|
|
|
|
TELAAH
UTAMA
|

|
|
Natal, antara
Ritual dan
Seremonial
Batas antara ritual dan seremonial sangat
tipis, kalau tidak boleh dibilang tak ada. Dr. Salim Segaf
Al-Jufri menganggap acara seremonial sebagai cover ritual.
Dua-duanya haram. “Haram! Haram!” seru Habib
Rizieq.
|
Percaya atau tidak,
cukup banyak orang yang bingung menyikapi Natal atau
Natalan bersama. Tak hanya masyarakat kebanyakan, kebingungan
ini pun melanda para selebriti. Pengetahuan dan pemahaman yang
dangkal, menyebabkan mereka dengan seenaknya menabrak wilayah
aqidah, mengikuti acara Natalan atau mengucapkan ‘selamat
Natal’ dengan
entengnya.
“Terus terang saya masih bingung bila harus mengucapkan
selamat Natal. Bagi saya secara akal sebenarnya tak masalah.
Pokoknya asal kita tak merugikan mereka saja,” kata seorang
selebritis. Nah, bingung
kan? Padahal
dalam Islam, hukum ikut Natalan sudah jelas. Tak hanya dalam
kebaktian atau misa, pokoknya kegiatan yang berbau Natal tak
dibenarkan untuk diikuti. “Haram! Haram!” kata Habib Rizieq
Syihab, Ketua
FPI. Jadi, kalau
anggota DPRD DKI, Maringan Pangaribuan (PDIP), mengajak
Gubernur Sutiyoso untuk Natalan bersama, menurut Habib Rizieq,
itu lantaran selama ini kita ragu untuk menegaskan pada
mereka, bahwa kaum muslimin dilarang mengikuti acara Natal.
Yang jadi masalah lagi, sebagian kaum muslimin juga suka
latah, ikut-ikutan kegiatan natal. Kenapa? Karena, “Ada
beberapa orang yang ditokohkan atau diustadzkan, menganggap
kecil dan remeh masalah ini, bahkan membolehkan umat Islam
untuk menyelenggarakan natalan. Ini yang jadi problem,” ungkap
Habib Rizieq
lagi. Dalam
kaitannya dengan urusan meremehkan masalah ini, di antaranya
adalah dengan memunculkan istilah ritual dan seremonial. Satu
kalangan berpendapat, dilarang menghadiri ritual natal, tapi
membolehkan acara seremonialnya. Bahkan, katanya, boleh-boleh
saja mengucapkan ‘selamat natal’. Nah, lho. Kalangan lainnya
beranggapan, baik seremonial maupun ritualnya, tetap saja
dilarang, termasuk mengucapkan ‘Selamat Natal’nya.
Pendapat
pertama diwakili oleh pejabat-pejabat Departemen Agama
(Depag). Pendapat kedua, tercermin dari Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), yang resmi dikeluarkan sejak Maret 1981, saat
Buya Hamka masih menjabat Ketua Umum MUI. Toh di antara
pengurus MUI sendiri sampai saat ini masih ada yang ngambang,
tidak bisa tegas seperti isi fatwanya. Kalangan yang tak
membedakan antara upacara ritual dengan seremonial ini,
termasuk para ulama dan aktivis Islam yang sejak dulu
konsisten dan keras penolakannya terhadap natalan
bersama. Bahwa
Depag agak cair, itu bisa dilihat dari Surat Edarannya
bertanggal 2 September 1981, beberapa bulan setelah keluarnya
Fatwa Haram Natal Bersama dari MUI. Orang pun bisa saja
beranggapan, bahwa keluarnya Surat Edaran Menteri Agama, waktu
itu, lebih merupakan counter terhadap Fatwa MUI, yang
menyebabkan lengsernya Prof. Dr. Buya Hamka dari MUI. Bukan
hanya itu, bahkan menurut sumber SABILI di MUI, keluarnya
Fatwa tersebut berdampak pada Drs. H. Mas’udi, Sekretaris MUI.
Gara-gara turut menandatangani Fatwa tersebut, ia pun dipecat
dari jabatannya di Departemen Agama, yang saat itu di bawah
kendali Alamsyah Ratuperwiranegara.
Jadi, kata H.
Amidhan, Ketua MUI, kalau mau berpegang pada MUI, baik yang
ritual atau pun seremonial, jelas haramnya. “Tapi kalau mau
berpegang pada Depag, antara seremonial dengan kebaktian
(ritual), itu dibedakan,” ungkapnya. “Kalau ada Fatwa seperti
itu, kami juga nggak memaksa. Jangan sampai ada
benturan-benturan yang kita inginkan. Tapi memang acara natal
kita nanti, itu perayaannya saja,” tandas J.T. Sukotjoatmojo,
Dirjen Bimas Katolik
Depag. Kini
muncul interpretasi, mana yang seremonial dan mana pula yang
ritual. Batas antara keduanya sangat tipis, kalau tidak boleh
dibilang tak ada. “Kalau menyanyikan lagu kebaktian, jelas
ibadat. Tapi kalau menyalakan lilin, ada yang beranggapan, itu
seremonial. Karena dianggap seremonial, ada saja pejabat yang
mau diminta menyalakan lilin itu,” tutur Amidhan. “Saya dulu
pernah melihat seorang pejabat, saya tidak perlu menyebutkan
namanya, kok bersedia, ikut menyalakan lilin. Menurut saya,
itu tidak seremonial, itu juga ibadat,”
tegasnya. Apa
tanggapan Depag? “Kita hanya menghadiri dalam arti menghormati
dan memenuhi undangan sebagai umat yang berdampingan, tetapi
kita tidak mengikuti acara-acara ritualnya,” ujar Menteri
Agama, Tolchah Hasan, pada SABILI. “Saya sendiri tak pernah
mengikuti kegiatan ritual agama lain,”
katanya. Toh Dr.
Salim Segaf Al-Jufri menganggap, makna ritual dan seremonial
itu telah dikaburkan. “Mungkin covernya perayaan, tapi bisa
saja substansinya ritual,” ujar Staf Pengajar IAIN Jakarta
ini. “Bisa saja dicover dengan cover yang beraneka nama, tapi
yang kita permasalahkan adalah substansi dari acaranya, yang
memang bernuansa ritual. Itu yang mesti kita sikapi,”
tuturnya.
Salim benar. Sulit dibantah, bahwa perayaan (seremonial) natal
selama ini lebih merupakan pengakuan akan eksistensi kebenaran
Kristiani, yang percaya Yesus sebagai tuhan, yang kelahirannya
bertanggal 25 Desember — satu hal yang di kalangan Kristen
sendiri masih jadi kontroversi. Benarkah Yesus lahir tanggal
25 Desember? Meragukan, memang, kalau tak boleh dibilang
bullshit. Nah,
dengan visi dan keyakinan yang bertentangan dengan Islam itu,
adalah tak logis, jika ada di antara kaum muslimin yang hadir,
baik di acara seremonial atau pun — apalagi — ritual Natal.
Termasuk mengucapkan ‘Selamat Natal’nya, yang berarti sebagai
tanda pengakuan akan ketuhanan Yesus dan eksistensi
natal. Kalau di
antara kaum muslimin, umumnya pejabat dan kaum selebritis,
masih juga bebal: berkiprah dalam natal dengan menghadirinya —
baik ritual maupun seremonial — seyogyanya taubat dengan
sebenar-benar taubat. Sekarang, mumpung pada belum natalan,
pejabat dan kaum selebritis yang biasa hadir dalam acara-acara
Natal, lebih baik berpikir dua kali, kemudian mengurungkan
niatnya untuk hadir. Apa susahnya? n
M.U. Salman Laporan: Eman, Mia,
Wasilah Foto:
ISTIMEWA
|
HAK CIPTA ©
PT. BINA MEDIA SABILI
1999 JL.
Cipinang Cempedak II/16 Polonia, Jakarta Timur 13340 INDONESIA
Design by :
CYBERNEWS
SABILI
| |
|