Republika Online edisi:
05 Nov 1999

Menyibak Kecemerlangan Dinasti Abbasiyah

Sederet kejayaan Islam telah merentang panjang di masa Dinasti Abbasiyah. Menurut Al-Thabari dalam Tarikh Al-Umam wa al-Mulk, Dinasti ini berkuasa sejak tahun 132 H - 656 H, atau tahun 750 sampai 1258 Masehi. Kalangan Barat menilai masa Dinasti Abbasiyah ini sebagai ''The Most Brilliant Period'' atau masa paling cemerlang. Sedangkan Stephen Humphrey mengungkapkan kehadiran Abbasiyah ini merupakan titik balik paling menentukan dalam sejarah Islam.

Kecemerlangan Dinasti Abbasiyah telah menarik minat dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Drs Didin Saepudin MA untuk mengkajinya lebih jauh lewat disertasi berjudul 'Kejayaan Imperium Islam Kajian Sejarah Sosial, Politik, dan Intelektual di Masa Dinasti Abbasiyah'. Lewat karya itulah Didin, Rabu [27/10], mendapat gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam.

Munculnya Dinasti Abbasiyah, jelas Didin, diawali dari berbagai pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh keturunan Abbas, paman Nabi, yaitu Muhammad Ibn Ali, kemudian Ibrahim Ibn Muhammad sampai Abu Al-Abbas yang bergelar al-Saffah terhadap pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Akibat pemberontakan bertubi-tubi dan terorganisir itu, kata Didin, akhirnya terjadilah revolusi spektakuler menumbangkan Dinasti Bani Umayyah.

Walaupun Abu Al-Abbas Al-Saffah yang dikenal sebagai sebagai pendiri Abbasiyah, namun secara pembinaan sebenarnya yang melakukannya adalah Abu Ja'far Al-Mansur. Abu Al-Abbas hanya memerintah selama lima tahun pertama, yaitu 750 M sampai 754 M (132 H - 136 H). Sedangkan Abi Ja'far memerintah selama 21 tahun setelah Abu Al-Abbas (136 H - 158 H).

Takluknya Umayyah terhadap Abbasiyah menimbulkan karakteristik yang berbeda. Perbedaan mencolok terletak dari corak Arab yang dimasa Umayyah sangat dominan. Akibatnya timbul kaum non Arab yang disebut kaum mawali sebagai warga negara kelas dua. Sebaliknya di masa Abbasiyah, walaupun para penguasanya adalah orang Arab, namun corak Arab tidak lagi ditonjolkan. Dengan demikian, Abbasiyah telah mengubah corak khilafiyah dari Islam Arab ke Islam yang dipengaruhi unsur non Arab, terutama unsur Persia. Hal ini menyebabkan pengaruh kebudayaan Persia menonjol ketika masa Abbasiyah.

Perkembangan lain yang membedakan Umayyah dengan Abbasiyah berkaitan dengan bidang ilmu pengetahuan. Di masa Bani Umayyah, hal-hal yang berkaitan di bidang sains, filsafat dan ilmu lain bisa dikatakan sangat minim. Penyebabnya, kata Dosen UIKA Bogor, Jabar ini, dimungkinkan karena kebudayaan Arab yang dominan pada masa itu. ''Budaya Arab tampak bersahaja kurang suka menggeluti pola berpikir yang berat-berat,'' tuturnya.

Hal ini juga, lanjut Didin, dimungkinkan, karena kesibukan Bani Umayyah pada penaklukan-penaklukan wilayah ke dalam Islam, sehingga konsolidasi ke dalam tampaknya kurang berjalan. Akibatnya tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengisi pemerintah dengan ilmu-ilmu atau peradaban. Berbeda dengan masa Abbasiyah yang lebih berkonsentrasi membenahi pemerintahan. Karena memang masa penaklukan telah berhenti di masa Abbasiyah.

Konsolidasi pembenahan ke dalam, membuat masa Abbasiyah mencapai supremasi kehidupan di berbagai bidang, yaitu politik, militer, ekonomi, sains, sekaligus peradaban. Sehingga kejayaan islam mencapai puncaknya pada masa itu. Sebaliknya, kejayaan Bani Umayyah baru pada tahap kehidupan politik dan militer.

Pada masa Abbasiyah, kata Didin, karakter utama tatanan sosial politik sangat kosmopolitan. Hal ini terlihat jelas dalam peranan yang dimainkan oleh orang-orang Persia. Kelompok non Arab ini paling dominan diantara Arab lainnya. Makanya, tidak mengherankan setelah Abbasiyah terbentuk orang Persia merupakan lapisan paling banyak dalam birokrasi pemerintahan dan angkatan bersenjata Abbasiyah.

Saat itu, penyelenggaraan pemerintah diterapkan jabatan wazir atau perdana menteri, yang tidak pernah dikenal masa Umayyah. Bahkan, jabatan wazir dipegang oleh orang Persia bernama Khalid Ibn Barmak. Sedangkan kemiliteran selain bangsa Persia dan Arab, orang Turki pun ikut berperan.

Awalnya Dinasti Abbasiyah menempati Kufah sebagai ibukota dengan pusatnya di Istana Hasyimiah. Namun, papar Didin, saat itu Kufah merupakan basis Syi'ah dan pusat pemberontakan suku Arab pendukung Umayyah. Maka, selanjutnya mereka membangun Baghdad dan memindahkan pusat pemerintahan ke kota tersebut.

''Saat itu para tenaga ahli didatangkan untuk membangun kota Baghdad, seperti para arsitek, tukang batu, dan para pekerja tangan yang dibawa dari Syiria, Mosul, Basra, Kufah, dan Wasit,'' papar lulusan Program Pasca Sarjana IAIN Jakarta ini.

Pengadopsian tradisi politik Persia kemudian memunculkan karakter absolutisme. Salah satu wujudnya adalah penguasa dapat berbuat apa saja sesuai keinginannya tanpa ada pihak lain yang berani menegur atau meluruskan. Contoh yang paling jelas, kata Didin, di masa khalifah Abu Ja'far Al-Mansur yang meminta Abu Hanifah untuk menjadi qadi atau hakim. Tetapi ahli hukum Islam terkemuka itu menolaknya. Akibatnya, ia dihukum, disiksa dan dipenjarakan sampai wafat dalam penjara. Masa itu juga, terjadi pembunuhan tanpa alasan yang jelas terhadap dua orang yang berjasa dalam revolusi Abbasiyah, yaitu Abu Salamah Al-Khallal dan Abu Muslim Al-Khurasani.

Diduga, tegas Didin Saepudin, tradisi absolutisme politik Persia ini warisan dari tradisi Persia atau Byzantium yang diadopsi Persia pra Islam. Kaisar Byzantium dan Persia memiliki kekuasaan yang sangat luas, lengkap dengan segala kemegahan dan upacara kebesaran. Dengan cara ini, lanjutnya, para penguasa Byzantium dan Persia mempertahankan semacam jarak dengan warga mereka. Bahkan selanjutnya menimbulkan kekaguman dan ura mistis serta misteri terhadap kebesaran kaisar.

Sementara itu, hegemoni politik Dinasti Abbasiyah ditopang kuatnya basis militer. Pasukan militer Abbasiyah adalah pasukan terlatih, profesional, dan terorganisasi, ujar Didin. ''Yang menarik para khalifah Abbasiyah sendiri umumnya menjadi panglima militer. Seperti Al-Saffah, Al-Mansur, Al-Mahdi, al-Amin, dan Al-Ma'mun.''

Meskipun kekuasaan Abbasiyah sedemikian kuatnya, tidak berarti di wilayah lain tidak terdapat kekuasaan politik yang dianggap kuat. Saat itu ada juga kekuasaan tandingan, seperti Dinasti Bani Umayyah Spanyol, Kekaisaran Byzantium, kerajaan Frank di wilayah Barat, serta Dinasti Fatimiyah di wilayah Timur.

Selain alasan politis, dipindahkan ibukota Abbasiyah dari Kufah ke Baghdad juga ada alasan ekonomis. Ditinjau dari sudut ekonomi sangat strategis dan lebih menguntungkan. Kota ini dilalui sungai Tigris dan Eufrat. Barang-barang kecil diangkut dengan perahu kecil melalui kedua sungai ini. Juga, jalan-jalan darat yang nyaman memusat ke Baghdad dari semua jurusan.

Karena itulah, tegas pria kelahiran Bogor, 38 tahun lalu ini, muncul semacam satelit ekonomi yang ramai dengan berbagai komoditi yang diperjualbelikan. Menurut Al-Thabari, kota ini ramai dikunjungi para pedagang Cina dan India.

Di masa Dinasti Abbasiyah, jelas alumnus sastra UI, dunia kebudayaan dan ilmu pengetahuan ikut berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan dukungan kuat dari para khalifah, terutama Harun Al-Rasyid, dan Al-Ma'mun terhadap ilmu pengetahuan. ''Etos keilmuan Al-Ma'mun tidak dapat dilepaskan dari peranan Keluarga Barmak yang ditugaskan untuk mendidik khalifah dan keluarga istana,'' tegas Didin.

Sedangkan perkembangan intelektual dimulai dengan diterjemahkannya khazanah intelektual Yunani Klasik, seperti filsafat Aristoteles. Khalifah sendiri telah mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji para penterjemah dari golongan Kristen, kaum Sabi, bahkan para penyembah bintang. Untuk melengkapi kehausan terhadap cabang ilmu, kata Didin, Harun Al-Rasyid mendirikan perpustakaan yang diberi nama ''Bait Al-Hikmah''. Perpustakaan ini sekaligus berfungsi sebagai pusat penerjemah dan akademi. Cabang ilmu yang diutamakan dalam ''Bait Al-Hikmah'' adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika, optika, fisika, geografis, astronomi, dan sejarah.

Pada masa itu, cendikiawan Islam bukan saja menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, tapi juga menambahkan kedua ilmu tersebut dari hasil-hasil penelitian di lapangan. Sehingga masa Abbasiyah bermunculan ahli ilmu pengetahuan dan filosof islam. Filosof Islam yang terkenal antara lain Al-Ghazali, Al-Kindi, Ibn Bajah, Al-Farabi. Sedangkan filosof sekaligus dikenal sebagai dokter adalah Inb Sina, dan Al-Razi. Yang lebih menarik lagi, para ilmuan ini merumuskan metode-metode keilmuan dari masing-masing disiplin ilmunya. Seperti Ibn Sina dan Al-Kindi yang memiliki metode sendiri dalam merumuskan pemikiran filsafatnya.

Yang mengagumkan di masa Abbasiyah ini telah berkembang pula seni dan arsitektur. Dimana gedung-gedung megah, dan masjid yang besar berikut lukisan indah bertebaran di wiyaha tersebut.

Di saat Abbasiyah mengalami kejayaan, sebaliknya Eropa mengalami kemunduran. Abad XI, Eropa mulai menyadari kehadiran peradaban Islam yang tinggi di wilayah Timur. Melalui Spanyol, Sisilia dan Perang Salib, peradaban itu mulai dibawa ke Eropa. Sejak itulah Eropa mulai mengenai sains dan peradaban Islam. Mereka mulai mengenal rumah sakit, bahan makanan timur, bahan pakaian, dan peralatan rumah tangga.

Eropa juga mulai mengenal dunia ilmu pengetahuan. Sebenarnya melalui Islam-lah Eropa mengenalkan filsafat dan sains. Gustav Lebon pernah mengatakan bahwa ''orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban. Karena mereka adalah imam kita selama enam abad''. Orientalis dari Perancis Rom Landau mengakui bahwa dari orang Islam periode klasik inilah, orang Barat belajar berpikir obyektif dan logis, serta belajar lapang dada di saat Eropa diselubungi suasana pikiran sempit, tidak ada toleransi terhadap kaum minoritas, dan suasana penindasan terhadap pikiran mereka. Hal ini menjadi inspirasi bagi Renesans Eropa yang kemudian membawa pada kemajuan dan peradaban barat sekarang ini.

Sedemikian besar dan jayanya Dinasti Abbasiyah, jelas Didin, membuat dia layak mendapat gelar sebagai The golden Age dalam sejarah Islam.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999