Suara Hidayatullah : Februari 2000/Syawal-Dzulqa'dah 1420  

Menaklukkan Hati Orang Mentawai

Berbekal lillahi ta'ala, menebar da'wah di suku Mentawai yang terbelakang dan terisolir

Jalan setapak itu lebih menyerupai lorong panjang. Tumbuh-tumbuhan peneduh berdaun lebat berjajar di kiri kanan. Pucuk-pucuk rantingnya berkait erat seakan enggan terlepaskan, membentuk semacam atap yang membuat jalan itu teduh-pengap. Akibatnya, permukaan tanah yang hanya tersingkap sekitar 30 cm di sela-sela rerumputan di situ senantiasa lembab karena sinar matahari teramat jarang menyengat. Justru air hujan yang lebih sering tersiram, membuat lorong itu makin tak nyaman untuk tempat melangkahkan kaki. Itulah sebabnya warga sekitar Tuapeijat —sebuah desa di pulau Sipora, Mentawai (Sumbar)— menyebutnya sebagai `jalan tikus'. Tak berlebihan memang.

Tapi siapa sangka bahwa dari jalan tikus itu nafas Islam di Sipora bisa terus terhembus? Peniupnya, seorang putra Mentawai yang menjadikan jalan itu sebagai rute utama dakwahnya. Itulah Ust Ja'far (64), lelaki kerempeng kelahiran Sikakap —juga termasuk kepulauan Mentawai— yang terus menebar rahmat di usianya yang telah merayap senja. `Jalan tikus' itupun menjelma menjadi pembuluh darah yang terus memompa sari-sari aqidah ke sekujur tubuh warga dan gugusan pulau di Samudera Indonesia, tepatnya di sebelah Sumatera itu.

Tak putus dirundung malang

Sebenarnya, anak ke-2 dari lima bersaudara sebuah keluarga nelayan ini tak pernah membayangkan akan menjadi da'i yang amat vital peranannya dalam dunia da'wah di Mentawai. Ia memang tak pernah menggantung cita-cita di langit. Saat usianya menginjak 10 tahun, hari-harinya sudah harus sarat dengan problem untuk bertahan hidup akibat status yatim yang disandangnya. Ayahnya meninggal tatkala Ja'far masih amat membutuhkan belaian kasih sayang seorang ayah. “Bagaimana bisa memikirkan cita-cita?” ujar ayah lima anak ini tanpa bermaksud menyesali liku-liku kehidupan yang selama ini dijalani.

Ternyata ada hikmah di balik itu semua, dan ini amat berperan dalam mengubah jalan hidupnya di kemudian hari. Pamannya di Sioban (ibukota kecamatan Sipora) tak tega melihat penderitaannya. Si kecil Ja'far dijadikan anak pungut. Ketika duduk di bangku kelas II SD Sioban, gantian seorang pengurus masjid yang mengulurkan tangan hendak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ja'far yang rajin dan tekun dijadikan pembantu pengurus masjid. Rutinitas inilah yang secara alamiah menuntun Ja'far untuk belajar ilmu-ilmu agama, dari mendengar ceramah hingga aktif membaca beberapa lembar buku yang ada di masjid itu. Malah, di usia belum baligh ini Ja'far telah diberi kepercayaan mengajar ngaji.

Tamat SD, Ja'far disekolahkan ke Sekolah Teknik (ST) Padang. Rupanya keberuntungan belum juga mau mendampingi bocah yang satu ini. Baru setahun menuntut ilmu, sekolahnya tutup akibat kericuhan PRRI (1958). Ia pulang ke Sipora, berniat membantu menegakkan periuk nasi keluarganya. Ja'far kerja apa saja, sekenanya. Kadangkala mancing, buruh perahu pukat, kuli batu, menumbuk sagu, dsb.

Rupanya para pengurus masjid Sioban merasa sayang bila Ja'far yang cerdas tak berkesempatan mengamalkan ilmu agamanya. Ia lantas dipanggil ke Sioban, mengajar ngaji lagi. Saat usianya menginjak kepala dua, Ja'far telah menjadi guru mengaji yang tak hanya menangani anak-anak tapi juga kalangan pemuda dan orang tua. “Ja'far saat itu sudah sering dipanggil buya,” ujar Darwis (64), tokoh masyarakat Sipora yang juga teman sepermainan Ja'far. Di daerah Sumatera Barat, panggilan itu hanya ditujukan kepada orang yang ahli agama, semacam ulama.

Kepulan asap periuk nasi keluarganya di Sikakap yang timbul tenggelam sempat menggelisahkan Ja'far muda. Ia balik kandang ke Sikakap. Kali ini, jiwa sebagai pendidik yang telah tertanam di hatinya terus bicara. Banyak anak-anak yang belajar ngaji kepadanya. Bahkan, sekitar tahun 1962 ia diangkat sebagai guru agama honorer atas rekomendasi sebuah instansi keagamaan setempat. Herannya, meski berstatus honorer selama puluhan tahun, yang namanya si honor itu tak pernah sekalipun nyangkut di saku Ja'far. Sebenarnya, berapa honor yang mesti diterimanya? “Terima saja nggak pernah, darimana saya tahu jumlahnya?”

Pernah coba dicari informasi ke instansi terkait, ternyata di buku keuangan sudah ada pengeluaran gaji untuknya. Ja'far pun pulang dengan tangan hampa, sembari menata hati agar ia tabah menerima perlakuan ini semua. “Saya berupaya mengembalikan niat pengabdian saya seperti semula: lillahi ta'ala,” ujarnya tenang.

Da'wah tanpa ceramah

Untunglah, Ja'far mulai bisa bernafas lega karena ia diangkat sebagai guru agama sebuah SD di Sipora (1968). Predikat guru agak menaikkan status sosialnya. Ditambah dengan keahlian mengaji, sebutan `ustadz' mulai kerap singgah di telinga.

Orang-orang sekitarnya mulai bertanya ini itu kepada Pak Guru Ja'far. (Guru dan pemeluk) Islam di Sipora memang masih terbilang langka. Penduduk asli Mentawai yang waktu itu masih mengenakan kabit (pakaian tradisional kaum pria, berupa cawat terbuat dari kulit kayu yang dilembekkan) dan lepet (cabikan daun pisang penutup kemaluan wanita) bisa dikatakan tak ada yang beragama Islam. Mereka masih menganut kepercayaan Arat Sabulungan, faham animisme-dinamisme ala Mentawai. Agama Islam hanya dipeluk oleh golongan pendatang saja, umumnya dari Tanah Tepi (Padang atau wilayah Sumatera Barat) dan transmigran Jawa. Saat ini pun ummat Islam di Sipora cuma 25%. Hanya ada 23 masjid di kecamatan yang membawahi 30-an kampung itu.

Kelihaian menjawab berbagai macam pertanyaan seputar agama Islam membuat nama Ja'far dikenal banyak orang. Lelaki ini rupanya mulai bisa mencuri hati warga Sipora. Di tiap langkahnya, selalu saja ada orang yang bertanya. “Alhamdulillah, mampu saya jawab dan jelaskan sesuai tingkat pemahaman mereka,” kenang Ja'far.

Pertanyaannya pun kadangkala cukup kritis. Maklum, menu keseharian orang Mentawai adalah ikan laut yang kaya protein sehingga mereka bisa menjelma menjadi tipe manusia yang cukup cerdas. Misalnya: apakah orang yang shalat tapi mencuri itu akan masuk neraka? Ja'far lantas menjawab, “Orang yang mulia di sisi Allah Swt bukanlah yang tak pernah berbuat salah, tetapi orang yang mau bertobat dan tak lagi mengulangi kesalahannya.” Mereka umumnya manggut-manggut, tampak puas.

Dari hal-hal semacam itulah orang-orang Mentawai bisa menilai bahwa Islam adalah agama yang cukup mudah dan menyenangkan, semisal dibanding Kristen. Apalagi, banyak kebiasaan orang Mentawai selama ini yang ternyata juga amat `Islami'. Contoh: larangan keras berzina, peraturan pergaulan laki-laki dan perempuan di luar keluarga atau klan, menjaga kelestarian alam (untuk menghormati penguasa bumi, langit, dan laut/air sehingga warga tak sembarangan buang kotoran), solidaritas sesama warga, dsb. Kegiatan wirid, Yasinan, iuran masjid, kerja bakti membangun mushala, zakat, shalat jamaah, dsb juga sejalan dengan sikap sama rasa sama rata yang selama ini menjadi salah satu ciri orang Mentawai. Banyak yang akhirnya mengucapkan syahadat, secara pribadi atau massal. Terakhir, syahadat massal berlangsung 1992 lalu di sebuah desa bernama Goisoinan yang melibatkan puluhan warga.

Berbagai acara ritual keagamaan (Islam) di seluruh penjuru Sipora pun selalu menghadirkan Ja'far, untuk memimpin do'a. Saking tergantungnya, sampai-sampai orang Sipora banyak yang memanggil Jafar dengan `ayah'. Sebuah sebutan yang terasa akrab namun penuh nuansa hormat.

Orang Kristen pun banyak yang akhirnya tertarik Islam meski Ja'far tak pernah berupaya membujuknya. Baru-baru ini, ada seorang aktivis zending yang mengikrarkan diri menjadi ummatnya Rasulullah Muhammad saw. “Kalau saya masuk Islam bagaimana?” Ja'far agak terhenyak dengan pertanyaan dari orang yang cukup terpandang di Tuapeijat ini.

“O, bagus. Saudaramu banyak. Di mana saja, Anda akan bertemu saudara sesama Islam, tidak seperti di Kristen yang gerejanya bermacam-macam dan terkotak-kotak. Masjid di Sipora sama dengan di Padang, sama dengan di Jakarta, juga sama dengan di India dan Eropa, seluruh dunia. Jadi, di manapun Anda berada, akan ada yang memperhatikan.” Alhamdulillah, orang tersebut saat ini aktif dalam jamaah Yasinan binaan Jafar.

Nah, bila golongan muallaf telah mengucap kalimah syahadat, barulah Jafar membimbing dalam hal ibadah praktis seperti cara wudhu, shalat, atau doa-doa harian. Begitulah, Ja'far tak pernah berceramah sampai berbusa-busa di depan lautan manusia. Namun hasilnya nyata: ratusan orang Mentawai telah memeluk Islam berkat penerangan dan nasihat praktis tentang agama Islam dari mulutnya.

Untuk menjaga kelurusan aqidah jamaahnya, Ja'far menggunakan metode yang gampang saja. Misalnya ketika `anak-anaknya' kaget dan mengumpat dengan kata-kata kasar ala Mentawai, Ja'far segera mengingatkan, “Eh, kita kan orang Islam. Masak ngomong seperti itu. Yang benar bagaimana?” Merekapun akan segera mengucapkan `astaghfirullah!'.

Ketika menjumpai sekelompok jamaah yang tengah ngobrol santai dan mereka hanya mengenakan celana pendek atau bertelanjang dada, resepnya lain lagi. Lelaki berjenggot putih ini pura-pura mondar-mandir di dekat kerumunan itu. Ketika terlontar pertanyaan, “Ayah mencari siapa?” Ja'far menjawab bahwa ia tengah mencari anak buahnya, orang-orang Islam, yang pernah wiridan sama-sama.

“Lho, kami kan orang Islam dan anak buah ayah?” “Oh iya ya, saya pikir bukan, sebab cuma bercelana pendek.” Merekapun akan tersipu malu, mati kutu.

Itu semua bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Sering pula Ja'far bergabung dengan kelompok pukat atau petani sagu, sekadar menawarkan bantuan tenaga. Saat ditemui Sahid, da'i yang sejak 1998 lalu aktif di Jamaah Tabligh ini baru saja nimbrung sekelompok petani sagu yang tengah panen. Tak tanggung-tanggung, tujuh bulan!

Acapkali banyak yang sungkan dengan Ja'far dan meminta agar dia di rumah saja dan akan tetap mendapat bagian. “Jangan, untuk mendapat sesuatu kita tak boleh hanya meminta, tapi harus kerja,” ia menolak. Bukan menampik rezeki (yang selama ini begitu sulit didapat), namun lebih didasarkan atas pertimbangan da'wah. Sebab, dalam momentum semacam itu ia bisa mengingatkan ketika jamaah binaannya mengeluarkan kata-kata umpatan yang kotor, mengajak shalat dan bersyukur atas rezeki yang diterimanya, mengingatkan ibu-ibu yang sedang ngerumpi, dan berbagai macam tingkah laku yang kerap dijumpai sehari-hari.

Jalan kaki dua hari

Tak berarti semua berjalan dengan begitu lempang. Dakwah di Mentawai butuh ekstra tenaga, biaya, dan ketabahan. Sebagai wilayah dengan mayoritas non-Muslim, sepak terjang kaum misionaris menjadi tantangan yang tak ringan. Tiap melangkahkan kaki-kaki dakwahnya, Ja'far seringkali harus melewati gereja-gereja megah yang jemaatnya terlihat semakin meningkat. Di sisi lain, ada beberapa mushala dan masjid yang terlihat sekarat tak terawat.

Tantangan alam-perawan Mentawai juga menuntut militansi tersendiri. Tiap hari lelaki tua ini harus jalan kaki ke berbagai kampung. Tak jarang ia harus berjalan sehari penuh (misalnya untuk mencapai desa Berilaou, sekitar 25 km), bahkan ada yang dua hari jalan kaki (daerah Batu Bunga, sekitar 50 km dari rumahnya), karena harus menerobos hutan, menyeberangi beberapa sungai, dan (tentu saja) menyusuri jalan tikus. Ia mengaku pernah nyaris direnggut maut karena terseret arus sebuah sungai di dekat Sioban.

Akibat perjalanan jauh yang harus ditempuh, Ja'far hampir tak pernah sempat berdiam lama di rumahnya (yang dibeli dari seorang transmigran seharga 250 ribu) di desa Sipora Jaya. Ia lebih sering tidur di mushala atau menginap di rumah suruak (sebutan untuk sahabat akrab). Sebagai bekal, ia tak pernah lupa mencangklong ore' (sejenis tas punggung terbuat dari rotan) berisi nasi dan lauk-pauk, sarung, baju, celana, kopiah, Al-Quran, dan sajadah. “Inilah da'i khas Mentawai,” candanya.

Tahun 1996 dan 1997 lalu pernah ada bantuan sepeda pancal dari Depag, Organisasi Wanita Islam, dan seorang ulama dari Padang. “Alhamdulillah, banyak meringankan perjalanan saya.” Namun ada catatan kakinya: itu kalau musim kemarau. Kalau hujan datang —kepulauan Mentawai termasuk bercurah hujan tinggi— ia lebih sering menjinjing sepeda daripada mengendarainya.

Dan itu semua terus dilalui dengan ketabahan hati. Apalagi bila ia telah berjanji untuk berkunjung ke suatu kampung. Bagaimanapun kondisinya, harus ditepati. Sebab, bila dibohongi, orang Mentawai akan naik pitam. Sekali kena tipu, selamanya mereka tak akan percaya. Selain itu, bila sekali saja Ja'far tak menepati jadwal rutinnya, misionarislah yang akan mengambil hati para muallaf itu. “Hal yang paling mencemaskan saya adalah apabila saudara-saudara saya itu akhirnya murtad akibat kelalaian saya bersilaturrahim,” katanya serius.

Kekhawatiran yang amat beralasan. Orang Mentawai memang akan dengan mudah pindah agama apabila dirasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Salah satu contoh, puluhan tahun lalu Proklamator Indonesia, Bung Hatta, pernah berkunjung ke sebuah kampung. Konon, penduduk kampung itu lantas masuk Islam semua. Kampungnya pun dinamai Berkat. Namun karena tak ada pembinaan intensif, saat ini warga kampung itu telah menjadi Kristen 100%.

Keluarga prasejahtera

Rutinitas dakwah membuat Ja'far tak punya waktu memadai untuk berpikir masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi. Yang bisa ia lakukan adalah mancing atau numpang pukat (karena tak punya perahu atau sampan), kuli batu, atau berkebun (merica, kelapa, dan keladi). Untunglah tahun 1994 lalu ada pengangkatan Penyuluh Agama Islam Depag. Ja'far yang memang telah mampu membuktikan karyanya, resmi menjadi sukarelawan dengan gaji Rp 60 ribu/bulan. Kemudian, sejak 1997 diangkat sebagai Petugas Pencatat Nikah. Uang lelahnya sama: 60 ribu.

Azarni (52), istri yang dinikahinya tahun 1965 lalu, biasa membuat keripik keladi untuk disetorkan ke beberapa warung di Sipora. Alhamdulillah, menurut Ja'far, rezeki dari Allah tak pernah putus sehingga sampai saat ini dia belum pernah merasa kelaparan, meski harus hidup dalam taraf yang amat sederhana.

Begitulah, kesungguhan dalam berda'wah membuat Ja'far berupaya menerima keadaan. Kenyataan sebenarnya, honor sebesar 120 ribu/bulan itu habis untuk biaya perjalanan dakwah. Perlu dicatat, transportasi di Mentawai memang tergolong mahal akibat minimnya sarana dan prasarana. Bila naik speedboat atau numpang perahu nelayan, ongkosnya mencapai Rp 5-10 ribu sekali jalan. Bisa dihitung, berapa biaya yang diperlukannya.

Tak ayal lagi, honor itu tak bisa diandalkan untuk membuat hidupnya enak secara material. Untuk baju dan kebutuhan primer saja, selama ini Ja'far banyak dikasihani para ulama atau pejabat yang kebetulan kenal dengan sepak terjangnya. “Kalau tidak ada sumbangan, Lebaran kemarin saya tak mungkin memakai baju, kopiah, dan sandal ini,” ujarnya sembari mengarahkan telunjuk kepada pakaian sumbangan kepala Pelabuhan Tuapeijat yang dikenakannya.

Yang membuat Ja'far seringkali tak berkutik, kondisi ekonomi ini kerap dimanfaatkan pihak-pihak tertentu —yakni orang-orang yang merasa lebih tinggi status sosial-ekonomi— untuk membantah atau mengelak dari siraman ruhaninya. “Kalau jadi orang Islam, harus siap miskin ya?” demikian cibiran yang kerap menghampiri telinga. Karena itu memang kenyataan yang menimpa dirinya, Ja'far hanya bisa menjelaskan bahwa Allah Swt menjanjikan kehidupan yang jauh lebih nikmat di akhirat kelak. Tiba-tiba peluru da'wahnya dirasa begitu tumpul.

Akibatnya, orang Islam (yang minoritas) di Mentawai belum bisa ber-Islam secara kaffah. Banyak di antaranya yang masih enggan melakukan shalat. “Kadang lupa kadang ingat,” ujar salah seorang warga yang juga suruak Ja'far. Perjalanan da'wah yang harus ditempuh pun masih terasa begitu jauh.

“Entahlah, da'wah saya ini akan berhasil apa tidak. Wallahu a'lam,” kata Ja'far datar. Yang dia tahu, ia akan terus berbuat sebaik-baiknya, semampunya, demi tegaknya Islam di sana. Namun yang dia rasakan, usianya semakin senja. Akhir-akhir ini rutinitas keliling kampung banyak dikurangi. Beberapa desa yang letaknya jauh tak lagi mampu secara periodik dikunjungi. Stamina Ja'far pun tak sekuat dulu dalam menuntun pengucapan kalimah syahadat, membimbing wudhu, menuntun shalat, dan... menyusuri `jalan tikus' itu.