Ambon, 22 Agustus 1999
ikhwan@ambon.wasantara.net.id
MUJAHID - MUJAHID BELIA DI MEDAN JIHAD AMBON
Diantara pasukan jihad yang ada di Ambon, terdapat mujahid-mujahid belia
yang terpanggil dan turut mengambil bagian dalam jihad Ambon. Wajah mereka
tidak mengenal rasa takut. Saat remaja-remaja di lain tempat asik
menikmati pendidikan, mereka menikmati perjuangan di jalan Allah. Saat
remaja seusianya asik bertawuran, mereka berada di barisan depan melawan
kelompok pita merah. Dan saat belia-belia di kota besar meramaikan
plaza-plaza, mereka lantang berteriak takbir.
SYAMSUL PELU, Pemberani dari Jazarih Leihitu
Usianya masih sangat muda, 14 tahun. Lahir di desa Hitu Kecamatan Leihitu
Kabupaten Maluku Tengah. Jazirah yang banyak melahirkan pejuang-pejuang
pemberani. Jazirah inilah yang cukup ditakuti dan menjadi perbincangan
ramai di kalangan kelompok pita merah (kristen) saat kerusuhan Idul Fitri
Berdarah lalu. Tak heran bila ada blokade, jazarih ini yang pertama kali
kena sasaran.
Syam, begitu nama panggilannya, dilahirkan di Ambon tanggal 25 Agustus
1984. Menyelesaikan SD nya di SD Negeri 6 Ambon, dan SMP nya di SMP
Muhammadiyah Ambon. Belum sempat mengenyam pendidikan SMA, kerusuhan
meletus. Kakeknya dan sebagian besar keluarganya berasal dari Hitu.
Di kalangan masyarakat muslim kota Ambon, segala lapisan masyarakat
mengenal remaja ini. Di setiap tempat pertemuan antara pita merah dan
pita putih, dia selalu hadir dan berada di garis depan. Peralatan yang
dipakaipun cukup sederhana, sebilah parang panjang dan beberapa busur
anak panah dengan sebuah katapel. Bahkan di kalangan aparat keamanan yang
bertugas, remaja ini juga cukup dikenal.
Tercatat beberapa kali bentrokan, dia berada di barisan depan. Medan yang
telah dilalui adalah bentrokan di Perumnas Poka, Talake, Mardika, Poka,
Perempatan Sultan Babullah. Dia dijuluki panglima perang cilik.
Walaupun berada pada barisan yang paling depan, peluru aparat ataupun
senjata pita merah "alhamdulillah" belum satupun kena badannya.
Dia hanya "tersenyum dan berkata rahasia" saat saya bertanya telah berapa
banyak kelompok pita merah yang dilukai.
Keberaniannya yang membuat dia selalu ada di setiap bentrokan. Bahkan dia
juga sempat hadir dan mengacung-acungkan peralatan perangnya kepada pita
merah saat terjadi ketegangan di mardika pada sore ini.
"Saya tidak takut siapapun. Yang saya takuti hanya Allah. Kematian adalah
milik Allah. Kenapa harus takut..??" begitu jawaban tegas dari remaja yang
ukuran tubuhnya kecil dan agak kurus.
"Tidak ada kata damai dengan mereka (=pita merah=)" begitu jawabannya
ketika saya bertanya kemungkinan damai dengan pita merah.
Keinginannya untuk terus berjihad terlihat begitu besar. Wajahnya tidak
menampakkan kelelahan atau perasaan menyesal untuk turut dalam medan jihad
Ambon.
|