A.
Suryana Sudrajat
Rezeki
sedikit yang bisa kamu syukuri lebih baik dibanding yang banyak tapi tidak bisa
kamu kuasai. Ada juga kisah dari Bertrand Russell.
“Celaka,
Tsa’labah. Celaka, Tsa’labah. Celaka, Tsa’labah.”
Setiba
di Madinah, kedua kurir itu langsung menghadap Rasulullah. Belum lagi mereka
menyampaikan laporan, Nabi s.a.w. sudah mendahuluinya dengan tiga ucapan
berulang-ulang itu.
Tsa’labah,
lengkapnya Tsa’labah ibn Hathib, dikenal rajin salat berjamaah dengan Nabi.
Hanya, begitu selesai salam, ia langsung cabut, tidak ikut wirid sebagaimana
yang lain. “Tsa’labah, mengapa kelakuanmu seperti orang munafik? Sehabis salam
tergesa-gesa keluar masjid?”
“Rasulullah,
saya ini miskin sekali,” jawab Tsa’labah. “Saya juga punya
istri.”
“Ada apa
dengan istrimu?”
“Dia
sedang menunggu, perlu ganti pakaian. Sesampai di rumah nanti pakaian ini saya
lepas, lalu dipakai istri saya buat salat. Hanya ini yang kami
punya.”
Lalu
suatu hari Tsa’labah mengunjungi Rasulullah. “Ya, Rasulallah,” katanya.
“Berdoalah kepada Allah agar saya dianugerahi harta.”
“Tsa’labah,”
jawab Nabi, “rezeki sedikit yang bisa kamu syukuri lebih baik dari yang banyak
tapi tidak bisa kamu kuasai.”
“Rasulallah,
please, doakan saya. Jika sukses,
saya akan melaksanakan hak yang semestinya.” Yang dimaksudkannya adalah zakat
dan seterusnya.
Apa
boleh buat. Di situ Nabi tidak hanya mendoakan. Malahan memberinya seekor
kambing betina. Dari situlah Tsa’labah mengembangkan usaha ternaknya--dan
sukses. Mantan orang miskin ini pun sibuklah, hingga tidak sempat lagi salat
berjamaah, kecuali zuhur dan asar. Subuh, magrib, dan isya, ia kerjakan di
tempat gembalaan yang cukup jauh yang memaksanya menginap. Ketika kambingnya
terus bertambah, ia sudah tidak pernah tampak di masjid, kecuali Jumat. Sampai
akhirnya jum’atan pun tidak ia
lakukan.
“Bagaimana
kabar Tsa’labah?” tanya Nabi suatu hari. “Sudah lama tidak
muncul.”
“Rasulullah
belum tahu, ya?” jawab sebagian sahabat.
“Kenapa?”
“Tsa’labah
ibn Hathib sekarang jadi peternak besar. Setiap lembah ditempati kambing
Tsa’labah. Sangat sibuk menggembala, jadi tidak sempat salat jamaah maupun
Jumat.”
“Celaka,
Tsa’labah. Celaka, Tsa’labah. Celaka, Tsa’labah.”
Toh Nabi
masih ingin mengingatkannya. Sebab, bukankah Tsa’labah sendiri sudah memberi
garansi jika ia berhasil? Beliau lalu mengutus dua sahabat, dari Bani Sulaim dan
Bani Juhainah, menemui Tsa’labah untuk menyampaikan peraturan mengenai usia
hewan-hewan yang digunakan untuk zakat dan tata cara pengambilannya.
Tsa’labah
membaca ketetapan itu. Tapi kemudian berkata kepada kedua utusan: “Ini ‘kan jizyah (pajak khusus). Sekarang kalian
kembali sajalah. Saya pikir-pikir dulu.”
“Celaka,
Tsa’labah. Celaka, Tsa’labah. Celaka, Tsa’labah.” Ini ucapan Rasulullah begitu
kedua utusan itu sampai kepada beliau. Sebaliknya, berita tentang reaksi Nabi
itu akhirnya sampai pula ke Tsa’labah. Ia langsung datang menemui beliau, dan
sekarang memohon agar Nabi sendiri yang menerima zakatnya. Apa jawab beliau?
“Allah Ta’ala sudah melarang aku menerima zakatmu.”
Tsa’labah
pulang dengan kecewa, seraya menaburkan debu di kepalanya. “Ini amal perbuatanmu
sendiri,” kata Nabi. “Aku sudah perintahkan kepadamu, tapi kamu tidak menaati.”
Firman Allah dalam Q. 9:75-76: “Dan di antara mereka ada yang sudah berikrar
kepada Allah, ‘Jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, kami akan
bersedekah dan menjadi orang yang saleh.’ Tetapi setelah Allah memberikan kepada
mereka sebagian karunia-Nya, mereka menjadi kikir serta
berpaling....”
Nasib,
dan di dalamnya ketamakan, sudah mengubah Tsa’labah dari seorang miskin yang
rajin beribadah menjadi seorang kaya yang bakhil. Jika moralitas setan yang satu
ini (konon manusia perpaduan yang ajaib antara malaikat dan setan), ditambah
dengan kedengkian, ujungnya mungkin akan seperti pada kisah berikut
ini:
Dulu, di
sebuah kota berukuran sedang, tinggal sejumlah tukang jagal, sejumlah pembakar
roti, dan lain-lain. Seorang di antara penjagal itu punya ambisi: jika seluruh
tukang jagal lain bisa dijatuhkan, ia akan memonopoli dunia perjagalan. Maka
dengan cara memainkan harga, dan kucuran modal, cita-citanya akhirnya terkabul.
Bersamaan dengan itu, seorang pembakar roti juga memendam hasrat sama. Juga
memperjuangkannya, dan juga berhasil. Nah, kedua pemenang itu berharap
memperoleh monopoli keuntungan. Celakanya, para tukang jagal yang hancur tidak
lagi mampu membeli roti, sementara para pembakar roti yang bernasib sama juga
tidak bisa membeli daging. Para pekerja mereka pun terpaksa dipecat, dan pergi.
Akibatnya, jumlah dagangan kedua pemegang monopoli itu jauh lebih kecil
dibanding masa sebelumnya.
Kedengkian,
kata Bertrand Russell, yang mengangkat cerita itu dalam esainya, “Ideas that Have Harmed Mankind"
(Gagasan-gagasan yang Mencelakakan Manusia), hanya memusatkan perhatian kepada
para saingan, sambil melupakan bahwa kemakmuran diri tergantung pada kemakmuran
bersama.
Ini
sebuah pikiran bandingan untuk para pengikut mazhab “keserakahan membawa
kemajuan”.