TASAWUF / PANJI NO. 05 TH IV - 24 MEI 2000

 

Bayangan Kematian

Bilal ibn Rabah tampak gembira menjelang sekarat. Dua malaikat rupawan akan menerbangkan ruh kita hingga ke langit dunia, kemudian dijemput Jibril menghadap Allah. Diperlukan ribuan tahun.

Apa yang dibayangkan Yesus Kristus menjelang ajalnya di tiang salib?

Sungguh liar imajinasi Martin Scorsese. Dalam menggambarkan detik-detik paling indah itu Yesus dikisahkan sedang membayangkan dirinya sebagai pria normal yang terlibat percintaan dengan Maria Magdalena. Bisa dipahami bila filmnya, The Last Temptation of Christ, ditolak di banyak negara, termasuk Indonesia. Bahasa visual Scorsese tentang momen-momen puitis Kristus memang memberi banyak peluang untuk ditafsirkan tidak secara puitis. Melainkan sebagai penghinaan terhadap perasaan keagamaan umumnya. Film buatan 1988 itu, yang diangkat dari novel Nikos Kazantzakis, sebenarnya bukan karya terbaik Scorsese. Misalnya dibanding film terdahulunya, Taxi Driver (1976).

Tapi, benarkah ada bayangan-bayangan tertentu di saat-saat meregang nyawa, seperti Yesus alias Isa?

Tidak harus seperti itu, tentu saja. Lebih-lebih pada orang-orang saleh, jangankan lagi seorang nabi.

"Betapa sedihnya. Betapa sedihnya." Perempuan itu terus meratap.

"Alangkah senangnya," kata yang diratapi.

"Mengapa? Mengapa begitu, Suamiku? Padahal aku sangat, sangat, sedih sekali?"

"Tidakkah aku gembira, Sayang? Sebab aku akan bertemu para kekasih--Muhammad dan para tentaranya."

Percakapan itu, kita tahu, berasal dari riwayat kematian Bilal ibn Rabah, muadzin seumur hidup Rasulullah, yang mantan budak itu.

Ditambah sebuah riwayat yang masyhur pula. Syahdan, menjelang wafat, Abdullah ibnul Mubarak membuka kelopak matanya, kemudian tertawa sembari melantunkan kalam Ilahi: "Limitsli haadza fal-ya’malil ‘aamiluun (Untuk yang seperti ini hendaklah orang-orang bekerja dan beramal)." (QS 37:61).

Ketika orang sekelilingnya bertanya, ada apa dia ketawa, jawabnya: "Memangnya tidak boleh?" Katanya lagi, "Perpisahan dengan yang paling kujauhi sudah dekat, dan Dzat yang aku harapkan begitu dekat tiba lebih cepat."

Bagaimana kematian bisa menjadi peristiwa yang begitu menyenangkan? Pada Bilal, juga Ibnul Mubarak, tentu karena keyakinan akan pertemuan dengan Allah dan para kekasih-Nya. Lebih penting dari perpisahan dengan dunia dan segala tetek bengeknya, kematian adalah syarat pertemuan atau liqa yang abadi itu. Jadi, tak ada yang harus diberati. Enteng-enteng saja. Kalaupun, mungkin, ada yang disesali, itu lantaran amal ibadah biasanya dirasakan masih terlalu sedikit. Ibarat kita merasa bisa membuat sesuatu menjadi lebih baik lagi, eh, tahu-tahu waktunya sudah habis. Tapi itulah mereka, seperti yang difirmankan, "Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), ‘Salamun ‘alaikum’, masuklah kamu ke surga itu disebabkan apa yang kamu kerjakan." (QS 16:32).

Demikianlah, dalam narasi di sekitar dunia sufi, yang muncul di saat kematian itu bukan cuma malaikat pencabut nyawa. Izrail masih diiringi dua malaikat rupawan, berpakaian necis, dan wangi (bandingkan dengan Zabaniah yang buruk rupa itu). Kedua makhluk itu lantas membungkus ruh dengan kain sutra dari surga, yang kualitasnya sebanding dengan kualitas agama yang bersangkutan. Bukan kualitas ilmu. Lantas menerbangkannya ke angkasa, melewati umat manusia terdahulu, yang sedang beterbangan seperti belalang, hingga ke langit dunia. Selanjutnya urusan diserahkan pada Jibril. Malaikat inilah yang mengantarkannya memasuki lapis-lapis langit yang tujuh, yang juga dijaga para malaikat.

"Anda siapa?" kata suara di balik pintu.

"Saya Shalshayail," jawab Jibril. "Saya bersama seseorang dengan sebutan-sebutan yang baik."

"Kalau begitu masuklah," jawab mereka. "Pasti dia seorang hamba yang baik, yang akidahnya tak disangsikan."

Di langit kedua, sang tamu juga disambut, seraya disebut-sebut telah menjaga salat dan kewajiban-kewajiban lainnya. Tiba di lapis berikut, dikatakan orang itu bisa menjaga hak-hak Allah di dalam hartanya dan tidak pernah tergantung sedikit pun pada si harta.

Apa kata mereka ketika si fulan ini sampai di langit keempat? "Ia berpuasa, dan mampu menjaga puasanya dari berbagai perkataan buruk dan makanan haram." Di langit selanjutnya, Fulan disebut sudah berhaji, tanpa semangat pamer dan keinginan dipuji. Ketika sampai di langit keenam, diketahui ternyata orang itu banyak istighfar di waktu sahur, bersedekah tanpa setahu orang, dan menanggung kehidupan anak yatim. Di langit terakhir, terbukti Fulan seorang hamba yang saleh dan berhati baik, selalu mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemunkaran, serta memuliakan orang miskin.

Fulan terus berjalan di antara kerumunan malaikat, yang berebut menyalaminya, dan membisikkan bahwa ia bakal masuk surga. Tibalah ia sekarang di Sidratul Muntaha. Tok, tok, Jibril mengetuk pintu, seraya menjawab pertanyaan yang sudah diulang-ulang. Di sini tamu Jibril mendapat pujian sebagai orang yang semata-mata mencari ridha Allah.

Lalu sebuah pintu lain terbuka. Alamak, orang itu ternyata harus mengarungi lautan api, menyebarangi lautan cahaya, menembus lautan kegelapan, melintasi samudera air, berjalan di hamparan salju, dan di laut dingin. Lama perjalanan untuk setiap lautan itu satu milenium, alias 1.000 tahun! Barulah setelah itu tabir Arasy pun terbuka. Lalu terdengar sebuah suara: "Jiwa siapakah yang kaubawa?"

"Ini Fulan anak Fulan," jawab Jibril.

Allah berfirman: "Dekatkan dia. Sebaik-baik hamba adalah engkau, wahai hamba-Ku."

Wallahu a'lam mengenai keabsahan penuturan yang dikatakan berasal dari Imam Ghazali itu. Tapi memang ada sabda Nabi, "Siapa ingin bertemu Allah, Allah pun ingin bertemu dia. Siapa yang enggan bertemu Dia, Tuhan pun enggan menemuinya." Tidak berarti orang itu tidak akan mati.

A. Suryana Sudrajat