SISI KEHIDUPAN / PANJI NO. 04 TH IV - 17 MEI 2000

 

 

Chairul Imam

Jangan Takut pada Tuhan

 

Setiap hari kami bergantian, tiap pukul 11.00 ada yang membolos untuk memancing agar punya lauk untuk makan hari itu

Saya pribadi alhamdulillah, selama menjadi jaksa lebih dari 30 tahun tidak pernah memeras orang. Ini kebanggaan tersendiri buat saya

Begitu kita mendapat posisi atau kedudukan yang lebih tinggi, saat itu juga kita harus siap turun. Siap menjadi orang biasa lagi. Karena kedudukan bukan penentu diperoleh-tidaknya rezeki, bukan pula penentu nilai kita di hadapan Tuhan.

Namanya mencuat ketika dimakzulkan dari Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung. Muncul berbagai spekulasi menyusul pencopotan yang mendadak itu. Tapi, kepada wartawan Panji Almaidha Sitompul dan Agung Y. Achmad yang menemuinya di Gedung Bundar, Chairul Imam mengatakan, "Jaksa Agung cuma bilang, ‘Nggak ada apa-apa kok’," ketika pihaknya menanyakan ihwal pencopotan itu kepada Marzuki Darusman. Toh, dengan itu ia mengaku tak lantas kehilangan kendali. Tetap produktif, menjadi pembicara sejumlah pertemuan ilmiah di dalam dan luar negeri. Kepada wartawan Panji Iqbal Setyarso dan M. Ridwan Pangkapi, Chairul bertutur sebagian sisi kehidupannya.

Siang itu suasana menjadi hiruk-pikuk. Saya yang baru sebulan menjadi siswa kelas satu di SMA 6 (kini SMA Negeri Bulungan, Jakarta Selatan), terlibat bentrokan. Seorang anak kelas tiga tersungkur saya jotos. Dari mobil yang diparkir di dekat sekolah, seorang laki-laki menghampiri saya sambil teriak. Saya jotos juga dia. Perkelahian itu kemudian mereda setelah dilerai.

Sore harinya saya diberi tahu seorang kawan, kalau yang saya pukul tadi anak orang gedean. Wah, gawat nih! Dan laki-laki yang keluar dari mobil tadi ternyata ajudan babe-nya. Malamnya saya mikir-mikir. Besok pasti saya didamprat kepala sekolah. Baru sebulan sekolah sudah mukul anak pembesar. Tapi ada hal lain yang membuat saya tenang. Hari itu juga saya menerima surat pemberitahuan bahwa saya diterima di Sekolah Hakim dan Djaksa (SHD, setingkat SMU, empat tahun). Wah, ini kebetulan sekali. Paginya saya menghadap kepala sekolah.

"Wah, kamu. Sudah menerima panggilan saya, ya?"

"Tidak, Pak."

"Lo, tadi ada pesuruh ke kelas kamu, memanggil kamu."

"Tidak, Pak."

"Ngapain, kamu ke sini?" Saya memperlihatkan surat pemberitahuan saya lulus SHD.

"Wah, kamu bisa diterima di SHD? Hebat," katanya.

Saya pun lalu hijrah ke Malang, belajar di SHD.

Kebengalan masa kecil. Semasa kanak-kanak di Surabaya, saya ini agak bengal. Kalau saat mengaji saya dipukul ustadz, besoknya anaknya saya tempeleng. Kalau dia tidak punya anak, rumahnya saya timpuki. Saat remaja, saya pindah ke Jakarta ikut ayah.

Saya demikian gampang pindah dari SMA ke SHD, karena setamat SMP saya mendaftarkan diri pada dua sekolah. Pertama ke SMA, dan saya lulus tes masuk SMA 6. Selain itu saya mendaftarkan diri ke SHD. Tahun ajaran baru di SMA dimulai Agustus, sedangkan kegiatan belajar di SHD dimulai pada Oktober. Dalam bayangan saya, SHD ini asyik juga, kalau lulus dan menjadi jaksa, kerjanya paling rendah di tingkat kabupaten. Kalau masuk sekolah guru, wah, bisa ditugaskan ke pelosok. Alhamdulillah, meski saya merasa harus keluar dari SMA gara-gara insiden menghajar anak pejabat, saya bisa terus belajar karena SHD sudah menunggu.

Masa-masa belajar di SHD saya ikuti dengan seksama. Pada tahun terakhir dibagilah kami menjadi dua, jurusan hakim dan jurusan jaksa. Saya bingung, mau memilih menjadi hakim atau jaksa. Mau minta pertimbangan bapak, beliau jauh berada di Jakarta. Akhirnya saya menemui seorang kiai.

"Pak Kiai, saya ini sebaiknya menjadi hakim atau jaksa."

"Kalau jaksa kerjanya cuma meminta, menuntut. Diberi, syukur, tidak dikabulkan nggak apa-apa. Sedangkan hakim kerjanya memutuskan, pertama, seseorang bersalah atau tidak. Kedua, dihukum berapa tahun. Hakim itu kalau keputusannya betul, dapat pahala. Kalau salah masuk neraka."

"Lalu, siapa yang tahu apakah putusannya benar atau salah?"

"Tuhan."

"Ya..., kalau begitu saya jadi jaksa saja." Maka saya bulatkan tekad menjadi jaksa saja. Maklumlah waktu itu saya masih muda sekali.

Rezeki, Allah yang mengatur. Dunia kejaksaan pun menjadi garis hidup saya. Dalam meniti karier ada dua hal pantangan saya, minta naik pangkat dan minta jabatan. Orang biasanya mengaitkan pangkat dan jabatan dengan rezeki. Buat saya tidak. Allah sudah mengatur rezeki setiap orang, bahkan setiap makhluk-Nya. Allah menghidupkan kita di dunia ini, pasti Allah juga bertanggung jawab. Seperti tersurat dalam An-Nur 45: Allahlah pencipta sekalian yang melata, yang merayap, dan yang berjalan dengan dua kaki dan empat kaki. Allah menjadikan apa yang Dia kehendaki, Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.

Karena keyakinan ini, saya tidak pernah minta-minta jabatan karena itu tidak ada relevansinya dengan perolehan rezeki. Bukan itu penentunya. Jadi kalau saya dipindahkan ke jabatan lain, bahkan dicopot sekalipun, tidak ada masalah. Kalau sudah namanya rezeki, ketika dicari dia tidak kita temukan, ketika kita diam dia datang.

Dalam hal ini saya punya pengalaman. Saat itu saya baru pindah ke Jakarta. Telepon di kantor saya berdering. Seorang kawan menghubungi saya. Dia minta tolong dicarikan rumah.

"Beli atau mengontrak?" kata saya.

"Kalau bisa beli. Nggak usah terlalu besar, asal kendaraan roda empat bisa masuk. Dua kamar cukup."

Telepon saya letakkan. Beberapa menit kemudian telepon berdering lagi. Dari seorang kawan yang lain.

"Tante saya mau menjual rumah. Tolong carikan pembeli." Saya langsung ingat kawan yang membutuhkan rumah.

"Rumahnya bisa dimasuki mobil nggak? Berapa kamar?"

Dari omong-omong itu, saya merasa kondisi rumah yang akan dijual sesuai dengan yang diperlukan oleh kawan yang butuh rumah. Langsung saya beritahukan alamat kontak pihak yang akan menjual rumah itu kepada kawan saya.

Beberapa hari kemudian kawan saya mencari-cari saya. "Kamu dicari-cari tante saya. Ada komisi untuk kamu."

"Komisi apa?"

"Penjualan rumah." Saya sendiri tak berniat mencari komisi. Wong cuma membantu. Tapi saya pergi juga ke rumah tante kawan itu. Rupanya saya diberi komisi senilai Rp150.000. Untuk ukuran masa itu, apalagi masih bujangan, uang sejumlah itu lumayan.

Saat saya pulang, di depan rumah kontrakan saya sudah ada seorang kawan. Waktu menunjukkan pukul 16.00. Rupanya dia sudah lama menunggu. Dia mengeluh, kalau tak segera membayar uang kontrakan ia bisa diusir.

"Berapa keperluanmu?"

"Seratus ribu."

Tanpa pikir dua kali, tanpa rasa berat sedikit pun, saya keluarkan Rp100.000 dari saku. Saya masih bersyukur, di saku masih ada Rp50.000, masih cukup besar nilainya. Toh saya mendapat ini tanpa keluar keringat. Apalagi dalam benak saya selalu ada pikiran, pada setiap rezeki yang kita terima dari Tuhan, tidak semuanya untuk saya. Ada hak orang lain.

Suka duka jaksa. Setelah lulus SHD di Malang, saya disuruh kuliah. Saya ngotot mau bekerja saja. Kalau soal masuk perguruan tinggi, bisa ikatan dinas. Akhirnya ayah bilang, saya boleh bekerja tetapi ayah tidak mau membantu. Saya tekadkan akan mandiri. Tenyata benar saja. Hidup sebagai pegawai kejaksaan di Bengkalis harus prihatin. Saya harus konsekuen, tidak minta bantuan orangtua yang tinggal di Jakarta.

Maklum saja, lulus dari SHD, saya mula-mula menjadi pegawai tata usaha Kejaksaan Negeri Bengkalis. Empat tahun kemudian baru dipercaya menjadi jaksa. Kami memang mendapat jatah beras dari kantor, tapi gajinya hanya cukup untuk hidup seminggu. Kebetulan di Bengkalis ada empat orang jaksa dalam satu rumah. Setiap hari kami bergantian, tiap pukul 11.00 ada yang membolos untuk memancing agar punya lauk untuk makan hari itu.

Kalau ingat masa-masa susah, buat saya, lucu saja. Kala itu saya baru berumur 26 tahun. Saya masih menangani kasus-kasus kecil seperti pencurian dan penipuan. Suatu ketika saya menuntut seorang pencuri. Di pengadilan, istri si pencuri ikut hadir. Sepulang kantor, saya lihat di depan rumah sudah ada istri si pencuri dengan anaknya.

"Suami saya sudah dipenjara. Saya susah mencari makan. Saya ikut bapak saja." Ya sudah, dia bekerja di rumah sampai suaminya bebas. Hal ini ternyata saya alami beberapa kali. Di Bengkalis pernah, di Rengat juga pernah. Saya memakluminya. Sebagai perempuan tanpa penghasilan, sementara dia harus bertahan hidup, saya kira baik saja dia bekerja menjadi pembantu.

Jangan jadi penakut. Saya anak bungsu laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Ayah saya seorang lulusan HIS yang juga menjadi guru di sana, tetapi kemudian berkiprah di birokrasi. Beliau mengajari anak-anaknya untuk tidak memiliki rasa takut. Kepada Tuhan, kita tidak boleh takut, tetapi takwa, sedangkan kepada orangtua kita harus hormat. Satu-satunya yang boleh ditakuti adalah rasa takut itu sendiri. Artinya, jangan sampai kita punya rasa takut. Manusia tidak boleh takut kepada siapa dan kepada apa pun.

Pernah suatu ketika sepulang sekolah saya menangis.

"Kamu kenapa?" kata bapak saya.

"Saya dipukul kawan. Badannya lebih gede, saya lari."

"Hah! Anak bapak begitu? Ayo, balik lagi, pukul dia!"

Itu implementasinya. Motonya, jangan takut selama kita berbuat benar. Jangan biarkan kesewenang-wenangan berlaku terhadap diri kita.

Bapak juga mengajarkan sikap disiplin. Misalnya saja, kita boleh mengenakan kaos singlet tetapi tidak boleh keluar dari kamar. Bahkan sebagai seorang yang berpendidikan Belanda, beliau membolehkan saya mengenakan sarung, asal tidak sampai keluar rumah. Ke halaman rumah saja jangan memakai sarung. Begitulah disiplin ala bapak semasa saya kanak-kanak.

Pelajaran itu membawa pengaruh terhadap sikap hidup saya. Sebagai jaksa yang sudah bertugas puluhan tahun, saya pun pernah mendapat tekanan dalam tugas. Seperti juga dialami pekerja pers, kami para jaksa juga sering menerima telepon dari orang-orang tertentu. Ketika kami tengah melakukan pengusutan, ada telepon dari seorang pejabat tinggi. Sesudah itu, kasusnya dibikin mentok. Alhamdulillah yang seperti itu tidak bisa berlangsung terus-menerus. Lihat saja, semua kasus yang dulu mandek sekarang diusut lagi.

Sejauh ini saya belum mau memberi contoh kasusnya. Orang-orang yang pernah menekan saya masih hidup. Saya bukan takut membuka hal ini. Yang saya pikirkan, keutuhan dan kehormatan korps. Lebih baik saya memasukkan laci dulu. Toh, ada saatnya Tuhan memberi jalan sehingga kasus-kasus yang tersimpan dalam laci pelan-pelan terbuka semua. Buat saya, lebih baik mundur satu langkah untuk maju lima langkah.

Profesi jaksa belakangan ini memang didera isu-isu minor. Saya pribadi alhamdulillah, selama menjadi jaksa lebih dari 30 tahun, tidak pernah memeras orang. Ini kebanggaan tersendiri buat saya. Kalau saya dapati ada kawan yang melakukan macam-macam, saya ingatkan. Saya jelaskan, itu perbuatan dosa. Kalau dia menjalankan terus, silakan, itu urusan dia. Asal jangan mentok pada urusan saya. Saya tidak mau dia mempecundangi kerja saya. Kalau dia bikin dosa, itu urusan dia, tapi kalau dia sampai mengganggu kerja saya, ya saya ‘bantai’.

Tidak suka nyantel. Mencapai suatu kedudukan bisa dengan banyak cara. Ada yang mencapainya dengan belajar setinggi-tingginya atau meningkatkan profesionalismenya. Ada juga yang menempel kepada atasan atau menyuruh istrinya menempel dengan istri atasan. Ada yang selalu ikut apa pun kata atasan, loyalitas pakai tanda petik. Saya sendiri memilih cara kedua, terus-menerus meningkatkan profesionalitas. Saya bekerja sebagus mungkin

Ketika masa reformasi, saya sedang bertugas di Surabaya, menjadi asisten Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Saya tidak menyaksikan secara persis perubahan di Kejaksaan Agung. Meskipun bos kejaksaan seperti Ali Said, Ismail Saleh, Hari Suharto, semua saya kenal, saya tidak mau menjadikan mereka cantelan. Kalau kita hidup dengan cantelan seperti itu, lalu cantelannya patah, kita juga habis. Saya tidak suka mencantelkan diri saya kepada seseorang. Saya hanya mau mencantelkan diri kepada Allah karena Dia nggak bakal patah.

Ada yang beranggapan, saya orangnya pejabat ini, pejabat itu. Menjelang saya mendapat kepercayaan menjadi direktur penyidikan, saya memang sudah menjadi staf ahli jaksa agung. Tahu-tahu saya dipanggil Pak Marzuki. Waktu itu dia belum dilantik menjadi jaksa agung. Cuma, sudah ada informasi dialah yang bakal menjadi jaksa agung.

Karena saya dipanggil, saya datang. Saya sendiri belum kenal secara pribadi sebelumnya. Beliau bertanya sejumlah hal mengenai kejaksaan. Ya, karena dia bakal menjadi bos saya, saya jelaskan. Selesai, pulang. Saya bertemu beliau beberapa kali. Saya hanya datang kalau dipanggil, tidak pernah nongol-nongol kalau tidak dipanggil. Pak Marzuki sendiri yang memanggil saya. Saya tidak pernah meminta jabatan dan saya bukan orangnya siapa-siapa.

Bagi saya kiat menekan rasa takut kehilangan posisi, sebetulnya semua diawali sejak kita meraih kedudukan yang lebih tinggi. Begitu kita mendapat posisi atau kedudukan yang lebih tinggi, saat itu juga kita harus siap turun. Siap menjadi orang biasa lagi. Karena kedudukan bukan penentu diperoleh-tidaknya rezeki, bukan pula penentu nilai kita di hadapan Tuhan.

Alhamdulillah, dengan sikap seperti itu saya tidak pernah khawatir. Sekarang saya paling-paling menulis makalah. Pertengahan bulan ini saya akan ke Australia untuk mengikuti anti-corruption workshop. Spesialisasi saya sebetulnya bukan antikorupsi, melainkan penyelundupan. Hanya saja, soal penyelundupan bergandengan dengan korupsi. Penanganan kasus penyelundupan harus paham seluk-beluk perdagangan internasional, perbankan, dan kepabeanan.

IS

Biodata

Nama : Chairul Imam

Lahir : Bojonegoro, lima puluh sembilan tahun yang lalu

Menikah : dengan Tanti Susiyanti M., dua puluh lima tahun yang

lalu di Jakarta, dikarunia tiga anak, Nanda (24), Riza (23), dan Gita (14)

Pendidikan : Sekolah Hakim dan Djaksa, Fakultas Hukum Universitas

Krisnadwipayana

Pengalaman :

Bermula sebagai Pegawai Tata Usaha Kejaksaan Negeri Bengkalis

(1960), menjadi jaksa pada 1964. Tugasnya berpindah-pindah daerah

dan jabatan. Pada 1970 dipindahkan ke Jakarta.

Jabatan yang pernah dipegangnya antara lain:

Head of Legal Section Konsulat Indonesia di Hong Kong;

Kabag kerja sama Luar Negeri Kejaksaan Agung;

Staf Ahli Jaksa Agung;

Direktur Tindak Pidana Korupsi;

Direktur Penyidikan (Desember 1999-Maret 2000)