Sederet kejayaan Islam telah merentang panjang di masa Dinasti
Abbasiyah. Menurut Al-Thabari dalam Tarikh Al-Umam wa al-Mulk, Dinasti
ini berkuasa sejak tahun 132 H - 656 H, atau tahun 750 sampai 1258
Masehi. Kalangan Barat menilai masa Dinasti Abbasiyah ini sebagai ''The
Most Brilliant Period'' atau masa paling cemerlang. Sedangkan Stephen
Humphrey mengungkapkan kehadiran Abbasiyah ini merupakan titik balik
paling menentukan dalam sejarah Islam.
Kecemerlangan Dinasti Abbasiyah telah menarik minat dosen IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Drs Didin Saepudin MA untuk mengkajinya lebih jauh
lewat disertasi berjudul 'Kejayaan Imperium Islam Kajian Sejarah Sosial,
Politik, dan Intelektual di Masa Dinasti Abbasiyah'. Lewat karya itulah
Didin, Rabu [27/10], mendapat gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam.
Munculnya Dinasti Abbasiyah, jelas Didin, diawali dari berbagai
pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh keturunan Abbas,
paman Nabi, yaitu Muhammad Ibn Ali, kemudian Ibrahim Ibn Muhammad sampai
Abu Al-Abbas yang bergelar al-Saffah terhadap pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah. Akibat pemberontakan bertubi-tubi dan terorganisir itu, kata
Didin, akhirnya terjadilah revolusi spektakuler menumbangkan Dinasti
Bani Umayyah.
Walaupun Abu Al-Abbas Al-Saffah yang dikenal sebagai sebagai pendiri
Abbasiyah, namun secara pembinaan sebenarnya yang melakukannya adalah
Abu Ja'far Al-Mansur. Abu Al-Abbas hanya memerintah selama lima tahun
pertama, yaitu 750 M sampai 754 M (132 H - 136 H). Sedangkan Abi Ja'far
memerintah selama 21 tahun setelah Abu Al-Abbas (136 H - 158 H).
Takluknya Umayyah terhadap Abbasiyah menimbulkan karakteristik yang
berbeda. Perbedaan mencolok terletak dari corak Arab yang dimasa Umayyah
sangat dominan. Akibatnya timbul kaum non Arab yang disebut kaum mawali
sebagai warga negara kelas dua. Sebaliknya di masa Abbasiyah, walaupun
para penguasanya adalah orang Arab, namun corak Arab tidak lagi
ditonjolkan. Dengan demikian, Abbasiyah telah mengubah corak khilafiyah
dari Islam Arab ke Islam yang dipengaruhi unsur non Arab, terutama unsur
Persia. Hal ini menyebabkan pengaruh kebudayaan Persia menonjol ketika
masa Abbasiyah.
Perkembangan lain yang membedakan Umayyah dengan Abbasiyah berkaitan
dengan bidang ilmu pengetahuan. Di masa Bani Umayyah, hal-hal yang
berkaitan di bidang sains, filsafat dan ilmu lain bisa dikatakan sangat
minim. Penyebabnya, kata Dosen UIKA Bogor, Jabar ini, dimungkinkan
karena kebudayaan Arab yang dominan pada masa itu. ''Budaya Arab tampak
bersahaja kurang suka menggeluti pola berpikir yang berat-berat,''
tuturnya.
Hal ini juga, lanjut Didin, dimungkinkan, karena kesibukan Bani
Umayyah pada penaklukan-penaklukan wilayah ke dalam Islam, sehingga
konsolidasi ke dalam tampaknya kurang berjalan. Akibatnya tidak memiliki
waktu yang cukup untuk mengisi pemerintah dengan ilmu-ilmu atau
peradaban. Berbeda dengan masa Abbasiyah yang lebih berkonsentrasi
membenahi pemerintahan. Karena memang masa penaklukan telah berhenti di
masa Abbasiyah.
Konsolidasi pembenahan ke dalam, membuat masa Abbasiyah mencapai
supremasi kehidupan di berbagai bidang, yaitu politik, militer, ekonomi,
sains, sekaligus peradaban. Sehingga kejayaan islam mencapai puncaknya
pada masa itu. Sebaliknya, kejayaan Bani Umayyah baru pada tahap
kehidupan politik dan militer.
Pada masa Abbasiyah, kata Didin, karakter utama tatanan sosial
politik sangat kosmopolitan. Hal ini terlihat jelas dalam peranan yang
dimainkan oleh orang-orang Persia. Kelompok non Arab ini paling dominan
diantara Arab lainnya. Makanya, tidak mengherankan setelah Abbasiyah
terbentuk orang Persia merupakan lapisan paling banyak dalam birokrasi
pemerintahan dan angkatan bersenjata Abbasiyah.
Saat itu, penyelenggaraan pemerintah diterapkan jabatan wazir atau
perdana menteri, yang tidak pernah dikenal masa Umayyah. Bahkan, jabatan
wazir dipegang oleh orang Persia bernama Khalid Ibn Barmak. Sedangkan
kemiliteran selain bangsa Persia dan Arab, orang Turki pun ikut
berperan.
Awalnya Dinasti Abbasiyah menempati Kufah sebagai ibukota dengan
pusatnya di Istana Hasyimiah. Namun, papar Didin, saat itu Kufah
merupakan basis Syi'ah dan pusat pemberontakan suku Arab pendukung
Umayyah. Maka, selanjutnya mereka membangun Baghdad dan memindahkan
pusat pemerintahan ke kota tersebut.
''Saat itu para tenaga ahli didatangkan untuk membangun kota Baghdad,
seperti para arsitek, tukang batu, dan para pekerja tangan yang dibawa
dari Syiria, Mosul, Basra, Kufah, dan Wasit,'' papar lulusan Program
Pasca Sarjana IAIN Jakarta ini.
Pengadopsian tradisi politik Persia kemudian memunculkan karakter
absolutisme. Salah satu wujudnya adalah penguasa dapat berbuat apa saja
sesuai keinginannya tanpa ada pihak lain yang berani menegur atau
meluruskan. Contoh yang paling jelas, kata Didin, di masa khalifah Abu
Ja'far Al-Mansur yang meminta Abu Hanifah untuk menjadi qadi atau hakim.
Tetapi ahli hukum Islam terkemuka itu menolaknya. Akibatnya, ia dihukum,
disiksa dan dipenjarakan sampai wafat dalam penjara. Masa itu juga,
terjadi pembunuhan tanpa alasan yang jelas terhadap dua orang yang
berjasa dalam revolusi Abbasiyah, yaitu Abu Salamah Al-Khallal dan Abu
Muslim Al-Khurasani.
Diduga, tegas Didin Saepudin, tradisi absolutisme politik Persia ini
warisan dari tradisi Persia atau Byzantium yang diadopsi Persia pra
Islam. Kaisar Byzantium dan Persia memiliki kekuasaan yang sangat luas,
lengkap dengan segala kemegahan dan upacara kebesaran. Dengan cara ini,
lanjutnya, para penguasa Byzantium dan Persia mempertahankan semacam
jarak dengan warga mereka. Bahkan selanjutnya menimbulkan kekaguman dan
ura mistis serta misteri terhadap kebesaran kaisar.
Sementara itu, hegemoni politik Dinasti Abbasiyah ditopang kuatnya
basis militer. Pasukan militer Abbasiyah adalah pasukan terlatih,
profesional, dan terorganisasi, ujar Didin. ''Yang menarik para khalifah
Abbasiyah sendiri umumnya menjadi panglima militer. Seperti Al-Saffah,
Al-Mansur, Al-Mahdi, al-Amin, dan Al-Ma'mun.''
Meskipun kekuasaan Abbasiyah sedemikian kuatnya, tidak berarti di
wilayah lain tidak terdapat kekuasaan politik yang dianggap kuat. Saat
itu ada juga kekuasaan tandingan, seperti Dinasti Bani Umayyah Spanyol,
Kekaisaran Byzantium, kerajaan Frank di wilayah Barat, serta Dinasti
Fatimiyah di wilayah Timur.
Selain alasan politis, dipindahkan ibukota Abbasiyah dari Kufah ke
Baghdad juga ada alasan ekonomis. Ditinjau dari sudut ekonomi sangat
strategis dan lebih menguntungkan. Kota ini dilalui sungai Tigris dan
Eufrat. Barang-barang kecil diangkut dengan perahu kecil melalui kedua
sungai ini. Juga, jalan-jalan darat yang nyaman memusat ke Baghdad dari
semua jurusan.
Karena itulah, tegas pria kelahiran Bogor, 38 tahun lalu ini, muncul
semacam satelit ekonomi yang ramai dengan berbagai komoditi yang
diperjualbelikan. Menurut Al-Thabari, kota ini ramai dikunjungi para
pedagang Cina dan India.
Di masa Dinasti Abbasiyah, jelas alumnus sastra UI, dunia kebudayaan
dan ilmu pengetahuan ikut berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan
dukungan kuat dari para khalifah, terutama Harun Al-Rasyid, dan
Al-Ma'mun terhadap ilmu pengetahuan. ''Etos keilmuan Al-Ma'mun tidak
dapat dilepaskan dari peranan Keluarga Barmak yang ditugaskan untuk
mendidik khalifah dan keluarga istana,'' tegas Didin.
Sedangkan perkembangan intelektual dimulai dengan diterjemahkannya
khazanah intelektual Yunani Klasik, seperti filsafat Aristoteles.
Khalifah sendiri telah mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji
para penterjemah dari golongan Kristen, kaum Sabi, bahkan para penyembah
bintang. Untuk melengkapi kehausan terhadap cabang ilmu, kata Didin,
Harun Al-Rasyid mendirikan perpustakaan yang diberi nama ''Bait
Al-Hikmah''. Perpustakaan ini sekaligus berfungsi sebagai pusat
penerjemah dan akademi. Cabang ilmu yang diutamakan dalam ''Bait
Al-Hikmah'' adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika, optika,
fisika, geografis, astronomi, dan sejarah.
Pada masa itu, cendikiawan Islam bukan saja menguasai ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani, tapi juga menambahkan kedua ilmu
tersebut dari hasil-hasil penelitian di lapangan. Sehingga masa
Abbasiyah bermunculan ahli ilmu pengetahuan dan filosof islam. Filosof
Islam yang terkenal antara lain Al-Ghazali, Al-Kindi, Ibn Bajah,
Al-Farabi. Sedangkan filosof sekaligus dikenal sebagai dokter adalah Inb
Sina, dan Al-Razi. Yang lebih menarik lagi, para ilmuan ini merumuskan
metode-metode keilmuan dari masing-masing disiplin ilmunya. Seperti Ibn
Sina dan Al-Kindi yang memiliki metode sendiri dalam merumuskan
pemikiran filsafatnya.
Yang mengagumkan di masa Abbasiyah ini telah berkembang pula seni dan
arsitektur. Dimana gedung-gedung megah, dan masjid yang besar berikut
lukisan indah bertebaran di wiyaha tersebut.
Di saat Abbasiyah mengalami kejayaan, sebaliknya Eropa mengalami
kemunduran. Abad XI, Eropa mulai menyadari kehadiran peradaban Islam
yang tinggi di wilayah Timur. Melalui Spanyol, Sisilia dan Perang Salib,
peradaban itu mulai dibawa ke Eropa. Sejak itulah Eropa mulai mengenai
sains dan peradaban Islam. Mereka mulai mengenal rumah sakit, bahan
makanan timur, bahan pakaian, dan peralatan rumah tangga.
Eropa juga mulai mengenal dunia ilmu pengetahuan. Sebenarnya melalui
Islam-lah Eropa mengenalkan filsafat dan sains. Gustav Lebon pernah
mengatakan bahwa ''orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai
peradaban. Karena mereka adalah imam kita selama enam abad''. Orientalis
dari Perancis Rom Landau mengakui bahwa dari orang Islam periode klasik
inilah, orang Barat belajar berpikir obyektif dan logis, serta belajar
lapang dada di saat Eropa diselubungi suasana pikiran sempit, tidak ada
toleransi terhadap kaum minoritas, dan suasana penindasan terhadap
pikiran mereka. Hal ini menjadi inspirasi bagi Renesans Eropa yang
kemudian membawa pada kemajuan dan peradaban barat sekarang ini.
Sedemikian besar dan jayanya Dinasti Abbasiyah, jelas Didin, membuat
dia layak mendapat gelar sebagai The golden Age dalam sejarah
Islam.