orang tua murid. Bagaimana tidak menggoda?

Sayang, Mursila hanya sendirian. Janda yang hidupnya diabdikan untuk agama ini ingin sekali dapat pendukung dakwah. "Pertemukanlah aku dengan mujahid dan mujahidah, dermawan-dermawan Muslimin, yang bisa aku jadikan partner untuk jihad fi sabilillah di daerah yang sangat memerlukan siraman dakwah ini," demikian doa yang terus dipanjatkannya.