WB01042_.GIF (955 bytes) TELAAH UTAMA


Telut14-1.jpg (11144 bytes)


Natal, antara Ritual
dan Seremonial


Batas antara ritual dan seremonial sangat tipis, kalau tidak boleh dibilang tak ada. Dr. Salim Segaf Al-Jufri menganggap acara seremonial sebagai cover ritual. Dua-duanya haram. “Haram! Haram!” seru Habib Rizieq.

Percaya atau tidak, cukup  banyak orang yang bingung menyikapi Natal atau Natalan bersama. Tak hanya masyarakat kebanyakan, kebingungan ini pun melanda para selebriti. Pengetahuan dan pemahaman yang dangkal, menyebabkan mereka dengan seenaknya menabrak wilayah aqidah, mengikuti acara Natalan atau mengucapkan ‘selamat Natal’ dengan entengnya.
        “Terus terang saya masih bingung bila harus mengucapkan selamat Natal. Bagi saya secara akal sebenarnya tak masalah. Pokoknya asal kita tak merugikan mereka saja,” kata seorang selebritis. Nah, bingung kan?
        Padahal dalam Islam, hukum ikut Natalan sudah jelas. Tak hanya dalam kebaktian atau misa, pokoknya kegiatan yang berbau Natal tak dibenarkan untuk diikuti. “Haram! Haram!” kata Habib Rizieq Syihab, Ketua FPI.
        Jadi, kalau anggota DPRD DKI, Maringan Pangaribuan (PDIP), mengajak Gubernur Sutiyoso untuk Natalan bersama, menurut Habib Rizieq, itu lantaran selama ini kita ragu untuk menegaskan pada mereka, bahwa kaum muslimin dilarang mengikuti acara Natal. Yang jadi masalah lagi, sebagian kaum muslimin juga suka latah, ikut-ikutan kegiatan natal. Kenapa? Karena, “Ada beberapa orang yang ditokohkan atau diustadzkan, menganggap kecil dan remeh masalah ini, bahkan membolehkan umat Islam untuk menyelenggarakan natalan. Ini yang jadi problem,” ungkap Habib Rizieq lagi.
        Dalam kaitannya dengan urusan meremehkan masalah ini, di antaranya adalah dengan memunculkan istilah ritual dan seremonial. Satu kalangan berpendapat, dilarang menghadiri ritual natal, tapi membolehkan acara seremonialnya. Bahkan, katanya, boleh-boleh saja mengucapkan ‘selamat natal’. Nah, lho. Kalangan lainnya beranggapan, baik seremonial maupun ritualnya, tetap saja dilarang, termasuk mengucapkan ‘Selamat Natal’nya.
        Pendapat pertama diwakili oleh pejabat-pejabat Departemen Agama (Depag). Pendapat kedua, tercermin dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang resmi dikeluarkan sejak Maret 1981, saat Buya Hamka masih menjabat Ketua Umum MUI. Toh di antara pengurus MUI sendiri sampai saat ini masih ada yang ngambang, tidak bisa tegas seperti isi fatwanya. Kalangan yang tak membedakan antara upacara ritual dengan seremonial ini, termasuk para ulama dan aktivis Islam yang sejak dulu konsisten dan keras penolakannya terhadap natalan bersama.
        Bahwa Depag agak cair, itu bisa dilihat dari Surat Edarannya bertanggal 2 September 1981, beberapa bulan setelah keluarnya Fatwa Haram Natal Bersama dari MUI. Orang pun bisa saja beranggapan, bahwa keluarnya Surat Edaran Menteri Agama, waktu itu, lebih merupakan counter terhadap Fatwa MUI, yang menyebabkan lengsernya Prof. Dr. Buya Hamka dari MUI. Bukan hanya itu, bahkan menurut sumber SABILI di MUI, keluarnya Fatwa tersebut berdampak pada Drs. H. Mas’udi, Sekretaris MUI. Gara-gara turut menandatangani Fatwa tersebut, ia pun dipecat dari jabatannya di Departemen Agama, yang saat itu di bawah kendali Alamsyah Ratuperwiranegara.
        Jadi, kata H. Amidhan, Ketua MUI, kalau mau berpegang pada MUI, baik yang ritual atau pun seremonial, jelas haramnya. “Tapi kalau mau berpegang pada Depag, antara seremonial dengan kebaktian (ritual), itu dibedakan,” ungkapnya. “Kalau ada Fatwa seperti itu, kami juga nggak memaksa. Jangan sampai ada benturan-benturan yang kita inginkan. Tapi memang acara natal kita nanti, itu perayaannya saja,” tandas J.T. Sukotjoatmojo, Dirjen Bimas Katolik Depag.
        Kini muncul interpretasi, mana yang seremonial dan mana pula yang ritual. Batas antara keduanya sangat tipis, kalau tidak boleh dibilang tak ada. “Kalau menyanyikan lagu kebaktian, jelas ibadat. Tapi kalau menyalakan lilin, ada yang beranggapan, itu seremonial. Karena dianggap seremonial, ada saja pejabat yang mau diminta menyalakan lilin itu,” tutur Amidhan. “Saya dulu pernah melihat seorang pejabat, saya tidak perlu menyebutkan namanya, kok bersedia, ikut menyalakan lilin. Menurut saya, itu tidak seremonial, itu juga ibadat,” tegasnya.
        Apa tanggapan Depag? “Kita hanya menghadiri dalam arti menghormati dan memenuhi undangan sebagai umat yang berdampingan, tetapi kita tidak mengikuti acara-acara ritualnya,” ujar Menteri Agama, Tolchah Hasan, pada SABILI. “Saya sendiri tak pernah mengikuti kegiatan ritual agama lain,” katanya.
        Toh Dr. Salim Segaf Al-Jufri menganggap, makna ritual dan seremonial itu telah dikaburkan. “Mungkin covernya perayaan, tapi bisa saja substansinya ritual,” ujar Staf Pengajar IAIN Jakarta ini. “Bisa saja dicover dengan cover yang beraneka nama, tapi yang kita permasalahkan adalah substansi dari acaranya, yang memang bernuansa ritual. Itu yang mesti kita sikapi,” tuturnya.
         Salim benar. Sulit dibantah, bahwa perayaan (seremonial) natal selama ini lebih merupakan pengakuan akan eksistensi kebenaran Kristiani, yang percaya Yesus sebagai tuhan, yang kelahirannya bertanggal 25 Desember — satu hal yang di kalangan Kristen sendiri masih jadi kontroversi. Benarkah Yesus lahir tanggal 25 Desember? Meragukan, memang, kalau tak boleh dibilang bullshit.
        Nah, dengan visi dan keyakinan yang bertentangan dengan Islam itu, adalah tak logis, jika ada di antara kaum muslimin yang hadir, baik di acara seremonial atau pun — apalagi — ritual Natal. Termasuk mengucapkan ‘Selamat Natal’nya, yang berarti sebagai tanda pengakuan akan ketuhanan Yesus dan eksistensi natal.
        Kalau di antara kaum muslimin, umumnya pejabat dan kaum selebritis, masih juga bebal: berkiprah dalam natal dengan menghadirinya — baik ritual maupun seremonial — seyogyanya taubat dengan sebenar-benar taubat. Sekarang, mumpung pada belum natalan, pejabat dan kaum selebritis yang biasa hadir dalam acara-acara Natal, lebih baik berpikir dua kali, kemudian mengurungkan niatnya untuk hadir. Apa susahnya?
n


M.U. Salman
Laporan: Eman, Mia, Wasilah

Foto: ISTIMEWA


HAK CIPTA © PT. BINA MEDIA SABILI 1999
JL. Cipinang Cempedak II/16 Polonia, Jakarta Timur 13340 INDONESIA
Design by : CYBERNEWS SABILI