Memandang Aceh dengan Nurani

CONTENTS

Suara Hidayatullah:
Oktober 1999/Jumadil Akhir-Rajab 1420

Memandang Aceh dengan Nurani


D. Zawawi Imron*

Bumi yang terkenal dengan Serambi Mekah itu tersiram darah dan ribuan korban roboh. Di sana-sini ada baku hantam, bunyi rentetan pelor terus terdengar hampir setiap hari. Beberapa perkampungan jadi hangus dilahap api. Ada apa gerangan di tanah rencong itu?

Banyak kaum lelaki terbunuh, di antaranya konon, tidak mengerti masalah politik. Yang lebih mengenaskan, ribuan wanita menjadi janda dan ribuan anak-anak menjadi yatim. Perempuan-perempuan itu sebelum ini, nafkah hidupnya ditanggung oleh suaminya, dan setelah menjadi janda semakin berat beban hidupnya. Mereka tidak boleh tidak harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk dirinya dan untuk anak-anaknya yang telah kehilangan ayah. Di samping itu, anak-anak yatim yang malang itu sudah tidak akan mendapat belaian kasih sayang ayahnya yang almarhum, mereka tidak akan merasakan lagi kelembutan pandang mata ayahnya yang penuh rasa cinta. Ya, Allah, kami hanya bisa berdoa, semoga anak-anak yatim itu nanti menjadi orang-orang yang saleh, yang Kau bimbing untuk selalu meniti di atas jejak-jejak keteladanan Rasululullah saw dengan akhlakul karimahnya, dengan keikhlasan hatinya dan kekhusyukan shalatnya. Semoga anak-anak yatim itu nanti bisa menggandeng dan menggendong ayah-ayah mereka ke wilayah sorga-Mu.

Ya, Allah. Ada hikmah apa di balik malapetaka yang menyayat kalbu ini? Bimbinglah hamba-hamba-Mu ini untuk melihat dengan mata nurani sambil ingat akan kebesaran-Mu. Engkau Mahabesar, Allahu Akbar.

Selama ini, kalau orang menyebut Serambi Mekah, tidak lain ialah Aceh, karena di bumi itulah fajar Islam terbit pertama kali untuk kawasan Nusantara yang kemudian bernama Indonesia ini. Kerajaan Peurlak dan Pasai merupakan kerajaan Islam yang pertama di negeri kita. Di situ pernah lahir ulama sufi bernama Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdul Rauf Singkel. Telah berabad-abad yang lalu suara azan dan Al Qur'an yang dibaca selalu terdengar setiap waktu, sehingga suaranya pun bermuatan aroma ayat-ayat Allah.

Maka ketika imperialis dan kolonialis Belanda menginjakkan kaki di Aceh, dan hendak mengeruk kekayaan Aceh, Aceh pun bergolak. Orang-orang Aceh bangkit untuk mempertahankan hak miliknya. Pecahlah perang Aceh 1873-1914. Semangat perang Aceh, menurut sejarah, banyak ditimba dari sebuah kitab syair berjudul Hikayat Perang Sabi (Hikayat Perang Sabil), karangan Cik Pantee Kulu. Dalam buku "Ketika Kata Ketika Warna": antologi puisi dan lukisan 50 tahun Kemerdekaan R.I. dinukilkan isi sebagian dari Hikayat Perang Sabil tersebut, yang di antara baitnya, terjemahannya:

Siapa sedia serahkan nyawa dan harta
Untuk biaya perang di jalan Ilahi
Dibeli Allah tinggi harganya
Sorga tinggi tukarannya pasti

Dengan madah yang penuh semangat jihad itu, tidak mustahil pihak penjajah Belanda merasa kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Pahlawan-Pahlawan perang Aceh bukan hanya dari kalangan laki-laki saja. Selain Teuku Umar dan Teungku Cik Di Tiro, tampil juga pahlawan wanita, seperti Tjut Meuthia, Tjut Nya' Dien dan tokoh-tokoh wanita lainnya yang tidak kalah dahsyatnya dalam memimpin perang gerilnya. Tidak mustahil kalau dalam jajaran pahlawan nasional kita banyak terdapat putera-putera Aceh.

Demikian juga pada awal kemerdekaan. Dalam buku Siamak dan Selamatkan Aceh, disebutkan bahwa setelah Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, ada empat orang ulama besar Aceh, yaitu Teungku Djakfar Siddik Lamdjabat, Teungku Hadji Hasa Kreungkale, Teungku Hadji Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Mohammad Daud Beureueh, yang mengeluarkan fatwa, bahwa berjuang untuk kemerdekaan Indonesia adalah termasuk fi sabilillah. Bahkan, pada Maret 1949, Teungku Mansoer, yang menjabat Wali Negara Sumatera Timur saat itu, ketika mengajak Teungku Mohammad Daud Beureueh (Gubernur Militer Aceh) untuk mendirikan negara sendiri, ajakan itu ditolak mentah-mentah. Aceh dan Teungku Mohammad Daud Beureueh memilih bersatu dalam kedaulatan Republik Indonesia. Sejarah ini menjadi catatan penting untuk menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia.

Akhir-akhir ini Aceh telah menjadi porak-poranda. Menurut berita, sekitar seratus sekolah hancur menjadi puing. Akibatnya, sekitar 23.000 anak dari tingkat SD sampai SMU kesulitan untuk menuntut ilmu. Belum korban jiwa dari berbagai fihak yang saya ngeri untuk menyebut jumlahnya. Bicara tentang Aceh yang berduka dan terluka, hati siapa yang tidak akan pilu dan jiwa mana yang tidak akan trenyuh, selagi dalam dirinya masih ada nurani.

Dengan kenyataan yang sangat memprihatinkan ini, jiwa yang sehat tentunya tidak membenarkan kalau kekacauan itu terus berlangsung berkepanjangan. Karena itu pemerintah RI sangat diharap untuk secepat mungkin menyelesaikan masalah Aceh dengan penuh kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai kultural yang kita miliki.

Kita, seyogyanya percaya kepada akal sehat yang bisa menyemarakkan rasa cinta dan kasih sayang. Juga dengan pendekatan agama melalui pengembangan rasa ukhuwah (persaudaraan), sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, "Tidak beriman seorang kamu, sehingga mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri." Dengan akal sehat dan rasa ukhuwah, serta dukungan sektor-sektor lainnya, fihak yang paling berseberangan tidak saling pandang sebagai musuh, tetapi sebagai saudara sebangsa setanah air.

Kita punya akal sehat, moral, dan punya bahasa yang bisa dijadikan modal utama untuk menyelesaikan masalah Aceh dan solusi yang diformulakan dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan yang hakiki, tidak akan ada fihak yang merasa menang dan fihak yang merasa kalah. Dari nurani kebersamaan yang menghasilkan perdamaian, semua fihak akan mendapat kemenangan. Yang kalah ialah hawa nafsu yang selalu menyulut permusuhan.

Apalagi di Aceh ada madah yang bisa dijadikan inspirasi untuk menata kebersamaan dan kerukunan, misalnya seperti nukilan ini,

Meunyo tanyo ka seupakat (kalau kita bermufakat)
Lampoih jeurat ta peugala (tanah kuburan bisa digadaikan)
Krueng ek ta beundong (sungai dapat dibendung)
Gunong pi jeut ta peurata (Gunung dapat diratakan)

Sebuah permusyawaratan dan mufakat bukan mustahil dilaksanakan, asalkan masing-masing pihak dalam memandang masalah selalu berdasarkan nurani. Dengan nurani, akal sehat dan sikap lapang dada yang berdasarkan akhlak mulia, Insya Allah rasa persaudaraan yang sublim bisa dikembalikan pada fitrah kemanusiaan yang murni. Semoga!


* Penyair, tinggal di Madura
Copyright© Suara Hidayatullah, 1999