Suara Hidayatullah : April 2000/Dzulhijjah-Muharram 1421 | ||
Newcastle Di kota yang indah ini, bukan hanya ada Alan Shearer striker andalan Newcastle United. Tapi juga ada Didier Domi, back tangguh yang rajin ke masjid. Kampanye Peduli Maluku pun diadakan di Newcastle. Sebuah catatan dari Wisnu Pramudya, salah seorang redaktur Sahid, setelah kunjungan dua hari di kota ini. Segila-gilanya orang Newcastle pada sepakbola, ternyata sebagian Muslimnya masih tersengat oleh berita tentang penderitaan saudara-saudaranya di Maluku. Buktinya, yang menggagas acara Indonesian Day bertema 'What's going on in Indonesia?' akhir bulan Februari lalu malah bukan orang Indonesia. Melainkan para aktivis dari berbagai negara yang tergabung dalam tiga organisasi, Asosiasi Muslim Britania (MAB), Masyarakat Asia, dan Masyarakat Islam Universitas Newcastle-upon-Tyne. Mereka adalah brothers (saudara-saudara) dari Aljazair, Pakistan, Libya, Kuwait, Yordania, dan lain-lain. Selain ceramah, acara itu juga diikuti dengan pemutaran CD-ROM Ambon Menangis yang ditutup dengan lelang amal dan pengumpulan dana. Dari acara sehari itu, kabarnya terkumpul dana hampir seribu poundsterling (coba kalikan 7 ribu rupiah). “Kami sendiri heran, kok besar sekali perhatian mereka,” kata Arisman Adnan, mahasiswa S-3 asal Riau yang juga jadi panitia. Keheranan Arisman yang bendahara di masjid kampusnya itu sebenarnya lumrah. Soalnya selama ini tragedi Maluku banyak tertutupi berita-berita dari Chechnya dan Kosovo. Bahkan banyak berita bias berkembang di media massa Inggris, seakan-akan ummat Islam Indonesia-lah yang menindas rakyat Kristen di Maluku. Baru sesudah meledak pembantaian Tobelo-Galela yang menewaskan 800 Muslimin dalam satu malam di bulan Ramadhan, berita tentang Maluku menghangat lagi. Begitu kejadian itu tersiar, Keluarga Islam Britania dan Sekitarnya (KIBAR), sebuah paguyuban masyarakat yang sangat aktif dan disegani, mengeluarkan pernyataan keprihatinan atas Ramadhan berdarah itu. Isinya di antaranya mendesak pemerintah RI bertindak tegas dan adil untuk menyelesaikan konflik yang sudah berjalan selama setahun itu. Dilampiri pamflet berita kejadian dan latar belakangnya, pernyataan itu dikirim ke berbagai lembaga dalam dan luar negeri. Kabarnya, pihak KBRI di London agak kurang berkenan dengan isinya. “Tapi, ya itu hak mereka lah,” akhirnya Duta Besar Nana Sutresna bilang begitu, menurut sebuah sumber di London. Penggalangan dana pun dilakukan secara intensif di berbagai tempat. Newcastle selalu jadi kota yang paling banyak mengumpulkan dana untuk Maluku. Tentu saja, seperti juga KBRI, tidak semua orang Indonesia setuju dengan kegiatan ini. “Kalau di kalangan kita saja boleh lah, kalau disiarkan kemana-mana sama saja membuka aib sendiri,” kata mereka yang menolak usaha-usaha ini. “Jangan menyelesaikan persoalan Ambon dengan fanatisme sempit,” kata yang lain. Bahkan di sebuah masjid di Southampton, kota pelabuhan di selatan Inggris --tempat berangkatnya mendiang kapal Titanic-- sebuah pamflet tentang Maluku yang ditempel seorang kawan di papan pengumuman, dicopot oleh kawan Indonesia yang lain. Saya menceritakan reaksi semacam itu kepada seorang rekan di Jakarta. Ia lalu berkata, “Apa mereka bereaksi begitu juga, waktu Romo Sandyawan terbang kemana-mana menyebarkan cerita perkosaan massal Mei 1998? Padahal waktu itu tak seorang pun wartawan menemukan korban sebanyak yang disebut-sebut?” Alhamdulillah, keprihatinan itu tetap menggelinding. Tampaknya kawan-kawan mau bekerja terus saja, tak mau terpancing untuk berpolemik. Bahkan kabarnya, mereka telah bertekad untuk terus berkampanye di kawasan Inggris dan Eropa dalam sebuah jaringan yang lebih rapi. Kalau Romo Sandyawan saja gagah berani. “Masak Muslim yang jelas-jelas dibantai dan terpaksa melawan, mengungsi, nggak kita sebarluaskan,” kata Sony Suhandono, mahasiswa S-3 lainnya. Macan boleh mengaum, pemburu tetap berlalu. Itulah semangat kawan-kawan di Newcastle. Seperti pemburu yang tetap berlalu, malam seusai acara Indonesian Day yang melegakan itu, kami pun harus berlalu di tengah kota yang sedang heboh. Rupanya, saat sorenya acara Peduli Maluku sedang berlangsung di Auditorium Herschel di dalam kampus, tak jauh dari situ ada big match. Kesebelasan sepakbola 'Setan Merah' Manchester United dicukur habis 3-0 oleh tim kesayangan warga setempat, Newcastle United (NU). Tepatnya di stadion St James Park yang bersebelahan dengan kampus Universitas Newcastle-upon-Tyne. Nggak di Surabaya, nggak di Newcastle, yang namanya bonek kerjanya bikin ribut. Tak peduli tim kesayangan kalah atau menang. Malam itu jalan-jalan di pusat kota diramaikan hooligans (bonek Inggris) yang hilir mudik tak tentu arah. Berjalan bergerombol, berteriak-teriak, berjoget-joget sambil mabuk. Di bagian lain ada yang membanting-banting tong sampah di pinggir jalan. Ada juga yang memukul-mukul tiang lampu. Jangankan pendatang seperti Sony dan kawan-kawan, sesama orang kulit putih pun menyingkir bila bertemu mereka. Tapi urusan yang berbau bola tidak sejelek kelakuan suporternya. Misalnya tentang Didier Domi, back kiri andalan NU yang muda, ganteng, dan rajin ke masjid! Iya, dia seorang Muslim asal Prancis. Menurut Fitto Alamsyah, mahasiswa asal Indonesia yang mantan ketua Islamic Society di kampus itu, Domi selalu shalat berjamaah di masjid kalau timnya sedang latihan di St James Park. Selain itu, pemain yang ditransfer dari klub Paris St Germain seharga 3,25 juta pound itu juga rajin ikut shalat tarwih sepanjang Ramadhan lalu. “Malah dia juga ikut buka puasa senampan rame-rame,” kata Fitto sambil tersenyum. Hanya saja, jago bola yang rendah hati itu sepertinya tak mau kemuslimannya diekspos besar-besaran. Alasannya, karena sikap rasialis di manajemen sepakbola Inggris masih amat terasa. Generasi yang hilang Di mana-mana, yang namanya kota industri biasanya tidak nyaman. Polusi yang pekat, kebersihan yang tak terjaga, masyarakatnya yang seperti robot dan angka kriminalitas yang tinggi. Tapi Newcastle adalah pengecualian. Meskipun kata seorang penulis perjalanan ternama, kesan pertama dari sebuah kota biasanya tak sempurna, kalau bukan malah salah kaprah. Apalagi kalau hanya berkunjung dua hari seperti saya. Lansekap kota ini memadu perbukitan dan sungai besar bernama Tyne, yang di masa lalu jadi pelabuhan tersibuk dengan ekspor batubara dan wol. Penataan kotanya apik dan hijau. Stasiun Metro (subway, kereta bawah tanah dalam kota) rapi dan bersih, tak seperti di London yang ramai dengan coreng-moreng grafiti di mana-mana. Tentang orang-orangnya... nah, ini termasuk yang tak adil bila disimpulkan dalam dua hari. Waktu itu, sudah hampir pukul setengah sepuluh malam, saat saya tiba di stasiun kereta kota Newcastle. Stasiun pusat ini terletak di Neville Street, di tengah kota, mulai dibangun sejak tahun 1847 lalu diresmikan oleh Ratu Victoria di tahun 1850. Bangunannya antik, kokoh, dan menyisakan kemegahan masa lalu. Di telepon, sehari sebelumnya, Sony seorang kandidat doktor di bidang ilmu Biologi yang juga dosen ITB, mengingatkan agar jangan naik kereta yang kelewat malam, soalnya Jumat malam bukan waktu yang aman untuk berjalan di tengah kota. Maklum, Sabtu libur, jadi malam Sabtu adalah malam hura-hura. Sekeluarnya kami dari stasiun, berjalan menuju halte bus, barulah benar-benar dimengerti apa maksud peringatan tadi. Ratusan orang hilir-mudik di jalan-jalan. Keluar masuk bar, pub, dan diskotek. Sebagian besar wanita auratnya ngablak (terbuka lebar) ke mana-mana, menantang alam musim dingin yang menggigit. Para prianya jalang mencari pasangan, dengan wajah aneh dan menakutkan. Tidak semuanya anak muda. Ada juga yang sudah setengah baya. Berteriak-teriak, bernyanyi-nyanyi, bergerombol, meloncat-loncat. Nampaknya hampir semuanya dalam keadaan mabuk. Kata Sony, jam segini baru permulaan. Makin malam semakin mengerikan. Panggung pusat kota Newcastle ini memang bukan gambaran yang paling mewakili masyarakat Barat. Tapi tiba-tiba saya teringat pamflet-pamflet kampanye pemilihan ketua senat di Universitas Bristol. Rata-rata kandidat menawarkan tersedianya bar dan pub sebanyak mungkin yang bisa didatangi mahasiswa dengan harga murah. Patutlah yang digambarkan penulis buku The Lost Continent, Bill Bryson. Ia menulis begini, “Di zaman saya, perhatian utama para mahasiswa adalah nge-seks, nge-ganja, tawuran, dan belajar. Belajar adalah sesuatu yang dilakukan kalau tiga yang pertama tak ada.” Jadi bagi orang Barat moderen, hidup damai dalam kemapanan adalah; masa kecil dimanja, masa muda berfoya-foya, masa dewasa kaya raya, masa tua bahagia, mati mah urusan biasa. Masuk surga syukur, masuk neraka... emangnya ada? Rasanya memang tidak berlebihan, kalau seorang ulama ternama pernah memperkirakan, bahwa Barat akan hancur oleh pembusukan dari dalam. Anak-anak muda yang punya idealisme semakin habis. Gereja-gereja semakin banyak yang kosong, atau hanya diisi oleh manusia-manusia lanjut usia. Anak-anak mudanya sendiri memandang hidup dengan prinsip ekonomi masyarakat industri, “Dengan usaha sekecil-kecilnya menghasilkan untung sebesar-besarnya.” Akibat dari dekadensi kepribadian itu sudah bisa terlihat di berbagai pusat kajian di universitas ternama, seperti di Inggris. Kini semakin banyak jabatan penting diisi oleh kaum pendatang dari Pakistan, India, dan negara Asia lainnya. Dalam beberapa generasi mendatang, tren ini nampaknya akan menjanjikan perubahan besar yang alamiah. Wallaahua'lam. Dari Zaman Romawi Kebanyakan kota utama di Inggris dibesarkan oleh Revolusi Industri. Lagi-lagi Newcastle merupakan pengecualian, karena sejarah membesarkan kota di bagian timur laut Inggris ini sejak masa kekuasaan Romawi. Berbagai bangunan bersejarah yang merentang waktu tersebar di berbagai bagian kawasan Tyne dan Wear. Rupanya Imperium Romawi menyadari strategisnya kawasan Tyne ini bagi pertahanan militernya, sesudah ia menguasai Inggris di awal abad kelima Masehi. Pada tahun 122 M, mereka membangun sebuah jembatan yang menyeberangi sungai Tyne yang dijaga oleh benteng bernama Pons Aelius. Benteng di tepi sungai ini memegang peranan vital bagi sistem pertahanan militer yang kemudian sangat terkenal dengan sebutan Tembok Hadrian, nama yang diambil dari kaisar Romawi waktu itu. Tembok raksasa ini, tidak sebesar Tembok Cina, membentang sepanjang 117 km dari Wallsend-on-Tyne di sebelah timur ke Bowness-on-Solway di sebelah barat. Sisa-sisa Tembok Hadrian inilah yang keesokan paginya jadi sasaran pertama jalan-jalan saya dan Fitto, mahasiswa S-3 ilmu komputer yang masih sangat muda dan bujangan. Di abad pertengahan, Newcastle merupakan salah satu kota niaga terpenting di kawasan timur laut. Setelah era keemasan batubara memudar, ekspor wool berkibar-kibar. Lalu di abad ke-19 kota ini terkenal dengan industri lokomotifnya. Pelabuhan Newcastle juga dilalu-lalangi perdagangan komoditi tekstil, ikan, dan kulit. Saking sibuknya Newcastle sebagai kota industri dan pelabuhan, sampai-sampai harus dibangun banyak jembatan yang menyeberangi sungai Tyne. Pada bulan November 1771, sebuah banjir dahsyat menghancurkan semua jembatan yang ada kecuali satu yaitu jembatan Corbridge. Sekarang ada enam jembatan berdiri megah di atas sungai besar itu, masing-masing dengan gaya arsitektur yang berbeda sesuai zamannya. Yang paling terkenal ialah Tyne Bridge, yang merupakan landmark kota Newcastle. Diresmikan oleh Raja George V pada tahun 1929, jembatan ini dibangun oleh Dorman Long di Middlesbrough, sebuah kota di selatan Newcastle. Tipe yang persis sama juga dibangun dalam skala yang jauh lebih besar untuk jembatan Sydney Harbour di Australia. Entah kenapa, dewasa ini justru yang foto-kopian di benua Kangguru itu yang lebih terkenal ketimbang aslinya di Newcastle. Sebentar lagi, jembatan ketujuh akan selesai dibangun. Diperkirakan Baltic Millenium Bridge yang berarsitektur paling mutakhir akan diresmikan penggunaannya pada musim semi (April) tahun ini. Didesain hanya untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda, jembatan ini bisa dilipat seperti kelopak mata kalau ada kapal yang akan lewat di bawahnya. Separo dari biaya pembangunannya yang 18,5 juta pound didapat dari hasil penjualan Lotere Nasional, judi massal ala Inggris. Dari dekat Tyne Bridge, tur hari itu kami lanjutkan ke arah timur laut dengan menumpang Metro, kereta listrik yang merupakan alat transportasi utama bersama bis kota. Hampir setengah jam kemudian kami tiba di Chichester, kota satelit yang sudah pasti letaknya sangat jauh dari Cimanggis ataupun Cibarengkok. Kota ini merupakan salah satu simpul penting industri galangan kapal Newcastle yang juga mengalami masa keemasan sampai Resesi Ekonomi melanda Inggris di tahun 1975. Di Chichester ini ada masjid pertama di Newcastle yang dibangun oleh pelaut-pelaut dari Yaman sejak tahun 1960-an, tapi baru diresmikan tahun 1972. Mahsin Fadhal, seorang pelaut tua asal Yaman kami temui di masjid bernama al-Azhar itu. Ia sedang berdiri menyemangati murid-murid madrasahnya yang sedang main sepakbola di halaman masjid. Rambutnya putih, ditutupi topi haji dengan motif berwarna coklat. Kumisnya putih. Jenggotnya tercukur bersih. Bingkai kacamatanya hitam dan tebal, bikinan tahun 1970-an. Jas coklat muda yang terseterika rapi membungkus sweater khaki, menahan tubuhnya yang tegap dari hawa musim dingin. Sampai usianya di akhir 60-an ini, Mahsin yang pernah beberapa kali berlabuh di Tanjung Priok ini masih berlayar ke berbagai pelabuhan di dunia. Yang paling sering ke Newcastle, karena ia menikah dengan perempuan Inggris yang masuk Islam. Tapi istri dan ketiga anaknya segera dikirimnya pulang ke Yaman. “Wah, membesarkan anak di sini repot. Banyak gangguan,” katanya menjelaskan alasannya. “Kalau kita keras sedikit kepada mereka, bisa-bisa mereka lapor polisi, kita yang masuk penjara! Anda bisa bayangkan nggak, orang tua masuk penjara karena mendidik anaknya!?” katanya sambil tertawa. Di negara-negara Barat memang ada aturan yang memungkinkan seorang anak mengadukan kepada polisi kalau dipukul oleh orang tuanya. Sepelan apa pun pukulannya, kalau si anak sampai menelpon polisi, dianggap sudah layak memenjarakan ayah atau ibunya. Masya Allah. Dari Chichester, Fitto mengajak saya ke pantai Southshield. Northshield dan Southshield merupakan pantai muara dari sungai Tyne. Di kedua mulut sungai itu terdapat sepasang meriam besar yang sengaja diposisikan untuk mengantisipasi serbuan armada Hitler di Perang Dunia II. Kini keduanya merupakan objek wisata penting yang indah dan bersih. Pantainya panjang dan bersih menyambut gelombang dan buih-buih Laut Utara yang selalu dingin, tak peduli musim. Tiba-tiba terbetik di senar hati, dahulu, sebelum terjadi pengusiran dan pembantaian Muslimin, Ambon dan Maluku juga terkenal dengan pantainya yang indah. Kini yang ada tinggal bau amis darah. Sebuah doa keselamatan terkirim dari pantai Laut Utara, mudah-mudahan sampai ke pantai Maluku, beribu-ribu mil jauhnya di sana. Amin.
|