INTERNASIONAL / PANJI NO. 03 TH IV - 10 MEI 2000

 

Pilih Merdeka dengan Senjata

Filipina: Kelompok Abu Sayyaf menyatakan bertanggung jawab atas dua peristiwa penculikan. Apa sebenarnya tuntutan utama mereka?

Baru sepekan setelah peristiwa penculikan 20 wisatawan dan satu juru masak oleh kelompok Abu Sayyaf, kepulauan Sipadan sudah kembali ramai dikunjungi turis. Beberapa wisatawan tampak santai berjemur di pinggir pantai dan sebagian lagi berenang di air yang jernih. Hanya saja mereka tidak boleh pergi jauh-jauh mengingat aksi penculikan bisa saja kembali terjadi, kendati keamanan di kepulauan wisata yang masih menjadi sengketa antara Indonesia-Filipina itu diperketat.

Semenjak terjadi aksi penculikan oleh kelompok yang menamakan dirinya Abu Sayyaf, kepulauan Sipadan sedikit berubah. Jika dulu hanya menjadi pusat liburan para turis, kini sekaligus menjadi pusat komando pasukan Malaysia dan Filipina. Kedua pasukan dari dua negara itu terus melacak keberadaan penculik yang kabarnya menempatkan para sanderanya di kepulauan Kawi-kawi.

Kelompok Abu Sayyaf saat ini menjadi target utama perburuan pihak keamanan Filipina, setelah juru bicara kelompok itu yang mengaku Abu Ahmad menyatakan bertanggung jawab atas penculikan tersebut. Mereka kabarnya meminta pemerintah Filipina mendesak Amerika untuk membebaskan tiga orang rekan mereka yang sedang dipenjara karena tuduhan tindakan terorisme. Selain itu, sumber kepresidenan menyebutkan, kelompok ini juga meminta tebusan sebanyak 30 juta peso atau sekitar US$720.000. "Masih akan banyak kejutan yang akan dialami pemerintah jika mereka mengabaikan tuntutan kami," ujar Abu Ahmad sebagaimana dimuat kantor berita Reuters.

Dari beberapa saksi mata dan utusan Gubernur Wilayah Otonomi di Filipina Selatan Nur Misuari, para sandera saat ini memang di bawah pengawasan kelompok Abu Sayyaf. Ini adalah kedua kalinya kelompok garis keras perlawanan Filipina yang menuntut sebuah negara Filipina Selatan merdeka, melakukan penculikan. Aksi pertama mereka lakukan pada 20 Maret silam dengan menyandera 27 orang yang sebagian besar siswa sekolah di Pulau Basilan. Hingga saat ini pihak militer Filipina belum dapat membebaskan para sandera karena lokasinya yang cukup sulit ditembus dan memang dikuasai kelompok perlawanan ini.

Abu Sayyaf merupakan salah satu kelompok garis keras sempalan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF). Yang lainnya adalah Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Keduanya bertekad meneruskan perjuangan menuju Filipina Selatan merdeka. Namun dari kedua sayap garis keras itu, Abu Sayyaflah yang dikenal paling sering melakukan aksi teror, seperti pengeboman gereja dan penculikan. Kelompok ini dinilai tak mengenal kompromi dan kadang terkesan brutal. Tengok saja peristiwa April 1995 di kota Ipil yang mayoritas penduduknya Nasrani. Dalam aksi kekerasan itu mereka menewaskan 53 penduduk sipil. Dan semenjak itu, Abu Sayyaf yang awalnya tidak diperhitungkan oleh pihak militer Filipina kini menjadi target utama.

Semenjak kelompok ini ditinggalkan pemimpinnya, Abdulrajak Janjalani, seorang ulama yang mendapat pendidikan formal di sekolah Katolik yang tewas dalam serangan militer tahun 1998, gerakan mereka seolah-olah makin bertambah kuat dan kian berani. Di bawah pimpinan adiknya, Khadafy Janjalani, Abu Sayyaf seolah ingin memproklamasikan diri sebagai kelompok yang paling gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi Filipina Selatan. Semboyan mereka, "kemenangan atau ke liang lahat".

Abu Sayyaf, yang berarti Pembawa Pedang, saat ini boleh dibilang menjadi kelompok perlawanan yang aktif melakukan perjuangan menuntut Moro merdeka. Keberaniannya melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat membuat kelompok ini kian diperhitungkan. Bahkan mungkin lebih diperhitungkan ketimbang MILF yang juga tetap melakukan perlawanan. Mereka ini, menurut Misuari, sebenarnya merupakan generasi muda yang tidak puas dengan kepemimpinan generasi tua perlawanan Moro. Mereka adalah korban ketidakadilan, kelaparan, dan kesengsaraan yang diakibatkan tak pedulinya pemerintah pusat pada nasib mereka. Kini mereka menuntut hak-haknya untuk dikembalikan, tetapi dengan perjuangan senjata, karena frustrasi dan tak pernah ditanggapi pemerintah pusat.

Usaha untuk mendamaikan dan melakukan rujuk tampaknya makin sulit. Nur Misuari yang ditugasi membebaskan para sandera bisa saja membawa hasil karena hubungan dekatnya dengan kelompok Abu Sayyaf dan MILF. Tetapi untuk meluluhkan semangat mereka agar bersedia berunding barangkali perlu waktu lama. Ibaratnya, mengobati luka yang teramat dalam.

Puji Irwanto