MUTIARA / PANJI NO. 03 TH IV - 10 MEI 2000

 

A. Suryana Sudrajat

Pangeran Pemogokan

Soeryopranoto menjelma menjadi pemimpin buruh yang radikal. Ia menjadikan Islam sebagai basis organisasi. Bagaimana dengan adiknya, Ki Hadjar Dewantara?

Senin, 1 Mei 2000. Ribuan buruh (kalau dikumpulkan yang di Jakarta dan berbagai daerah) memperingati Hari Buruh Sedunia. Tidak dalam upacara khidmat, tapi dengan unjuk rasa dan mogok kerja. Mereka antara lain menuntut kenaikan upah 100%, dan meminta tanggal 1 Mei dijadikan Hari Buruh dan libur nasional. Beruntung, tidak ada keonaran.

Nasib buruh, di Indonesia, sepertinya tidak beranjak jauh dari zaman kolonial. Mendapat upah rendah, dan diperlakukan sewenang-wenang baik oleh pengusaha maupun penguasa. Di zaman Soeharto bahkan sering berhadapan dengan militer. Siapa coba-coba menyuarakan hak-hak mereka akan dibekap--kalau perlu dibunuh. Kasus Marsinah di Jawa Timur adalah contoh kekerasan militer yang amat telanjang. Memang ada organisasi buruh. Tapi apa yang bisa diharapkan dari serikat kerja resmi yang sudah dikooptasi itu?

Gerakan buruh di Tanah Air sebenarnya bagian dari cita-cita kemerdekaan. Para aktivisnya dulu juga tokoh gerakan nasional. Boleh kita sebut Soeryopranoto, yang jika dilihat dari latar belakang keluarganya sebetulnya agak mustahil mencemplungkan diri di lingkungan yang penuh gejolak itu. Ia mulai serius bergelut di bidang kemasyarakatan setelah mendirikan Adhi Dharma--semacam satuan kerja untuk membantu rakyat mengurus masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi. Himpunan ini mendirikan poliklinik, panti asuhan yatim piatu, rumah jompo, dan bank-bank desa, selain memberikan bantuan hukum dan lain-lain selama proses pengadilan. Soalnya banyak orang Jawa yang bukan saja buta huruf, tapi juga tidak mengerti kesalahan yang ditimpakan.

Pada 1915 Adhi Dharma juga mendirikan sekolah pribumi, yang pertama yang mengikuti bentuk HIS (Hollandsch Inlandsche School). Ini boleh dikatakan cikal bakal Taman Siswa yang didirikan Soewardi Soeryaningrat, yang memang versi modernnya.

Ketika belajar di Perguruan Tinggi Pertanian di Bogor, Soeryopranoto pernah mengusulkan pembentukan organisasi politik mahasiswa Batavia dan Bogor. Kurang mendapat dukungan. Tapi segera sesudah itu para mahasiswa STOVIA justru aktif memobilisasi dana beasiswa yang diprakarsai Dr. Wahidin, yang kelak menjelma menjadi perkumpulan Boedi Oetomo. Soeryo sendiri menjadi sekretaris pertama perhimpunan yang didirikan pada 28 Mei 1908 ini. Tapi kemudian keluar dari BO yang hanya berkhidmat untuk kepentingan priayi Jawa itu.

Lalu bergabung dengan Sarekat Islam. Dan melalui organisasi pimpinan Tjokroaminoto ini ia mengorganisasikan berbagai pemogokan buruh pada 1920-an. Dari situ ia dikenal sebagai "Pangeran Pemogokan". Pemimpin massa ini memang, uniknya, tidak pernah menanggalkan gelar kepangeranannya yang asli--sementara adiknya, yang juga cabut dari BO, Soewardi Soeryaningrat, pada usia 40 mengganti nama dan mencopot gelarnya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Tak berarti Ki Hajar merendahkan statusnya. Sebab, hakikatnya pendiri Indische Partij itu mengerek dirinya dengan megah: nama itu berarti "seorang terhormat (ki) yang mengajar, dan perantaraan dewa".

Pada 1917, Soeryopranoto mereorganisasi Adhi Dharma menjadi serikat buruh gaya Barat dalam wadah bernama Persatuan Buruh Pabrik. Sejak itulah ia menjadi salah seorang pemimpin buruh Indonesia terkemuka di luar gerakan sosialis revolusioner. Ia mengaitkan kegiatan-kegiatannya dengan SI. Sampai-sampai popularitasnya pernah mengancam kepemimpinan Tjokroaminoto pada Kongres SI 1919. Di SI Soeryo termasuk kelompok Yogya, yang dedengkotnya antara lain Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis, yang berlawanan dengan kelompok Semarang di bawah Semaoen dan Alimin yang dikenal sebagai SI Merah. Harap diketahui, Soeryo memang antikomunis. Ia pula yang bersama Salim melakukan "pembersihan" di tubuh SI dari unsur merah (1920).

Lahir pada 1874 di Yogya, Pangeran Soeryopranoto berasal dari keluarga Pakualaman. Ayahnya, Pangeran Soeryaningrat, putra tertua Paku Alam III dari istri utama, tidak mewarisi kekuasaan ayahnya, yang ketika meninggal dalam usia 40 malah digantikan, atas keinginan Belanda, oleh saudara sepupunya. Sepeninggal Paku Alam IV, yang menjadi Paku Alam V juga orang lain: adik kakeknya.

Karena itu Soeryaningrat boleh dikatakan miskin. Kedua putranya, Soeryopranoto dan Soewardi, tidak bisa melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School). Ia masuk sekolah pertanian di Bogor, sedangkan adiknya di STOVIA. Kiranya kondisi tak adil itulah yang mendorong mereka berkecimpung dalam pembaruan sosial.

Soeryo menjadi pangeran yang memimpin perjuangan kaum buruh. Sebaliknya, Soewardi pemimpin golongan atas. Ia melibatkan diri dalam usaha mempertahankan budaya Jawa dari gempuran pengaruh Barat. Kata Savitri Scherer, jika aktivitas Ki Hadjar, di bidang politik maupun budaya, selamanya berdasarkan sikap-sikap Jawa yang sinkretis dan sekuler, Soeryopranoto memakai Islam sebagai basis organisasinya (yang radikal). Dan itu bisa.