Suara Hidayatullah : Februari 2000/Syawal-Dzulqa'dah 1420  

Nigeria, Lanjutan Bentrok Islam-Kristen

Berbungkus pertikaian etnis dan kesenjangan

Ada beberapa indikasi penting bahwa persoalan seperti Bosnia-Herzegovina di Balkan dan Maluku di Indonesia, juga terjadi di beberapa wilayah Afrika. Di Mesir sehabis Ramadhan telah terjadi pembakaran terhadap beberapa gereja sebagai akumulasi kemarahan ummat Islam. Di Kenya, pihak gereja dan wakil ummat Islam sedang berebut kartu truf atas amandemen konstitusi negara. Sedangkan di Nigeria, kini hampir semua provinsi utara menuntut pemberlakuan syariat Islam setelah presidennya dijabat orang Kristen, Olusegun Obasanjo.

Nigeria merupakan salah satu titik perhatian yang paling perlu dijadikan bahan kajian. Olusegun Obasanjo terpilih menjadi presiden menggantikan serangkaian rezim militer yang rata-rata muslim. Repotnya, penguasa-penguasa itu kesemuanya korup, sampai tingkatan lebih parah ketimbang di Indonesia. Maka akhirnya pemilu demokratis Nigeria menggiring rakyat untuk tidak memilih tokoh militer, atau setidaknya yang didukung militer. Naiklah Obasanjo dengan hampir 60% suara, menggantikan Jenderal Sani Abacha yang pernah memenjarakannya.

Perolehan suara Obasanjo yang besar itu, tidak mungkin didapat tanpa dukungan ummat Islam. Rupanya, sejak lama Obasanjo merupakan aktivis Kristen yang relatif dekat dengan Islam, dan dimusuhi beberapa tokoh Kristen sendiri. Pada tahun 70-an, ia pernah memerintah setelah mendepak Jenderal Murtala Mohammed. Tapi ia tiga tahun kemudian ia menyerahkan kekuasaan lewat pemilu, yang dimenangkan oleh Shehu Saghari. Sejak saat itu ia telah mendapatkan dukungan dari muslim utara, sekalipun Obasanjo berasal dari suku Yoruba yang lebih dominan di selatan, utamanya di barat daya. Dukungan Islam yang kuat terhadapnya, rupanya juga disertai dengan konsesi-konsesi berupa kelonggaran yang tidak didapat pada pemerintahan sebelumnya.

Nigeria yang besar, sebelumnya terdiri dari beberapa kerajaan, dengan 250-an macam suku. Kawasan utara merupakan wilayah Islam, di bawah naungan Khilafah Sokoto yang pengaruhnya sampai ke Mali, Ghana, dan Niger. Pada 1903, Inggris mengalahkan Sokoto, setelah seabad berperang. Pemimpin tersingkir, Sultan Attahiru, menyelamatkan diri ke Hijaz, di Saudi. Pada saat itulah, syariat Islam yang berlaku sebagai hukum positif digantikan dengan `Penal Code of Nigeria'. Tetapi tuntutan untuk pemberlakuan hukum syariat tetap saja keras, bahkan diikuti oleh kawasan selatan, di wilayah yang dihuni muslim Yoruba.

Jauh sebelum Attahiru, seorang pemuka Nigeria telah diakui sebagai salah satu pemimpin terbesar Afrika, yakni Khalifah Muhammad Bello. Bello terpilih setelah ayahnya wafat, Mujaddid Syaikh Usman ibn Fodio yang biasa dipanggil Danfodio. Ia benar-benar mengikuti sunnah Nabi dalam memerintah. Bello tidak mau menerima gaji dari jabatannya, sekalipun selama 20 tahun ia menguasai wilayah yang sangat kaya sumber alam. Perhatiannya habis untuk mempertahankan wilayah dan perlawanan terhadap Inggris. Perjuangan menentang penjajah dikobarkannya sejak 1808.

Bello adalah seorang terpelajar. Di zamannya yang masih serba sulit, ia telah menuliskan 100 judul bahasan, yang meliputi bidang hukum, politik, obat-obatan, juga sejarah dan fikih. Ia menentukan bagaiman zakat mesti dikelola, baitul-maal dijalankan, pasar dikembangkan, juga bagaimana menghapuskan praktek riba. Prioritas Bello adalah pada `jihad, perdagangan, pertanian, dan kegiatan ekonomi'.

Segala macam aturan yang baku itu kemudian berubah total setelah Inggris menggantinya seabad kemudian. Maka wajar bila pertentangan tetap muncul hingga kini. Ummat Islam merasa dipaksa oleh pihak luar, dan melakukan kompromi bukan atas kemauan sendiri. Maka setelah kesempatan datang, mereka memutuskan untuk kembali ke syariat Islam.

Zamfara memulai praktek penggunaan kembali syariat itu pada Januari 2000, setelah mengumumkannya pada Oktober tahun lalu. Pengumuman itu langsung menular sehingga provinsi tetangganya menyatakan ingin ikut, seperti Kano, Sokoto, Yobe, Gombe, dan Katsina. Akibatnya, Obasanjo mendapatkan hujan kritik dari kolega Kristennya.

Keputusan kawasan utara itu juga didorong oleh kenyataan bahwa negeri itu kebingungan menyelesaikan pertentangan antar etnis maupun agama. Selama tahun 1999, lebih 500 orang tewas oleh kerusuhan. Sebaik-baik Obasanjo, tetap saja membawa sentimen agamanya sehingga ummat Islam merasa perlu mengambil langkah lebih tegas.

Pertengahan Desember, di kota Ilorin, provinsi Kwara, ada 18 gereja diduduki dan dirusak. Pemimpin Sokoto saat ini, Sultan Mohammed Maccido, sampai harus berkeliling kota untuk mengingatkan warganya, bahwa cara itu sama sekali bertentangan dengan Islam. Maccido sempat mengendarai mobil terbuka bersama dengan pemimpin Asosiasi Kristen Nigeria (CAN) Reverend Sunday Mbang. Kejadian itu dilatarbelakangi penolakan kelompok Kristen terhadap pengenalan hukum syariah di Kwara. Ilorin memang berada di tengah, di antara kawasan utara yang muslim dan selatan yang abangan.

'Perang' Lama

Islam adalah yang paling dominan di Nigeria. Tetapi Kristen menjadi kelompok terkuat kedua, disusul kelompok paganis. Persaingan Islam-Kristen muncul sejak Nigeria terlepas dari cengkeraman penjajah. Kompromi yang didapat saat itu, Nigeria memisahkan urusan agama dengan negara. Itu pula yang tetap diteriakkan Presiden Obasanjo untuk mengingatkan warganya saat ini.

Kejadian seperti di Ilorin siap terulang di banyak kota lain, utamanya yang dominan Kristen seperti Kaduna, atau yang berimbang seperti di kawasan Yoruba di barat daya. Satu hal yang sangat merugikan ummat Islam adalah, pers Nigeria didominasi kelompok Kristen. Koran-koran utama, yang terbit di Lagos dan Ibadan, adalah milik pengusaha Kristen. Akibatnya, pertikaian yang terjadi, terkesan semuanya merupakan kesalahan dan aksi brutal ummat Islam. Hal ini mirip yang terjadi di Maluku.

Sejak awal kemerdekaan, para penguasa Nigeria kebanyakan berasal dari utara. Tetapi mereka berada pada tekanan dua pihak yang sama-sama kuat. Sampai-sampai, ketika Presiden Ibrahim Babangida mengumumkan keanggotaan Nigeria di dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 1986, ia diprotes keras oleh golongan Kristen. Keanggotaan itu sampai kini menjadi tidak jelas lagi, karena tidak ada pemimpin yang menindaklanjuti.

Momen pemilihan terhadap syariat juga menjadi bahan protes kelompok Kristen. “Mengapa baru sekarang? Dulu, penguasanya Islam, mereka diam saja. Kini setelah presidennya Kristen, baru berulah,” kata Chris Abashiya, seorang pemimpin CAN. Menurut Chris, langkah kelompok utara itu hanya menggiring ke arah chaos saja, dan sengaja mencari masalah.

Bila hubungan Islam dan Kristen di Indonesia sedang memanas, hal serupa terjadi di Nigeria. Di tempat lain yang keadaannya mirip, niscaya akan menyusul, karena ada kepentingan lebih besar yang menginginkan konflik agama ini kembali hangat seperti dulu. Kawasan yang paling mudah tersulut adalah bila kaum muslimin mayoritas tapi terbelakang, berhadapan dengan kaum Kristen yang mendominasi.