MUTIARA / PANJI NO. 52 TH III - 19 APRIL 2000
A. Suryana Sudrajat
Lukisan Keadaan Primitif
Surga dalam legenda Adam merupakan lukisan tentang keadaan primitif dalam sejarah manusia. Bukan yang dijanjikan untuk orang yang beriman. Ada yang belum selesai dari Iqbal.
Adam menyanyi ketika diusir dari surga. Mengapa?
Itu memang judul sebuah puisi Muhammad Iqbal. Ia memandang "kejatuhan Adam" sebagai justru kebangkitan--dan bukan awal kemunculan manusia di bumi. Bagi Iqbal, jannah ("taman, surga") dalam legenda itu bukan surga yang dijanjikan untuk orang beriman. Ia lebih merupakan lukisan tentang suatu keadaan primitif dalam sejarah manusia.
Setelah diturunkan dari surga, manusia tinggal di bumi. Tapi bumi bukanlah tempat hukuman seperti menurut pandangan Kristen dan lain-lain. Soalnya, pembangkangan pertama oleh manusia itu tak lain tindakan pertamanya untuk melakukan pilihan bebas, dan itulah sebabnya mengapa, menurut Al-Quran, pelanggaran Adam yang pertama itu diampuni. Karena itu, demikian Iqbal, kebaikan bukanlah keterpaksaan. Ia ketundukan diri, atau ego, secara bebas kepada cita-cita moral.
Iqbal melihat Adam sebagai bukan tokoh historis. Baginya, kisah Adam dalam Al-Quran (dan menurut S.A. Vahid, penulis biografinya, guru utama yang membentuk pribadi dan pikirannya adalah Al-Quran) adalah simbol pencapaian tertentu perjalanan spiritual manusia. Kata adam lebih tepat dimaksudkan sebagai sebuah konsep tentang manusia ketimbang sebagai individu yang konkret.
Adalah ayahnya, Muhammad Nur, orang tasawuf yang menjalankan usaha kecil-kecilan, yang menanamkan kecintaan Iqbal kepada Kitab Suci. "Saya biasa membaca Quran selepas salat subuh," Iqbal bertutur. "Ayah mengawasi, dan menanyakan: ‘Apa yang kaulakukan?’ Saya menjawab, sedang membaca Quran. Pertanyaan itu diulang setiap hari, selama tiga tahun, dan jawaban saya pun tetap. Suatu hari saya bertanya, mengapa Ayah selalu menanyakan pertanyaan yang sama, padahal jawaban saya juga sama? ‘Yang ingin aku katakan kepadmu, Nak’, kata Ayah, ‘bacalah Quran itu seolah-olah diturunkan kepadamu.’"
Allamah Muhammad Iqbal lahir 9 November 1877 di Sialkot, Punjab. Ia dari keluarga kelas menengah, walau tidak begitu makmur. Leluhurnya keturunan Brahmana dari Lembah Kashmir, sudah memeluk Islam sekitar 300 tahun.
Ia memulai pendidikannya di maktab (madrasah atau surau) dengan belajar membaca Al-Quran. Lalu masuk sebuah sekolah misi di Sialkot. Ia sangat beruntung pernah punya guru yang tahu betul bakat dan kecerdasannya: Maulana Mir Hasan, ulama besar, yang mendorongnya memperdalam kajian di bidang kebudayaan dan sastra Islam dan ikut membentuk jiwanya, khususnya dengan ajaran-ajaran agama.
Iqbal menikah di usia sangat muda--sekitar 14 tahun. Tiga tahun setelah itu dia berangkat ke Lahore, kuliah di Government College, dan pada 1899 ia, yang pernah gagal menjadi pegawai negeri, beroleh gelar MA. Tahun 1905, atas saran gurunya, Sir Thomas Arnold, ia melanjutkan studi ke Universitas Cambridge, London, tempat ia mencapai gelar sarjana hukum. Di samping itu ia memperdalam filsafat modern pada Universitas Munich, Jerman, dan selesai pada 1907 dengan tesis The Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to History of Muslim Philosophy.
Kembali ke tanah airnya, Agustus 1908, ia memimpin Government College di Lahore. Juga aktif dalam Liga Muslim India, tempat ia antara lain menguraikan skema negara Islam di Anak Benua. Pakistan adalah negara yang diimpikannya. Untuk sekadar mengongkosi hidup, ia berpraktek pengacara sampai 1937.
Iqbal sering diundang berceramah. Pada 1928, di Madras, ia memberikan enam ceramah yang kemudian ia sempurnakan di Heiderabad dan Aligarh, lalu dihimpun dan diterbitkan Oxford University Press: The Reconstruction of Religious Thought in Islam (diindonesiakan pertama kali oleh Osman Raliby, kedua kali oleh Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Goenawan Mohamad). Di situlah kesimpulannya tentang Adam di atas ditulis.
Iqbal ditinggal wafat sang istri, Sardar Begum, pada 1935, ketika kedua anaknya, Javid dan Munira, baru tujuh dan lima tahun. Seperti dituturkan Doris Ahmad, hatinya begitu hancur oleh kematian itu: dia tidak pernah lagi mengunjungi kamar-kamar yang dulu ditempati Sardar. "Dia menempati tiga kamar depan, dan setiap bulan (memaksa) membayar uang sewa kepada Javid. Pembayaran dilakuan di muka, setiap tanggal 21," tutur Doris, perempuan Jerman yang diminta Iqbal mengasuh Javid dan Munira sepeninggal ibu mereka. Itu berjalan terus sampai ia meninggal dalam keadaan tidak punya apa-apa.
Masalahnya ialah karena rumah, yang kini jadi Museum Iqbal itu, dibangun atas prakarsa istrinya yang ingin anak-anak tinggal di rumah mereka sendiri, dan diatasnamakan Javid. Sebagian besar uangnya dari hasil tabungan Sardar, yang ia sisihkan dari uang belanja. Hanya beberapa hari setelah keluarga itu menempatinya, Sardar wafat.
Lalu kesehatan Iqbal merosot. Salat, yang tak pernah ditinggalkannya, akhirnya ia lakukan dengan duduk. Ada infeksi di tenggorokannya, hingga ia kehilangan suara. Matanya juga mengalami gangguan--padahal ia sedang menyiapkan dua buku: The Reconstruction of Muslim Jurisprudence dan The Book of a Forgotten Prophet. Yang pertama sudah dia mulai, tapi kemudian ia menyerah karena kesehatannya. Padahal buku ini menjadi obsesinya sejak 1917. "Jika karya ini bisa saya rampungkan," katanya, "saya akan mati tenang." Sayang, tidak. Apalagi yang kedua.
Tercatat pada 25 Maret 1938 penyakit Iqbal sangat serius. Toh ia bertahan sampai 21 April. Saat itulah, menjelang fajar merekah di kota itu, penyair dan pemikir besar ini berangkat. Sekitar 70.000 orang menyalati dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir, di dekat gerbang Masjid Shahi, Lahore.