Bicara tentang kedudukan dan kemuliaan suatu hadits tak terlepas
dari pembicaraan mengenai kemuliaan Rasulullah Muhammad saw. Sebagai
seorang yang dipercaya oleh Allah SWT dalam menyampaikan wahyu-Nya,
tentu saja seorang Nabi adalah suci, dan terjaga dari perbuatan yang
tercela sebagaimana kebanyakan manusia biasa. Karena kemuliaan itu, maka
Nabi diberikan sifat Ishmah (kesucian lahir-batin dan keterjagaan
dari perbuatan dosa dan kesalahan). Sedemikian mulianya Nabi, hingga
Allah menetapkan sebagai penyampai wahyu-Nya dan segala perkataan,
perbuatan serta ketentuannya dijadikan sebagai hadits yang berfungsi
juga sebagai penjelas wahyu dan pedoman kedua setelah Alquran.
Tentu saja, akan menjadi masalah, manakala dijumpai beberapa hadits
yang dimuat dalam kumpulan hadits shohih Bukhari dan
Muslim ternyata bertentangan dengan logika kemuliaan dan
ke-ishmah-an Rasulullah saw. Dalam kepustakaan hadits.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
termasuk golongan hadits-hadits yang kualitasnya dapat
dipertanggungjawabkan atau dalam istilah ilmu hadits disebut
shahih.
Artikel ini mencoba membeberkan telaah kritis terhadap beberapa
''Hadits'' yang mengandung unsur pelecehan terhadap Hadits dan
keishmahan Rasulullah yang tercantum dalam kumpulan hadits
Bukhari-Muslim. Tulisan ''Hadits'' (berhuruf miring) penulis
gunakan untuk hadits yang diduga bertentangan tersebut dan menjadi inti
bahasan tulisan ini. Sedangkan tulisan Hadits (berhuruf tegak) untuk
menunjukkan hadits-hadits yang sesungguhnya.
Kesucian (Ishmah) Nabi saw
Ishmah secara etimologi berasal dari kata 'a-sha-ma
yang memiliki arti sama dengan ha-fi-dza yaitu menjaga.
Dalam khazanah ilmu kalam Ishmah adalah penjagaan Allah terhadap
hambanya akan perbuatan dosa atau kesalahan.
Ishmah diperlukan pada seorang Nabi lantaran Nabi memiliki tugas
utama sebagai penyampai instruksi/risalah Illahi kepada segenap umat
manusia. Baik yang beriman kepada-Nya maupun tidak. Sifat ini pun
menjaga keotentikan dan kemuliaan wahyu sehingga kabar yang disampaikan
dapat dipercaya. Lebih jauh dalam kitab Ushulul Aqidah Fin
Nubuah, Assayyid Mahdi Ash Shadr menguraikan Ishmah Nabi
sebagai berikut; Pertama, mustahil bagi Allah untuk mengutus
seorang Rasul guna menunjukkan yang hak dan mengajak manusia kepada yang
baik, sedangkan ia terkotori oleh dosa. Kedua, jika seorang Nabi
tidak memiliki Ishmah, maka boleh saja ia berdosa. Dan hal ini
mengakibatkan ketidakpercayaan manusia kepadanya. Ketiga, jika
seorang Nabi boleh berdosa, maka manusia wajib mengikutinya, atau tidak.
Jika diikuti maka berarti Allah memperbolehkan perbuatan dosa, dan jika
tidak diikuti maka keberadaan Rasul tidak berarti apa-apa. Maka kedua
hal itu mustahil. Keempat; jika Rasul boleh berdosa, maka tidak
lagi menjadi panutan yang baik. Hal ini bertolak belakang dengan peran
Rasul sebagai panutan ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT.
Demikian makna Ishmah Nabi yang menggambarkan betapa mulianya seorang
Rasul atau utusan Allah. Oleh karena itu apa pun berita, cerita atau
kabar tentang Nabi baik menyangkut perkataan, perbuatan, dan
ketentuannya yang berlawanan dengan arti ishmah, maka patut dikritisi
atau malah dicurigai keberadaan hadits itu.
Keotentikan Hadits
Keutuhan atau keotentikan sebuah hadits senantiasa dikaitkan dengan
Ashbadul Wurud (sebab-sebab turunnya) dan kajian kritis terhadap
sanad (referensi) para perawi-nya (yang meriwayatkan) dan
matan (isi/kandungan berita) hadits tersebut. Keberadaan hadits
dalam sejarahnya memang syarat dengan usaha-usaha seorang atau
sekelompok orang yang membenci Nabi atau bahkan menghasut manusia agar
tidak mempercayai kerasulan Nabi. Pelecehan, penghinaan bahkan
penghujatan terhadap Rasulullah tercatat dalam sejarah hidup Nabi.
Di lain pihak banyaknya orang Yahudi masuk Islam, juga mewarnai
kekelabuan hadits-hadits Nabi. Ka'ab ibnul Ahbar dan Abu
Hurairah, misalnya. Mereka adalah orang Yahudi yang saat masuk Islam
cukup disegani dan mempunyai tempat tersendiri di mata orang Arab saat
itu. Mereka menganggap pendapat tokoh-tokoh itu sangat patut didengar,
bahkan sebagian riwayat yang disampaikannya dianggap paling benar.
Waraqah bin Naufal, sebagai contoh lain. Seorang Yahudi yang
patut menjadi ukuran kualitas orang Yahudi lainnya dalam mempercayai
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Jasanya adalah dialah orang yang pertama
kali memberitahukan kepada Khadijah, bahwa suaminya yakni Muhammad
adalah seorang Nabiullah. Namun ternyata tidak semua sahabat Nabi
dari kalangan Yahudi benar-benar beriman. Mu'awiyah bin Abi
Sofyan, adalah salah seorang sahabat yang terkenal suka membeli
hadits dan mengeluarkan kata-kata yang diklaim sebagai hadits untuk
menutupi kesalahan yang dilakukannya.
Pakar dan peneliti hadits terkemuka dari Ainusy Syam
University-Cairo, Sayyidah Syamsul Kasyif, menyimpulkan
penelitian haditsnya. ''Sejak munculnya fitnah besar dalam sejarah Islam
dengan terbunuhnya Utsman, banyak sekali hadits-hadits yang
sengaja dicatat untuk kepentingan kelompoknya. Bani Umayyah
selalu mendengungkan hadits tentang keutamaan Utsman, Abbasiyyin
juga banyak meriwayatkan hadits untuk menguatkan kedudukan haknya dalam
memimpin umat Islam. Muhlab bin Abi Shafrah banyak menuliskan
hadits yang memojokkan orang-orang Khawarij. Orang-orang
Murjiah banyak menulis hadits dalam menguatkan pendapatnya,
sebagaimana para sufi juga mencatat hadits yang menguatkan
pemikiran sufinya...''
Yang perlu menjadi catatan penting dalam menilai sebuah hadits adalah
apakah hadits itu bertentangan dengan Alquran dan keishmahan
(kesucian dan kemuliaan) Rasulullah SAW atau tidak? ''Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) berada pada akhlak yang tinggi'' (QS
Al Qalam: 4). Ushwatu Hasanah adalah kesucian akhlak Nabi yang
bersifat lahir maupun batin.
Beberapa pelecehan Hadits 1. Nabi tidak punya malu
''Dari Aisyah istri Nabi saw, dan Utsman
berkata: suatu hari Abu Bakar minta izin kepada Rasul
untuk masuk, sedang Rasul berbaring di atas ranjangnya dengan memakai
kain Aisyah, kemudian Rasul mengizinkannya sedang beliau
dalam keadaan seperti itu. Setelah selesai hajatnya iapun pergi.
Berkata Utsman, kemudian meminta izin Umar,
Rasul-pun mengizinkannya sedangkan beliau masih dalam keadaan semula.
Setelah selesai hajatnya iapun pergi. Berkata Utsman,
kemudian aku meminta izin masuk. Kemudian Rasul duduk dan berkata
kepada Aisyah ''betulkan pakaianmu''. Setelah selesai
hajatku, akupun pergi. Kemudian Aisyah pun berkata ''Wahai
Rasulullah... aku tidak mengerti, aku tidak melihat engkau bergegas
(bangun) untuk Abu Bakar dan Umar RA.
Sebagaimana engkau bergegas untuk Utsman. Rasul SAW,
bersabda ''Utsman adalah laki-laki pemalu dan aku takut
jika dalam keadaan semula (berbaring ia tidak dapat menyampaikan
keperluannya kepadaku. (Shahih Muslim, Kitabul Fadhail, Bab Fadhaili
Utsman) Hadits ini dimuat dalam shahih Muslim bab keutamaan
Utsman bin Affan RA. Sekilas hadits ini menunjukkan sikap
egaliter Nabi pada para sahabatnya. Namun bila dikritisi, memunculkan
kesan pelecehan terhadap keishmahan Nabi dan merendahkan kewibawaan
serta rahasia hubungan intim suami istri. Apakah dengan membiarkan
keadaan yang ''seronok'' pada diri Nabi maupun Aisyah untuk
''diperlihatkan'' pada tamunya merupakan perbuatan layak bagi
seorang Nabiullah? Apakah cuma seorang Utsman baru kemudian
Nabi menghormati dirinya hingga dia dengan istrinya bergegas merapikan
pakaiannya. Apa beda dengan Abu Bakar dan Umar yang juga
sahabatnya? Apakah pantas bagi seorang istri Nabi membiarkan keadaan apa
adanya setelah melakukan aktivitas wajar sebagai suami istri pada orang
yang jelas bukan muhrimnya? Masya Allah... Hadits ini sangat
tidak layak dan bertentangan dengan nilai keishmahan Rasulullah saw.
Sebagian peneliti hadits menilai bahwa hadits ini lebih pantas
disandarkan pada kebiasaan seorang penguasa yang hidup dengan banyak
gundik cantik dan penuh kesombongan. Kebiasaan penguasa ini kemudian
seolah-olah dianggap hal biasa lantaran ada satu hadits yang
menggambarkan Rasul melakukan hal yang sama.
2. Nabi senang berjimak
''Telah diriwayatkan bahwa Mu'adz bin Hisyam
berkata, meriwayatkan kepadaku ayahku dari Qutadah
:bahwa Anas bin Malik berkata, ''Nabi mengelilingi para
istrinya dalam satu jam dari malam dan siang, sedang mereka (berjumlah)
sebelas orang. Berkata (Qatadah), aku bertanya kepada
Anas: ''Apakah beliau mampu untuk itu?'' Anas
menjawab, kami pernah membicarakan hal itu (dengan Nabi), sebenarnya
beliau telah diberi kekuatan tiga puluh kali (lebih dari kita)''.
(Shahih Bukhari, Kitab al Ghusul, Bab Idza Jama'a tsumma 'ada)
Nabi seorang yang sangat suka dengan kehidupan seks? Benarkah
kekuatan seksnya hingga digambarkan dengan sangat fantastis --satu jam
dalam sehari semalam-- Rasul menggauli sebelas istrinya? Padahal saat
Beliau relatif lebih muda yakni usia 25 tahun, Rasul menikahi seorang
konglomerat wanita Khadijah yang usianya sudah 40 tahun. Jika
benar apa yang dikatakan Anas bin Malik, seharusnya Nabi lebih
''perkasa'' di saat usia itu. Saat yang secara biologis seks
seorang laki-laki cukup tinggi.
Hadits ini pun menurut hemat penulis mengganggu keishmahan
Rasulullah. Pelajaran apa yang bisa diambil dari perilaku Nabi yang
sangat fantastis itu pada kehidupan kita secara wajar. Padahal lain,
banyaknya istri Nabi tidak bermaksud memberikan gambaran akan seks yang
tinggi pada Nabi, melainkan sikap kepedulian dan kepekaan sosial Nabi
pada janda-janda dan yatim para syuhada.
Mungkinkah Rasulullah menceritakan perilaku seksnya pada seseorang?
Bukankah Rasul melarang kita menceritakan kehidupan seks suami istri
pada orang lain?
3. Nabi mencaci dan melaknat orang tanpa sebab
''Bahwa Rasul saw bersabda; ''Allahumma, sesungguhnya aku manusia
biasa, maka siapa saja yang aku laknat dan aku caci maki, jadikanlah
itu, zakat dan upah''. (Shahih Bukhari, Kitab ad Da'awat, Bab Qaulun
Nabi Man Adzaitun).
Hadits ini memberi pengertian bahwa Rasul saw sama dengan manusia
biasa yang juga bisa marah dan murka. Padahal sifat marah dan murka
hanya ada pada manusia biasa dan itu merupakan sifat syaithoniah
yang ada pada diri manusia. Lebih jauh Rasul dianggap sangat mudah
kecewa dan marah pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Padahal fenomena di Thaif menggambarkan bahwa Rasul sangat sabar
melihat kondisi manusia yang justru dianggapnya tidak mengetahui akan
misinya sehingga mereka melakukan penganiayaan terhadap dirinya.
Selain bertolak belakang dengan ayat-ayat Alquran yang menjelaskan
keagungan Rasulullah, hadits ini juga kontradiksi dengan hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang sama (Muslim). Dalam satu riwayatnya, telah
dikatakan; ''Wahai Rasulullah... Doakan ke atas para musyrikin dengan
doa yang jelek. Rasul bersabda; ''Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai
pelaknat, tetapi sebagai pemberi rahmat bagi alam semesta''. ***
Demikian, menurut hemat penulis masih banyak hadits lainnya yang patut
kita kritisi bersama. Akhirnya melalui artikel ini penulis mengundang
komentar dan tanggapan para pembaca guna mencari titik persamaan paham.
Hanya Allah-lah tempat melimpahkan sesuatu yang tak dapat dimengerti.
Wallahu'a'lam bish-shawab. n Abdul Khoir HS (Dosen dan
Koordinator Kajian Islam Paradigma Unisma Bekasi)