Menaklukkan Hati Orang
Mentawai
Berbekal lillahi ta'ala, menebar da'wah
di suku Mentawai yang terbelakang dan terisolir
Jalan setapak itu lebih menyerupai lorong panjang.
Tumbuh-tumbuhan peneduh berdaun lebat berjajar di kiri kanan.
Pucuk-pucuk rantingnya berkait erat seakan enggan terlepaskan, membentuk
semacam atap yang membuat jalan itu teduh-pengap. Akibatnya, permukaan
tanah yang hanya tersingkap sekitar 30 cm di sela-sela rerumputan di
situ senantiasa lembab karena sinar matahari teramat jarang menyengat.
Justru air hujan yang lebih sering tersiram, membuat lorong itu makin
tak nyaman untuk tempat melangkahkan kaki. Itulah sebabnya warga sekitar
Tuapeijat —sebuah desa di pulau Sipora, Mentawai (Sumbar)— menyebutnya
sebagai `jalan tikus'. Tak berlebihan memang.
Tapi siapa sangka bahwa dari jalan tikus itu nafas Islam di Sipora
bisa terus terhembus? Peniupnya, seorang putra Mentawai yang menjadikan
jalan itu sebagai rute utama dakwahnya. Itulah Ust Ja'far (64), lelaki
kerempeng kelahiran Sikakap —juga termasuk kepulauan Mentawai— yang
terus menebar rahmat di usianya yang telah merayap senja. `Jalan tikus'
itupun menjelma menjadi pembuluh darah yang terus memompa sari-sari
aqidah ke sekujur tubuh warga dan gugusan pulau di Samudera Indonesia,
tepatnya di sebelah Sumatera itu.
Tak putus dirundung
malang
Sebenarnya, anak ke-2 dari lima bersaudara sebuah keluarga nelayan
ini tak pernah membayangkan akan menjadi da'i yang amat vital peranannya
dalam dunia da'wah di Mentawai. Ia memang tak pernah menggantung
cita-cita di langit. Saat usianya menginjak 10 tahun, hari-harinya sudah
harus sarat dengan problem untuk bertahan hidup akibat status yatim yang
disandangnya. Ayahnya meninggal tatkala Ja'far masih amat membutuhkan
belaian kasih sayang seorang ayah. “Bagaimana bisa memikirkan
cita-cita?” ujar ayah lima anak ini tanpa bermaksud menyesali liku-liku
kehidupan yang selama ini dijalani.
Ternyata ada hikmah di balik itu semua, dan ini amat berperan dalam
mengubah jalan hidupnya di kemudian hari. Pamannya di Sioban (ibukota
kecamatan Sipora) tak tega melihat penderitaannya. Si kecil Ja'far
dijadikan anak pungut. Ketika duduk di bangku kelas II SD Sioban,
gantian seorang pengurus masjid yang mengulurkan tangan hendak mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Ja'far yang rajin dan tekun dijadikan pembantu
pengurus masjid. Rutinitas inilah yang secara alamiah menuntun Ja'far
untuk belajar ilmu-ilmu agama, dari mendengar ceramah hingga aktif
membaca beberapa lembar buku yang ada di masjid itu. Malah, di usia
belum baligh ini Ja'far telah diberi kepercayaan mengajar ngaji.
Tamat SD, Ja'far disekolahkan ke Sekolah Teknik (ST) Padang. Rupanya
keberuntungan belum juga mau mendampingi bocah yang satu ini. Baru
setahun menuntut ilmu, sekolahnya tutup akibat kericuhan PRRI (1958). Ia
pulang ke Sipora, berniat membantu menegakkan periuk nasi keluarganya.
Ja'far kerja apa saja, sekenanya. Kadangkala mancing, buruh perahu
pukat, kuli batu, menumbuk sagu, dsb.
Rupanya para pengurus masjid Sioban merasa sayang bila Ja'far yang
cerdas tak berkesempatan mengamalkan ilmu agamanya. Ia lantas dipanggil
ke Sioban, mengajar ngaji lagi. Saat usianya menginjak kepala dua,
Ja'far telah menjadi guru mengaji yang tak hanya menangani anak-anak
tapi juga kalangan pemuda dan orang tua. “Ja'far saat itu sudah sering
dipanggil buya,” ujar Darwis (64), tokoh masyarakat Sipora yang juga
teman sepermainan Ja'far. Di daerah Sumatera Barat, panggilan itu hanya
ditujukan kepada orang yang ahli agama, semacam ulama.
Kepulan asap periuk nasi keluarganya di Sikakap yang timbul tenggelam
sempat menggelisahkan Ja'far muda. Ia balik kandang ke Sikakap. Kali
ini, jiwa sebagai pendidik yang telah tertanam di hatinya terus bicara.
Banyak anak-anak yang belajar ngaji kepadanya. Bahkan, sekitar tahun
1962 ia diangkat sebagai guru agama honorer atas rekomendasi sebuah
instansi keagamaan setempat. Herannya, meski berstatus honorer selama
puluhan tahun, yang namanya si honor itu tak pernah sekalipun nyangkut
di saku Ja'far. Sebenarnya, berapa honor yang mesti diterimanya? “Terima
saja nggak pernah, darimana saya tahu jumlahnya?”
Pernah coba dicari informasi ke instansi terkait, ternyata di buku
keuangan sudah ada pengeluaran gaji untuknya. Ja'far pun pulang dengan
tangan hampa, sembari menata hati agar ia tabah menerima perlakuan ini
semua. “Saya berupaya mengembalikan niat pengabdian saya seperti semula:
lillahi ta'ala,” ujarnya tenang.
Da'wah tanpa ceramah
Untunglah, Ja'far mulai bisa bernafas lega karena ia diangkat sebagai
guru agama sebuah SD di Sipora (1968). Predikat guru agak menaikkan
status sosialnya. Ditambah dengan keahlian mengaji, sebutan `ustadz'
mulai kerap singgah di telinga.
Orang-orang sekitarnya mulai bertanya ini itu kepada Pak Guru Ja'far.
(Guru dan pemeluk) Islam di Sipora memang masih terbilang langka.
Penduduk asli Mentawai yang waktu itu masih mengenakan kabit (pakaian
tradisional kaum pria, berupa cawat terbuat dari kulit kayu yang
dilembekkan) dan lepet (cabikan daun pisang penutup kemaluan wanita)
bisa dikatakan tak ada yang beragama Islam. Mereka masih menganut
kepercayaan Arat Sabulungan, faham animisme-dinamisme ala Mentawai.
Agama Islam hanya dipeluk oleh golongan pendatang saja, umumnya dari
Tanah Tepi (Padang atau wilayah Sumatera Barat) dan transmigran Jawa.
Saat ini pun ummat Islam di Sipora cuma 25%. Hanya ada 23 masjid di
kecamatan yang membawahi 30-an kampung itu.
Kelihaian menjawab berbagai macam pertanyaan seputar agama Islam
membuat nama Ja'far dikenal banyak orang. Lelaki ini rupanya mulai bisa
mencuri hati warga Sipora. Di tiap langkahnya, selalu saja ada orang
yang bertanya. “Alhamdulillah, mampu saya jawab dan jelaskan sesuai
tingkat pemahaman mereka,” kenang Ja'far.
Pertanyaannya pun kadangkala cukup kritis. Maklum, menu keseharian
orang Mentawai adalah ikan laut yang kaya protein sehingga mereka bisa
menjelma menjadi tipe manusia yang cukup cerdas. Misalnya: apakah orang
yang shalat tapi mencuri itu akan masuk neraka? Ja'far lantas menjawab,
“Orang yang mulia di sisi Allah Swt bukanlah yang tak pernah berbuat
salah, tetapi orang yang mau bertobat dan tak lagi mengulangi
kesalahannya.” Mereka umumnya manggut-manggut, tampak puas.
Dari hal-hal semacam itulah orang-orang Mentawai bisa menilai bahwa
Islam adalah agama yang cukup mudah dan menyenangkan, semisal dibanding
Kristen. Apalagi, banyak kebiasaan orang Mentawai selama ini yang
ternyata juga amat `Islami'. Contoh: larangan keras berzina, peraturan
pergaulan laki-laki dan perempuan di luar keluarga atau klan, menjaga
kelestarian alam (untuk menghormati penguasa bumi, langit, dan laut/air
sehingga warga tak sembarangan buang kotoran), solidaritas sesama warga,
dsb. Kegiatan wirid, Yasinan, iuran masjid, kerja bakti membangun
mushala, zakat, shalat jamaah, dsb juga sejalan dengan sikap sama rasa
sama rata yang selama ini menjadi salah satu ciri orang Mentawai. Banyak
yang akhirnya mengucapkan syahadat, secara pribadi atau massal.
Terakhir, syahadat massal berlangsung 1992 lalu di sebuah desa bernama
Goisoinan yang melibatkan puluhan warga.
Berbagai acara ritual keagamaan (Islam) di seluruh penjuru Sipora pun
selalu menghadirkan Ja'far, untuk memimpin do'a. Saking tergantungnya,
sampai-sampai orang Sipora banyak yang memanggil Jafar dengan `ayah'.
Sebuah sebutan yang terasa akrab namun penuh nuansa hormat.
Orang Kristen pun banyak yang akhirnya tertarik Islam meski Ja'far
tak pernah berupaya membujuknya. Baru-baru ini, ada seorang aktivis
zending yang mengikrarkan diri menjadi ummatnya Rasulullah Muhammad saw.
“Kalau saya masuk Islam bagaimana?” Ja'far agak terhenyak dengan
pertanyaan dari orang yang cukup terpandang di Tuapeijat ini.
“O, bagus. Saudaramu banyak. Di mana saja, Anda akan bertemu saudara
sesama Islam, tidak seperti di Kristen yang gerejanya bermacam-macam dan
terkotak-kotak. Masjid di Sipora sama dengan di Padang, sama dengan di
Jakarta, juga sama dengan di India dan Eropa, seluruh dunia. Jadi, di
manapun Anda berada, akan ada yang memperhatikan.” Alhamdulillah, orang
tersebut saat ini aktif dalam jamaah Yasinan binaan Jafar.
Nah, bila golongan muallaf telah mengucap kalimah syahadat, barulah
Jafar membimbing dalam hal ibadah praktis seperti cara wudhu, shalat,
atau doa-doa harian. Begitulah, Ja'far tak pernah berceramah sampai
berbusa-busa di depan lautan manusia. Namun hasilnya nyata: ratusan
orang Mentawai telah memeluk Islam berkat penerangan dan nasihat praktis
tentang agama Islam dari mulutnya.
Untuk menjaga kelurusan aqidah jamaahnya, Ja'far menggunakan metode
yang gampang saja. Misalnya ketika `anak-anaknya' kaget dan mengumpat
dengan kata-kata kasar ala Mentawai, Ja'far segera mengingatkan, “Eh,
kita kan orang Islam. Masak ngomong seperti itu. Yang benar bagaimana?”
Merekapun akan segera mengucapkan `astaghfirullah!'.
Ketika menjumpai sekelompok jamaah yang tengah ngobrol santai dan
mereka hanya mengenakan celana pendek atau bertelanjang dada, resepnya
lain lagi. Lelaki berjenggot putih ini pura-pura mondar-mandir di dekat
kerumunan itu. Ketika terlontar pertanyaan, “Ayah mencari siapa?” Ja'far
menjawab bahwa ia tengah mencari anak buahnya, orang-orang Islam, yang
pernah wiridan sama-sama.
“Lho, kami kan orang Islam dan anak buah ayah?” “Oh iya ya, saya
pikir bukan, sebab cuma bercelana pendek.” Merekapun akan tersipu malu,
mati kutu.
Itu semua bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Sering pula
Ja'far bergabung dengan kelompok pukat atau petani sagu, sekadar
menawarkan bantuan tenaga. Saat ditemui Sahid, da'i yang sejak
1998 lalu aktif di Jamaah Tabligh ini baru saja nimbrung sekelompok
petani sagu yang tengah panen. Tak tanggung-tanggung, tujuh bulan!
Acapkali banyak yang sungkan dengan Ja'far dan meminta agar dia di
rumah saja dan akan tetap mendapat bagian. “Jangan, untuk mendapat
sesuatu kita tak boleh hanya meminta, tapi harus kerja,” ia menolak.
Bukan menampik rezeki (yang selama ini begitu sulit didapat), namun
lebih didasarkan atas pertimbangan da'wah. Sebab, dalam momentum semacam
itu ia bisa mengingatkan ketika jamaah binaannya mengeluarkan kata-kata
umpatan yang kotor, mengajak shalat dan bersyukur atas rezeki yang
diterimanya, mengingatkan ibu-ibu yang sedang ngerumpi, dan berbagai
macam tingkah laku yang kerap dijumpai sehari-hari.
Jalan kaki dua
hari
Tak berarti semua berjalan dengan begitu lempang. Dakwah di Mentawai
butuh ekstra tenaga, biaya, dan ketabahan. Sebagai wilayah dengan
mayoritas non-Muslim, sepak terjang kaum misionaris menjadi tantangan
yang tak ringan. Tiap melangkahkan kaki-kaki dakwahnya, Ja'far
seringkali harus melewati gereja-gereja megah yang jemaatnya terlihat
semakin meningkat. Di sisi lain, ada beberapa mushala dan masjid yang
terlihat sekarat tak terawat.
Tantangan alam-perawan Mentawai juga menuntut militansi tersendiri.
Tiap hari lelaki tua ini harus jalan kaki ke berbagai kampung. Tak
jarang ia harus berjalan sehari penuh (misalnya untuk mencapai desa
Berilaou, sekitar 25 km), bahkan ada yang dua hari jalan kaki (daerah
Batu Bunga, sekitar 50 km dari rumahnya), karena harus menerobos hutan,
menyeberangi beberapa sungai, dan (tentu saja) menyusuri jalan tikus. Ia
mengaku pernah nyaris direnggut maut karena terseret arus sebuah sungai
di dekat Sioban.
Akibat perjalanan jauh yang harus ditempuh, Ja'far hampir tak pernah
sempat berdiam lama di rumahnya (yang dibeli dari seorang transmigran
seharga 250 ribu) di desa Sipora Jaya. Ia lebih sering tidur di mushala
atau menginap di rumah suruak (sebutan untuk sahabat akrab).
Sebagai bekal, ia tak pernah lupa mencangklong ore' (sejenis tas
punggung terbuat dari rotan) berisi nasi dan lauk-pauk, sarung, baju,
celana, kopiah, Al-Quran, dan sajadah. “Inilah da'i khas Mentawai,”
candanya.
Tahun 1996 dan 1997 lalu pernah ada bantuan sepeda pancal dari Depag,
Organisasi Wanita Islam, dan seorang ulama dari Padang. “Alhamdulillah,
banyak meringankan perjalanan saya.” Namun ada catatan kakinya: itu
kalau musim kemarau. Kalau hujan datang —kepulauan Mentawai termasuk
bercurah hujan tinggi— ia lebih sering menjinjing sepeda daripada
mengendarainya.
Dan itu semua terus dilalui dengan ketabahan hati. Apalagi bila ia
telah berjanji untuk berkunjung ke suatu kampung. Bagaimanapun
kondisinya, harus ditepati. Sebab, bila dibohongi, orang Mentawai akan
naik pitam. Sekali kena tipu, selamanya mereka tak akan percaya. Selain
itu, bila sekali saja Ja'far tak menepati jadwal rutinnya, misionarislah
yang akan mengambil hati para muallaf itu. “Hal yang paling mencemaskan
saya adalah apabila saudara-saudara saya itu akhirnya murtad akibat
kelalaian saya bersilaturrahim,” katanya serius.
Kekhawatiran yang amat beralasan. Orang Mentawai memang akan dengan
mudah pindah agama apabila dirasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan.
Salah satu contoh, puluhan tahun lalu Proklamator Indonesia, Bung Hatta,
pernah berkunjung ke sebuah kampung. Konon, penduduk kampung itu lantas
masuk Islam semua. Kampungnya pun dinamai Berkat. Namun karena tak ada
pembinaan intensif, saat ini warga kampung itu telah menjadi Kristen
100%.
Keluarga prasejahtera
Rutinitas dakwah membuat Ja'far tak punya waktu memadai untuk
berpikir masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi. Yang bisa ia lakukan
adalah mancing atau numpang pukat (karena tak punya perahu atau sampan),
kuli batu, atau berkebun (merica, kelapa, dan keladi). Untunglah tahun
1994 lalu ada pengangkatan Penyuluh Agama Islam Depag. Ja'far yang
memang telah mampu membuktikan karyanya, resmi menjadi sukarelawan
dengan gaji Rp 60 ribu/bulan. Kemudian, sejak 1997 diangkat sebagai
Petugas Pencatat Nikah. Uang lelahnya sama: 60 ribu.
Azarni (52), istri yang dinikahinya tahun 1965 lalu, biasa membuat
keripik keladi untuk disetorkan ke beberapa warung di Sipora.
Alhamdulillah, menurut Ja'far, rezeki dari Allah tak pernah putus
sehingga sampai saat ini dia belum pernah merasa kelaparan, meski harus
hidup dalam taraf yang amat sederhana.
Begitulah, kesungguhan dalam berda'wah membuat Ja'far berupaya
menerima keadaan. Kenyataan sebenarnya, honor sebesar 120 ribu/bulan itu
habis untuk biaya perjalanan dakwah. Perlu dicatat, transportasi di
Mentawai memang tergolong mahal akibat minimnya sarana dan prasarana.
Bila naik speedboat atau numpang perahu nelayan, ongkosnya
mencapai Rp 5-10 ribu sekali jalan. Bisa dihitung, berapa biaya yang
diperlukannya.
Tak ayal lagi, honor itu tak bisa diandalkan untuk membuat hidupnya
enak secara material. Untuk baju dan kebutuhan primer saja, selama ini
Ja'far banyak dikasihani para ulama atau pejabat yang kebetulan kenal
dengan sepak terjangnya. “Kalau tidak ada sumbangan, Lebaran kemarin
saya tak mungkin memakai baju, kopiah, dan sandal ini,” ujarnya sembari
mengarahkan telunjuk kepada pakaian sumbangan kepala Pelabuhan Tuapeijat
yang dikenakannya.
Yang membuat Ja'far seringkali tak berkutik, kondisi ekonomi ini
kerap dimanfaatkan pihak-pihak tertentu —yakni orang-orang yang merasa
lebih tinggi status sosial-ekonomi— untuk membantah atau mengelak dari
siraman ruhaninya. “Kalau jadi orang Islam, harus siap miskin ya?”
demikian cibiran yang kerap menghampiri telinga. Karena itu memang
kenyataan yang menimpa dirinya, Ja'far hanya bisa menjelaskan bahwa
Allah Swt menjanjikan kehidupan yang jauh lebih nikmat di akhirat kelak.
Tiba-tiba peluru da'wahnya dirasa begitu tumpul.
Akibatnya, orang Islam (yang minoritas) di Mentawai belum bisa
ber-Islam secara kaffah. Banyak di antaranya yang masih enggan
melakukan shalat. “Kadang lupa kadang ingat,” ujar salah seorang warga
yang juga suruak Ja'far. Perjalanan da'wah yang harus ditempuh pun masih
terasa begitu jauh.
“Entahlah, da'wah saya ini akan berhasil apa tidak. Wallahu a'lam,”
kata Ja'far datar. Yang dia tahu, ia akan terus berbuat sebaik-baiknya,
semampunya, demi tegaknya Islam di sana. Namun yang dia rasakan, usianya
semakin senja. Akhir-akhir ini rutinitas keliling kampung banyak
dikurangi. Beberapa desa yang letaknya jauh tak lagi mampu secara
periodik dikunjungi. Stamina Ja'far pun tak sekuat dulu dalam menuntun
pengucapan kalimah syahadat, membimbing wudhu, menuntun shalat, dan...
menyusuri `jalan tikus' itu.